Webinar “Analisis Usulan Daftar Perencanaan Program Penyusunan Judul dan Pokok Materi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Berdasarkan Hasil Inventarisasi Pendelegasian UU NO. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan”

Term of Reference

Webinar “Analisis Usulan Daftar Perencanaan Program Penyusunan Judul dan Pokok Materi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Berdasarkan Hasil Inventarisasi Pendelegasian UU NO. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan”

Senin, 14 Agustus 2023  |   Pukul: 13:00 - 14:00 WIB

REPORTASE

Diskusi ini membahas inventarisasi aturan pelaksana pendelegasian UU Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan menggunakan dua perspektif yaitu perspektif hukum dan perspektif pemerhati kebijakan kesehatan.

Pengantar dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD mengenai UU Kesehatan dan keterkaitannya dengan reformasi kesehatan di Indonesia.

14ags 1Webinar dibuka dengan pemaparan dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD mengenai penyusunan turunan UU Kesehatan dengan perspektif reformasi dan terkoordinir dengan UU lain yang tidak masuk dalam UU Omnibus Law kesehatan. UU Kesehatan merupakan landasan untuk transformasi sistem kesehatan yang disusun untuk dilaksanakan dengan berbagai aturan turunan. Enam pilar transformasi kesehatan termuat dalam UU Kesehatan yang terdiri dari 20 bab yang terkait pendahuluan, pilar kesehatan, fondasi dan aspek hukum. Setiap bab dan pasal saling terkait sesuai dengan prinsip reformasi, sehingga setiap topik sebaiknya tidak dilihat secara terpisah-pisah. Sebagai contoh, pasal penglihatan dan pendengaran hanya termuat dalam 3 pasal UU Kesehatan, yaitu pasal 71, 72 dan 73. Namun perlu ditelaah pada pasal lainnya, bagaimana pelayanan penglihatan dan pendengaran didanai? Akankah ditopang oleh regulasi pasal 401 – 412? Bagaimana SDM diatur? Apakah ditopang oleh regulasi bab VII pasal 197 – 311? Dengan demikian, dalam aturan turunan terdapat berbagai pasal yang dipakai bersama oleh pasal-pasal upaya kesehatan. Pasal-pasal itu cenderung berada di pilar-pilar yang berfungsi seperti pondasi dalam metafora transformasi kesehatan yang terkait pendanaan, SDM, teknologi, perbekalan kesehatan, dan sebagainya. Oleh karena itu, perlu diinventarisasi pasal yang dipakai bersama dan merupakan pilar dasar, di sisi lain, terdapat berbagai pasal yang dipakai bersama masih diatur oleh UU lain di luar UU Nomor 17 Tahun 2023 seperti UU SJSN dan UU BPJS, UU Pendidikan Tinggi, UU IT dan sebagainya, sehingga akan ada banyak aturan turunan yang penulisannya sangat kompleks. Oleh karena itu, tantangan saat ini adalah bagaimana memberikan masukan untuk turunannya. Pasal demi pasal dalam UU Kesehatan dapat dipelajari dan turunan UU akan dapat dipelajari melalui website: https://kebijakankesehatanindonesia.net/4735-uu-kesehatan-omnibus-law-2023  yang didalamnya membahas berbagai isu dalam bentuk webinar, diskusi per-bab UU Kesehatan, serta referensi dalam berbagai kategori. Dengan demikian, website ini diharapkan menjadi tempat untuk mempelajari dan membahas UU Kesehatan secara interaktif.

materi   video

Pembicara Utama: Dr. Rimawati, S.H., M.Hum (Dosen Fakultas Hukum UGM)

14ags 2Rimawati memberikan penjelasan mengenai upaya inventarisasi aturan pelaksana yang diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Mengingat cukup banyak peraturan turunan yang timbul sejak diundangkannya regulasi tentang kesehatan ini. Rimawati juga menjelaskan, terdapat prinsip utama yang tidak boleh dilanggar dalam penyusunan peraturan turunan seperti Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. Mengadopsi dari teori Piramida Hukum (Hans Kelsen), sebuah peraturan baru dapat diakui secara legal jika tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku pada suatu jenjang yang lebih tinggi. Kemudian juga terdapat asas-asas yang melandasi sebuah peraturan baru diciptakan, asas pertama adalah lex superiori derogate legi inferiori yang berarti peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah (sehingga peraturan yang lebih tinggi kedudukannya akan didahulukan). Asas kedua, lex specialis derogate legi generali yang bermakna peraturan yang bersifat khusus mengesampingkan peraturan yang bersifat umum. Kemudian asas ketiga, lex posteriori derogate legi lex priori bermakna peraturan yang baru mengesampingkan peraturan yang lama.

Selain memperhatikan prinsip dasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, pemerintah juga perlu menyusun rencana penyusunan Peraturan Pemerintah yang memuat hasil inventarisasi pendelegasian Undang-Undang. Pemerintah yang dimaksud dalam hal ini adalah Kementerian yang terkait dengan perintah pendelegasian yang terdapat di Undang-Undang.

Unsur berikutnya yang juga patut diberi perhatian, adalah mengenai partisipasi masyarakat. Ada beberapa metode yang bisa digunakan pemerintah untuk mengikutsertakan masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu lisan dan tertulis. Kondisi yang dapat digunakan untuk menyampaikannya adalah melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, dan/ata seminar, lokakarya dan/atau diskusi. Media untuk mengumumkan terbukanya kesempatan untuk partisipasi publik biasanya diberikan oleh Pemerintah melalui media elektronik, media cetak maupun forum tatap muka atau dialog langsung.

