Jakarta – Banyak kalangan masih mempersoalkan besaran iuran Penerima Bantuan Iuran (PBI), yang untuk sementara disetujui Kementerian Keuangan (Kemkeu) sebesar Rp15.500 per orang per bulan. Asosiasi Klinik Indonesia (Asklin) juga mempersoalkan besaran PBI yang diusulkan Kemkeu tersebut.
"Asklin sebenarnya meminta PBI dilihat dari kapitasi yang ideal atau keekonomian agar mengakomodir kepentingan semua komponen pelayanan di klinik," ujar Ketua Umum Asklin dr Eddi Junaidi di sela acara Asklin Indo Clinic Expo (Asklin ICE) 2013, di Jakarta, Kamis.
Dr Eddi mengatakan, kapitasi yang ideal untuk pelayanan kesehatan di klinik adalah sebesar Rp15.000 sampai Rp20.000. Rincian biaya ini terdiri dari gaji dokter, minimal 2 dokter untuk klinik rawat jalan, dan lebih untuk rawat inap, gaji tenaga kesehatan lain termasuk dokter gigi, serta obat-obatan. Belum lagi untuk penyusutan dan pemeliharaan gedung, juga termasuk biaya peningkatan sumber daya manusia di klinik dan lainnya.
"Asklin tidak bicara besaran iuran PBI, tetapi kapitasinya. Kami minta kapitasi untuk klinik Rp15.000 sampai Rp 20.000. Itu pun jumlah kapitasinya dari kunjungan rutin antara 5.000 sampai 10.000 jiwa penduduk," kata Eddi.
Asklin juga protes kepada pemerintah karena tidak pernah dilibatkan dalam proses persiapan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang akan dilaksanakan pada 1 Januari 2014 mendatang, meskipun selalu dianggap sebagai gatekeeper pelayanan kesehatan di masyarakat.
Termasuk dalam perhitungan besaran iuran PBI, yakni orang miskin dan tidak mampu yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah pada BPJS Kesehatan.
Meskipun demikian, kata Eddi, pihaknya terus mengadvokasi klinik di seluruh pelosok untuk menghadapi BPJS. Terutama dari sisi standar pelayanan, sarana prasarana dan mutunya. Pasalnya sebagai fasilitas layanan primer dan sekunder yang paling dekat dengan masyarakat, kontribusi klinik sangat menentukan, terutama untuk memenuhi ketersediaan tempat tidur.
Yang paling penting dipersiapkan saat ini, menurut Eddi adalah legalitas klinik. Masih banyak klinik yang belum diakui legalitasnya, yang dikarenakan antara lain kelalaian klinik sendiri untuk mengurus atau pun peraturan daerah yang mempersulit.
KLINIK PESAT
Menurut dia, perkembangan klinik di Tanah Air makin pesat, tetapi belum terkoordinir dengan baik. Saat ini diperkirakan ada 20.000 klinik, tetapi Dinas Kabupaten/Kota tidak cukup tenaga untuk mengawasi maupun melakukan pembinaan terhadap mereka. Menurutnya, selama ini klinik hanya memberikan pelayanan atas dasar standar perijinan dari Dinas Kesehatan di daerah, tetapi untuk evaluasinya belum ada pihak yang melakukannya.
Klinik juga hanya dapat memperpanjang ijin setiap lima tahun sekali, tetapi tidak ada evaluasi kinerja setiap tahun. Penerapan setiap klinik pun akhirnya berbeda, karena belum ada standar secara nasional.
Masih terkait kesiapan BPJS Kesehatan, secara terpisah, Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS), BPJS Watch dan Majelis Perserikatan Buruh Indonesia (MPBI) menolak jumlah PBI yang ditetapkan pemerintah sebanyak 86,4 juta jiwa. Jumlah ini dipangkas dari yang ditetapkan sebelumnya dan disepakati dalam rapat koordinasi Menko Kesra, yang juga di dalamnya terlibat Menteri Keuangan, yakni 96,7 juta jiwa. Terkait pengurangan jumlah PBI ini, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sudah mengirimkan surat kepada Presiden maupun Menteri Keuangan untuk meminta agar jumlah 96,7 dipenuhi.
Menurut Sekjen KAJS Said Iqbal, definisi orang miskin dan tidak mampu yang masuk dalam PBI seperti yang tertuang dalam PP 101/2012 tentang PBI belum tepat. Jika mengacu pada UU 13/2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, orang miskin adalah yang tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup layak. Kebutuhan hidup layak menurut UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan adalah upah minimum.
Berdasarkan definisi ini, maka menurut Said Iqbal jumlah PBI sebetulnya bisa mencapai 150 juta jiwa. Jumlah ini terdiri dari sekitar 80 jutaan pekerja formal penerima upah minimum bersama empat anggota keluarga, ditambah peserta Jamkesmas 2012 sebanyak 76,4 juta jiwa.
"Kami minta PBI termasuk di dalamnya pekerja buruh atau masyarakat yang penghasilannya sama dengan atau lebih kecil dari upah minimum,"ucapnya.
Menanggapi jumlah PBI ini, Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan Usman Sumantri mengatakan, jumlah PBI sebanyak 86,4 juta diambil dari data Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) BPS tahun 2011, yang divalidasi kembali oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Jumlah ini lebih sedikit dari data TNP2K, yakni sebanyak 96,7 juta atau sekitar 40 persen dari total penduduk Indonesia.
"Kami hanya ambil 86,4 juta karena sesuai kemampuan keuangan yang juga atas persetujuan DPR. Sisanya akan masuk ke skema Jamkesda. Tetapi ini untuk sementara, secara bertahap kita akan tingkatkan," kata Usman.
Sekretaris Eksekutif TNP2K Bambang Widianto mengatakan, jumlah 96,7 juta jiwa atau 24 juta rumah tangga miskin adalah kelompok masyarakat dengan tingkat kesejahteraan terendah berdasarkan by name by address.
Jumlah ini adalah gabungan dari orang sangat miskin dan miskin berdasarkan data BPS yakni sekitar 30 juta lebih (11,95 persen), dengan salah satu indikator pengukuran adalah pendapatan 1 dolar AS per hari atau sekitar Rp250 ribu per bulan atau sekitar Rp1 juta untuk satu rumah tangga. Sisanya adalah orang yang tidak mampu, yakni mereka yang pendapatannya sekitar Rp2-3 juta untuk satu rumah tangga. Kelompok ini tidak tergolong miskin, tetapi dengan pendapatan seperti ini mereka sangat rentan jatuh miskin ketika terjadi perubahan ekonomi.
Menurutnya, dari mekanisme pendataan kemungkinan data PPLS ada kesalahan, namun masih dalam tingkat toleransi atau wajar. Bisa dideteksi ada sekitar 3 persen data ini salah pendataan, dan 3 persen lagi karena orang pindah, meninggal, atau tidak lagi miskin. Tetapi dipastikan 92-94 persen data ini bisa diterima.
(sumber: www.poskotanews.com)