Diskusi ke-15 UU Kesehatan: Dampak Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan terhadap Pelayanan THT

Diskusi ke-15 UU Kesehatan

Dampak Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan terhadap Pelayanan THT

Jumat, 1 September 2023  |   Pukul: 13:00 - 15:00 WIB

REPORTASE

1sept

Webinar ini membahas dampak Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang kesehatan terhadap pelayanan THT. Webinar dipandu oleh dr. Mahatma Bawono, MSc, Sp.T.H.T.B.K.L (Ketua Komite Quality Control RSA UGM) selaku moderator.

Pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

Webinar diawali dengan pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. yang menyampaikan peluang dan persiapan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang kesehatan terhadap pelayanan THT. Dalam UU ini, aturan mengenai kesehatan penglihatan dan pendengaran menjadi satu pada Bab V tentang upaya kesehatan bagian kesepuluh pasal 71-73. Meski demikian, pasal yang mengatur tentang upaya kesehatan pendengaran juga terkait dengan bagian lain yang mengatur tentang sistem informasi, SDM, pendanaan, dan obat serta dimana letak kolegium dan konsil. Ketika berbicara mengenai teori reformasi, transformasi kesehatan merupakan reformasi kesehatan sejati yang mengatur banyak tombol sistem kesehatan untuk mencapai tujuan pada populasi target. Dengan demikian, akan ada peluang untuk mereformasi sistem pelayanan kesehatan pendengaran dengan menggunakan prinsip transformasi kesehatan dengan landasan hukum UU Nomor 17 Tahun 2023. Untuk memanfaatkan peluang ini, diharapkan ada tim tangguh yang berjalan jangka panjang untuk menganalisis UU Kesehatan ini dan memberikan masukan ke pemerintah, termasuk untuk memonitor dan mengevaluasi kebijakan ini.

video

Moderator dr. Mahatma Bawono, MSc, Sp.T.H.T.B.K.L

dr. Mahatma Bawono, MSc, Sp.T.H.T.B.K.L (Ketua Komite Quality Control RSA UGM) selaku moderator menyampaikan bahwa setiap ada regulasi baru maka pasti ada implikasi yang mengikuti. Melalui diskusi ini diharapkan muncul berbagai sudut pandang terkait dengan muatan UU Kesehatan ini terkait dengan pelayanan THT.

Narasumber Utama dr. Agus Surono, MSc, PhD, Sp.T.H.T.B.K.L, Subsp.B.E.(K)

Sesi pembahasan disampaikan oleh dr. Agus Surono, MSc, PhD, Sp.T.H.T.B.K.L, Subsp.B.E.(K) yang mengawali pemaparan dengan menunjukkan berbagai beban penyakit bidang THT mulai dari gangguan pendengaran, ketulian, serumen, OMSK, tuli kongenital, GPAB, presbikusis, hingga ototoksik. Indonesia juga masih menghadapi masalah akses dan mutu pelayanan THT baik terkait dengan ketersediaan, distribusi, dan kompetensi SDM, maupun terkait dengan fasilitas kesehatan di bidang THT yang belum memadai. Selain itu masih ada beberapa tindakan medis yang belum dapat dilakukan di daerah yang disebabkan masih kurangnya SDM, fasilitas dan infrastruktur.
Sebelum UU Kesehatan ini, aturan tentang penanggulangan gangguan pendengaran diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 2020 tentang penanggulangan gangguan penglihatan dan pendengaran. Dalam Permenkes ini pada bab 4 pasal 8 diatur tentang penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran yang diselenggarakan secara terpadu, komprehensif, efektif, efisien, dan berkelanjutan. Sementara dalam UU Kesehatan, ketentuan tentang penglihatan dan pendengaran terdapat di pasal 71-73. Meski demikian, terdapat pasal-pasal lain terkait upaya pendengaran antara lain dalam hal pendanaan kesehatan, SDM kesehatan (kolegium, konsil, task shifting, sister hospital), serta dalam hal pengembangan teknologi. Tantangan terkait UU Kesehatan ini antara lain bagaimana menyusun PP sebagai aturan turunan dan bagaimana kerjasama dengan kelompok pelayanan di bidang THT.

video   materi

Pembahas dr. Ashadi Prasetyo, M.Sc., Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.N.O.(K) dan dr. M. Arif Purnanta, M.Kes., Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.N.O.(K)

dr. Ashadi Prasetyo, M.Sc., Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.N.O.(K) memberikan tanggapan dengan menggarisbawahi bahwa untuk mencapai tujuan meningkatkan derajat kesehatan dan menurunkan angka disabilitas, harus dipetakan terlebih dahulu berbagai permasalahan kesehatan pendengaran. Prioritas masalah kesehatan pendengaran adalah tuli kongenital dan infeksi kronik. Dengan demikian, perlu ada universal hearing screening yang melibatkan peran multidisiplin, tentunya dengan pendanaan yang mendukung. Kolaborasi yang intens juga dibutuhkan untuk mengatasi tidak meratanya fasilitas dan jumlah dokter THT. dr. M. Arif Purnanta, M.Kes., Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.N.O.(K) menambahkan tanggapan dengan memotret fenomena dari tempat kerja, bahwa masalah alat diagnostik masih jauh tertinggal dan masih menggunakan targeted hearing screening. Apabila screening dapat dilakukan sedini mungkin maka beban biaya untuk permasalahan gangguan pendengaran dapat berkurang.

video

Sesi Diskusi

Dalam sesi diskusi banyak dibahas mengenai universal hearing screening dengan melibatkan rumah sakit maupun PPK 1. Metode task shifting pada bidan juga dapat dipertimbangkan karena banyak proses kelahiran yang ditangani oleh bidan, sehingga universal screening dapat dilaksanakan sedini mungkin. Diskusi tentang dampak UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang kesehatan terhadap pelayanan THT diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan UU kesehatan. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan.

video

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

 

 

 

 

Turunan Undang-undang dalam Urusan Bencana Kesehatan dalam UU Kesehatan No.17 Tahun 2023

Diskusi Lanjutan Urusan Bencana Kesehatan dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan

Turunan Undang-undang dalam Urusan Bencana Kesehatan

Kamis, 7 September 2023  |   Pukul: 08:00 - 09:00 WIB

7sep9

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM Kembali menyelenggarakan Diskusi Lanjutan Urusan Bencana Kesehatan dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. Diskusi tersebut masih merupakan rangkaian dalam Webinar Series Pembahasan UU Kesehatan, kali ini dengan topik diskusi terkait Turunan Undang-Undang dalam Urusan Bencana Kesehatan.