Pada bagian akhir, Rimawati menjelaskan tentang hasil identifikasi delegasi peraturan yang harus dibentuk oleh Pemerintah, untuk lebih lengkapnya silahkan untuk menyimak materi berikut ini

materi   video

Sesi Diskusi

Pertanyaan dari peserta cukup banyak dan beragam. Salah satunya adalah pertanyaan mengenai kepastian hukum dari peraturan turunan yang sudah berlaku sebelumnya, apakah tiba-tiba tidak berlaku begitu saja atau akan tetap berlaku?. Terdapat kekhawatiran tentang kekosongan hukum. Salah satu peserta juga menanyakan terkait dengan kedudukan dokter residen dan dokter spesialis, terutama kaitannya dengan jobdesc dan insentif yang diberikan. Seperti apa jawabannya?
Silakan klik di sini untuk menonton videonya.

video

Closing Remarks

Peraturan turunan yang didelegasikan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 begitu banyak, dan perlu perhatian tinggi untuk fokus dalam mengawalnya. Kemungkinan yang dapat terjadi dalam pembuatan peraturan turunan ini, waktu pelaksanaannya akan cukup cepat. Selain itu Laksono mendorong untuk berdiskusi lebih jauh sesuai dengan topik-topik yang tersedia dan mendorong untuk membuat policy brief untuk usulan yang akan diberikan pada Pemerintah terkait.
Reporter: Tim asisten topik UU Kesehatan PKMK

video

 

 

Diskusi ke-7 Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Mutu Pelayanan Kesehatan

Diskusi ke-7 UU Kesehatan

Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Mutu Pelayanan Kesehatan

Selasa, 15 Agustus 2023  |   Pukul: 15:00 - 16:00 WIB

REPORTASE

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang berfokus pada pembahasan topik Mutu Pelayanan Kesehatan. Diskusi ini diharapkan dapat memberikan masukan terhadap peraturan turunan UU Kesehatan terkait Mutu Pelayanan Kesehatan dan gambaran penggunaan website UU Kesehatan.

Pengantar disampaikan oleh Shita Listyadewi

30ags3Pengantar terkait implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) disampaikan oleh Shita Listya Dewi, Ph.D yang memaparkan tentnag UU Kesehatan sebagai dasar reformasui yang terkait dengan perspektif mutu pelayanan kesehatan. Mengacu pada metafora tentang control knobs untuk reformasi sektor kesehatan, reformasi kesehatan terjadi jika lebih dari satu knob diaktifkan secara bersama-sama untuk mencapai tujuan, yaitu efisiensi, equity, dan efektifitas yang mengarah ke status kesehatan yang lebih baik. Pengalaman reformasi kesehatan di Indonesia seperti reformasi pendanaan selama ini belum mencapai tujuan-tujuan tersebut dengan optimal, sebab masih ada isu terkait dengan akses dan cakupan.

UU Kesehatan yang baru ini merupakan upaya reformasi sektor kesehatan pasca Covid-19 dengan mengaktifkan beberapa knobs reformasi sekaligus melalui transformasi sistem kesehatan. Meski demikian, apakah kebijakan transformasi ini dapat berjalan? UU Kesehatan Omnibus Law ini terdiri atas 20 Bab yang selanjutnya akan diturunkan dalam regulasi turunan. Hal ini akan berimplikasi terhadap mutu pelayanan kesehatan sehingga penting untuk mendiskusikan bersama mengenai masukan terhadap regulasi turunan UU Kesehatan ini dan akan dibagikan di web www.kebijakankesehatanindonesia.net secara berkala.

video   materi

Narasumber Utama: Dr. dr. Hanevi Djasri, MARS, FISQua

Dr. dr. Hanevi Djasri, MARS, FISQua dalam sesi pembahasan menjelaskan tentang aspek mutu pelayanan kesehatan dalam UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023. Istilah mutu pelayanan kesehatan disebutkan sebanyak 28 kali dalam UU Kesehatan, yaitu pada bagian pertimbangan, tanggungjawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah; di dalam turunan terkait kompetensi tenaga medis; di dalam pasal kesehatan ibu, kesehatan remaja, kesehatan dewasa, kesehatan lanjut usia, penyandang disabilitas, kesehatan reproduksi, keluarga berencana, gizi, kesehatan jiwa; pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan PKRT; farmasi; dan fasilitas pelayanan kesehatan (pasal 173 dan 178). Seluruh dimensi mutu WHO telah termuat dalam UU Kesehtan, dengan beberapa dimensi yang sering muncul adalah aman, akses, berkeadilan, efisien dan efektif. Meski demikian, belum ada prioritas dimensi mutu yang akan dipastikan tercapai lebih dahulu dalam 5 sampai 10 tahun mendatang.

Mutu pelayanan kesehatan tidak dibahas dalam satu bab tersendiri, melainkan tersebar dan terintegrasi di seluruh bab yang ada. Dengan demikian, apabila menggunakan health system framework, mutu pelayanan kesehatan sudah terbagi rata pada seluruh health system building blocks sehingga UU Kesehatan ini tidak bisa dibahas per bab namun secara keseluruhan. Kerangka kerja mutu yang jelas dalam UU Kesehatan ini adalah bahwa pemerintah bertanggung jawab dan mengatur serta perlu ditetapkan kebijakan dan strategi nasional. Jika menilik kerangka kerja menggunakan struktur, proses, output, dan outcome mutu pelayanan kesehatan kepada pasien, outcome WHO adalah berupa peningkatan kesehatan pasien, proteksi resiko sosial dan finansial, serta peningkatan efisiensi dan responsiveness. Dalam hal kebijakan dan strategi, secara eksplisit belum terdapat kebijakan dan strategi yang dipilih untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dalam UU Kesehatan. Dengan demikian, diperlukan pengembangan PP khusus yang mengatur tentang mutu pelayanan kesehatan dan program kesehatan sebab setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau.

video   materi

Sesi Penutup

Webinar dilanjutkan dengan penjelasan muatan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan mulai dari proses perumusan UU Kesehatan, knowledge management, file dokumen UU Kesehatan, hingga kolom komentar yang disediakan untuk memfasilitasi diskusi. PKMK berupaya mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan sebagai wadah untuk diskusi serta menyelenggarakan rangkaian webinar untuk memantik diskusi berkelanjutan dan menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan UU Kesehatan.
Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

 

 

 

Diskusi ke-10 Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Kesehatan Keluarga

Diskusi ke-10 UU Kesehatan

Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Kesehatan Keluarga

kamis, 24 Agustus 2023  |   Pukul: 09:00 - 10:30 WIB

REPORTASE

26ags

Topik pembahasan dalam seri Webinar UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan #10 berfokus pada Kesehatan Keluarga dalam kaitannya dengan UU Kesehatan. Melalui diskusi ini, diharapkan dapat menginisiasi berbagai rekomendasi untuk peraturan turunan dari UU Kesehatan terkait kesehatan mata serta memberikan gambaran mengenai penggunaan website tentang UU Kesehatan.

Pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D

Webinar dibuka dengan pemaparan dari Prof. dr Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D yang membahas peluang dan persiapan dalam menyongsong reformasi sistem kesehatan pasca UU Kesehatan 2023. Saat terjadi pandemi COVID-19, presiden memberikan perintah kepada Menteri Kesehatan untuk memperbaiki sistem kesehatan yang terdampak pandemi COVID-19. Melalui pengalaman pandemi COVID-19 ini diharapkan terjadi percepatan reformasi sehingga Kementerian Kesehatan berkomitmen untuk melakukan transformasi sistem kesehatan yang terdiri dari 6 pilar transformasi. Transformasi sistem kesehatan merupakan bentuk reformasi sejati yang melibatkan banyak tombol kebijakan sesuai dengan metafora health system control knobs. Kebijakan transformasi kesehatan ini perlu didukung oleh dasar hukum yang kuat yaitu UU Kesehatan Omnibus Law. Metode omnibus law digunakan karena banyak UU di masa lalu tentang kesehatan yang sulit dipadukan dan berpotensi menjadi penghambat reformasi. Setiap bab dan pasal dalam UU ini saling terkait sesuai dengan prinsip reformasi. Diskusi dan event terkait isu UU Kesehatan dapat diakses melalui www.kebijakankesehatanindonesia.net 

video

Narasumber utama: dr. RA Arida Oetami, M.Kes

dr. RA Arida Oetami, M.Kes. (Ketua Dewan Penelitian dan Pengembangan DIY) yang mengawali pembahasan dengan tujuan dari kesehatan keluarga yaitu agar tercapai kesejahteraan mental dan sosial. Kesehatan keluarga dilihat dari 4 aspek, yaitu aspek sosial dan emosional, aspek kebiasaan hidup sehat, aspek sumber daya keluarga, dan aspek dukungan sosial eksternal. Kesehatan keluarga termuat dalam UU Kesehatan yang mana terkait pembangunan keluarga dan ketahanan keluarga dimana hubungan sosial mencakup dari sisi agama, cinta kasih, perlindungan, sosial budaya, reproduksi, ekonomi, lingkungan dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan keluarga tidak hanya dibangun dari sisi kesehatan saja karena sektor lain perlu mendukung fungsi keluarga. Dalam melaksanakan UU Kesehatan ini. perlu pendekatan pengasuhan positif dan kebiasaan hidup sehat termasuk kesehatan lingkungan. Oleh karena itu, peraturan turunan perlu dibuat secara detail untuk menjelaskan siapa saja yang berwenang (leading sector) dalam hal kesehatan keluarga karena dikhawatirkan sering terjadi ketidakjelasan dalam pelaksanaannya. Penyusunan aturan turunan ini perlu melibatkan kementerian lain yang terkait dengan pendidikan, agama, sosial, budaya, BKKBN, PUPR, transportasi, perempuan dan perlindungan anak dan sebagainya. Sebab, keluarga tidak hanya berkaitan dengan kesehatan reproduksi saja sehingga tidak hanya sektor kesehatan saja. Sektor kesehatan perlu berkolaborasi dengan sektor lain untuk meningkatkan kesejahteraan, sebab Ketahanan keluarga menjadi kunci dalam kesejahteraan.

Shita Dewi (Konsultan PKMK FK-KMK UGM) selaku moderator turut memantik diskusi tentang dampak UU Kesehatan terhadap kesehatan keluarga. Kesehatan keluarga termuat dalam BAB V tentang upaya kesehatan. Banyak pertanyaan yang muncul jika mencermati kesehatan keluarga dalam UU ini. Bagaimana pelayanan kesehatan keluarga akan didanai? Bagaimana dengan pembiayaan untuk kunjungan keluarga? Bagaimana mengenai alat kesehatan dan IT untuk upaya kesehatan keluarga? Bagaimana data diperoleh dan dimanfaatkan? Oleh siapa? Dalam konteks pasal SDM Kesehatan, bagaimana SDM untuk kedokteran keluarga dididik, dilatih, ditempatkan dan dikembangkan karirnya? Siapa yang perlu mengawal UU No. 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan di Isu Upaya Kesehatan Keluarga? Oleh karena itu, perlu adanya aturan turunan untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut.


