Seminar Kepemimpinan dalam Penelitian Kebijakan Monitoring dan Evaluasi Kebijakan dan Program Kesehatan oleh pihak Independen

Seminar Kepemimpinan dalam Penelitian Kebijakan
Monitoring dan Evaluasi Kebijakan dan Program Kesehatan oleh pihak Independen

Rabu, 25 Februari 2015  |  Pukul 10.00 – 12.30 Wib
di Ruang Theater Gedung Perpustakaan Lt.2 FK UGM

Acara dapat diikuti melalui Webinar dan informasi lebih jauh dapat disimak melalui:

www.kebijakankesehatanindonesia.net 

 

Reportase Monev

 

JADWAL

KEGIATAN   

 

10.00-10.10

Pembukaan oleh Prof. Laksono Trisnantoro    

materi

10.10-10.20 

Pemaparan materi oleh Prof. Laksono Trisnantoro

video

  Pembahasan Oleh:   
10.20-10.30  Togar Siallagan - Kepala Grup Penelitian dan Pengembangan BPJS Kesehatan Pusat  materi  video
10.30-10.40  dr. Arida Oetami, M.Kes - Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DIY materi  video
10.40-10.50  dr. Budiono Santoso, MSc, PhD - FK UGM materi  video
10.50-11.00  Dr. dr. Mubasysyir Hasanbasri, MA - FK UGM video
11.00-12.00  Diskusi dan tanya jawab video 


Pentingnya Peran Leadership dalam Penelitian Monev yang Dilakukan Perguruan Tinggi

Poin yang disampaikan Prof. Laksono :

Permasalahan kesehatan banyak yang belum terselesaikan.

  1. AKI yang tidak kunjung turun
  2. TB yang permasalahannya terungkap makin meningkat, dari segi cost dan sebagainya.
  3. Dari sisi obat, penyelenggaraan pengadaan obat masih menimbulkan masalah. Salah satu pabrik obat melakukan kesalahan, yaitu anaestesi Buvanest Spinal tertukar dengan Asam Trakseranat.
  4. Penyelenggaraan JKN yang diduga memicu terjadinya kasus fraud.

Selama ini, penyelenggaraan program kesehatan oleh Dinas Kesehatan tidak dikontrol melalui monev oleh pihak independen. Kontrol kualitas dan output dari suatu program kesehatan berbeda dengan Dinas Pekerjaan Umum yang terbiasa dengan keberadaan pihak monev independen. Di Dinas PU, Bahkan monev independen ini justru memiliki sekian persen dari anggaran untuk pembiayaannya. Sementara, dinas kesehatan belum terbiasa dengan ini.

Dampak tidak adanya monev independen, akhirnya terjadi ketidaklengkapan sistem kesehatan. Bappenas paling diharapkan untuk merealisasikan gagasan perlunya anggaran untuk kegiatan monev independen.

Bagaimana seharusnya?

Sumber anggaran untuk Monev ini bisa 1% dari anggaran BPJS untuk kegiatan monev independen.
Salah satu caranya yaitu mendorong Dinkes Provinsi dan DInkes Kabupaten/Kota yang selama ini telah menjalin kerja sama untuk monev independen namun masih bersifat sukarela. Faktanya, belum ada dana khusus, maka perlu juga mendorong juga untuk peningkatan jumlah konsultan monev independen (bukan sekedar surveyor). Ke depan, perlu kampanye untuk para pemimpin di lembaga penelitian untuk pentingnya meningkatkan peran PT/lembaga penelitian sebagai konsultan monev independen. Selain itu, dibutuhkan juga kampanye untuk policy maker agar menyadari kebutuhan monev indpenden sebagai bagian dari sistem kesehatan.

  Poin penting yang disampaikan Dr. Budiono Santoso

Hal yang perlu diwujudkan ialah Universal access, dimana setiap orang berhak mendapat pelayanan bahkan meski tidak datang ke pelayanan kesehatan. Faktanya, ketersediaan obat dan vaksin 2010 – 2014 : pelaporan yang diberikan adalah nilai uang dari komoditas obat di daerah. Tetapi tidak mencerminkan ketersediaan komoditas obat tersebut (contoh: tidak tersedia oksitosin di PKM). Banyak Provinsi dan Kabupaten yang ketersediaan obatnya lebih dari 100%, sebaliknya terjadi kekurangan di level faskes primer. Kemudian, perbandingan harga e-catalog dengan international referrence price : harga obat di Indonesia di bawah 100% standar internasional. Kemungkinan yang dapat terjadi yaitu kualitas obat buruk

Dampaknya:

  1. Perlu adanya ketaatan supplier
  2. Mutu obat yang tidak terjaga
  3. Ketersediaan obat yang kurang
  4. Kesehatan industri generik : kita mempunyai success story untuk industry generik selama 40 tahun. Namun, penerapan kebijakan populis yang tidak berdasarkan bukti, tidak realistis. Karena pabrik obat dari India dan China yang murah dengan kualitas buruk, membuat pabrik obat yang bagus selama 40 tahun ini gulung tikar.

Pilihan :

  • Jejaring pemantauan di provinsi dan kabupaten
  • Jejaring pemantauan di PT/pusat penelitian/NGO
  • Pemantauan difokuskan pada indikator2 yang peka (pusat sering tidak menggunakan indikator yang peka)
  • Memanfaatkan IT
  • Sistem monitoring yang dinamis (jangan laporan tahunan)


  Poin penting yang disampaikan dr. Arida Oetami:

Peran Dinkes dalam Monev Pelaksanaan JKN
Banyak peraturan yang sudah ada untuk JKN. Namun, bagaimana posisi dinas kesehatan untuk menyiapkan fasyankes (melakukan monitoring)? Salah satunya melalui Diskusi Komisi VIII Rakernas Fraud yang melibatkan, peserta BPJS, faskes dan BPJS.
Monev khusus dapat dilakukan pihak yang memang mengurus hal tersebut, yaitu OJK untuk monev kesehatan keuangan BPJS, kemudian DJSN untuk monev kepesertaan serta Kemkes untuk monev faskes.

Temuan:

Ada praktik menarik dana kapitasi ke praktek mandiri, Puskesmas (PKM) jam 11 siang sudah tidak melayani. Namun, usai jam tersebut, dokter mantan PKM ini kemudian membuka praktek sendiri di samping PKM. Temuan lain menyatakan satu tahun pasca JKN, belum ada peningkatan untuk kondisi faskes, faktanya: tidak tersedia MgSO4 tidak ada di PKM tapi ada di tempat praktek mandiri.
Lalu, kemampuan Dinkes dalam monev terbatas. Muncul Forum Koordinasi Jamkesta yang dipimpin Sekda Provinsi. Kemudian, evaluasi pelayanan BPJS (forum kemitraan) juga dilakukan. Badan Pengawas RS (hingga saat ini tidak didanai kemkes) meski sudah ada regulasinya namun belum ada anggaran untuk honorarium. Kesimpulannya, jadi kebutuhan monev sudah ada namun tradisi di sektor kesehatan belum ada sehingga ini tradisi ini melemahkan akuntabilitas bidang kesehatan kita.


  Poin penting yang disampaikan Togar Siallagan (DJSN) :

Skema Monev JKN menyatakan adanya peran lembaga pengawas independen dalam skema monev JKN bersama DJSN. Pengawas eksternal yaitu BPJS Watch, Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS), Serikat pekerja dan lain-lain. BPJS sudah banyak melakukan kerja sama dengan PT hanya belum secara resmi. Jadi, program Kemitraan sudah dianggarkan dan sudah direalisasikan serta dashboard JKN sudah dibuat dengan Anis Fuad (FK UGM). Kebijakan yang ada yaitu sebaiknya menggunakan dana operasional yang diberikan pemerintah kepada pihak BPJS atau jangan presentase 0,5% dari 40 trilyun (iuran kepesertaan). Faktanya, pola belum jelas, peran monev masih dalam kerangka lembaga keuangan (OJK dan BPK).


  Poin penting yang disampaikan Dr. Mubasysyir Hasanbasri:

Semua badan merasa sudah mempunyai sistem monev. Tetapi menempatkan perguruan tinggi (PT) sebagai pihak monev independen masih menimbulkan kekhawatiran. Jangan-jangan PT bisa jadi sama saja dengan semua lembaga yang mengklaim sudah melakukan monev selama ini. Selama ini bahkan PT pemimpinnya lebih memiliki menjadi politisi yang sebenarnya tidak memperjuangkan kepentingan publik tetapi cenderung kepentingan pribadi yang dikedepankan. Padahal seharusnya PT itu sebagai leader yang fokus memperjuangkan kepentingan publik.

