Nilai Minimal PBI BPJS Sebaiknya Rp 22.000-an

27mei-1dr. Ribka Tjiptaning, saat memberikan keterangan di Jakarta (27/5/2013)Jakarta, PKMK. Nilai premi penerima bantuan iuran (PBI) untuk warga miskin peserta Badan Pengelola Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) sebaiknya minimal Rp 22.000-an per orang per bulan. Nilai itu merupakan titik minimal dan sudah mempertimbangkan kondisi fiskal Pemerintah Indonesia. "Jika kemudian Kementerian Keuangan menurunkan ke Rp 15.000-an per orang per bulan, kok rasanya sangat lucu," dr. Ribka Tjiptaning, kata Ketua Komisi IX DPR RI, di Jakarta (27/5/2013). Ribka sebagai seorang dokter, dirinya menilai bahwa nilai ideal PBI di Rp 50.000-an per orang per bulan. Tapi itu sulit terwujud mengingat kondisi fiskal Pemerintah Indonesia. Maka, titik tengah harus diambil yaitu sekitar Rp 27.000-an per orang per bulan. "Paling kecil ya Rp 22.000-an yang diusulkan Kementerian Kesehatan," ucap dia.

Apa sikap yang diambil Komisi IX DPR RI mengingat Kementerian Keuangan sampai kini belum menetapkan nilai final PBI? Jawab Ribka, jika harus terus mengikuti keputusan Kementerian Keuangan, memang sulit. Maka, keputusan itu harus diambil cepat. Dalam hal ini, sebaiknya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) harus mengambil langkah tertentu. Salah satunya memanggil menteri-menterinya untuk penetapan nilai PBI itu segera. "Kan mudah saja bagi Presiden SBY untuk pemanggilan itu," kata politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu. Dengan adanya kenaikan harga BBM, kompensasi kepada rakyat harus diberikan, satu diantaranya ialah BPJS Kesehatan mulai awal tahun 2014. "Harus terlaksana, kita perlu menegaskan bahwa itu amanat undang-undang," ucap Ribka.

Kemudian, apakah Komisi IX DPR RI akan segera bertemu Kementerian Keuangan untuk membicarakan penetapan nilai PBI itu? Selama ini Komisi IX DPR RI merasa sangat sulit untuk memanggil menteri mitra Komisi lain di DPR RI; termasuk didalamnya adalah menteri keuangan. "Memanggil menteri BUMN kami pun sangat sulit. Padahal, jika menteri mitra Komisi IX dipinjam oleh Komisi yang lain, kami selalu mempersilahkan," Ribka berkata. Seandainyai menteri keuangan RI yang baru berpatokan ke hati nurani, kata pasti akan bersedia menaikkan nilai PBI lebih dari Rp 15.000-an per orang per bulan.

 

Tangkal Virus Corona, Kemenkes Siapkan 8 Program

Jakarta - Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Tjandra Yoga Aditama, menjelaskan setidaknya ada delapan program yang disiapkan Kementerian Kesehatan guna mengantisipasi menyebarnya virus corona pada jemaah haji Indonesia.

Tidak hanya Indonesia, kata Tjandra, pada Kamis, 23 Mei 2013 lalu, organisasi kesehatan dunia (WHO) yang berpusat di Jenewa pun tengah mengamati secara mendalam bagaimana situasi infeksi virus corona dalam beberapa pekan mendatang sebelum ibadah haji.

"Sekarang ini kasus virus corona ada di jazirah Arab dan Eropa," ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menyatakan kekhawatirannya akan virus corona yang saat ini menyebar di kawasan Timur Tengah. Apalagi, dia melanjutkan, warga negara Indonesia sering datang ke kawasan itu untuk menunaikan ibadah haji. Gawatnya lagi, sampai saat ini belum ditemukan vaksin untuk virus corona.

"Kami mau memberi informasi yang benar bahwa ada ancaman," kata Nafsiah kepada Tempo di sela sidang WHO di markas PBB Palais des Nations, Jenewa, Rabu, 22 Mei 2013.

Direktur Haji dan Umroh Kementerian Agama Anggito Abimanyu mengungkapkan, dari informasi yang ia terima dari pemerintah Arab Saudi, virus corona tidak menjalar ke wilayah Mekah, Madinah, dan Jeddah. Sehingga, kecil kemungkinan virus tersebut berpengaruh kepada ibadah haji yang akan berlangsung beberapa bulan mendatang.