Materi Shita Listyadewi  download


materi dr. RA Arieda Oetami, M.Kes  download


video

Sesi Diskusi:

Webinar dilanjutkan dengan diskusi tentang siapa yang disebut dengan keluarga dan pendekatan siklus kehidupan yang digunakan dalam upaya kesehatan keluarga. Kesehatan perempuan disoroti karena perempuan memainkan peran penting dalam kesehatan keluarga, terlebih pada kondisi perempuan yang menjadi kepala keluarga. Dalam diskusi ini juga dibahas mengenai akses dan SDM untuk upaya kesehatan keluarga, serta berbagai stakeholders yang diharapkan ambil peran dalam upaya kesehatan keluarga ini.

video

Sesi Penutup:

Diskusi dalam webinar ini diharapkan dapat dilanjutkan melalui website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan yang dikembangkan sebagai wadah untuk diskusi serta menyelenggarakan rangkaian webinar untuk memantik diskusi berkelanjutan dan menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

 

 

Diskusi ke-9 Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Bencana Kesehatan

Diskusi ke-9 UU Kesehatan

Diskusi Urusan Bencana Kesehatan dalam Undang-Undang Kesehatan No.17 Tahun 2023

Senin, 21 Agustus 2023  |   Pukul: 08:00 - 09:00 WIB

REPORTASE

PKMK – Urusan bencana telah menjadi perhatian oleh sektor kesehatan sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 dan peraturan lain sebelumnya. Penanganan manajemen bencana kesehatan di Indonesia juga terus berkembang dan mengambil pembelajaran pada setiap penanganan bencana alam maupun non alam, termasuk situasi andemi COVID-19 lalu hingga saat ini. Kehadiran UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dalam ekosistem urusan bencana kesehatan menjadi menarik dan penting untuk dibahas. Kali ini, PKMK FK-KMK UGM mengadakan webinar seri #9 dengan topik utama “Keberadaan Urusan Bencana Kesehatan di UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023”.

21ags 1

Kegiatan ini dipandu oleh Ns Maryami Yuliana Kosim, S.Kep., M.Kep., Ph.D dan diisi oleh Madelina Ariani, MPH selaku Kepala Divisi Manajemen Bencana Kesehatan PKMK FK-KMK UGM. Dalam pembahasannya, Madelina menyampaikan bahwa perbedaan besar yang terlihat dari UU baru ini adalah keberadaan nomina bencana sebanyak 41 kata dan cantumannya yang tersebar di 8 bab berbeda. Hal ini berubah dari UU lama, yakni UU Nomor 36 Tahun 2009 yang mencantumkan nomina bencana hanya di bab 6 sebanyak 14 kata. Selain itu, di UU baru, juga terdapat nomina krisis kesehatan, di mana hal ini menjadi krusial karena akan mempengaruhi konsep bencana dan penanggulangannya. Pembahasan kemudian dilanjutkan dengan menunjukkan perbedaan-perbedaan dalam beberapa pasal yang tercantum dalam UU baru dan lama, serta kebaruan pasal.

video   materi

Sesi Diskusi

Forum dilanjutkan dengan sesi diskusi dimana salah satu peserta, Madahan Lalu selaku perwakilan Dinkes NTB menyebutkan bahwa UU baru ini membawa semangat baru dan menghidupkan optimisme dalam perbaikan sistem penanggulangan bencana di Indonesia. dr. Bella Donna, M.Kes melanjutkan dengan memberikan semangat kepada semua aktivis bencana kesehatan. Bella mengingatkan bahwa meski memberikan rasa optimis, forum juga harus mengawal lanjutan dari UU ini, yakni produk turunannya. Bella menambahkan bahwa selanjutnya forum dilaksanakan 2 pekan sekali untuk terus mengkritisi kebijakan ini.

Diskusi berjalan baik dengan antusiasme peserta yang tinggi, terutama yang mengkritisi soal nomina-nomina kebencanaan dalam peraturan baru dan definisinya. Selain itu, beberapa peserta yang terdiri dari birokrat dan praktisi lapangan juga menggarisbawahi persoalan seputar ambulans gratis, sistem pendanaan dalam penanggulangan bencana, dan kerahasiaan dalam hal rekam medis pasien bencana.

21ags 2dr. Hendro Wartatmo, Sp.B-KBD turut menyampaikan optimisme dalam ekosistem bencana kesehatan dalam UU baru. Meski sempat menuai kontroversi, terutama dalam hal organisasi profesi dan pendidikan spesialis, bencana kesehatan tidak terpengaruh dan justru mendapat peluang bagus dalam UU ini. Namun, beberapa hal tetap harus dikritisi. Terminologi dalam bencana kesehatan harus disamakan persepsinya. Bagaimana peran masyarakat dalam kondisi kebencanaan belum diatur khusus dalam UU, artinya turunannya harus ada yang mengatur. Bidang pendanaan juga harus diperjelas agar tidak saling tumpang tindih atau justru tidak ada yang menaungi. Webinar ini juga menjadi awal lahirnya Community of Practice atau Masyarakat Praktisi di bidang Bencana Kesehatan. Ke depan akan diadakan webinar seri lanjutan khusus membahas urusan bencana kesehatan beserta turunannya.

video

Reporter: dr Alif Indira (Divisi Manajemen Bencana Kesehatan PKMK UGM)

 

 

 

 

Diskusi ke-11 Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik UU Kesehatan dan Kontrak Perorangan antara Residen dengan RS

Diskusi ke-11 UU Kesehatan

UU Kesehatan dan Kontrak Perorangan antara Residen dengan RS

Jumat, 25 Agustus 2023  |   Pukul: 15:00 - 16:30 WIB

REPORTASE

28ags

Topik pembahasan yang diangkat dalam webinar UU Kesehatan seri ke 11 berfokus pada kontrak perorangan antara residen dengan rumah sakit terkait dengan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.


Pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD

Webinar dibuka dengan pemaparan dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD yang mengulas perintah UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang pengelolaan tenaga residen di jalur university based dan hospital based. Sebelum UU Kesehatan Omnibus Law ini disahkan, pendidikan dokter spesialis diatur dalam UU Pendidikan Kedokteran selama periode 2013-2023. Undang-Undang Pendidikan Kedokteran ini disusun berdasarkan situasi di Indonesia dan benchmarked di US dan Australia, dimana residen bukan sebagai mahasiswa biasa namun sebagai pekerja. Pada pasal 31 mengenai UU Pendidikan Kedokteran terdapat penjelasan mengenai hak dan kewajiban mahasiswa serta ketentuan lanjut diatur dalam peraturan menteri. Namun, apa yang terjadi dalam pelaksanaan UU Pendidikan Kedokteran 2013? Peraturan turunan tidak banyak disusun, stakeholder utama tidak peduli pada residen, dan sebagainya. Selain itu, UU ini gagal mengubah budaya kerja di pelayanan kesehatan yang tetap tidak mengakui residen sebagai pekerja. Namun, pandemi COVID-19 menyadarkan bangsa bahwa residen adalah pekerja. UU Kesehatan 2023 membuka jalur hospital-based yang diikuti dengan berbagai pro dan kontra. Jalur hospital-based dan university-based memiliki kesamaan yaitu residen sebagai pekerja. Pada pasal 219 prinsip residen sebagai pekerja diatur dalam UU Kesehatan berdasarkan praktek global dan membutuhkan kontrak perorangan antara RS dengan residen. Meski demikian, konsekuensi perintah UU Kesehatan yaitu residen sebagai pekerja tidak mudah karena memerlukan berbagai adaptasi.

materi   video

Narasumber Utama: Letnan Kolonel Ckm dr. Khairan Irmansyah, Sp. THT-KL., M.Kes

Sesi pembahasan disampaikan oleh Letnan Kolonel Ckm dr. Khairan Irmansyah, Sp. THT-KL., M.Kes yang mengantarkan peserta dalam sebuah pertanyaan menarik: apakah UU Nomor 17 Tahun 2023 dapat efektif dalam hal kontrak perorangan residen dengan RS pendidikan? Jika melihat kembali ke UU Nomor 20 Tahun 2013, pendidikan residen menganut sistem university-based, namun pendekatan lain di beberapa negara menggunakan sistem hospital-based. UU Nomor 17 Tahun 2023 membuka opsi pendidikan kedokteran dengan hospital-based dan memerintahkan adanya hak dan kewajiban peserta didik. Apakah hal ini dapat dituangkan dalam kontrak perorangan antara RS Pendidikan dengan residen? Sebelum adanya UU Pendidikan Kedokteran 2013, residen dianggap sebagai siswa yang harusnya membayar ke RS, tidak memiliki kompetensi klinis, tidak memiliki dasar hukum untuk diberi insentif, dan tidak bisa dikontrak. Selain itu, belum ada regulasi yang mengatur pendidikan residen dan peran negara. Namun, UU Pendidikan Kedokteran memerintahkan residen sebagai pekerja sehingga semestinya ada kontrak kerja antara residen dengan RS Pendidikan. Pada kenyataannya, tidak ada niat yang cukup dari berbagai stakeholder, budaya RS yang menempatkan residen sebagai mahasiswa, serta tidak adanya kontrak atau perjanjian sehingga terjadi kegagalan dan adanya perundungan dalam pelaksanaan UU Pendidikan kedokteran tahun 2013.

Tata kelola residen saat ini belum baik, tergambar dalam situasi dimana residen harus membayar dana pendidikan yang besar jumlahnya, hubungan antara residen junior dan senior belum tertata sehingga terdapat bullying, dan mutu pelayanan RS menjadi sulit dikembangkan. Di masa depan, pasca UU Kesehatan sudah selayaknya residen diberikan insentif atas jasa pelayanan medis sesuai kompetensi, mengingat besarnya kontribusi residen. Dalam pelaksanaannya, mengacu pada UU Tenaga Kerja dan PP terkait seperti PP RI Nomor 35 Tahun 2021, unsur dalam hubungan kerja tertera dalam pasal 1 angka 1 yaitu “Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah”. Jika melihat dalam unsur pekerjaan, residen melakukan pekerjaan dengan memberikan pelayanan; dalam unsur perintah, residen mendapat perintah untuk melakukan suatu pekerjaan. Sehingga, dalam hal upah semestinya mendapatkan imbalan jasa yang layak. Selain itu, dalam hal beban kerja, paska UU Kesehatan semestinya terjadi minimalisasi beban kerja residen di RS pendidikan dengan mempertimbangkan jam kerja ideal yang pada akhirnya berdampak pada mutu pelayanan RS. Sebagai kesimpulan, tantangan UU Nomor 17 Tahun 2023 ini adalah bagaimana memaksa semua RS pendidikan pada jalur university based maupun hospital based dalam mengatur hak dan kewajiban residen dalam sebuah kontrak perorangan sebagaimana praktek yang terjadi di negara maju?

materi   video

Pembahas: dr. Andi Khomeini SpPD

Tanggapan terhadap pembahasan ini disampaikan oleh dr. Andi Khomeini SpPD yang menggarisbawahi implementasi sumpah dokter, dimana dokter mengaku bahwa sesama dokter nilainya seolah-olah seperti saudara kandung, tidak selalu mudah. Sebagai saudara semestinya sesama dokter saling menghormati dan menyayangi sebagai prinsip dasar kehidupan yang baik terutama para pelayan medis. Namun, mengapa masih terjadi bullying? Setelah adanya UU Kesehatan ini penting untuk diperhatikan bagaimana kita membuat residen di kontrak sebagai pekerja dan dapat memberikan pelayanan dengan perlindungan hukum. Dalam sesi diskusi banyak dibahas tentang residen sebagai pekerja, kontrak/perjanjian kerja dengan RS, serta insentif atau jasa pelayanan bagi residen dalam kaitannya dengan UU Nomor 17 Tahun 2023 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait. Diskusi juga menyoroti perlunya sinkronisasi pelaksanaan UU Kesehatan ini dengan stakeholders lain seperti Kementerian Keuangan dan badan pemeriksa keuangan.

video

Sesi Penutup

Diskusi dalam webinar ini diharapkan dapat dilanjutkan melalui website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan yang dikembangkan sebagai wadah untuk diskusi serta menyelenggarakan rangkaian webinar untuk memantik diskusi berkelanjutan dan menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

 

Diskusi ke-12 UU Kesehatan Topik Tata Kelola Rumahsakit

Diskusi ke-12 UU Kesehatan

Topik Tata Kelola Rumahsakit

Senin, 28 Agustus 2023  |   Pukul: 12:00 - 13:00 WIB

REPORTASE

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang ke-12 yang membahas tata kelola rumah sakit dalam kerangka UU Kesehatan Omnibus Law.