Perlu tidak?
Sebenarnya ingin mengatakan tidak perlu karena lembaga-lembaga tersebut tidak memiliki pemimpin yang tidak memiliki hati. Maka, lebih tepat kita sebut kita bersama-sama mengubah dan memperbaiki lembaga tsb untuk memiliki hati, good governance. Bukan profesional karena belum tentu memiliki hati. PT memiliki tantangan, membutuhkan leadership yang komitmen sehingga tidak mengedepankan kepentingan pribadi, kepentingan lembaga PT. Maka gerakan yang tepat adalah koalisi lembaga penelitian dan koalisi perguruan tinggi bergerak bersama (pergerakan sosial) sehingga kepentingan pribadi menjadi minimal.

Sesi Diskusi :

  1. Dominirsep Dodo menanyakan
    1. Data sekunder tersentral di Pusat dan tidak dimiliki kantor cabang penelitian. Jadi peneliti local sulit mengaksesnya.
    2. Lalu, peneliti local menemukan kantor cabang tidak melayani wawancara untuk keperluan penelitian.

      Togar (DJSN) :
    1. Memang data sekunder terpusat, masukan akan diterima dan akan disosialisasikan bagaimana cara/prosedur memperoleh data tersebut
    2. Prosedur dan sosialisasi akan ditingkatkan oleh BPJS Pusat dengan daerah.

      Prof. Laksono:
    1. Gubernur Riau ingin memperoleh data agar bisa merumuskan kebiajkan terutama terkait program kesehatan yang bisa dilakukan di level pemda.
    2. Perlu SOP untuk pengajuan permohonana data. Contoh email permohonan, 1 jam kemudian data sudah diterima BPJS daerah untuk diberikan kepada pemohon.
  2. dr. Endang mengkonfirmasi untuk permohoanan keperluan data yang lebih lengkap, apakah bisa?
    Togar (DJSN) : segera menindaklanjuti agar pihak BPJS melengkapi data yang diinginkan.
  3. Dr. Budiono : Sebaiknya desentralisasi software untuk data JKN atau akan tetap sentralisasi?
    Togar (DJSN) : Kita masih terpusat, namun apabila dibutuhkan maka data akan di-share. Ke depan mulai tahun ini, monev akan dilakukan maksimal melalui sistem website, kode diberikan kepada Bupati untuk melihat utilisasi (bukan clear dananya).
  4. Prof. Laksono, Kekhawatiran pemanfaatan dana BPJS di daerah rural justru digunakan oleh daerah maju (kota).
    Togar (DJSN) : JKN itu prinsipnya membaur, sehingga memang ada persilangan dana. Maka kewajiban peningkatan utilisasi ada di pihak pemda dan bukan di pihak BPJS (karena prinsip membaur dan pengelolaan dana). Jika perspektif Prof. Laksono tadi maka akan menimbulkan reaksi dari berbagai pihak speerti kalangan pemuda dengan utilisasi lebih oleh kelompok lansia.
  5. Dr. Budiono : Lebih tepat fokus dulu pada OOP yang bisa diminimalkan dengan BPJS. Pihak BPJS merupakan lembaga yang masih terus berkembang.
  6. dr. Arida menambahkan penerjemahan hasil penelitian para akademisi oleh birokrat. Para birokrat diharapkan tidak terlalu awam dengan hasil penelitian akademisi untuk direalisasikan dalam kebijakan pemerintah.
  7. Prof. Laksono menyatakan leadership perlu terutama dengan prinsip trust antar pihak. Prinsip menari tango, harus kedua belah pihak yang saling trust. Kalau trust tidak terbangun, maka justru akan saling menyakiti. Kewajiban PT itu adalah mengingatkan, apa yang mungkin terjadi 5 tahun ke depan jika hal ini terus berlanjut.

Closing statement :

  • dr. Arida Oetami : Dinkes memerlukan PT untuk pihak monev indpenden.
  • Togar (DJSN) : Tahun 2015 BPJS siap untuk memajukan monev dengan konsep input dan impact oelh pihak PT, jadi bukan monev struktural.
  • Dr. Mubasysyir : Monev selama ini digunakan untuk mengubah mindset dan untuk kepentingan pribadi atau lembaga. Lepaskan, fokus pada kepentingan publik.
  • Dr. Budiono : memajukan dan memanfaatkan teknologi informasi. Indonesia harus bisa memaksimalkan teknologi informasi terutama dalam monev dan transparansi.
  • Prof. Laksono : akhir yang menarik, tetapi mengawali proses yang lebih panjang setelah ini. Para pembahas sepakat bahwa monev indpenden perlu dilakukan.

Pembahasan oleh Prof. Laksono :

Data yang ditampilkan oleh dr. Arida : lembaga perguruan tinggi masih menjadi penonton dalam sistem permainan JKN. Para pihak (BPJS, PPK, Peserta) sedang bermain dengan model yang belum sempurna. Kami, PKMK bermaksud memfasilitasi Perguruan Tinggi untuk mengikuti pelatihan konsultan. Para pengambil keputusan bisa mengikuti seminar-seminar yang bisa menjadi inspirasi dalam pengambilan keputusan. Biaya 10 juta rupiah bisa mengikuti pelatihan ini bagi PT, Blended Learning selama tiga bulan ke depan.

Anis Fuad (FK UGM) :

Terkait tenaga peneliti internal BPJS masih minimal, tetapi sistem data sudah bagus (jauh lebih bagus dari kemkes). Tetapi kerahasiaan data masih penting untuk di-filter sebelum dibagai ke daerah. Karena banyak friksi yang mungkin muncul karena content data yang menunjukan lemahnya cleaning data dari faskes.

Kesimpulan :

Transparansi data penting terutama untuk pedoman perumusan dan pengelolaan bidang kesehatan di lokal/daerah. Baik pemangku kepentingan maupun universitas di daerah akan bisa memanfaatkan kekayaan data ini sehingga tidak hanya menjadi penonton.

Notulen: Dhini Rahayu Ningrum (Asisten Peneliti PKMK FK UGM)

 

 

 

Materi Memahami Konsultan & Kompetensi Dasar Konsultan Diselenggarakan oleh: Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan

Pelatihan Pengembangan Konsultan Manajemen Kesehatan

Materi
Memahami Konsultan & Kompetensi Dasar Konsultan

Diselenggarakan oleh:

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran – Universitas Gadjah Mada

  LATAR BELAKANG

Sektor kesehatan di Indonesia saat ini membutuhkan banyak konsultan manajemen rumahsakit, konsultan mutu pelayanan rumahsakit, konsutlan manajemen program KIA sampai ke sistem pembiayaan. Kebutuhan ini tidak disertai dengan ketersediaan tenaga konsultan yang cukup, dan masih minimnya anggaran untuk konsultan. Oleh karena itu pelatihan ini diselenggarakan agar terjadi keseimbangan yang lebih baik antara kebutuhan dengan ketersediaan konsutan yang bermutu.

Pelatihan ini mempunyai metode on the job-training yang terdiri atas 2 Tahap. Pelatihan tatap muka dan web (Tahap 1) diperuntukkan agar materi dapat dilihat secara keseluruhan. Namun perlu ditekankan bahwa Pelatihan tidaklah cukup. Peserta harus langsung bekerja bersama tim dengan bimbingan konsultan senior untuk mulai melakukan kegiatan. Pelatihan Tahap 1 harus diikuti dengan pendampingan langsung di lembaga klien (Tahap 2). Untuk itu para peserta diharapkan sudah mempunyai Proyek Konsultasi, atau sedang mencari proyek riil.


  TUJUAN

Pelatihan ini secara umum bertujuan untuk meningkatkan kemampuanpara peserta sebagai konsultanmanajemen rumah sakit.

Secara khusus tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan ini adalah untuk mengembangkan:

  1. Memahami pekerjaan sebagai konsultan;
  2. Memahami kompetensi dasar sebagai konsultan;
  3. Menerapkan pemahaman ini ke dalam kegiatan sebagai konsultan.