Wakil Menteri Kesehatan Ali Gufron menjelaskan, memang sudah ada beberapa warga Arab Saudi meninggal dunia akibat virus ini. Untuk mengetahui keadaan di sana, kata Ghufron, Kementerian akan mengirim tim ke Arab Saudi sebelum musim haji. Selain itu, setiap kloter jemaah yang berangkat akan disertai dengan dua-empat orang dokter.

Berikut adalah delapan program yang disiapkan Kementerian Kesehatan untuk menangkal penyebaran serangan virus dengan gejala mirip flu ini:

  1. Kegiatan di pintu masuk negara
    Untuk umrah, kalau ada jemaah yang baru datang dengan gejala, maka akan diminta untuk diperiksa. Kalau perlu dirujuk ke rumah sakit. Sedangkan untuk setiap jemaah haji, setiap yang pulang akan diberikan Kartu Kewaspadaan Kesehatan Jemaah Haji. Kementerian juga menyediakan poliklinik di asrama haji untuk pemeriksaan jemaah sebelum berangkat ke Arab Saudi.
  2. Penguatan pemantauan epidemologi
    Tjandra mengatakan ia sudah memberi edaran ke semua daerah untuk mewaspadai kalau ada dugaan kasus serta untuk melaporkannya segera ke dinas kesehatan setempat.
  3. Pemberitahuan ke dinas kesehatan provinsi tentang bahaya virus Corona.
  4. Pemberitahuan ke rumah sakit.
    Untuk program nomor 3 dan 4 disampaikan secara berkala perkembangan pengetahuan yang ada. Dinas kesehatan dan rumah sakit diminta untuk menilai kesiapan logistik serta sarana dan mewaspadai serta melaporkan bila ada kasus mencurigakan.
  5. Kesiapan laboratorium
    Menurut Tjandara, laboratorium Kementerian Kesehatan sudah bisa memeriksa virus corona dan virus H7N9.
  6. Informasi ke masyarakat
    Kementerian Kesehatan sudah mensosialisasikan virus ini melalui media massa, situs web P2PL, media briefing, TV, dan radio. Selain itu, Tjandra mengaku selalu mengirim semua informasi terbaru mengenai virus corona ke daerah.
  7. Hubungan internasional, melalui WHO
  8. Komunikasi dengan Kementerian Agama serta pengelola umrah.

(sumber: www.tempo.co)

 

Belajar Dari Kuba, 2020 Jakarta Targetkan Bebas DBD

Jakarta, Melalui gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), DKI Jakarta menargetkan bebas demam berdarah pada tahun 2020. Target ini diyakini bisa tercapai jika melihat kisah sukses yang pernah dialami negara lain, yakni Kuba.

Program PSN dianjurkan dan telah dilakukan setiap Jumat selama 30 menit oleh masyarakat, yaitu sejak pukul 09.00-09.30. Hal ini diambil berdasarkan hasil studi pihak Dinas Kesehatan DKI Jakarta di Kuba.

"Di Kuba hal seperti ini dilakukan serentak, rutin, dan sepanjang tahun. Sehingga, saat ini Kuba menjadi negara juara 1 dengan kasus DBD terendah dengan mengurangi angka kasus DBD hingga 0 persen," ujar John Marbun Ketua Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta, dalam kampanye 'Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) Melalui 30 Menit Jumat Bersih' di Kompleks DPR 1 Kebon Jeruk, Jakarta, Jumat, (24/5/2013).

Senada dengan John, Husein Habsyi Wakil Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) mengatakan tindakan preventif dan promotif ini tak hanya dilakukan di Jakarta tetapi juga di Jawa Timur (Surabaya). "Jadi jangan hanya mendengar mengenai orang yang sudah masuk rumah sakit saja, justru tindakan pencegahan seperti ini harus terus dijalankan dan digalakkan," tegasnya.

Kegiatan PNS tak serta-merta dilakukan tanpa pembekalan. Kepada mereka yang menjadi juru pemantau jentik nyamuk (JUMANTIK) diberikan pelatihan agar dapat memberikan penyuluhan dengan baik pada warganya dengan media flipchart (media lembar balik). Namun demikian masih diakui oleh pihak dinas kesehatan peran JUMANTIK masih belum maksimal.

Oleh sebab itu, belajar dari pengalaman negara Kuba yang berhasil menerapkan PSN pihak dinas kesehatan pun menargetkan 2020 Jakarta bebas dari demam berdarah dengan PNS. Ketika ditanyakan daerah Jakarta yang paling rawan terkena DBD John menjawab Jakarta Timur.