Pengantar oleh Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes (Ketua PKMK FK-KMK UGM)

29ags1Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes mengantar webinar dengan menjelaskan bahwa, dari sisi manajemen, terdapat beberapa poin dalam UU Kesehatan yang baru yang dapat mengubah dan menjadi peluang pengembangan rumah sakit. Meski demikian, hal ini akan sangat bergantung pada aturan turunan dari UU Nomor 17 Tahun 2023. Dengan memahami pasal-pasal yang ada, diharapkan kita dapat memperoleh informasi dan mensintesisnya menjadi sebuah gagasan untuk membangun rumah sakit dalam keterkaitannya dengan UU Kesehatan yang baru.

Dalam UU Kesehatan ini, rumah sakit tidak lagi termuat secara independen dalam bab tersendiri melainkan secara terintegrasi dalam sistem kesehatan. Dengan kata lain, berbagai aturan terkait dengan sumber daya manusia, logistik, maupun sistem informasi akan berpengaruh terhadap pengelolaan rumah sakit. Sebagai manajer kita diharapkan dapat menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya untuk memanfaatkan peluang yang ada.

video

Pembahasan oleh Ni Luh Putu Eka Putri Andayani, S.KM., M.Kes (Konsultan PKMK FK-KMK UGM)

29ags1Sesi pembahasan disampaikan oleh Ni Luh Putu Eka Putri Andayani, S.KM., M.Kes yang menjelaskan bahwa rumah sakit merupakan layanan rujukan yang harus bertransformasi sesuai dengan pilar transformasi pelayanan rujukan sebagai bagian dari transformasi sistem kesehatan. Seluruh aturan turunan dari UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dan lembaga yang terlibat akan mendukung upaya pembangunan peningkatan pelayanan RS. Hal ini tertuang didalam pasal-pasal UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023.

Salah satu yang termuat dalam UU Kesehatan ini adalah terkait potensi besar pengobatan tradisional seperti medical wellness agar masuk ke dalam standar pelayanan kesehatan. Dalam hal ini diperlukan aturan turunan yang menjelaskan penyelenggaraan, kompetensi, serta kewenangan dan tanggung jawab pusat dan daerah. Dalam hal fasilitas pelayanan kesehatan pada pasal 187 dan 196, diperlukan aturan turunan yang menjelaskan kewajiban RS untuk melaksanakan sistem rujukan yang terintegrasi serta sistem rujuk balik. Dalam hal keuangan fasilitas pelayanan kesehatan pada pasal 194, diperlukan aturan turunan berupa peraturan menteri kesehatan tentang pola tarif nasional yang dipertegas untuk RS Pemerintah dan di-update secara berkala (maksimal 2 tahun).

Dalam hal SDM Kesehatan, diperlukan aturan turunan yang menjelaskan beberapa aspek penting seperti apa saja yang termasuk dalam tenaga pendukung dan penunjang kesehatan, beban kerja tenaga kesehatan di RS, serta kebutuhan SDM yang mencakup residen. RS akan menghitung terlebih dahulu kebutuhan SDM agar beban pembiayaan tidak terlalu besar, termasuk pembiayaan bagi residen karena akan dibayar sesuai kerjanya.

Terkait pasal 234, diperlukan aturan turunan mengenai penempatan tenaga medis dalam hal insentif (finansial atau non finansial), jaminan keamanan (terutama di daerah rawan konflik), serta perlindungan hukum saat menjalankan tugas. Terkait pasal 251 dan 253, diperlukan PP terkait pendayagunaan tenaga medis lulusan luar negeri. Mengenai pendanaan kesehatan pada pasal 402 ayat 4 dan pasal 406, diperlukan PP yang mengatur bahwa RS non pemerintah harus melaporkan penggunaan anggaran yang berasal dari pemerintah; RS pemerintah harus melaporkan realisasi belanja kesehatan; serta pendapatan RS pemerintah diakui sebagai pendapatan pemerintah yang penggunaan seluruhnya untuk operasional RS. Sementara terkait dengan farmasi, diperlukan aturan turunan yang mengatur dengan detail kompetensi apoteker, proses peresepan obat keras, hingga telemedicine yang kini menjadi bagian dari layanan kesehatan di rumah sakit.

video   materi

Sesi Diskusi

Diskusi mengenai isu-isu yang muncul dengan adanya UU Kesehatan dibahas dalam sesi diskusi, antara lain terkait dengan pola tarif nasional yang termuat dalam pasal 194 ayat 1 dan perlu diatur oleh peraturan pelaksana. Selain itu, diskusi juga mengangkat kekhawatiran upaya badan layanan umum yang kini termuat dalam pasal 185 ayat (2) “Rumah Sakit yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam memberikan layanan Kesehatan dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Isu terkait dengan aturan bahwa pimpinan rumah sakit harus berlatar belakang medis juga dibahas dalam diskusi ini.

video

Sesi Penutup

Diskusi tentang tata kelola rumah sakit dalam Kerangka UU Nomor 17 Tahun 2023 ini diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan kesehatan. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

 

 

 

 

Diskusi ke-13 UU Kesehatan Topik Perkembangan Academic Health System (AHS)

Diskusi ke-13 UU Kesehatan

Perkembangan Academic Health System (AHS)

Selasa, 29 Agustus 2023  |   Pukul: 13:30 - 14:30 WIB

REPORTASE

31ags

Webinar ini membahas perkembangan Academic Health System (AHS) dalam pemenuhan dokter spesialis dalam kerangka UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Webinar dipandu oleh dr. Srimurni Rarasati, MPH selaku moderator.