 

  JADUAL

Tahap 1: Persiapan Konsultasi

Kegiatan Minggu 1:

Rabu 25 Februari 2015

  1. Memahami peran konsultan, dosen perguruan tinggi, peneliti, dan surveyor dalam manajemen lembaga dan program di sektor kesehatan;
  2. Menyadari kebutuhan dan ketersediaan konsultan dalam manajemen kesehatan;
  3. Melakukan pendalaman mengenai konsep “pakem” dalam pekerjaan sebagai konsultan manajemen.

materi  reportase

Sabtu  28 Februari 2015: Pukul  10.00 – 12.00

  1. Memahami kompetensi dasar yang diperlukan sebagai konsultan.
  2. Melakukan identifikasi calon klien atau profil klien.

materi  reportase

Kegiatan Minggu 2: Sabtu, 7 Maret 2015, pukul 08.30– 10.00

Menyiapkan “Pakem” sebagai pedoman isi untuk melakukan konsultasi.

materi  reportase

Kegiatan Minggu 3: Sabtu, 14 Maret 2015, pukul 10 – 12.00

  • Kompetensi dalam memahami lingkungan organisasi (Politik, Ekonomi. Sosial, Teknologi, Hukum, Lingkungan)
  • Kompetensi dalam mengelola hubungan dengan Klien
  • Kompetensi mengelola proses konsultasi: membentuk hubungan, memberikan hasil konsultasi, dan mengakhiri hubungan kerja. Termasuk ketrampilan menulis.
  • Kompetensi dalam menggunakan berbagai fasilitas konsultasi
  • Kompetensi dalam mengelola praktek sebagai konsultan, termasuk hubungan interpersonal

materi  reportase

Kegiatan Minggu 4: Sabtu 28 Maret 2015, pukul 10.00 – 12.00

  • Ketajaman dan pemahaman mengenai business
  • Manajemen Proyek
  • Pengembangan pribadi dan professional
  • Cara berfikir proaktif dan analitis
  • Inteligensia emosional
  • Komunikasi efektif dan interpersonal
  • Profesionalisme dan Etika

materi 1  materi 2  materi diskusi  reportase 

Kegiatan Minggu 5: Sabtu 4 April 2015, pukul 10.00 – 12.00

Menyusun Plan of Action untuk pengembangan tim konsultan.

  • Memulai kegiatan konsultasi
  • Sistem Kontrak Kerja.
  • Diagnosis di lembaga klien
  • Merencanakan kegiatan
  • Pelaksanaan kegiatan
  • Monitoring dan Evaluasi
  • Mengakhiri

reportase

 

Tahap 2: Melakukan Pekerjaan Konsultasi (bulan April – Mei 2015)

Pembahasan Kasus 1,2,3 dan 5.

                      Skema Kegiatan

            gb1a

Tahap 2

gb2

 

Kegiatan Minggu 1: Proyek dan Manajemen Proyek

materi  reportase

Kegiatan Minggu 2: Manajemen Proyek

Harmein Harun 

Supriantoro - Peran IKKESINDO dalam sertifikasi tenaga ahli konsultan kesehatan

materi  reportase

 

Kegiatan Minggu 3: asd

Broto Wasisto - Kode Etik Kosultan Kesehatan

materi

Anita Lestari - Kecerdasan Emosional dan Komunikasi

materi 1  materi 2  reportase 

Kegiatan Minggu 4: 

Sealvy Kristianingsih - Penggunaan Microsoft Project / Project Libre dalam Mengelola Suatu Kegiatan

materi  reportase

 

Struktur Pelatihan

Para peserta diharapkan membentuk kelompok. Kegiatan mingguan pada hari Sabtu merupakan kegiatan bersama. Sementara itu kegiatan pasca tatap muka dalam 1 minggu merupakan kegiatan yang perlu direncanakan sendiri oleh tiap kelompok.

 

  PENDAFTARAN

Wisnu Firmansyah
PKMK FK UGM, Gedung IKM Sayap Utara,
Jalan Farmako Sekip Utara Yogyakarta
Telpon/Fax: 0274 549425
email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. 

 

 

Blended Learning Pengembangan Kemampuan Lembaga Perguruan Tinggi/Konsultan untuk Melakukan Monitoring dan Evaluasi Kebijakan dan Program Kesehatan

Blended Learning

Pengembangan Kemampuan Lembaga Perguruan Tinggi/Konsultan untuk Melakukan Monitoring dan Evaluasi Kebijakan dan Program Kesehatan

Periode Februari – Mei 2015

 

  PENDAHULUAN

Di era JKN tahun 2015 ini, sektor kesehatan di Indonesia membutuhkan dukungan penelitian kebijakan, khususnya dalam rangka monitoring dan evaluasi independen dalam pelaksanaan berbagai kebijakan kesehatan. Sebagai gambaran BPJS mengelola dana sekitar 40 Triliun rupiah setiap tahun.

Dana ini diserahkan ke pelayanan primer melalui pembayaran kapitasi dan pelayanan rujukan melalui pembayaran klaim INA-CBGs. Saat ini diamati pelaksanaan dana sebesar Rp 40 Triliun ini dilakukan tanpa ada system monitoring dan evaluasi oleh pihak independen. Sementara itu potensi penyimpangan dana sangat besar, seperti yang ditemukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini sangat memprihatinkan dan membutuhkan monitoring dan evaluasi secara independen.

Kementerian Kesehatan juga mempunyai berbagai program antara lain di pencegahan penyakit menular dan tidak menular, KIA, pelayanan rumah sakit. Saat ini di Kementerian Kesehatan juga tidak ada tradisi melakukan monitoring dan evaluasi secara independen. Akibatnya, kinerja kegiatan pelaksanaan kebijakan dan program Kementerian Kesehatan belum dapat dinilai dan berbagai program seperti usaha penurunan kematian ibu dapat dikatakan belum berhasil ditangani. Akhir-akhir ini dilaporkan juga bahwa pelaksanaan kebijakan TB juga bermasalah.

Oleh karena itu adanya Monitoring dan Evaluasi merupakan suatu keharusan dan diperlukan perjuangan untuk mewujudkannya. Apa masalahnya?

  Ketidak biasaan diawasi dan tidak adanya peraturan

Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan dan BPJS tidak mempunyai tradisi menjadi obyek monitoring dan evaluasi secara independen. Monev oleh pihak luar dalam program Kemenkes dan BPJS tidak ada dalam peraturan.

  Bagaimana seharusnya?

Kemenkes dan BPJS perlu menyadari bahwa kebijakan dan program kesehatan seharusnya dimonitor dan di evaluasi oleh pihak independen di level nasional. Harapannya dapat terjadi akuntabilitas, transparansi dan peningkatan efektifitas pelaksanaan kebijakan dan program. Di propinsi dan kabupaten kota, Kemenkes perlu mengaktifkan Dinas Kesehatan sebagai pengawas sistem kesehatan yang dapat bekerja sama dengan pihak independen.

  Ketidaksiapan lembaga independen melakukan monitoring dan evaluasi

Saat ini jarang ada lembaga yang mampu melakukan monitoring dan evaluasi secara independen. Para dosen/peneliti Perguruan Tinggi belum terbiasa meneliti kebijakan kesehatan khususnya monev.


  TUJUAN UMUM DAN KHUSUS KEGIATAN PENGEMBANGAN

Program ini bertujuan untuk memperkuat sisi perguruan tinggi dan/atau lembaga penelitian untuk menjadi pihak independen dalam melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan kesehatan.

  • Secara umum bertujuan agar perguruan tinggi mampu untuk mengembangkan unit penelitian kebijakan.
  • Secara khusus, diharapkan mampu untuk melakukan monitoring dan evaluasi untuk pelaksanaan berbagai kebijakan kesehatan. Dalam tujuan ini ada dua yaitu:
    1. Tujuan Perorangan
      Diharapkan para peserta yang berada di perguruan tinggi mampu untuk :
      1. Melakukan penelitian kebijakan, khususnya monitoring dan evaluasi
      2. Menjadi tenaga ahli yang melakukan networking dengan berbagai pihak.
      3. Mengembangkan kemampuan personal untuk menjadi tenaga ahli/konsultan dalam sektor kesehatan.
    1. Tujuan Kelembagaan
      1. Memperkuat lembaga sebagai sebuah lembaga penelitian dan konsultan kebijakan kesehatan;
      2. Secara khusus menyiapkan lembaga sebagai pihak yang mampu melakukan monitoring dan evaluasi secara independen.