"Jakarta Timur lebih rindang dan pemukimannya lebih luas, jadi besar kemungkinannya ditambah cuaca yang tidak menentu," tutup John. Daerah manapun dapat menjadi sarang nyamuk demam berdarah jika tidak dijaga kebersihannya, oleh sebab itu mari kita mulai PSN sejak dini secara serentak, rutin, dan sepanjang tahun.

(sumber: health.detik.com)

 

WHO Diminta Tak Pangkas Anggaran ke Asia Tenggara

Jakarta - Delegasi Indonesia menyampaikan keberatan atas pengurangan jatah anggaran untuk regional Asia Tenggara (SEARO) dari rencana anggaran WHO 2014/2015. Deputi Direktur Regional Kerja Sama Kesehatan Kementerian Kesehatan Doddy Izwardy mengatakan pemotongan anggaran akan membuat pencapaian target-target program menjadi tidak maksimal.

"Kalau (WHO) ngasih segitu, jangan minta outcome lebih," katanya kepada Tempo di sela sidang tahunan WHO di markas PBB Palais des Nations, Jenewa, Kamis, 23 Mei 2013. "Jangan nuntut, tapi bukan berarti kita membiarkan."

Doddy, yang mewakili delegasi Indonesia dalam pertemuan komite membahas anggaran, mengatakan alokasi anggaran WHO untuk negara anggota disesuaikan dengan jumlah penduduk. Indonesia menjadi negara terbesar kedua di wilayah regional SEARO. Selama ini Indonesia menerima dana dari WHO sebesar US$9 juta. Akan tetapi, alokasi tahun depan bakal dikurangi. Draft rancangan anggaran WHO untuk 2014-2015 mengalokasikan dana sebesar US$340 juta untuk wilayah SEARO.

Persoalan anggaran menjadi isu penting dalam sidang WHO kali ini. Organisasi kesehatan dunia ini sedang mengalami masalah finansial dan merencanakan pemotongan anggaran secara cermat. Rencana ini diprotes karena pemotongan anggaran untuk wilayah SEARO cukup besar. Padahal, wilayah ini menghadapi persoalan kesehatan tiga kali lipat.

"Wilayah SEARO masih menghadapi triple burden disease," kata Doddy. "Penyakit infeksi masih tinggi, di sisi lain penyakit yang tidak menular juga mulai menjadi masalah utama. Makanya kita melawan agar jangan sampai anggaran dipotong."

Rancangan resolusi WHO untuk program anggaran 2014-2015 mencatat total alokasi sejumlah US$3.977 juta. Dana sebesar US$929 juta berasal dari iuran anggota. Tetapi sebagian besar merupakan kontribusi sukarela dengan jumlah US$3.048 juta. Kontribusi sukarela biasanya diperoleh dari yayasan, organisasi non pemerintah, badan PBB lain dan negara penyumbang lebih dari kontribusi semestinya.

Anggaran dialokasikan untuk penanganan penyakit tidak menular sebesar US$841 juta, penyakit menular sebesar US$ 318 juta, promosi kesehatan US$388 juta, sistem kesehatan US$531 juta, pencegahan, pengawasan dan tanggap darurat US$287 juta, fungsi layanan perusahaan US$684 juta, dan komponen gawat darurat sebesar US$928 juta.

(sumber: www.tempo.co)

 

Menkes Malu Indonesia Belum Ratifikasi FCTC

Jenewa -Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan sampai saat ini tinggal dua negara Islam yang belum mengadopsi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dari organisasi kesehatan dunia WHO.

"Ini yang memalukan sekali. Tinggal Indonesia dan Somalia saja yang belum," kata Mboi kepada Tempo di sela Sidang WHO di markas PBB Palais des Nations, Jenewa, Rabu, 22 Mei 2013 waktu setempat.

Pembatasan tembakau dan alkohol menjadi salah satu pokok bahasan Sidang WHO ke 66 di Jenewa sebagai bagian dari rencana resolusi pencegahan dan kontrol penyakit tidak menular (non-communicable diseases/NCD's). Pertemuan tingkat komite pada Senin, 20 Mei 2013 lalu telah menunjuk tim perancang draft resolusi. Arab Saudi, Amerika Serikat dan Pakistan menjadi pemimpin tim.