Pemantik diskusi kali ini ialah dr. Alif Indiralarasati, dipandu oleh moderator Madelina Ariani, SKM., MPH, dan dibahas sejumlah narasumber diantaranya. dr. Hendro Wartatmo, Sp.B-KBD, dr. Bella Donna, M.Kes, Sutono, S.Kep., M.Kep., M.Sc, Apt. Gde Yulian Yogadhita, M.Epid, Lalu Madahan, SKM, MPH (Dinas Kesehatan NTB), dan Kudiyana, S.KM., M.Sc (Dinas Kesehatan DIY).

Diskusi berjalan cukup lancar, dalam panelnya para pembahas cukup banyak menyoroti tentang Hospital Disaster Plan (HDP) dan standarisasi layanan ambulans dalam aturan turunan nanti. Namun, selain dua hal di atas, aspek lainnya juga diidentifikasi seperti logistik dan pendanaan. Secara lebih lanjut diskusi juga mencermati terkait sinkronisasi lebih lanjut dengan aturan yang bersisihan dengan bencana lainnya, misalnya Permenhan Nomor 39 Tahun 2014 yang membahas HDP. Turunan UU selazimnya dapat lebih memperhatikan terkati kehati-hatian standarisasi nomina dalam urusan teknis.

Diakhir acara disimpulkan bahwa diskusi ke depan terkait UU Kesehatan perlu untuk membahas satu-satu per isu yang disebutkan, dan perlu membahas mapping stakeholder untuk Peraturan Pemerintah.

Reporter: Maryami Yuliana Kosim, S.Kep., Ns., M.Kep., Ph.D (FK-KMK UGM)

  Materi dan Video Kegiatan

Moderator : Madelina Ariani, SKM., MPH.


Pemantik Diskusi: dr. Alif Indiralarasati

video   materi


Pembahas:

dr. Hendro Wartatmo, Sp.B-KBD

video


Lalu Madahan, S.KM., MPH.  Dinas Kesehatan NTB

video


 dr. Bella Donna, M.Kes

video


Kudiyana, S.KM., M.Sc  Dinas Kesehatan DIY

video


Apt. Gde Yulian Yogadhita, M.Epid

video


Sutono, S.Kep., M.Kep., M.Sc

video


 

 

 

Pengaruh Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 terhadap Persoalan One Health

Webinar Series UU Kesehatan

Pengaruh Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 terhadap Persoalan One Health

Kamis, 7 September 2023  |   Pukul: 09:00 - 11:00 WIB

REPORTASE

7sept

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang membahas pengaruh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 terhadap persoalan One Health.

Pengantar oleh Prof. Laksono Trisnantoro, MSc. Ph.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc. Ph.D mengantar webinar dengan pemaparan mengenai era baru sistem kesehatan dengan adanya UU Kesehatan khususnya terhadap persoalan One Health. One Health di Indonesia masih belum operasional dengan baik di lapangan dimana para pelaku lintas sektor dan lintas level pemerintah belum teridentifikasi dengan baik dan peran sektor swasta belum terkelola. Persoalan One Health sangat terkait dengan penyakit menular yang diatur dalam pasal 91 dan pasal 92 UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Meski demikian, pasal-pasal lain yang terkait dengan penyakit menular sangat banyak dibahas dalam UU ini, yaitu dalam hal peran pemerintah pusat, daerah dan swasta; pemerataan pelayanan; perbekalan; teknologi kesehatan; pendanaan kesehatan; dan sebagainya. Keterkaitan antar pasal dalam UU Kesehatan menunjukkan bahwa ini merupakan sebuah reformasi kesehatan yang membuka peluang untuk mereformasi gerakan One Health dengan prinsip Transformasi Kesehatan yang mempunyai landasan hukum UU Kesehatan. Diharapkan kelompok-kelompok masyarakat di One Health menyiapkan tim tangguh untuk menganalisis UU Kesehatan ini dan memberikan masukan ke pemerintah. Kelompok ini akan berjalan jangka panjang termasuk meneliti pelaksanaan UU Kesehatan ini dan tim ini dapat menjadi sebuah masyarakat praktisi untuk melaksanakan UU Nomor 17 Tahun 2023 dalam One Health serta melakukan penelitian-penelitian terkait pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023 di One Health.

Narasumber utama: Gunawan Wahab (Co-Founder dan Executive Director dari One Health Foundation)

Memasuki sesi pembahasan, Gunawan Wahab menyampaikan materi mengenai pengaruh UU Nomor 17 Tahun 2023 terhadap One Health dari arah ekosistem One Health dan permasalahannya. One Health merupakan pendekatan kolaboratif multisektoral untuk menyusun dan mengimplementasikan program, kebijakan yang bertujuan untuk mencapai kesehatan masyarakat yang optimal dengan mengenali interkonektivitas antara manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan bersama. Sains dan pandemi COVID-19 telah membuktikan bahwa kesehatan lingkungan (termasuk satwa) dan kesehatan manusia sangat berhubungan erat. Contoh masalah yang sedang berlangsung di indonesia yaitu adanya kasus rabies yang terus menerus menjadi ancaman bagi masyarakat indonesia termasuk anak-anak.