  SASARAN PESERTA

Universitas-universitas di Indonesia

  • Universitas Andalas
  • Universitas Riau
  • Universitas Mulawarman
  • Universitas Syah Kuala
  • Universitas Nusa Cendana
  • Universitas Jendral Soedirman
  • Universitas Gadjah Mada

Fakultas Kedokteran UGM:

  • PKMK
  • KP-MAK
  • PRO

Berdasarkan tujuan kegiatan maka peserta Program Pengembangan adalah Unit Peneliti di perguruan tinggi atau lembaga penelitian swasta, dengan anggota-anggota yang terdiri dari pihak manajemen dan peneliti.

Para peserta setiap lembaga minimal 5 orang yang terdiri dari 2 orang (minimal) pemimpin dan staf administrasi lembaga; dan 3 orang (minimal) staf peneliti.

Catatan:
Kegiatan ini diusahakan dilakukan secara tandem. Ada dua kegiatan di suatu wilayah: Kepada Dinas Kesehatan setempat, serta ke perguruan tinggi/lembaga penelitian yang berada di daerah tersebut.


  WAKTU KEGIATAN

Kegiatan dilakukan dalam waktu 3 bulan ke depan sejak bulan Maret, April, sampai dengan Mei 2015 dengan menggunakan model Blended Learning, yakni menggabungkan antara metode pembelajaran tatap muka dengan teknologi teleconference (jarak jauh) menggunakan program Webinar.


MODUL YANG DIBAHAS

Kelompok 1: Mengelola sebuah Lembaga Penelitian yang dapat menjadi pelaku monitoring dan evaluasi independen, agar :

  • Memahami ketrampilan manajemen untuk mengelola lembaga peneltian
  • Mampu mengembangkan Kepemimpinan dalam lembaga.

Kelompok 2: Meningkatkan kemampuan peneliti untuk menjadi :

  • Tenaga Technical Assistance dan konsultan
  • Melakukan monitoring dan evaluasi ke beberapa kebijakan penting seperti JKN dan KIA.
  • Mengembangkan kemampuan melakukan komunikasi dan networking.


  LANGKAH-LANGKAH PELATIHAN

  1. Membentuk tim kerja, atau tim dari pusat penelitian/lembaga penelitian yang terdiri dari kelompok 1 (tim manajemen), dan Kelompok 2 (tim peneliti).
  2. Menyiapkan sistem telekomunikasi dan ruangan untuk pelaksanaan pelatihan jarak-jauh.
  3. Menyiapkan anggaran untuk pelatihan yang terdiri atas:
    1. Fee ke UGM sebesar Rp 10 juta rupiah per kelompok (maksimal 5 orang). Apabila ada tambahan orang maka akan dikenakan biaya Rp 1 juta rupiah per orang.
    2. Dana untuk pertemuan-pertemuan internal
    3. Dana untuk menghadiri pertemuan tatap muka. Apabila tidak ada dana untuk tatap muka, maka kegiatan dilakukan secara webinar.

 

  INFORMASI DAN PENDAFTARAN

Sdr. Wisnu Firmansyah, S.IP
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Gedung IKM Sayap Utara Lantai 2
Jalan Farmako Sekip Utara, Yogyakarta 55281
Telp/Faks : 0274 – 549425 (hunting)
Email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. 

 

 

Monitoring dan Evakuasi Kebijakan dan Program Kesehatan Oleh Pihak Independen

MONITORING DAN EVALUASI KEBIJAKAN DAN PROGRAM KESEHATAN
OLEH PIHAK INDEPENDEN:
"Apa yang harus dilakukan oleh Kemenkes, BPJS, dan
Dinas Kesehatan di Tahun 2015?"

Periode Februari - Mei 2015

 

  PENDAHULUAN

Di era JKN tahun 2015 ini, sektor kesehatan di Indonesia membutuhkan dukungan penelitian kebijakan, khususnya dalam rangka monitoring dan evaluasi independen dalam pelaksanaan berbagai kebijakan kesehatan. Sebagai gambaran BPJS mengelola dana sekitar 40 Triliun setiap tahun.

Dana ini diserahkan ke pelayanan primer melalui pembayaran kapitasi dan pelayanan rujukan melalui pembayaran klaim INA-CBGs. Saat ini diamati pelaksanaan dana sebesar Rp 40 Triliun ini dilakukan tanpa ada system monitoring dan evaluasi oleh pihak independen. Sementara itu potensi penyimpangan dana sangat besar, seperti yang ditemukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini sangat memprihatinkan dan membutuhkan monitoring dan evaluasi secara independen.

Kementerian Kesehatan juga mempunyai berbagai program antara lain di pencegahan penyakit menular dan tidak menular, KIA, pelayanan rumah sakit. Saat ini di Kementerian Kesehatan juga tidak ada tradisi melakukan monitoring dan evaluasi secara independen. Akibatnya, kinerja kegiatan pelaksanaan kebijakan dan program Kementerian Kesehatan belum dapat dinilai dan berbagai program seperti usaha penurunan kematian ibu dapat dikatakan belum berhasil ditangani. Akhir-akhir ini dilaporkan juga bahwa pelaksanaan kebijakan TB juga bermasalah.

Oleh karena itu adanya Monitoring dan Evaluasi merupakan suatu keharusan dan diperlukan perjuangan untuk mewujudkannya. Apa masalahnya?

  Ketidak biasaan diawasi dan tidak adanya peraturan

Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan dan BPJS tidak mempunyai tradisi menjadi obyek monitoring dan evaluasi secara independen. Monev oleh pihak luar dalam program Kemenkes dan BPJS tidak ada dalam peraturan.

  Bagaimana seharusnya?

Kemenkes dan BPJS perlu menyadari bahwa kebijakan dan program kesehatan seharusnya dimonitor dan di evaluasi oleh pihak independen di level nasional. Harapannya dapat terjadi akuntabilitas, transparansi dan peningkatan efektifitas pelaksanaan kebijakan dan program

  Ketidak siapan lembaga independen melakukan monitoring dan evaluasi

Saat ini jarang ada lembaga yang mampu melakukan monitoring dan evaluasi secara independen. Para dosen/peneliti Perguruan Tinggi belum terbiasa meneliti kebijakan kesehatan khususnya monev.


  TUJUAN KEGIATAN PENGEMBANGAN

Program ini bertujuan untuk memperkuat Pengambil Kebijakan di Kemenkes, Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten serta BPJS untuk melaksanakan kegiatan Monitoring dan Evaluasi oleh pihak independen.

Setelah mengikuti kegiatan ini diharapkan para peserta:

  1. Menyadari perlunya Monitoring dan Evaluasi oleh pihak independen
  2. Memahami bahwa kegiatan Monev pihak independen dapat dilakukan secara nyata
  3. Mampu mengalokasikan anggaran untuk keperluan Monitoring dan Evaluasi oleh pihak independen di tahun 2015

Catatan:
Kegiatan ini diusahakan dilakukan secara tandem. Ada dua kegiatan di suatu wilayah: Kepada Dinas Kesehatan setempat, serta ke perguruan tinggi/lembaga penelitian yang berada di daerah tersebut.


  SASARAN PESERTA

  • Pejabat Kementerian Kesehatan yang berwenang
  • Pejabat Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten yang berwenang
  • Pimpinan BPJS Pusat, Regional dan Cabang.


  WAKTU KEGIATAN

Kegiatan dilakukan dalam waktu tiga bulan ke depan pada bulan Maret, April, sampai Mei 2015 dengan menggunakan pendekatan Blended Learning Executive Seminar melalui tatap muka atau jarak jauh

Topik yang dibahas dalam Seminar Eksekutif antara lain:

  • Memahami mengapa perlu monitoring dan evaluasi secara independen. Apa risikonya apabila tidak melakukan monev independen?
  • Memahami berbagai kebijakan yang membutuhkan monitoring dan evaluasi secara independen;
    • Pembahasan kasus KIA
    • Pembahasan kasus dana BPJS
  • Memahami anggaran-anggaran yang dapat dipergunakan untuk monitoring dan evaluasi secara independen
  • Memahami teknik kontrak


  LANGKAH-LANGKAH PELATIHAN

  1. Membentuk tim kerja
  2. Menyiapkan sistem telekomunikasi dan ruangan untuk pelaksanaan pelatihan jarak-jauh.
  3. Menyiapkan anggaran untuk pelatihan yang terdiri atas:
    1. Fee ke UGM sebesar Rp 10 juta rupiah per kelompok (maksimal 5 orang). Apabila ada tambahan orang maka akan dikenakan biaya Rp 1 juta rupiah per orang.
    2. Dana untuk pertemuan-pertemuan internal
    3. Dana untuk menghadiri pertemuan tatap muka. Apabila tidak ada dana untuk tatap muka, maka kegiatan dilakukan secara webinar.