Pengantar oleh: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

Webinar diawali dengan pengantar yang disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. (Konsultan PKMK FK-KMK UGM) untuk memantik diskusi tentang penerjemahan sistem kesehatan akademik (Academic Health System) dan keterkaitannya dengan UU Kesehatan. Dalam UU ini, terdapat 2 jalur pendidikan yaitu hospital-based dan university-based. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 ini mengatur bahwa residen berstatus sebagai pekerja sekaligus peserta didik yang memberikan pelayanan kesehatan dan berhak mendapatkan bantuan hukum, mendapat waktu istirahat dan mendapat imbalan sesuai pelayanan kesehatan yang dilakukan. Lantas bagaimana pengaruh UU Kesehatan terhadap Academic Health System (AHS) dengan university-based? Apakah amanat UU Kesehatan dapat dilakukan pada AHS termasuk perencanaan kewilayahan? Kedua pertanyaan ini menjadi isu diskusi yang penting.

materi   video

Pembicara Utama dr. Haryo Bismantara, MPH

dr. Haryo Bismantara, MPH (Dosen Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM) selaku narasumber membawakan pembahasan mengenai penerjemahan konsep sistem kesehatan akademik dalam pemenuhan dokter spesialis di Indonesia dalam keterkaitannya dengan pengaruh UU Nomor 17 Tahun 2023. Sesi ini membahas 4 topik utama, yaitu masalah kekurangan dokter/dokter spesialis dan transformasi SDM Kesehatan, sistem kesehatan akademik sebagai sarana untuk mewujudkan transformasi SDM kesehatan di Indonesia, penerjemahan konsep AHS untuk pemenuhan dr spesialis di Indonesia, dan AHS pasca UU Nomor 17 Tahun 2023.

Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa kebutuhan dokter spesialis di Indonesia masih tinggi. Dari aspek produksi, per tahunnya terdapat kurang lebih 3000 lulusan dokter spesialis baru dengan kurang lebih 800 tambahan kuota penerimaan dalam 5 tahun terakhir. Meski demikian, meski jumlah terus ditambah namun tanpa mempertimbangkan faktor lain maka tidak akan berhasil karena dapat muncul masalah distribusi, retensi, dan lain sebagainya. Isu transformasi sistem kesehatan ini merupakan isu kompleks yang memiliki karakteristik berkesinambungan dan melibatkan banyak stakeholders. Model AHS memiliki potensi besar untuk mendukung kecepatan dan keberlangsungan upaya transformasi SDM Kesehatan dengan meningkatkan jumlah nakes, mengupayakan pemerataan tenaga kesehatan, meningkatkan mutu tenaga kesehatan, sekaligus mewujudkan transformasi SDM kesehatan yang bernilai tambah melalui efisiensi, kolaborasi yang berkelanjutan, dan kemandirian pemerintah daerah dalam menentukan prioritas tenaga kesehatan yang diperlukan.

Dalam rangka penerjemahan AHS untuk pemenuhan dokter spesiali terdapat beberapa strategi yang digunakan yaitu strategi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Dalam jangka pendek diharapkan ada peningkatan kuota mahasiswa dokter spesialis, dalam jangka menengah diharapkan ada peningkatan jumlah dosen dan RS pendidikan, sementara dalam jangka panjang diharapkan ada peningkatan jumlah prodi/FK baru. Untuk memonitor ini, Kementerian Kesehatan membagi AHS dalam 6 wilayah yang harapannya akan mewujudkan AHS di masing-masing provinsi sehingga tujuan akhirnya adalah seluruh pemerintah daerah tingkat provinsi dapat mandiri dalam merencanakan kebutuhan, mendidik, mendistribusikan, dan meretensi SDM Kesehatan. Berdasarkan hasil monev, program AHS sudah menunjukkan kebermanfaatannya dan diharapkan lebih ditingkatkan lagi dengan berbagai aturan turunan UU Kesehatan. Aktivitas yang ditawarkan AHS dalam pemenuhan dokter spesialis terdiri dari 3 stream, yaitu pemenuhan dokter umum dan dokter gigi di puskesmas, pemenuhan dokter spesialis di RS, dan penguatan RS Pendidikan. Secara umum, UU Kesehatan ini memberikan peluang untuk penguatan sistem kesehatan di wilayah yang tercantum pada pasal 173 ayat (1) poin f. Model AHS dapat menjawab pasal 12 UU Kesehatan bahwa pemerintah daerah dan pemerintah pusat bertanggung jawab terhadap perlindungan kepada pasien dan SDM Kesehatan serta dalam perencanaan. Meski demikian, terdapat beberapa isu yang perlu pendalaman oleh stakeholders AHS ke depan yaitu keberadaan RS, mekanisme pendidikan dokter spesialis di RS (termasuk uji kompetensi, pemberian sertifikat, dan gelar), hak dan kewajiban peserta didik. Terbitnya UU Kesehatan membuka peluang optimalisasi penyelenggaraan AHS.

materi   video

Sesi Diskusi

Dalam sesi diskusi, dibahas mengenai keterlibatan RS swasta terstandar RS pendidikan dan bisa menjadi tempat yang ideal untuk penempatan peserta program pendidikan dokter spesialis serta roadmap pemenuhan dan pemerataan dokter spesialis berbasis konsorsium dan AHS. Inisiasi dan maintenance program AHS juga menjadi topik menarik yang didiskusikan.

Sesi Penutup

Diskusi tentang perkembangan AHS dalam pemenuhan dokter spesialis dalam kerangka UU Nomor 17 Tahun 2023 diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan kesehatan. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan.

video

Reporter: dokter Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

 

 

 

 

 

Diskusi ke-14 UU Kesehatan Topik Potensi Pengembangan Intervensi Gizi Di Indonesia

Diskusi ke-14 UU Kesehatan

Potensi Pengembangan Intervensi Gizi Di Indonesia

Kamis, 31 Agustus 2023  |   Pukul: 13:00 - 14:30 WIB

REPORTASE

31ags 1

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang ke-14 yang membahas potensi pengembangan intervensi gizi di Indonesia dalam kerangka UU Kesehatan Omnibus Law.