Dalam konsep One Health, stakeholders yang berperan ialah lintas sektor. Stakeholders yang berperan dari pemerintahan yaitu kementerian koordinator bidang pembangunan manusia dan kebudayaan; kementerian kesehatan; kementerian pertanian; kementerian lingkungan hidup; pusat pelayanan daerah, BUMN di sektor kesehatan dan pertanian. Sedangkan di bagian swasta yaitu dari IDI; PDHI; veteriner, puskesmas dan puskeswan; perusahaan swasta; perusahaan manufaktur vaksin; perusahaan manufaktur produk makanan hewan; startup kesehatan digital; organisasi non pemerintah (NGO), Lembaga penelitian; shelter. Pemetaan ini menunjukkan One Health merupakan kegiatan multi sektor yang rumit, lintas kementerian dan badan, melibatkan pendanaan pemerintah dan swasta, membutuhkan ilmu multidisiplin, namun belum memiliki ekosistem yang jelas.

Kondisi One Health yang ideal sesuai definisi belum tercapai, bagaimana kemungkinan pengaruh UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023? Terhadap pasal 30, pasal 31 ayat (4) dan (5) serta pasal 89, pemerintah perlu memperkuat kebijakan tentang hewan, seperti kewajiban vaksin, larangan perdagangan dan konsumsi hewan liar dan kewajiban pelaporan kesehatan sebagai tindakan preventif atau pencegahan penyakit menular dari hewan ke manusia (zoonosis) yang termasuk dalam pelayanan kesehatan primer yang merupakan tanggungjawab pemerintah pusat, pemda dan pemerintah desa. Rekomendasi terkait pasal 19 ayat (2) dan (3) dan pasal 24 yaitu menetapkan standarisasi industri hewan terutama veteriner, makanan dan shelter. Penguatan standarisasi terhadap proses beserta alur pelaporan penyakit menular yang ditemukan pada hewan maupun manusia oleh veteriner, dokter manusia maupun tenaga medis kepada pemerintah juga perlu diperhatikan. Selain itu, masih banyak pasal lain yang dapat dipakai untuk memperkuat One Health seperti pasal yang mengatur pemanfaatan teknologi di pasal 25, program edukasi masyarakat pada pasal 14, pasal tentang penelitian, dan lain sebagainya.

Sesi Diskusi

Dalam sesi diskusi, Prof. drh. Wiku Bakti Bawono Adisasmito, M.Sc., Ph.D. menekankan pentingnya inklusivitas, penta helix, collaborative leadership dan governance dalam menilik persoalan one health yang saat ini menjadi isu global dengan perhatian internasional yang besar. One Health melibatkan banyak sektor baik di tatanan nasional maupun global sehingga diperlukan mapping untuk mengidentifikasi kesenjangan yang ada terkait dengan UU Kesehatan ini. Upaya di sektor masing-masing untuk menguatkan One Health telah ada namun belum terlihat secara terpadu. Semangat penguatan One Health yang tercantum dalam UU bisa dihadirkan di peraturan turunan untuk menindaklanjuti One Health dan melibatkan multi sektor terkait One Health.

Diskusi tentang pengaruh UU Nomor 17 Tahun 2023 terhadap persoalan One Health ini diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan kesehatan. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net  di laman UU Kesehatan.

Materi dan video

Moderator: Madelina Ariani, SKM., MPH


Pengantar: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

video   materi


Narasumber: Gunawan Wahab (Co-Founder dan Executive Director dari One Health Foundation)

video   materi


Pembahas: 

Prof. drh. Wiku Bakti Bawono Adisasmito, M.Sc., Ph.D

video


Agustina Wijayanti

video


 

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

 

 

 

 

 

Perbekalan Kesehatan, khususnya Alat Kesehatan

Webinar Series UU No.17 Th 2023 tentang Kesehatan

Perbekalan Kesehatan, khususnya Alat Kesehatan

Jumat, 8 September 2023  |   Pukul: 09:30 - 11:00 WIB

REPORTASE

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang berfokus pada pembahasan topik perbekalan kesehatan, khususnya alat kesehatan. Webinar dipandu oleh dr. Dian K. Nurputra, Ph.D., M.Sc., Sp.A (Staff Dept. IKA FK-KMK UGM/ RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta) selaku moderator.

Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD membuka webinar dengan pengantar tentang era baru sistem kesehatan sejak disahkannya UU Kesehatan dan keterkaitannya dengan alat kesehatan. Saat ini Indonesia masih menghadapi masalah klasik akibat dominansi produksi impor, kurangnya riset dalam negeri, dan belum adanya pemahaman mengenai penggunaan alkes untuk upaya preventif. Ketentuan terkait alat kesehatan dalam UU Kesehatan tercantum dalam BAB IX pasal 332 dan 333 mengenai ketahanan kefarmasian dan alat kesehatan. Pasal ini melandasi pilar ketahanan industri farmasi dan alkes serta pertama kalinya ketahanan industri obat dan alkes masuk ke dalam undang undang. Selain dua pasal tersebut, terdapat pasal-pasal lain yang juga memiliki keterkaitan dengan alat kesehatan sehingga antar pilar dalam transformasi kesehatan juga saling terkait. Dengan demikian, UU Kesehatan merupakan sebuah reformasi kesehatan yang sejati yang memberikan peluang untuk reformasi industri alkes menggunakan prinsip transformasi kesehatan. Kelompok masyarakat di industri alkes perlu menyiapkan tim tangguh untuk menganalisis UU, memberikan masukan ke pemerintah dalam menyusun peraturan turunan, hingga melakukan penelitian terkait pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023. Kelompok ini akan menjadi sebuah masyarakat praktisi untuk melaksanakan UU Nomor 17 Tahun 2023 dalam industri alkes.

video   materi

Sesi Pemaparan

Paparan disampaikan oleh apt. Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D (Dosen Pengajar Regulasi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Pancasila) yang menyebutkan berbagai isu terkait alkes saat ini, mulai dari akses ketersediaan alkes yang belum merata, mutu yang belum optimal, hingga ketahanan industri yang masih didominasi oleh produk impor dimana kapasitas industri dan kemampuan teknologi Indonesia masih rendah menengah. Dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang kesehatan pasal 138 mengenai pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi, alkes dan PKRT dimuat pada ayat (1) (2) dan (3) mengenai produk yang tidak memenuhi standar serta ayat (4) mengenai pengadaan, produksi, dan penyimpanan.