 

  INFORMASI DAN PENDAFTARAN

Sdr. Wisnu Firmansyah, S.IP
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Gedung IKM Sayap Utara Lantai 2
Jalan Farmako Sekip Utara, Yogyakarta 55281
Telp/Faks : 0274 – 549425 (hunting)
Email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. 
Kontak: 081215182789

 

 

Seminar Kepemimpinan dalam Penelitian Kebijakan Monitoring dan Evaluasi Kebijakan dan Program Kesehatan oleh pihak Independen

Seminar Kepemimpinan dalam Penelitian Kebijakan
Monitoring dan Evaluasi Kebijakan dan Program Kesehatan oleh pihak Independen

Rabu, 25 Februari 2015  |  Pukul 10.00 – 12.30 Wib
di Ruang Theater Gedung Perpustakaan Lt.2 FK UGM

Acara dapat diikuti melalui Webinar dan informasi lebih jauh dapat disimak melalui:

www.kebijakankesehatanindonesia.net

 

  Apa yang terjadi di tahun 2015 ini?

Kebijakan JKN BPJS mengatur besaran klaim rasio di atas 100%. Klaim rasio sangat tinggi terutama untuk kelompok non-PBI mandiri. Pihak BPJS sendiri mengharapkan kenaikan premi karena tahun 2014 sudah menggunakan dana talangan. Kemudian, pertanyaan yang muncul yaitu : Apakah kenaikan premi tidak disertai dengan perbaikan pemerataan yang mendapatkan manfaat BPJS dan meningkatkan efisiensi (termasuk mengurangi fraud?)

Pelayanan KIA, masih banyak Kabupaten/Kota yang jumlah kematian ibu dan bayinya meningkat. Pertanyaannya, Apakah target MDG akan tercapai?
Untuk program TB, Ada pemburukan situasi, pertanyaannya: Bagaimana sistem pengawasan dari Global Fund yang mendanai kegiatan pengurangan TB?.

Manajemen obat, kebijakan e-procurement berjalan dengan berbagai masalah tanpa ada kejelasan solusi. Di dalam pemberian obat juga terjadi masalah pada labeling sehingga produk obat dari PT K ditarik dari seluruh Indonesia.

"Mengapa terjadi situasi ini?"

Pada tahun 2014 atau era JKN, BPJS mengelola dana sekitar 40 Triliun . Dana ini diserahkan ke pelayanan primer melalui pembayaran kapitasi dan pelayanan rujukan melalui pembayaran klaim INA-CBGs. Jika diamati, penggunaan atau pemanfaatan dana Rp 40 Triliun ini dilakukan tanpa diikuti sistem monitoring dan evaluasi oleh pihak independen. Sementara itu, potensi penyimpangan dana sangat besar, seperti yang ditemukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini sangat memprihatinkan dan membutuhkan monitoring dan evaluasi secara independen.

Kementerian Kesehatan juga mempunyai berbagai program antara lain pencegahan penyakit menular dan tidak menular, KIA,serta pelayanan rumah sakit. Saat ini, di Kementerian Kesehatan juga tidak ada tradisi melakukan monitoring dan evaluasi secara independen. Akibatnya, kinerja kegiatan pelaksanaan kebijakan dan program Kementerian Kesehatan belum dapat dinilai dan berbagai program seperti usaha penurunan kematian ibu dapat dikatakan belum berhasil ditangani. Akhir-akhir ini, dilaporkan juga bahwa pelaksanaan kebijakan TB dan kebijakan obat juga bermasalah.

  Beda Sektor Kesehatan dengan Pekerjaan Umum

Sektor kesehatan berbeda dengan sektor pekerjaan umum, dimana seluruh proyek PU selalu mempunyai komponen perencanaan dan pengawasan oleh pihak independen. Dengan demikian, kebijakan dan proyek-proyek PU dapat disebut lebih akuntabel dibanding kebijakan dan program kesehatan. Kegagalan proyek fisik lebih dapat diketahui dan dicegah dibanding dengan proyek kesehatan. Patut dicatat, program kesehatan sama dengan proyek PU yang dapat membahayakan nyawa manusia. Kegagalan program kesehatan dapat menambah kematian yang tidak perlu misalnya kematian ibu yang seharusnya dapat dicegah.

Oleh karena itu, adanya Monitoring dan Evaluasi merupakan suatu keharusan dan diperlukan perjuangan untuk mewujudkannya. Apa masalahnya? Dalam anggaran Kementerian Kesehatan/Dinas Kesehatan/BPJS tidak ada anggaran untuk melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan. Hal ini berbeda dengan sektor Pekerjaan Umum dimana selalu ada sekitar 5 % anggaran dipergunakan untuk monitoring dan evaluasi oleh pihak independen.

  Budaya tidak diawasi dan tidak adanya peraturan

Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan dan BPJS tidak mempunyai tradisi menjadi obyek monitoring dan evaluasi secara independen. Monev oleh pihak luar dalam program Kemenkes dan BPJS tidak ada dalam peraturan. Selama ini juga tidak ada tradisi monitoring dan evaluasi pihak luar. Kemenkes dan DinKes merencanakan kebijakan dan program, melaksanakan, dan mengevaluasi sendiri tanpa ada pihak luar yang membantu.

Dinas Kesehatan sebagai perpanjangan tangan Kementerian Kesehatan sebagai pengawas sistem pelayanan kesehatan di propinsi dan kabupaten/kota mempunyai kelemahan khususnya kekurangan tenaga ahli. Sebagai gambaran, dalam upaya menjamin mutu pelayanan dan keselamatan pasien, akibatnya kebijakan dan program kesehatan di Indonesia berjalan tanpa ada logika yang tepat. Terjadi apa yang disebut sebagai kesulitan atau hambatan dalam menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah kebijakan atau program.

  Bagaimana seharusnya?

Kemenkes dan BPJS perlu menyadari bahwa kebijakan dan program kesehatan seharusnya dimonitor dan dievaluasi oleh pihak independen di level nasional. Harapannya dapat terjadi akuntabilitas, transparansi dan peningkatan efektivitas pelaksanaan kebijakan dan program. Di propinsi dan kabupaten kota, Kemenkes perlu mengaktifkan Dinas Kesehatan sebagai pengawas sistem kesehatan yang dapat bekerja sama dengan pihak independen.

Sebagai contoh: Dinas Kesehatan perlu mengaktifkan pengawasan sistem kesehatan. Bidang pelayanan kesehatan dan yang bertugas untuk memberi perijinan tenaga dan fasilitas kesehatan (rumah sakit dan pelayanan primer) di Dinas Kesehatan perlu ditingkatkan kemampuan dan otoritasnya, termasuk pengawasan pelayanan BPJS. Mengingat lemahnya Dinas Kesehatan dalam pengawasan, maka fungsi ini sebaiknya dibantu oleh pendidikan tinggi dan/atau lembaga swasta yang mampu melakukan Monitoring dan Evaluasi serta investigasi secara independen.

  Ketidaksiapan lembaga independen melakukan monitoring dan evaluasi

Sebagaimana telur dan ayam, karena selama ini tidak ada anggaran dan kebijakan monitoring dan evaluasi independen, maka jarang ada lembaga yang mampu melakukan monitoring dan evaluasi secara independen. Para dosen/peneliti Perguruan Tinggi belum terbiasa meneliti kebijakan kesehatan khususnya monev. Secara khusus, para dosen tidak terbiasa menyusun proposal penelitian kebijakan dan manajemen. Selain, tugas pokok mereka yaitu beban mengajar yang berat. Padahal di setiap Propinsi sebaiknya ada satu unit penelitian/lembaga yang dapat menjalankan fungsi sebagai tim independen untuk perencanaan, pengawasan dan evaluasi kebijakan. Bahkan di Propinsi besar seperti Jawa Tengah diperlukan lebih dari satu pusat. Sementara itu, lembaga penelitian swasta di sektor kesehatan juga belum banyak yang melakukan monitoring dan evaluasi. Kondisi ini perlu diperbaiki, salah satunya melalui kegiatan ini.

Apa yang perlu dilakukan?