Mboi mengatakan rokok menyebabkan penyakit-penyakit berbiaya mahal dan membebani penderitanya secara ekonomi atau dalam istilah WHO, burden of diseases. Di antara penyakit-penyakit dalam kategori ini, penyakit karena rokok menjadi penyumbang terbesar, termasuk di Indonesia.

Tahun 2007 lalu, tiga penyakit karena rokok berada di urutan teratas di daftar penyakit pemicu burden of diseases. "Tapi sekarang sudah ada tujuh di urutan teratas, penyakit-penyakit yang menyebabkan beban terbesar. Sebagian besar penyakit NCD's," kata Mboi.

Kementerian Kesehatan memulai upaya adopsi FCTC sejak konvensi ini ditetapkan pada 2003. Tapi selalu menemui kegagalan. Baru Desember tahun lalu pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

"Paling tidak pemerintah sudah sepakat kita harus melindungi rakyat. Tapi kan FCTC nanti juga harus melalui DPR," ujar Mboi. Ia juga menegaskan salah satu penyebab gagalnya adopsi konvensi ini adalah karena lobi yang kuat dari industri rokok.

Soal lobi industri rokok memang bukan hal baru. Utusan Khusus untuk Direktur Jenderal WHO Thomas Zeltner mengatakan perusahaan rokok terbesar di dunia Philip Morris bahkan pernah melancarkan operasi untuk mendiskreditkan WHO agar pendanaan untuk organisasi kesehatan ini dipotong. Thomas memimpin tim yang ditunjuk Direktur Jenderal WHO pada 1999 untuk menyelidiki hal ini.

"Mereka memiliki orang-orang yang mereka bayar untuk datang di sidang-sidang WHO dan mengumpulkan segala macam informasi tentang apa yang akan dilakukan WHO dan kebijakan apa yang akan dikeluarkan. Karena mereka menganggap WHO sebagai musuh," katanya.

Laporan ini diluncurkan pada 2000 dan berjudul Tobacco Industry Strategies to Undermine Tobacco Control Activities at the World Health Organization. Meskipun Philip Morris mengatakan akan berubah dan mengaku telah berubah, Zeltner meragukan hal ini. Kenyataannya, kata dia, praktek lobi industri rokok untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah terjadi di setiap negara.

Direktur Pencegahan Penyakit Tidak Menular di WHO Douglas Bettcher mengatakan salah satu cara paling efektif untuk mengontrol konsumsi rokok adalah dengan menaikkan pajak rokok. "Cara ini mengurangi secara signifikan konsumsi rokok. 10 persen kenaikan pajak mengurangi konsumsi sampai 40 persen," ujarnya.

(sumber: www.tempo.co)

 

RUU Farmasi Masuk Pembahasan DIM Minggu Depan

23mei-2Jakarta, PKMK. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengawasan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, Perbekalan Alat Kesehatan Rumah Tangga, dan Pangan Olahan atau dikenal RUU Farmasi akan masuk ke tahap pembahasan daftar isian masalah (DIM) minggu depan. Sebelumnya, dalam rapat yang berlangsung Kamis (23/5/2013) di Gedung DPR/MPR, Jakarta, tim Panitia Kerja (Panja) RUU Farmasi dari Kementerian Kesehatan ataupun DPR RI, sepakat untuk melakukan sinkronisasi tata letak bab ataupun pasal dalam RUU tersebut. Sehingga, pembahasan DIM minggu depan bisa lancar. "Kami menyetujui permintaan sinkronisasi dan perbaikan tata letak RUU Farmasi. Hal ini akan melibatkan Tim Teknis Panja RUU Farmasi Kementerian Kesehatan dengan Tim Tenaga Ahli DPR RI," ungkap Maura Linda Sitanggang, Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Sebelum tercapainya kesepakatan itu, sejumlah anggota Panja dari DPR RI memberikan sejumlah usulan. Ferrari Romawi dari Fraksi Partai Demokrat meminta agar proses sinkronisasi dan perbaikan tata letak itu tidak terlalu lama. Jika proses itu memerlukan pembentukan tim kecil, maka hal ini dipersilahkan. Adapun Profesor dr. Dina Mahdi dari fraksi yang sama, menyarankan pembuatan flow chart bagi RUU tersebut. Sehingga, pembahasan bisa lebih mengalir dan cepat. Pimpinan rapat, Zuber Safawi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, usai membuka rapat menyatakan bahwa DIM RUU dari Kementerian Kesehatan kurang merespons secara substansif, sehingga membingungkan. Untuk itu, ada dua pilihan yang bisa diambil. Pertama, pembahasan RUU nantinya berlangsung per klaster terlebih dulu, barulah membahas DIM. Namun model seperti ini bisa membingungkan. "Alternatif yang kedua adalah memperbaiki tata letak tanpa mengubah DIM," kata Zuber. Akhirnya, Panja Kementerian Kesehatan dan Panja DPR RI sepakat untuk terlebih dulu memperbaiki tata letak sebelum pembahasan DIM berlangsung minggu depan.