Pasal 140 mengatur sediaan farmasi alkes dan PKRT untuk melindungi masyarakat dari bahaya namun tidak jelas bagaimana cara mengukurnya. Pasal 141 ayat (2) mengatur bahwa penggunaan alat harus dilakukan secara tepat guna. Pasal 142 mengatur standar dan persyaratan, sementara pasal 143 mengenai pemenuhan perizinan berusaha dari pemerintah pusat atau daerah berdasarkan standar dan peraturan ketentuan perundang-undangan. Dalam BAB VII, pasal 314 menyebutkan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang bertanggungjawab terhadap ketersediaan dan pemerataan perbekalan kesehatan.

Sementara terkait dengan ketentuan pidana terhadap setiap orang yang memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi atau alkes yang tidak memenuhi standar terdapat pada bab XVIII pasal 345. Menilik seluruh pasal-pasal tersebut, isu akses terhadap alkes sudah tercantum dalam UU namun belum secara spesifik diatur mengenai prinsip perencanaan kebutuhan alkes, prioritas atau kriteria esensial untuk sektor publik dan pengendalian harga. Sedangkan terkait isu mutu, belum terdapat kejelasan kepastian hukum terkait regulatori alkes. Sistem jaminan mutu melalui fungsi regulatori perlu ditegakkan.

video   materi

Sesi Pembahasan

Dalam sesi pembahasan, Erwin Hermanto (Ketua I Asosiasi Produsen Alat Kesehatan) menyampaikan bahwa sudah ada penekanan yang cukup dalam riset penelitian dan keterlibatan teknologi dengan semangat utama dalam hal keamanan, khasiat, dan mutu. Harapannya, akan diformulasikan bersama peta jalan pengembangan industri alkes yang menjelaskan mekanisme pengaturan tahapan pengembangan nasional ke kebutuhan alkes beserta standar minimal untuk melakukan pelayanan dengan baik. Selain itu, perlu aturan turunan tentang tata cara intervensi helix untuk memenuhi kebutuhan riset, perumusan TKDN, serta investasi alat kesehatan dalam negeri maupun luar negeri.

video

Dr. Randy H. Teguh, MM (Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Kefarmasian KADIN) menambahkan tanggapan terkait pentingnya koordinasi dan kolaborasi publikasi serta bagaimana mengumpulkan sumber daya peneliti untuk alkes. Di samping itu, aturan turunan nantinya perlu mempertegas peran dan tanggungjawab pemerintah pusat khususnya menunjuk leading sector yang jelas. Perhatian terhadap alkes perlu diperkuat sebab UU ini lebih banyak menyebutkan kefarmasian.

video

Webinar dilanjutkan dengan diskusi yang membahas berbagai isu terkait pengelolaan alat kesehatan mulai dari global benchmarking, investasi dalam dan luar negeri, distribusi, pengendalian harga, hingga masalah maintenance alat kesehatan. Undang-Undang ini menjadi landasan hukum untuk membentuk kembali sistem dan proses di industri alkes sehingga terjadi perbaikan pada setiap tahap pengelolaannya.

Diskusi mengenai era baru perbekalan dan alat kesehatan terkait UU Kesehatan diharapkan tidak berhenti pada webinar ini. PKMK berupaya mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan sebagai wadah untuk diskusi serta menyelenggarakan rangkaian webinar untuk memantik diskusi berkelanjutan dan menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

 

 

 

 

Pengembangan Perawatan Palliative berlandaskan UU kesehatan 2023 : Rancangan Pendidikan, Pelayanan dan Penelitian

Webinar Series UU No.17 Th 2023 tentang Kesehatan

Pengembangan Perawatan Palliative berlandaskan UU kesehatan 2023 : Rancangan Pendidikan, Pelayanan dan Penelitian

Selasa, 12 September 2023  |   Pukul: 19:00 - 20:00 WIB

REPORTASE

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang ke-19 yang membahas potensi pengembangan perawatan paliatif dalam hal rancangan pendidikan, pelayanan, dan penelitian berlandaskan UU Kesehatan Omnibus Law. Webinar ini dipandu oleh Dr. dr. Darwito, SH, Sp.B(K)Onk sebagai moderator.

Pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

12septr 2Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D mengantar webinar dengan sejarah paliatif di Indonesia sejak 1992 hingga saat ini memasuki era UU Kesehatan. Terdapat berbagai pengembangan pelayanan paliatif mulai 1992 hingga 2022 di Indonesia, namun dalam tatanan regulasi, perawatan paliatif belum diatur dalam level Undang-Undang melainkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan saat ini telah mengatur sistem pelayanan kesehatan secara reformis, salah satunya adalah tentang paliatif sebagai bentuk pelayanan kesehatan: promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan paliatif. Namun bagaimana paliatif dikembangkan dalam pelayanan di lapangan termasuk pendanaannya? Bagaimana pendidikan untuk tenaga yang memberikan pelayanan paliatif, apakah dokter, perawat, atau social worker? Bagaimana penelitian-penelitian terkait pelayanan paliatif? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu didiskusikan sehingga pelayanan paliatif di masa mendatang akan semakin mantap dengan adanya UU Kesehatan.

Pembahasan oleh Dr. dr. Maria A. Witjaksono, MPALLC

12septr 2Paparan yang disampaikan oleh Dr. dr. Maria A. Witjaksono, MPALLC mengangkat topik rancangan pendidikan, pelayanan dan penelitian untuk pengembangan perawatan paliatif di Indonesia berlandaskan UU Kesehatan 2023. Indonesia sebagai anggota WHO merekomendasikan bahwa perawatan paliatif adalah bagian integral dalam tatalaksana penyakit yang dapat mengancam jiwa. Di Indonesia, kebutuhan perawatan paliatif sangat mendesak untuk mencapai hasil pengobatan yang efektif dan efisien, namun masih harus menghadapi berbagai kendala perawatan paliatif yang muncul dari dunia pendidikan, profesional, kebijakan pemerintah, dan masyarakat.

Dalam UU Nomor 17 Tahun 2023, paliatif termuat dalam pasal 1 ayat (2) bahwa upaya kesehatan adalah segala bentuk kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk promotif, preventif, kuratif, dan/atau paliatif oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan/atau masyarakat. Dalam pasal 18 ayat (1) yang dimaksud dengan “upaya kesehatan perorangan yang bersifat paliatif” adalah upaya kesehatan yang ditunjukkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarganya yang menghadapi masalah berkaitan dengan penyakit yang mengancam jiwa. Berdasarkan UU ini, masyarakat diberikan wewenang untuk turut ambil peran dalam mengembangkan perawatan paliatif. Paliatif tidak hanya menjadi domain pemerintah pusat saja, melainkan juga pemerintah daerah dapat diberikan tanggung jawab. Interdisciplinary approach, koordinasi, SDM, dan kunjungan keluarga kini telah diatur dalam undang-undang.

12septr 2Muatan dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 sangat mendukung pengembangan perawatan paliatif. Lahirnya UU ini menjadikan insan paliatif memiliki beban yang tidak ringan sehingga perlu memberikan masukan kepada pemerintah untuk peraturan turunan yang dapat diimplementasikan. Diperlukan peran aktif pratisi paliatif dan seluruh stakeholder dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program pendidikan, pelayanan dan penelitian. Diharapkan dalam turunan UU Nomor 17 Tahun 2023 terdapat ketentuan yang mengatur pelayanan paliatif yaitu terkait definisi, model, dan perawatan di level pelayanan kesehatan, SDM, akses perawatan paliatif, obat, support system, organisasi perawatan dengan referral system, dokumentasi, assessment tools dan guidelines, quality dan safety issue, sistem pelaporan, research policy, standard, akreditasi, dan resources.

Sesi Diskusi

Dalam sesi diskusi, moderator memandu pembahasan terkait pendidikan paliatif untuk SDM Kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat primer, RS sekunder maupun tersier. Selain itu, perawatan paliatif juga berkaitan dengan pasal-pasal lain dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan seperti pendanaan kesehatan dari pemerintah pusat, daerah, atau BPJS sehingga diperlukan ahli pendanaan untuk menerjemahkan kebijakan pendanaan untuk menopang pelayanan paliatif di Indonesia.

Diskusi tentang potensi pengembangan perawatan paliatif dalam hal rancangan pendidikan, pelayanan, dan penelitian berlandaskan UU Kesehatan ini diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan kesehatan. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net  di laman UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

 

NARASUMBER

Moderator: Dr. dr. Darwito, SH,Sp.B(K)Onk


Pengantar: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Pd.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

video   materi


Narasumber: Dr. dr. Maria A. Witjaksono, MPALLC

video   materi


Pembahas: dr. Agus Ali Fauzi, PGD Pall.Med (ECU)

video


Penutupan Diskusi

video


 

 

 

 

Era Baru Sistem Kesehatan: Kasus Pelayanan Penyakit Tidak Menular (Jantung) pada Kerangka Undang-Undang No. 17 Tahun 2023

Webinar Series UU No.17 Th 2023 tentang Kesehatan

Era Baru Sistem Kesehatan: Kasus Pelayanan Penyakit Tidak Menular (Jantung) pada Kerangka Undang-Undang No. 17 Tahun 2023

Kamis, 14 September 2023  |   Pukul: 10:30 - 12:00 WIB

14sept9

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang ke-20 membahas pelayanan penyakit jantung sebagai salah satu penyakit tidak menular dalam era baru UU Kesehatan. Webinar dipandu oleh Ardhina Nugraheni, MPH sebagai moderator.

Pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D dalam pengantarnya menjelaskan tentang bagaimana kaitan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dengan pelayanan kesehatan jantung. Saat ini, masalah yang dihadapi pelayanan jantung antara lain persebaran fasilitas kesehatan jantung dan dokter ahli jantung yang masih kurang merata serta kenaikan klaim di Jawa dan kota-kota besar yang meningkat tajam. Dengan adanya UU Kesehatan yang baru, apakah pasal-pasal terkait mampu mendorong reformasi di pelayanan jantung? Pasal-pasal pelayanan jantung secara implisit termuat di bab V tentang Upaya Kesehatan: Bagian ke-12 yaitu penanggulangan penyakit menular dan tidak menular; dan berkaitan dengan pilar transformasi pelayanan dari primer sampai tersier. Hal ini berhubungan dengan aspek pembiayaan, SDM, teknologi kesehatan, dan lain-lain. Sehingga, perlu untuk melihat berbagai pasal lainnya dan aturan turunannya.

Dengan UU Kesehatan ini, akan ada era baru pelayanan jantung. Akan ada peluang untuk mereformasi sistem pelayanan kesehatan jantung dengan menggunakan prinsip transformasi kesehatan dengan landasan hukum UU Nomor 17 Tahun 2023. Diharapkan kelompok-kelompok masyarakat terkait misalnya organisasi profesi perhimpunan dokter spesialis Kardiovaskuler Indonesia atau LSM terkait yang bersama sama menyiapkan tim tangguh untuk menganalisis UU Kesehatan ini dan memberikan masukan ke pemerintah. Tim akan bekerja bertahun-tahun ke depan termasuk melakukan penelitian terkait pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023 di Upaya Kesehatan dalam Pelayanan Jantung dan dapat menjadi masyarakat praktisi bersinergi untuk tujuan yang sama.

Pembahasan oleh dr. Radityo Prakoso, Sp.JP(K) (PERKI Nasional)
dan dr. Real Kusumanjaya Marsam, SpJP (K) (PERKI Cabang D.I. Yogyakarta)

Pembahas pertama, dr. Radityo Prakoso, Sp.JP(K), menyampaikan bahwa masalah penyakit jantung masih menempati posisi tertinggi di Indonesia. Masalah maldistribusi dokter spesialis jantung di Indonesia masih terus terjadi. Solusi untuk masalah ini dari sisi pendidikan salah satunya adalah melalui penunjukan beberapa RS pusat pengampu pendidikan oleh Kementerian Kesehatan, bersama dengan kolegium jantung, yang berupaya meningkatkan kapasitas dan meng-upgrade pendidikan dokter spesialis yang saat ini ada 13 centers. Setiap pihak memiliki peran penting di setiap tahapan, dimana kolegium berperan sebagai pengontrol dalam proses pendidikan ini. Terdapat beasiswa untuk pendidikan dokter spesialis jantung ini, antara lain beasiswa dari Kementerian Kesehatan, daerah, dan LPDP yang sudah berjalan. Di sisi lain, primary prevention sudah dipelopori oleh UGM dan terus dikembangkan agar dapat diimplementasikan di seluruh Indonesia.

dr. Real Kusumanjaya Marsam, SpJP (K) sebagai pembahas kedua juga mengangkat masalah persebaran dokter spesialis jantung yang kurang merata, dimana saat ini terdapat 66 dokter spesialis jantung di DIY dengan jumlah penduduk diperkirakan 4 juta pada tahun 2023. Dampaknya, pasien penyakit jantung akan menumpuk dan pelayanan pasien dapat tertunda khususnya pada pasien BPJS. UU Kesehatan menawarkan solusi yang termuat dalam bagian keenam tentang registrasi dan perijinan, khususnya pada paragraph kedua tentang perijinan pada pasal 263-267, dimana SIP diterbitkan oleh pemda yang berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk menetapkan kuota tenaga medis dan tenaga kesehatan tanpa ada ketentuan batasan jumlah tempat praktik. Selain itu, pada kondisi tertentu menteri dapat menerbitkan SIP dan pada kondisi tertentu bisa tanpa SIP. Pasal 267 UU Kesehatan memuat mekanisme surat tugas yang dikeluarkan oleh Menteri untuk kepentingan pemenuhan pelayanan kesehatan. Seluruh ketentuan dalam pasal 263-267 memerlukan aturan turunan yang lebih detail dalam peraturan pemerintah.

UU Kesehatan ini membuka peluang reformasi kesehatan yang dapat dimanfaatkan dengan berpartisipasi aktif dalam mengawal PP serta menjemput bola untuk audiensi ke stakeholder, pemerintah pusat atau pemda sebagai pengambil keputusan. Secara konkrit, direkomendasikan bagi dinas untuk berkoordinasi dengan IDI dan PERKI dalam menetapkan kuota tenaga medis sampai dengan penerbitan SIP. Sementara untuk penanggulangan PTM, perlu perhatian dan dana khusus untuk program prevensi serta perlu mendorong pemerintah pusat dan pemda untuk bekerja bersama dengan OP untuk penanggulangan PTM mulai dari skrining, preventif, sampai dengan rehabilitatif.
Dalam sesi diskusi, gagasan untuk mentransformasi pelayanan jantung dibahas lebih mendalam. Pelayanan jantung selama ini lebih banyak berfokus di sisi kuratif di rumah sakit dengan alat dan pembiayaan yang besar. Diharapkan upaya preventif untuk pelayanan jantung juga memperoleh perhatian dan diperkuat dengan adanya UU Kesehatan ini.

Diskusi tentang pelayanan penyakit jantung sebagai salah satu penyakit tidak menular dalam era baru UU Kesehatan ini diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan kesehatan. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

 

  Materi dan Video Kegiatan

Moderator: Ardhina Nugraheni, MPH


Narasumber: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Pd.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

video   materi


Pembahas: dr. Radityo Prakoso, Sp.JP(K) (PERKI Nasional)

video


dr. Real Kusumanjaya Marsam, Sp.JP (K) (PERKI Cabang D.I. Yogyakarta)

video


Sesi Diskusi

video


 

 

 

Masa Depan Pelayanan Kesehatan Ibu dalam kerangka Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan

Webinar Series UU No.17 Th 2023 tentang Kesehatan

Masa Depan Pelayanan Kesehatan Ibu dalam kerangka Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan

Kamis, 14 September 2023  |   Pukul: 14:00 - 15:00 WIB

REPORTASE

14kia

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang ke-21 yang membahas masa depan pelayanan kesehatan ibu dalam kerangka UU Kesehatan. Webinar ini dipandu oleh Monita Destiwi, MA sebagai pemantik diskusi dan moderator.

Pengantar oleh Shita Listya Dewi

Dalam pengantarnya, Shita Listya Dewi menegaskan bahwa diskusi dalam webinar hari ini merupakan diskusi yang sangat penting. Diskusi tidak hanya membahas pasal 40 mengenai kesehatan ibu, melainkan juga pasal-pasal lain yang mendukung pelayanan kesehatan ibu, salah satu diantaranya adalah pasal yang terkait dengan sumber daya.

Pemantik diskusi oleh Monita Destiwi, MA

Sebelum memasuki sesi pembahasan, Monita Destiwi, MA menyampaikan paparan sebagai pemantik diskusi. Pelayanan kesehatan ibu di Indonesia masih menghadapi berbagai masalah, diantaranya tidak meratanya persebaran dokter spesialis, tingginya angka SC, kurangnya pelatihan atau peningkatan kompetensi tenaga kesehatan, serta tingginya AKI. Untuk mencapai target AKI, berbagai pihak harus ikut serta memastikan seluruh wanita memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan, menyediakan perawatan untuk melahirkan, serta akses perawatan darurat yang tepat waktu pada ibu hamil ketika akan melahirkan. Berbagai tantangan juga masih dihadapi dalam pelayanan kesehatan ibu yaitu perlunya peningkatan sarana dan prasarana fasilitas kesehatan untuk menunjang pelayanan kesehatan ibu, perlunya peningkatan kapasitas tenaga kesehatan, serta perlunya kebijakan pemerintah pusat yang mendukung hubungan antar berbagai profesi dan task shifting untuk pelayanan kesehatan ibu dan anak.
Dalam UU Nomor 17 Tahun 2023, pasal-pasal yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan ibu termuat dalam Bab V bagian keempat. Undang-Undang ini menekankan upaya kesehatan ibu yang dilakukan pada masa sebelum hamil, masa kehamilan, persalinan dan pasca persalinan. Upaya kesehatan ibu ditetapkan menjadi tanggungjawab dan kewajiban bersama bagi keluarga, masyarakat, pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Upaya peningkatan kualitas pelayanan dan tenaga kesehatan termuat dalam UU Kesehatan bab VII pasal 197-311 yang mengatur bagaimana SDM kesehatan dalam memberikan pelayanan kebidanan dan kandungan. Perlu perhatian khusus terhadap standar kompetensi untuk menjamin mutu SDM yang kompeten yang diatur dalam pasal 258 agar pelayanan kesehatan ibu dapat optimal. Sementara, masalah pemerataan tenaga kesehatan termuat dalam bab VII mengenai SDM pada pasal 204 yang mengatur bagaimana merencanakan tenaga medis dan tenaga kesehatan agar sesuai dengan kebutuhan daerah serta mendukung upaya pemerataan tenaga kesehatan. Ketentuan lebih lanjut terkait pasal-pasal ini perlu diatur dengan PP. Di samping itu, penting untuk dilakukan sinkronisasi dengan peraturan-peraturan yang masih berlaku, peraturan pelaksanaan, peningkatan kualitas pelayanan dan kompetensi tenaga kesehatan serta melakukan kajian bersama dengan konsil dan kolegium.

Pembahasan oleh dr. R. Detty Siti Nurdiati Z, MPH., Ph.D., Sp.OG (K), dr. Sandra Olivia Frans, MPH, dan dr. Jusi Febrianto, MPH

dr. R. Detty Siti Nurdiati Z, MPH., Ph.D., Sp.OG (K) menyampaikan pandangan mengenai upaya antisipasi berbagai masalah dan tantangan pelayanan kesehatan ibu. Kemenkes sudah mengantisipasi dengan mengadakan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas dokter di fasilitas kesehatan tingkat pertama mulai 2020. Baik PONED maupun PONEK harus dapat berfungsi dengan baik, sebab skrining dan tatalaksana awal memainkan peran penting yang tidak dapat dipisahkan dengan kualitas perawatan rujukan. Selain itu, perlu ada pengaturan dari pemerintah untuk mengatasi rasio dokter dan penduduk serta menyediakan sarana prasarana untuk pelayanan kesehatan ibu. Undang-Undang Kesehatan ini telah membuka jalan bagi penyelenggaraan program spesialis (hospital based), meski demikian, perlu perhatian lebih untuk mengatur kualitas dan menjamin pemenuhan spesialis di daerah.

dr. Jusi Febrianto, MPH menanggapi dengan menyampaikan pengalaman pelayanan kesehatan ibu di Kabupaten Purbalingga. Tingginya AKI disebabkan karena 3 terlambat (terlambat mendeteksi risiko tinggi, terlambat keputusan, terlambat penanganan), sementara di Kabupaten Purbalingga, 10 kematian ibu terjadi di RS yang disebabkan terlambatnya penanganan kedaruratan. Kondisi ini menuntut adanya evaluasi untuk perbaikan proses pelayanan kesehatan ibu, pembiayaan, serta sarana prasarana sehingga dapat menurunkan kematian maternal dan neonatal.

Pandangan tentang peluang peningkatan pelayanan kesehatan ibu melalui UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 disampaikan oleh dr. Sandra Olivia Frans, MPH. Secara keseluruhan, tantangan pelayanan kesehatan ibu di Indonesia berkaitan erat dengan setiap blok dalam sistem kesehatan. Terdapat peluang untuk peningkatan pelayanan kesehatan ibu dalam UU yaitu dalam sistem kesehatan, kualitas pelayanan dan outcome kesehatan. Pelayanan primer kini tidak berdasarkan program, melainkan klaster ibu dan anak. Sehingga, fokus layanan kesehatan primer adalah ibu dan anak, tidak hanya di level puskesmas melainkan hingga level posyandu. UU Kesehatan 2023 juga telah mengatur sistem rujukan untuk peningkatan mutu pelayanan kesehatan ibu.

Sesi Diskusi

Berbagai topik tentang masalah dalam pelayanan kesehatan ibu dibahas dalam sesi diskusi. Implementasi sistem rujukan untuk kasus KIA dalam kerangka UU Nomor 17 Tahun 2023 antara satu daerah dengan daerah lain sangat bervariasi. Gagasan task shifting dalam pelayanan kesehatan ibu juga menjadi perhatian karena terkait dengan masalah pemerataan dokter spesialis di daerah. Penempatan residen di daerah yang tidak memiliki dokter spesialis obsgin perlu dipertimbangkan. Selain itu, kemampuan pemerintah untuk menyediakan sarana prasarana di daerah untuk pelayanan kesehatan ibu juga sangat penting.