  1. Meningkatkan kepemimpinan para peneliti di sektor kesehatan, khususnya dalam monitoring dan evaluasi;
  2. Meningkatkan kemauan atau minat para pemimpin/pengambil kebijakan di sektor kesehatan untuk melakukan monitoring dan evaluasi;

Strategi Kegiatan:

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM memulai kampanye untuk terselenggaranya Monitoring dan Evaluasi oleh pihak independen melalui berbagai cara, salah satunya melalui seminar.

  Waktu & tempat pelaksanaan

Hari : Rabu, 25 Februari 2015
Waktu  : Pukul 10.00 – 12.00 Wib.
Tempat  : Ruang Theater Gedung Perpustakaan Lt.2 FK UGM

 

Pembicara: Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc PhD

attach  materi presentasi

Pembahas:

  • Dr. Budiono Santoso, M.Sc PhD
  • Kepala Biro Perencanaan Kemenkes
  • Kepala Dinas Kesehatan DIY
  • BPJS Pusat

Kampanye dilakukan melalui kegiatan pasca Seminar pada bulan Maret – Mei 2015 yang menggunakan Blended Learning dan penulisan Policy Brief untuk berbagai pihak.

Pengembangan Pelatihan dengan Pendekatan Blended Learning dilakukan untuk:

  1. Para peneliti di bidang kesehatan dengan judul Pengembangan Kemampuan Lembaga Perguruan Tinggi untuk melakukan Monitoring dan Evaluasi Kebijakan dan Program Kesehatan;
  2. Para pengambil kebijakan/pejabat yaitu Apa yang harus dilakukan oleh Kemenkes, BPJS, dan DInas Kesehatan di tahun 2015 untuk terselenggaranya Monev oleh pihak independen.


  Pendaftaran:

Sdr. Wisnu Firmansyah
Gedung IKM Baru Lt.2 Sayap Utara
Jl. Farmako Sekip Utara Yogyakarta 55281
Telp/Fax (hunting) (+62274) 549425
Kontak: 081215182789
email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.  

 

 

Hari ke V The 14th World Congress on Public Health

 Hari I Hari II  Hari III  Hari IV  Hari V 

 

Plenary 5

Human Rights and Law as tools for sustainable development

Co-Chairs: Dr David Butler-Jones, Senior Medical Officer, First Nations and Inuit Health Branch, Health Canada and former Chief Public Health Officer of Canada and DrYogendra. K. Gupta, Professor & Head, Department of Pharmacology, All India Institute of Medical Sciences, New Delhi.

Pembicara :

  • Sharon Friel :Professor of Health Equity & ARC Future Fellow,ANU College of Medicine, Biology and Environment and ANU College of Asia and the Pacific, Australia
  • Martin McKee :Professor ofEuropean Public Health, London school of Hygene and Topical Medicine. UK
  • JavedRahmanzai : Member Governance council, Executive Board Member Afghanistan
  • Y.K Gupta
  • K.SrinathReddy :President , Public Health Foundation of India
  • Dinesh Thakur : Consultant on Drug Manufacturing, EX- Ranbaxy Laboratories

15feb15-1

Pleno kali ini bertujuan untuk mengeksplorasi lebih dalam berbagai pengalaman dan pendapat tentang bagaimana hak asasi manusia dan hukum dapat diintegrasikan dan mampu menjadi pilar kebijakan kesehatan masyarakat dalam tindakan maupun kegiatannya.

Sharon tertarik pada :

  • Konsep dan integrasi dari berbagai disiplin ilmu dalam meningkatkan kesetaraan kesehatan (Health Equity)
  • Adanya aturan dari faktor-faktor struktural dalam mempengaruhi ketidakadilan kesehatan termasuk perdagangan dan investasi, urbanisasi dan perubahan iklim.
  • Analisis dari proses kebijakan dan efektifitas dalam menangani ketidakadilan kesehatan
  • Menerapkan system teori-teori keilmuan dan metode-metode untuk study Kebijakan public yang sehat dan adil.

Pembicara lain yaitu Rahmanzai memberikan pengalaman mengenai kondisi pengungsi yang berada dalam daerah konflik dan perang. Dimana kondisi ini menimbulkan banyak orang kelaparan dan menderita. Rahmanzai mengajak semua peserta untuk bersama-sama berpikir untuk keadaan ini dan melihat secara global bahwa pengungsi di daerah konflik adalah suatu masalah yang besar, dimana saat kita melakukan politik, membuat regulasi dll tetapi faktanya belum dapat memecahkan masalah kebutuhan kesehatan publik pada masyarakat yang berada di daerah konflik. Apa sebenarnya isu terbesar terhadap kesehatan publik pada masyarakat di konflik zone? Seorang peserta juga mengingatkan masalah pengungsi yang diakibatkan oleh bencana. Sehingga mungkin kita juga bisa melihat kasuspengungsi yang diakibatkan oleh keadaan bencana di Indonesia contohnya pengungsi gunung meletus Rokatenda dan di Sumatera Utara, mereka telah berbulan-bulan berada di kampung pengungsian. Apakah yang dibutuhkan mereka saat ini terkait dengan kesehatan dan makanan sudah laik? Pembicara ini juga mengatakan bahwa kita harus ikut bekerja dan masuk dalam sistem dan tidak hanya sekedar memberi konsumsi pada pengungsi. Ahli epidemiologi sangat dibutuhkan dalam penyiapan data, sehingga kita tidak hanya menggunakan pemberitaan media.

Pembicara lain bercerita tentang tiga pilar dalam kebijakan publik terhadap susteinabilitas kesehatan masyarakat yaitu :

  • Ekonomi
  • Sosial
  • Lingkungan

Ketiga pilar tersebut saling mendukung, terutama pilar sosial dan lingkungan yang sangat besar dalam mendukung ekonomi dan ini jelas terkait kesehatan publik. Isu hak asasi manusia ini termasuk dalam kapabilitas manusia dan kapabilitas kesehatan seperti kesetaraan kesehatan (health equity), udara bersih dan air bersih.

Pembicara terakhir bukan seorang dokter melainkan seorang pengusaha dan ahli dalam obat-obatan bercerita bagaimana pengembangan produk biomedis, regulasi dan teknologis informasi obat. Beliau mengatakan bahwa beliau bukanlah seorang yang anti terhadap obat generik karena obat generic adalah obat sehat dan ekonomis, namun terdapat problematik sistem terhadap obat generik. Dalam pemberian obat seperti antibiotik juga seringkali menjadi masalah sehingga banyak dijumpai resistensi obat di masyarakat. Kejadian serupa juga terjadi di Indonesia bahwa banyak terdapat pemberian obat yang seringkali tidak sesuai kebutuhan dan bagaimana pemahaman masyarakat terhadap antibiotik yang dapat dibeli dengan bebas yang mengakibatkan resistensi dikarenakan mengkonsumsi dengan tidak sesuai yang seharusnya.

Beliau juga bercerita bahwa ada perusahaan obat yang dialaporkan melakukan penipuan yaitu pemalsuan data obat dan melanggar Good Manifacturing Practices (GMP) dan Good Laboratory Practices (glp), sehingga perusahaan tersebut membayar dari tuntutan yang diberikan.

Efektivitas sistem kesehatan memiliki dampak besar pada morbiditas dan mortalitas, terutama di negara-negara yang berpenghasilan rendah dan menengah dimana kapasitas pengawasan obat lemah.

Beliau juga mengatakan bahwa di India dibutuhkan quality control dan quality insurance, agar tidak terjadi pemalsuan obat dan label obat. Terhadap obat generik perlu akses Good Quality Medicine.

Situasi ini akan dijadikan bingkai yang utama untuk masuk dalam masalah hukum kesehatan masyarakat dan akan disajikan menjadi suatu kasus dalam perjanjian global yang baru.

Output yang diharapkan yaitu ini akan menjadi kerangka kerja untuk kebijakan WFPHA dan aksi pernyataan untuk pendekatan kesehatan masyarakat.

 

Hari ke IV The 14th World Congress on Public Health

 Hari I Hari II  Hari III  Hari IV  Hari V 

 

Tiga delegasi PKMK (Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan) FK UGM hanya mengikuti sesi plenary pada hari ke-4 konferensi dengan topik "Global Public Health Challenges" di ruang grand theatre. Ruang ini merupakan ruang terbesar diantara ruang lainya tempat sesi concurent, thematic, poster dan presentasi oral berlangsung. Berikut reportase plenary 4 yang diliput oleh dr. Tiara Marthias, MPH.