 

Soal Kesehatan, Indonesia Tertinggal dari Tetangga

Jakarta - Indikator kesehatan Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan perbaikan. Namun, laju perbaikan itu dinilai masih lambat. Situasi kesehatan Indonesia masih tertinggal jauh dari Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Bahkan, Indonesia sudah disalip Vietnam yang beberapa tahun lalu masih di belakang.

Salah satunya, angka kematian ibu (AKI). Berdasarkan laporan Indeks Pembangunan Manusia yang dikeluarkan Program Pembangunan PBB 2013, AKI Indonesia masih 220 per 100.000 kelahiran hidup. Sementara negara tetangga di ASEAN, seperti Singapura, mencatatkan angka 3, Brunei 24, Malaysia 29, Thailand 48, Vietnam 59, dan Filipina 99. Indonesia hanya lebih baik dari Kamboja, Laos, dan Timor Leste.

Lambatnya penurunan AKI, menurut Endang L Achadi, Koordinator Positive Deviance Resource Centre Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Selasa (21/5), karena sekitar 40 persen kabupaten belum punya rumah sakit yang bisa melayani kegawatdaruratan obstetri ginekologi akibat tak ada dokter spesialis. "Distribusi dokter kurang, terutama di kawasan Indonesia timur," katanya.

Hal senada dikatakan Kartono Mohamad, aktivis kesehatan dan mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Selain melihat indikator makro, seperti AKI, angka kematian bayi (AKB), dan cakupan imunisasi, indikator mikro juga harus dilihat. Misalnya, jumlah pengidap HIV/AIDS yang terus meningkat, masih tingginya pengguna narkoba, angka bunuh diri, dan gangguan kejiwaan; masalah sanitasi dan lingkungan, serta pertumbuhan penduduk yang mencapai 1,4 persen tiap tahun.

Kendur di pelaksanaan

Menurut Endang, perencanaan pembangunan kesehatan di tingkat pusat dilakukan dengan baik. Masalahnya, di tingkat pelaksanaan sangat bergantung pada komitmen pemerintah daerah. Pemimpin daerah sering kali punya visi misi sendiri.

Untuk itu, pemerintah pusat perlu melakukan advokasi lebih kuat dalam menyamakan persepsi dan komitmen pemerintah daerah. Perlu ada terobosan serta reward and punishment. MDG Award merupakan salah satu cara memotivasi daerah untuk berkomitmen pada pembangunan kesehatan. Distribusi bidan desa dan Program Jaminan Persalinan (Jampersal) adalah terobosan pemerintah pusat untuk menurunkan AKI. Pemberian beasiswa untuk dokter di daerah juga dapat meningkatkan distribusi dokter dan dokter spesialis.

"Yang terpenting perlu ada komitmen, tidak hanya eksekutif, tetapi juga legislatif, dalam pembangunan kesehatan," katanya.

Kepedulian menurun

Di Cirebon, aktivitas posyandu mengalami pasang surut. Soal fasilitas, posyandu di era Reformasi kondisinya lebih baik. Di sisi lain, koordinasi lintas sektoral dan kepedulian masyarakat untuk mendukung posyandu menurun.

Seperti dituturkan Sri Nurhayati (37), kader posyandu di RW 001, Blok Mukidin, Kelurahan Tukmudal, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon, Senin (20/5). Kondisi posyandu di tempatnya jauh lebih baik dibandingkan masa Orde Baru. Ibunya, Ana Rohanah (60), dulu kader posyandu sejak tahun 1986 ketika program itu digulirkan pemerintah. "Sekarang kami memiliki timbangan berdiri dan timbangan duduk. Dulu hanya timbangan beras digantungi sarung," ujarnya.

Ana mengenang, dulu kader harus susah payah mendatangi warga dan mengajak mereka menimbang bayi di posyandu. Untuk pemberian makanan tambahan (PMT) kader harus mengeluarkan uang dari kantong sendiri.