Diskusi tentang masa depan pelayanan kesehatan ibu dalam kerangka UU Kesehatan ini diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan untuk UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, khususnya terkait pelayanan kesehatan ibu. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Materi dan video

Pemantik Diskusi: Monita Destiwi, MPA

video   materi


Pembahas: dr. R. Detty Siti Nurdiati Z, MPH., Ph.D., Sp.OG (K)

video


dr. Jusi Febrianto, MPH

video


dr. Sandra Olivia Frans, MPH

video


 

 

 

 

Proses Sertifikasi dan Kredensial Dokter “Umum”

Webinar Series UU No.17 Th 2023 tentang Kesehatan

Proses Sertifikasi dan Kredensial Dokter “Umum”

Kamis, 14 September 2023  |   Pukul: 19:30 - 21:00 WIB

REPORTASE

14sept3

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang ke-22 yang membahas proses sertifikasi dan kredensial dokter “umum” pasca disahkannya UU Kesehatan. Webinar ini dipandu oleh dr. Marulam M. Panggabean SpPD-KKV,SpJP sebagai moderator.

Pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

Webinar dimulai dengan pengantar dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D yang menjelaskan bahwa terdapat ketentuan dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa kolegium menjadi organisasi penting yang bekerja sama untuk menguji kompetensi dokter secara nasional. Terkait kolegium, terdapat interpretasi pada pasal 272 ayat (1) pada kata “cabang ilmu” dan perannya untuk menyusun standar. Diskusi dalam webinar ini diharapkan dapat membantu merumuskan masukan mengenai kolegium, proses sertifikasi, dan kredensial dokter kepada pemerintah untuk penyusunan PP sebagai turunan dari UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

dr. Marulam M. Panggabean SpPD-KKV,SpJP memantik diskusi dengan 3 kata kunci yang perlu dibahas yaitu sertifikat kompetensi, STR, SIP yang menuai banyak keluhan. Bagaimana proses memperbaharui surat kompetensi untuk kemudian memperoleh STR? Jika di luar negeri dokter umum bisa menjadi internship dan langsung menjadi dokter layanan primer atau spesialis, bagaimana di Indonesia?

Pembahasan oleh dr. Beta Ahlam Gizela, DFM, Sp.FM Subsp. FK(K)

dr. Beta Ahlam Gizela, DFM, Sp.FM Subsp. FK(K) selaku narasumber utama menyampaikan presentasi tentang proses sertifikasi kedensial dokter "umum" pasca UU kesehatan. Saat ini di Indonesia mulai bermunculan banyak universitas yang menyelenggarakan pendidikan kedokteran, namun kualitas pendidikan menjadi sorotan yang perlu diperhatikan, sehingga perlu ada pihak yang memegang tanggungjawab pengawasan kualitas pendidikan. Dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, disebutkan bahwa mahasiswa yang sudah lulus uji kompetensi akan memperoleh sertifikat kompetensi dan sertifikasi. Kemudian setelah lulus internship, dokter dapat memilih apakah akan melanjutkan pendidikan ke PPDS 1, 2, atau fellow maupun jenjang karir lain.

Proses kredensial (pemberian hak istimewa untuk memberikan pelayanan kesehatan) sebelumnya dilakukan oleh KKI berupa pemberian sertifikat registrasi (Surat Tanda Registrasi/STR). Namun saat ini, dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan Pasal 260 disebutkan bahwa STR diterbitkan oleh konsil atas nama Menteri dan berlaku seumur hidup. Hal ini diikuti dengan fungsi pengawasan yang diatur dalam Pasal 261. Pengaturan, pembinaan, pengawasan, serta peningkatan mutu dan kompetensi tenaga medis dan tenaga kesehatan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai dengan pasal 12 UU Nomor 17 tahun 2023. Mekanisme kontrol ini perlu dijelaskan dalam peraturan turunan UU Nomor 17 Tahun 2023.

Sesi Diskusi

Dr. dr Judilherry Justam, MM, ME, PKK memberikan tanggapan dengan menyampaikan pembahasan mengenai riwayat kolegium untuk dokter umum dan “abuse of power” organisasi profesi yang berpotensi melanggar hukum dan perundang-undangan. Makna pengertian kolegium menurut UU Nomor 17 Tahun 2023 lebih bersifat umum yaitu kumpulan ahli untuk tenaga medis dan tenaga kesehatan sehingga diperlukan penjelasan yang lebih detail tentang kolegium untuk dokter umum dalam aturan turunan UU Nomor 17 Tahun 2023. dr. Erfen Gustiawan Suwangto, Sp.KKLP, SH, MH (Kes) menanggapi dengan menyampaikan bahwa UU Nomor 17 Tahun 2023 membawa perubahan besar dimana kolegium saat ini akan berada di bawah negara, bukan lagi di bawah organisasi. dr. Erfen juga menyampaikan bahwa meski STR berlaku seumur hidup, namun untuk ijin praktik berupa SIP masih memerlukan proses P2KB yang dirancang akan langsung di bawah Kementerian Kesehatan. Hal ini berpengaruh sangat besar untuk mengatasi “power abuse” organisasi profesi.

Dalam sesi diskusi dibahas tentang sertifikat kompetensi dokter umum, STR dokter umum, dan kompetensi tambahan dokter umum yang harus dipertimbangkan dengan meletakkan kepentingan publik. Ketentuan-ketentuan terkait hal-hal ini pelu diperjelas dalam aturan turunan UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 yang mana memerlukan peran aktif, tidak hanya Kementerian Kesehatan namun juga Dikti/Kemendikbudristek.

Diskusi tentang proses sertifikasi dan kredensial dokter “umum” pasca disahkannya UU Kesehatan ini diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan untuk UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, khususnya terkait proses sertifikasi dan kredensial dokter. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Materi dan Video

Moderator: dr. Marulam M. Panggabean, SpPD-KKV,SpJP


Pengantar Diskusi: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

Video


Pembicara: dr. Beta Ahlam Gizela, DFM, Sp.FM Subsp. FK(K)

video   materi


Pembahas: Dr. dr Judilherry Justam, MM, ME, PKK

video


Pembahas: dr. Erfen Gustiawan Suwangto, Sp.KKLP, SH, MH(Kes)

video


Sesi Diskusi dr. Marulam M. Panggabean, SpPD-KKV,SpJP

video