Co-Chair: Ulrich Laaser, WFPHA Past President (2012-2014)

Speakers:

  • Ilona Kickbush, Professor; Global Health Programme at the Graduate Institute of International and Development Studies Switzerland
  • Vesna Bjegovic, Professor of Public Health & President of Association of Schools of Public Health in the European Region (ASPHER), Belgrade University, Serbia
  • Frederika Meijer, Country Representative, United Nations Population Fund (UNFPA)
  • Tewabech Bishaw, Managing Director, Alliance for Brain-Gain & Innovative Developmetn; and Secreatry General, African Federation of Public Health Assocation, Ethiopia

14feb15

Sesi ini memberikan sejumlah pemaparan mengenai berbagai tantangan komunitas kesehatan masyarakat di level global dan juga negara atau kawasan di dunia. Sesi ini juga bertujuan untuk memaparkan berbagai perspektif seputar solusi-solusi yang dapat dikembangkan untuk menjawab tantangan di era pasca 2015 (atau berakhirnya era MDG).

Beberapa tantangan utama yang masih ada termasuk masih tingginya angka kematian ibu dan anak di berbagai belahan dunia. Meskipun secara global AKI telah dapat ditekan hingga separuh dari angka pada tahun 1990, perkembangan kesehatan ibu dan anak dinilai belum optimal. Sejumlah negara, termasuk Indonesia, diperkirakan tidak akan dapat mencapai target-target yang telah ditetapkan dalam MDG 2015. Selain permasalah tersebut, penyakit tidak menular telah menunjukkan beban yang semakin meningkat, baik untuk negara maju maupun berkembang. Tantangan utama yang ketiga adalah keterbatasan dana kesehatan, yang merupakan masalah klasik yang terus-menerus dihadapi oleh berbagai negara.

Salah satu pembicara mengemukakan beberapa problema global yang saat ini ada dan perlu menjadi pertimbangan utama seluruh penduduk dunia karena masalah ini mempengaruhi seluruh negara dan juga lingkungan hidup. Masalah-masalah tersebut antara lain:

  1. Global warming, dimana berbagai bencana alam seperti bajir dan juga kekeringan melanda berbagai negara di belahan bumi
  2. Global divides, yaitu semakin senjangnya status kesejahteraan dilihat dari masih belum tuntasnya masalah kelaparan dan kemiskinan
  3. Global security, masalah keamanan dunia ditunjukkan dengan begitu banyaknya tragedi perang saudara dan juga terorisme
  4. Global instability, dilihat dari sejumlah krisis finansial yang melanda negara-negara di dunia. Krisis ini tentu saja telah mempengaruhi banyak negara lainnya secara tidak langsung.
  5. Global health, dimana kesehatan belummenjadi salah satu hak asasi yang utama

Beberapa permasalahan menarik yang diangkat dalam sesi ini adalah masih buruknya sistem tata kelola atau governance di bidang kesehatan. Hal ini diilustrasikan dengan contoh pinjaman asing untuk kesehatan. Begitu banyak pinjaman dari pihak asing (misalnya World Bank) yang diberikan dengan asumsi negara-negara tersebut akan mampu membiayai kelanjutan program yang diimplementasikan. Padahal, menurut co-chair sesi ini yaitu Ulrich Laaser, pinjaman semacam ini cenderung memberikan kesan bahwa dana tersedia tetapi tidak memberikan kesiapan suatu negara dalam membiayai program tersebut secara mandiri. Sisi negatif lainnya untuk pinjaman asing ini adalah adanya asumsi bahwa setelah 2-3 tahun implementasi proyek pilot, program tersebut harus dan akan bisa dibiayai oleh negara. Faktanya, bukti keberhasilan program tersebut belum tentu positif dan bermanfaat bagi negara tersebut. Sebagai tambahan, pinjaman tersebut merupakan investasi negara (karena harus dibayar di kemudian hari), yang belum tentu terbukti cost-effective.

Hal-hal positif yang telah berhasil dilakukan di level global untuk bidang kesehatan antara lain adalah:

  1. Adanya sejumlah kesepakatan global mengenai visi kesehatan masyarakat, misalnya melalui MDG
  2. Telah adanya sistem akreditasi NGO, sehingga tidak sembarang NGO dapat mengerjakan proyek dan juga untuk menjaga kualitas program
  3. Konsep One Health yang mulai dikembangkan dan diadopsi oleh banyak negara
  4. Telah maraknya SWAp atau Sector-wide approaches dalam mengimplementasikan solusi di bidang kesehatan masyarakat

Beberapa pesan penting yang perlu menjadi catatan dan dibawa pulang dari sesi ini adalah:

  1. Agenda paska 2015 harus mengutamakan perbaikan sistem pembiayaan kesehatan, baik di level negara maupun global antar lembaga donor dan negara pemberi pinjaman
  2. Solusi yang ditawarkan untuk paska 2015 seharusnya tidak lagi terbatas pada solusi teknis atau programatik di bidang kesehatan masyarakat, tetapi lebih mengedepankan perbaikan sistem pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat yang memiliki visi perbaikan status kesehatan bagi semua
  3. Investasi yang "pintar" adalah investasi yang memprioritaskan manusia–bukan program atau negara, atau lainnya–dan mengutamakan populasi yang rentan di bidang kesehatan. Investasi semacam inilah yang akan dapat mulai menjembatani jurang disparitas kesehatan untuk mengangkat status kesehatan seluruh populasi di dunia.

14feb15-1Setelah tiga delegasi PKMK mengikuti plenary, kami membagi policy brief dan pengalaman PKMK dalam menangani bencana dan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.

Memasuki sesi makan siang, kami menyempatkan diri untuk berkunjung ke exhibition Hangar tempat pameran poster berlangsung, disini terdapat banyak stan –stan menarik seperti Jhon Snow Inc, Taiwan helath promotion, WHO, atlas healthcare software dan lainya.

Konferensi ini juga menyediakan fasilitas untuk berkeliling Kolkata, tiga delegasi PKMK dan dua dari Indonesia lainya mengikuti tour. Kami diajak mengunjungi sungai Gangga. Delegasi Indonesia tidak kaget melihat kondisi sungai Gangga karena fenomena ini ibarat melihat sungai Ciliwung yang berada di Jakarta. Sungai ini digunakan sebagai media transportasi dan bahkan banyak masyarakat yang menggunakan air sungai Gangga untuk mandi. Fenomena lain yang juga menarik dari Kolkata, hampir setiap jalan yang kita lalui, di tepinya selalu ada aliran air sungai Gangga yang digunakan masyarakat kolkata mandi dan mencuci di pinggir jalan.

Reporter: dr. Bella Donna dan Eva Tirtabayu Hasri

 

Hari ke II The 14th World Congress on Public Health

 Hari I Hari II  Hari III  Hari IV  Hari V 

Reporter: dr. Bella Donna, M. Kes; dr. Tiara Marthias, MPH dan Eva Tirtabayu, MPH

Setelah mengikuti pre-kongres sehari sebelumnya, maka tiga delegasi PKMK mengikuti Kongres kesehatan masyarakat yang dimulai hari ini, 12 Februari 2015 di Kolkata.

kolkota7

Kolkata adalah ibu kota dari Bengal Barat dan merupakan kota terbesar di India setelah New Delhi. Kota ini cukup membuat kami selalu terkejut dengan suara klakson mobil maupun motor dari setiap kendaraan yang ada di jalanan. Mereka selalu membunyikan klakson setiap kali jalan, dan yang menarik adalah bahwa setiap kali tiba di perempatan lampu merah maka akan mematikan mesin dan mulai menyalakannya kembali saat lampu menyala hijau.

Pengalaman pertama bagi delegasi PKMK untuk menginjakkan kaki di Kolkata. Infrastruktur, sanitasi dan budaya Kolkata membuat kami bangga menjadi anak Indonesia. Potret kehidupan masyarakat Kolkata menjadi tantangan bagi ahli kesehatan masyarakat. Mungkin ini sebabnya konferensi diselenggarakan di sini.

Kegiatan kongres diselengggarakan di Science City Kolkata, melihat tempatnya maka kami teringat Taman Pintar Yogyakarta, namun bangunan tempat pelaksanaan plennary berlangsung cukup luas dengan ruangan berbentuk teater dan bisa menampung sekitar 2.200 orang. Sementara kegiatan lainnya seperti presentasi oral disiapkan di belakang gedung grand theatre dengan bangunan yang dibangun khusus untuk kongres kesehatan masyarakat yang ke-14.

Berikut laporan dari kongres yang kami ikuti:

Plenary I

Defining the Role of Public Health in Today's Global Setting

Co-Chairs: Bettina Borisch, Head of WFPHA Geneva Secretariate Dipika Sur, Secretary General, IPHA

Speakers:

  • Reuben Samuel, Representative to India, WHO
  • Eduardo Campos, FIOCRUZ (Brazil)
  • Pekka Puska, President of International Association of National Public Health Institutions (IANPHI)
  • Rudger Krech, Director of Department of Ethics, Equity, Trade & Human Rights, WHO

kolkota2Sesi ini bertujuan untuk memaparkan sejumlah reformasi di bidang kesehatan masyarakat, dengan mengangkat hasil-hasil pembelajarandari sejumlah negara dan kawasan.

Pembicara dari Finlandia memaparkan langkah-langkah yang telah ditempuh pemerintah dan profesional kesehatan masyarakat dalam bidang promosi kesehatan, terutama dalam menjawab tantangan beban penyakit degenatif atau non-communicable disease. Salah satu hasil nyata adalah berhasilnya program pengurangan kadar lemak dalam susu. Upaya ini tidak terlepas dari faktor-faktor kunci dalam mempromosikan perubahan dalam sistem kesehatan, di mana semua faktor saling mempengaruhi:

13feb15

Berdasarkan pengalaman di Finlandia dan dari suksesnya beberapa program promosi kesehatan, instrumen utama yang dibutuhkan adalah adanya dukungan dari kebijakan dan institusi pemerintahan terhadap program tersebut.

Pembicara dari FIOCRUZ/Brazil dalam paparannya yang berjudul "Public health needs to be both technical and political – Brazil experience in sharing health equity agenda" mempresentasikan situasi Brazil yang masih menghadapi sejumlah masalah kesenjangan dalam kesehatan. Namun, satu hal yang sudah didesain dengan baik di Brazil adalah adanya platform kebijakan yang menekankan equity dalam kesehatan. Misalnya, dalam konstitusi Brazil tahun 1988, keadilan kesehatan atau equity in health telah dituangkan dalam setidaknya lima pasal mengenai kesehatan. Konstitusi ini juga telah memberikan dasar hukum untuk implementasi universal health coverage, dengan penekanan pada kualitas dan kesetaraan untuk seluruh masyarakat Brazil.

Brazil, dalam gerakan yang menjadi bagian dari inisiatif health in all policies, berhasil menelurkan sejumlah program kunci (tidak hanya di bidang kesehatan, tetapi menjangkau lintas sektor), terutama setelah dibentuknya komisi untuk determinan sosial kesehatan melalui surat keputusan presiden;

  • Conditional cash transfer – berhasil mengangkat 30 juta populasi dari status kemiskinan
  • Sektor pendidikan – dengan menyediakan pendidikan gratis hingga universitas
  • Pembangungan perumahan skala besar
  • Penyediaan akses universal ke sumber air bersih, listrik, dan sanitasi
  • Pusat-pusat kebugaran di level masyarakat

kolkota1Saat ini, meski tantangan kesehatan masih ada, Brazil telah berhasil menempatkan sistem rujukan berjenjang di seluruh kawasan negara tersebut, dan merupakan negara ke-2 terbesar setelah Amerika Serikat yang menyediakan layanan transplantasi organ yang dibiayai oleh negara, serta memiliki sistem transportasi untuk gawat darurat kesehatan secara universal.

Kunci pembelajaran dari Brazil yang dapat dipetik adalah reformasi di bidang kesehatan dapat berhasil bukan karena masalah teknis atau sekedar berhasilnya program-program kesehatan, tetapi dengan menjangkau sektor-sektor di luar bidang kesehatan dengan cara menyatukan kebijakan-kebijakan agar perbaikan kesehatan dianggap sebagai salah satu tujuan utama yang mendukung perbaikan bangsa.

Pemaparan dari WHO Brazil menunjukkan beberapa tantangan kesehatan di India, termasuk tingginya angka kematian ibu dan prevalensi gizi buruk pada anak. Meskipun terdapat beberapa perbaikan ekonomi dan pengentasan kemiskinan, masalah kesenjangan kesehatan di India masih sangat besar. Misalnya, tingginya pembayaran out of pocket payment (OOP) yang mencapai 40% serta banyaknya rakyat India yang jatuh ke dalam satus miskin akibat pengeluaran kesehatan (catastrophic expenditure). Faktor kunci yang berperan adalah determinan sosial, dimana kesenjangan ini banyak dipengaruhi oleh tingkat kemiskinan dan pendidikan masyarakat yang timpang.

Langkah kebijakan yang dianggap penting untuk India adalah tindakan-tindakan yang menggabungkan pendekatan upstream dengan downstream, termasuk mengatasi masalah determinan sosial untuk kesehatan, memastikan sistem pembiayaan kesehatan yang menjamin equity, serta inklusi masyarakat ke dalam program-program kesehatan.

Rudger Krech dari WHO memberikan presentasi menarik tentang bagaimana agenda kesehatan telah menjadi agenda politik. Misalnya dalam pertemuan pimpinan negara G-7 di Jerman pada 2014, tiga dari enam agenda adalah masalah kesehatan. Sementara tiga agenda lainnya juga berhubungan dengan kesehatan, termasuk di dalamnya adalah isu pemberdayaan perempuan.

Agenda kesehatan menjadi agenda politik karena beberapa hal, terutama di era globalisasi saat ini;

  • Kesehatan mempengaruhi sistem finansial. Di era globalisasi ini, keruntuhan ekonomi di satu negara akan (dan tidak dapat dihindari) mempengaruhi perbankan dan sistem keuangan negara-negara lainnya.
  • Kesehatan telah menjadi isu keamanan, hal ini dapat dilihat dari isu Ebola di Afrika sejak tahun lalu, di mana penyakit tidak mengenal perbatasan ataupun zona wilayah negara.
  • Kesehatan selalu merupakan masalah sosial yang mempengaruhi masyarakat di tingkat global.

Kepentingan politik ini juga telah membuahkan sejumlah inisiatif kesehatan global yang didukung oleh berbagai negara. Banyak sekali organisasi kesehatan global yang didanai oleh pemeirntah, berbagai peneltiian dan proyek kesehatan yang didukung oleh berbagai negara, hingga kolaborasi internasional yang saat ini sangat banyak dan berkembang pesat.

Namun, dari tragedi krisis Ebola yang terjadi akhir-akhir ini di kawasan Afrika Barat, nyata sekali bahwa sistem kesehatan masyarakat global belum dapat berfungsi sama sekali dalam mengatasi bencara semacam Ebola. Kegagalan ini terjadi di dua level:

  1. Di dalam negeri yang mengalami wabah Ebola, di mana tidak ada sistem kesehatan yang berfungsi sehingga kontrol wabah tidak berjalan dengan semestinya. Para pekerja kesehatan tidak didukung oleh pemerintah, baik dari segi alokasi pendanaan maupun regulasi yang mendukung sistem itu sendiri.
  2. Kegagalan kedua adalah di level global, yang lebih banyak dibahas dalam sesi ini. Komunitas kesehatan global ternyata tidak memiliki sistem koordinasi yang berfungsi. Hal ini dapat dilihat dari begitu lambatnya respon global terhadap wabah Ebola, yang menyebabkan kematian ribuan masyarakat dan ratusan pekerja kesehatan di berbagai negara. Komunitas kesehatan global juga mengalami kegagalan dalam memobilisasi sumber daya yang dibutuhkan, yang juga disebabkan oleh begitu terbatasnya koordinasi antar insitusi dan negara-negara di bidang kesehatan global.

Hasil diskusi sesi ini menggarisbawahi beberapa hal penting, yaitu:

  • Komunitas kesehatan global harus menghentikan kebiasaan eksklusivitas yang telah membatasi hubungan dunia kesehatan dengan bidang lainnya.
  • Tanpa perubahan yang nyata, sistem kesehatan global saat ini tidaklah berfungsi sebagaimana mestinya. Upaya harus dilakukan ke arah yang sama dan didukung oleh berbagai pihak, misalnya dengan mengkoordinasikan institusi dan berbagai negara untuk satu tujuan kesehatan global.
  • Perubahan sistem ini perlu dimulai dari perubahan dalam sistem pendidikan public health yang perlu lebih inklusif terhadap lintas sektor lainnya

kolkota3