Kini, kesadaran warga memeriksakan bayi ke posyandu cukup baik. Mereka juga patungan untuk pengadaan PMT. Di sisi lain, minat untuk menjadi kader turun. Sebab, menjadi kader adalah kegiatan sosial yang tidak mendatangkan uang.

Hal ini diakui Kepala Bidang Bina Perilaku dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon Anang Yuwana. Minimnya anggaran dan kader membuat kegiatan posyandu kurang bergairah.

Di Kota Medan, posyandu dibiayai penuh APBD sehingga kader mendapatkan biaya transpor Rp 50.000 per bulan.

Kader posyandu Teluk Sepang, Bengkulu, Kartini, menuturkan, dibandingkan dengan masa Orde Baru kesadaran masyarakat terhadap kesehatan saat ini sudah meningkat. Kian banyak ibu hamil dan anak balita yang datang ke posyandu. Hal serupa terjadi di Nusa Tenggara Timur. Fasilitas kesehatan makin meningkat. Namun, kondisi geografis dan kurangnya akses pelayanan kesehatan di daerah terpencil masih menyisakan tingginya AKI dan AKB di wilayah itu.

Menurut Dirjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan Slamet R Yuwono, faktor geografis, tenaga kesehatan yang belum merata, dan komitmen pemerintah daerah dalam memandang kesehatan menjadi tantangan pembangunan kesehatan. (ATK/K12/REK/DMU/WSI/ADH/KOR)

(sumber: health.kompas.com)

 

Pasien BPJS Sewajarnya Hanya 20 Persen di RS

Jakarta, PKMK. Saat Badan Pengelola Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) mulai berjalan di tahun 2014, jumlah pasien yang ditangani RS sewajarnya hanya 20 persen sampai 30 persen dari keseluruhan. Adapun pasien yang lain ditangani oleh Puskesmas dan dokter umum yang berpraktek di sekelilingnya, ungkap dr. Zaenal Abidin, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, di Jakarta (22/5/2013). Zaenal menambahkan, bila seorang dokter umum harus menangani 100 pasien per hari, tentu sangat berat sekaligus menimbulkan risiko. Itu karena pemeriksaan terhadap pasien harus berlangsung cepat. Waktu berkomunikasi dengan pasien pun minim. Padahal, untuk layanan primer, pemeriksaan seorang pasien semestinya berlangsung minimal 15 menit. Sedangkan untuk pemeriksaan oleh dokter spesialis, waktu yang ideal tentu lebih lama.

Menurut Zaenal, sekaranglah saat yang tepat untuk membuat sistem yang mengurangi penumpukan pasien saat BPJS Kesehatan beroperasi. Sistem pelayanan pasien harus ditata sehingga tidak ada penumpukan di satu tempat yang mengakibatkan overload bagi dokter umum. Dalam hal ini, tempat praktek pribadi dokter umum, bisa dimanfaatkan sebagai satelit Puskesmas. "Kita tinggal membuat standardisasi pelayanan. Dokter di sekitar Puskesmas itu kan berkualifikasi sama," ujar Zaenal. Dengan sistem yang lebih tertata, nantinya jumlah pasien di tempat praktek pribadi, Puskesmas, dan rumah sakit, tidak perlu sampai ratusan. Tapi bisa hanya 30-an orang per tempat. "Sedangkan dokter spesialis di rumah sakit, pasiennya sedikit. Tapi pemeriksaannya lebih cermat, dan berbiaya lebih mahal," ucap dia.

Ada baiknya jika mulai sekarang Pemerintah Indonesia membuat proyek percontohan untuk sistem itu, bisa dimulai dengan DKI Jakarta. Bila berhasil, barulah diduplikasikan ke perkotaan secara nasional. Di sini, antara satu kota dengan yang lain mungkin memerlukan sistem yang sedikit berbeda, dipengaruhi oleh kultur masyarakat dan lain-lain. "Kemudian, sistem untuk di kota tentu berbeda dengan di pedesaan dan kepulauan. Indonesia bukan hanya terdiri dari perkotaan, bukan," ucap Zaenal. Bukankah waktu pelaksanaan BPJS Kesehatan sudah dekat? Masih mungkinkah sistem itu dibuat? Jawab Zaenal, lebih baik terlambat daripada tidak ada perubahan sedikit pun. Saat ini baru awal tahun 2014, sementara perubahan masih bisa dilakukan sampai tahun 2019. "Kita pun bisa menjalankan sistem itu sembari memperbaiki di tengah jalan," kata Zaenal.