Pengantar oleh Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes (Ketua PKMK FK-KMK UGM)

Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes mengantar webinar dengan menjelaskan bahwa salah satu isu di kesehatan primer adalah pelayanan gizi. Namun isu ini tidak sekedar terkait surviy dan intervensi melainkan juga bagaimana pemenuhan bahan pangan dan makanan yang berkualitas. Jika melihat dalam UU Nomor 17 tahun 2023 terdapat ketentuan yang sangat spesifik mengenai gizi dimana terdapat klausul yang menarik yang menyebutkan bahwa pemerintah daerah dan pemerintah pusat bersama masyarakat dapat memastikan bahwa bahan makanan itu ada dan berkualitas yang diperuntukan untuk semua masyarakat dari segala lapisan dan kelompok umur, termasuk kelompok rentan dan berkebutuhan khusus. Artinya, tanggungjawab ini sudah pasti akan dituntut dan dipastikan banyak pihak akan melihat bagaimana strategi untuk pemenuhan bahan pangan. Selain itu, pada kondisi tertentu seperti bencana atau keadaan darurat, pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga bertanggungjawab untuk pemenuhan gizi bagi masyarakat miskin. Pasal-pasal ini menunjukkan pemerintah sangat concern terhadap masalah gizi dan serius untuk membangun kesehatan melalui pelayanan gizi. Diharapkan kita dapat mendiskusikan bagaimana mengoperasionalkan amanat undang-undang ini supaya dapat mewujudkan kecukupan gizi yang berkualitas di masyarakat.

video

Narasumber Utama Dr. Susetyowati, DCN, M.Kes (Kepala Departemen Gizi & Kesehatan, FK-KMK UGM)

Gizi terdapat di Bab V Pasal 64-68. Pasal 64 memuat aturan terkait upaya pemenuhan gizi baik untuk peningkatan mutu gizi perseorangan maupun masyarakat dalam hal pola konsumsi, akses dan mutu pelayanan gizi, serta peningkatan sistem kewaspadaan dan peringatan dini terhadap kerawanan pangan dan gizi. Sebelum UU Kesehatan ini, ketentuan tentang pedoman gizi seimbang tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 41 Tahun 2014; sementara untuk sistem kewaspadaan terdapat dalam Peraturan Badan Pangan Nasional RI Nomor 16 Tahun 2022 tentang penyelenggaraan sistem peringatan dini kerawanan pangan dan gizi, PP Nomor 86 Tahun 2019 tentang keamanan pangan, Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 10 Tahun 2022 tentang tata cara penyusunan peta ketahanan dan kerentanan pangan, serta Permensos Nomor 22 Tahun 2019 tentang prosedur dan mekanisme penyaluran cadangan beras pemerintah untuk penanggulangan keadaan darurat bencana dan kerawanan pangan pasca bencana.

Pasal 65 lebih spesifik membahas upaya pemenuhan gizi yang dilakukan pada seluruh siklus kehidupan, dengan perhatian khusus pada ibu hamil dan menyusui, bayi dan balita, dan remaja perempuan. Ketentuan terkait hal ini sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2019 tentang kecukupan gizi yang dianjurkan untuk masyarakat Indonesia. Selanjutnya pada pasal 66 dimuat tentang upaya perbaikan gizi yang harus dilakukan melalui surveilans gizi, pendidikan gizi, tatalaksana gizi, serta suplementasi gizi. Aturan tentang pelaksanaan teknis surveilans gizi sebelumnya telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 14 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Teknis Surveilans Gizi; aturan tentang status gizi balita diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2020 tentang Standar Antropometri Anak.

Sementara terkait dengan keterpaduan dan akselerasi percepatan pemenuhan gizi pada pasal 67 UU Kesehatan, aturan tentang percepatan penurunan stunting sebelumnya telah termaktub dalam Peraturan Presiden Nomor 72 tahun 2021 yang memuat kerangka konseptual intervensi penurunan stunting terintegrasi. Peraturan lain terkait intervensi spesifik dalam rangka percepatan penurunan stunting juga termuat dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/4631/2021 Tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Pemberian Makanan Tambahan bagi Balita Gizi Kurang dan Ibu Hamil Kurang Energi Kronis, Permenkes Nomor 88 Tahun 2014 Tentang Standar Tablet Tambah Darah Bagi Wanita Usia Subur dan Ibu Hamil, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 29 Tahun 2019 tentang Penanggulangan Masalah Gizi Bagi Anak Akibat Penyakit, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2016 tentang Standar Produk Suplementasi Gizi. Prinsip pemberian makanan tambahan serta standar makanan tambahan lokal untuk balita dan ibu hamil telah dibahas secara detail dalam Juknis Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Berbahan Pangan Lokal dan Ibu Hamil. Saat ini telah ada rencana aksi implementasi tahun 2023 yang terdiri dari 10 kegiatan dengan sasaran yang telah sesuai dengan UU kesehatan terbaru.

video   materi

Sesi Diskusi

Dalam sesi diskusi, moderator memandu pembahasan terkait berbagai pertanyaan tentang upaya pemenuhan gizi melalui pendekatan siklus kehidupan mulai dari kehamilan, menyusui, usia anak, remaja, hingga kembali ke usia subur. Perhatian terhadap masalah obesitas yang seolah kurang mendapat sorotan dibanding masalah stunting juga dibahas dalam sesi diskusi ini. Peserta juga mengajukan berbagai pertanyaan terkait aturan keamanan pangan dan ketahanan pangan keluarga yang sangat menarik untuk dibahas.

video

Sesi Penutup

Diskusi tentang potensi pengembangan intervensi gizi di Indonesia dalam Kerangka UU Nomor 17 Tahun 2023 ini diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan kesehatan. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM