Pemerintah semestinya memandang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai investasi dan bukan sebagai beban. Soalnya, bila kesehatan rakyat terjamin maka produktifitas rakyat pun semakin meningkat.
Namun kondisi yang terjadi saat ini sebaliknya. Pemerintah dinilai merasa terbebani dengan keberadaan BPJS. Buktinya, Kementerian Keuangan dianggap enggan menganggarkan iuran untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dalam besaran yang cukup.
Anggota Badan Pekerja Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) dari KSPSI, Subianto mengatakan, dari kesepakatan sebelumnya antara serikat pekerja, Menkokesra, Kementerian Kesehatan dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) diusulkan iuran sebesar Rp22.200/orang/bulan.
Namun, lewat surat yang ditujukan kepada DJSN, Menkeu memangkas iuran itu menjadi Rp15ribu. Pemangkasan iuran itu berpotensi besar mengurangi manfaat kesehatan yang diterima peserta PBI.
Karenanya serikat pekerja menuntut agar pihak terkait segera merevisi PP PBI dan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan Nasional (Perpres Jamkes). Selain melakukan kajian akademik atas peraturan pelaksana BPJS, serikat pekerja merencanakan empat demonstrasi besar dan mogok kerja nasional.
Pada kesempatan yang sama anggota Presidium Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS), Timboel Siregar, mengaku heran kenapa PP PBI mengutamakan peran Menkeu, khususnya dalam hal menetapkan iuran untuk PBI. Padahal, mengacu UU SJSN, Timboel melihat DJSN punya hak untuk mengusulkan berapa iuran yang diperlukan untuk PBI.
Konstitusi, lanjut Timboel, juga mengamanatkan agar anggaran kesehatan minimal sebesar lima persen dari APBN. Melihat potensi keuangan negara, Timboel menghitung anggaran yang ada cukup untuk membiayai jumlah peserta PBI sampai 120 juta orang. Apalagi, tiap kementerian punya anggaran bantuan sosial (Bansos) yang dinilai sering tak tepat sasaran.
Oleh karenanya, ketimbang anggaran negara digunakan untuk perihal yang tak jelas, Timboel menyarankan agar dana bansos dialihkan untuk menambah besaran iuran dan peserta PBI. "Anggaran lebih dipentingkan untuk hal politis daripada kesehatan rakyat," tegas Timboel dalam sebuah diskusi di Universitas Atmajaya, Jakarta, Senin (4/3).
Untuk menentukan besaran iuran PBI, Timboel menegaskan agar Menkeu tak mengambil keputusan sepihak. Menurutnya, Menkeu harus melakukan konsensus dengan kementerian terkait lainnya untuk menyepakati besaran iuran PBI. Jika nantinya pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk menunda BPJS, DPR punya kewenangan untuk menolaknya. Begitu pula soal besaran iuran PBI.
Sementara, Koordinator BPJS Watch, Indra Munaswar, mempertanyakan kenapa Perpres Jamkes mengamanatkan peraturan itu berlaku pada 2014 nanti. Walau di awal tahun itu BPJS Kesehatan mulai beroperasi namun persiapannya harus dilakukan jauh hari. Sejalan dengan itu mestinya Perpres Jamkes dijalankan setelah peraturan itu diundangkan. Indra khawatir jika persiapan menuju BPJS baru dilakukan pada 2014, pelaksanaannya nanti akan carut marut. "Kami mendesak presiden revisi Perpres itu," tuturnya.
Soal besaran iuran, Direktur Kepesertaan PT Askes, Sri Endang Tidarwati, mengatakan hal itu sangat berpengaruh atas manfaat pelayanan kesehatan yang diperoleh peserta BPJS. Bahkan, Endang mencatat biaya kesehatan cenderung meningkat tiap tahun. Untuk mewujudkan manfaat pelayanan kesehatan sebagaimana amanat UU SJSN dan UU BPJS dia mengatakan iuran minimal yang dibutuhkan sekitar Rp27 ribu. Besaran itu menurutnya sesuai manfaat yang selama ini didapat oleh peserta Askes yang tergolong PNS.
Dengan besaran iuran yang tepat, Endang berpendapat tak hanya memberi kenyamanan bagi peserta, tapi juga pihak rumah sakit. Pasalnya, dengan minimnya jumlah iuran Endang khawatir RS akan memberi pelayanan yang kurang maksimal. Endang sepakat, untuk melaksanakan BPJS dibutuhkan regulasi yang sangat baik. Sehingga, ketika BPJS beroperasi, seluruh peserta dapat dijamin pelayanannya.
Untuk mempersiapkan beroperasinya BPJS Kesehatan di tahun 2014, Endang mengatakan pada Kamis depan PT Askes dan PT Jamsostek akan menjalin kerjasama. Yaitu PT Jamsostek bakal menyerahkan secara bertahap peserta program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan kepada PT Askes. Dengan begitu diharapkan pada 2014 nanti BPJS dapat berjalan baik. "Jangan sampai ketika sakit, karena tak terdata, peserta ditolak RS," urainya.
Sementara Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, Isa Rachmatarwata, mengatakan besaran iuran PBI sebesar Rp15 ribu yang diusulkan Kemenkeu merupakan hasil pembahasan yang panjang antar kementerian terkait.
Menurutnya, besaran itu ditentukan oleh banyak faktor, mulai dari teknis aktuaria seperti tingkat utilisasi, biaya kapitasi dan pergeseran jenis penyakit. Terkait fiskal, iuran itu baginya akan berpengaruh terhadap aspek lain salah satunya APBN. Untuk itu dari rangkaian pembahasan yang sudah dilakukan, Menkeu berkesimpulan iuran yang tepat untuk PBI sebesar Rp15 ribu. "Karena tidak mengubah drastis APBN," ujarnya.
Selain itu Isa menekankan bahwa pada perjalanannya nanti, Kemenkeu akan mengevaluasi pelaksanaan iuran PBI itu. Sehingga, ke depan, besaran iuran itu akan terus mengalami perbaikan.
Untuk menambahkan besaran iuran PBI itu, Isa berharap ada pos subsidi lain yang dapat dialokasikan. Misalnya, memperketat subsidi di bidang energi. "Kami juga melihat BPJS sebagai investasi (di bidang kesehatan,-red)," ucapnya.
Sedangkan anggota Komisi IX dari FPDIP, Caroline, mengatakan dalam pembahasan terakhir antara Komisi IX dengan Kemenkes, Wamenkes menjelaskan belum ada kesepakatan lintas kementerian terkait untuk menetapkan besaran iuran BPJS. Menurutnya, jika belum ada kesepakatan, Menkeu tak tepat menetapkan besaran iuran itu.
Caroline mempertanyakan kelayakan manfaat pelayanan BPJS Kesehatan bila anggarannya seperti yang disampaikan Kementerian Keuangan. Untuk mengawal dan mengevaluasi persiapan BPJS, Caroline berjanji akan mengusulkan pembentukan Pansus di DPR. Selain itu Caroline mengatakan upaya pengawasan yang dilakukan DPR itu harus mendapat dukungan dari rakyat. Namun, Caroline menegaskan, apapun yang terjadi, pelaksanaan BPJS tak boleh terhambat. "Jangan sampai ribut-ribut ini menunda pelaksanaan BPJS," tegasnya.
(sumber: www.hukumonline.com)