Dilantik 57 Pejabat Eselon II di Lingkungan Kemenkes

9janMenteri Kesehatan (Menkes) Nila FA Moeloek melantik 57 pejabat eselon II di lingkup jajarannya. Pelantikan itu merupakan tindak lanjut proses penataan organisasi, sesuai Permenkes No 64 Tahun 2015 tentang organisasi dan tata kerja Kementerian Kesehatan yang baru.

"Penataan atau restrukturisasi organisasi merupakan salah satu upaya meningkatkan kinerja dan efektifitas organisasi," kata Menkes dalam sambutannya usai pelantikan, di Jakarta, Jumat (7/1) petang.

Kepada para pejabat yang dilantik, Menkes menekankan agar membangun kesinambungan antara kebijakan dan program lintas sektor. Hal itu sangat penting dalam upaya pembangunan kesehatan yang semakin cepat, mudah, terjangkau dan terukur.

"Untuk itu, langkah pertama seringkali tidak hanya tersulit, namun juga terpenting" ucap Menkes.

Selanjutnya para pejabat yang baru dilantik diminta untuk menandatangani Pakta Integritas dihadapan pimpinan unit utama masing – masing. Pakta Integritas diharapkan mempercepat upaya mewujudkan birokrasi yang bersih dan baik, sehingga mendapat kepercayaan publik setinggi-tingginya.

"Namun perlu disadari, Pakta Integritas hanya merupakan salah satu alat atau tool dalam upaya mewujudkan jalannya pemerintahan yang baik dan bersih," kata Nila menegaskan.

Para pejabat yang dilantik di lingkup Sekretariat Jenderal, disebutkan, Slamet sebagai Kepala Biro Perencanaan dan Anggaran, Wiwik Widarti sebagai Kepala Biro Keuangan dan Barang Milik Negara, Barlian sebagai Kepala Biro Hukum dan Organisasi, Murti Utami sebagai Kepala Biro Kepegawaian dan Budi Dhewajani sebagai Kepala Biro Kerjasama LuarNegeri.

Selain itu ada Embry Netty sebagai Kepala Biro Umum, Pattiselanno Roberth Johan sebagai Kepala Pusat Data dan Informasi, Donald Pardede sebagai Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan dan Achmad Yurianto sebagai Kepala Pusat Krisis Kesehatan, Muchtaruddin Mansyur sebagai Kepala Pusat Kesehatan Haji.

Di lingkup Inspektorat Jenderal, pejabat eselon II yang dilantik yaitu SR Mustikowati sebagai Sekretaris Inspektorat Jenderal, Heru Arnowo sebagai Inspektur I, Wiyono Budihardjo sebagai Inspektur II, Rahmaniar Brahim sebagai Inspektur III dan Wayan Rai Suarthana sebagai Inspektur IV.

Di lingkungan Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan, pejabat yang dilantik Agus Hadian Rahim sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan, Gita Maya Koemara sebagai Direktur Pelayanan Kesehatan Primer, Tri Hesty Widyastoeti Marwotosoeko sebagai Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan dan Meinarwati sebagai Direktur Pelayanan Kesehatan Tradisional.

Di Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Menkes mengangkat Kuwat Sri Hudoyo sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kartini Rustandi sebagai sebagai Direktur Kesehatan Kerja danOlahraga, Doddy Izwardy sebagai Direktur Gizi Masyarakat, Imran Agus Nurali sebagai sebagai Direktur Kesehatan Lingkungan, Dedi Kuswenda sebagai Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat.

Pada Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, pejabat eselon II yang dilantik adalah Agusdini Banun Saptaningsih sebagai sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Engko Sosialine Magdalene sebagai Direktur Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan dan Bayu Teja Muliawan sebagai Direktur Pelayanan Kefarmasian.

Selain itu, pejabat lainnya R Dettie Yuliati sebagai Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian, Arianti Anaya sebagai Direktur Penilaian Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga, Sodikin Sadek sebagai Direktur Pengawasan Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan RumahTangga.

Di lingkungan Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, pejabat yang dilantik adalah Desak Made Wismarini sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Elizabeth Jane Soepardi sebagai Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan dan Wiendra Waworuntu Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung.

Selain itu, pejabat lainnya adalah Vensya Sitohang sebagai Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik, Lily Sriwahyuni Sulistyowati sebagai Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Fidiansjah Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA.

Pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Pejabat yang dilantik Ria Soekarno sebagai Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Pretty Multihartina sebagai Kepala Pusat Penelitian danPengembangan Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Agus Suprapto sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat, Dede Anwar Mursadad sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Humaniora dan Manajemen Kesehatan.

Dan yang terakhir pada Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Menkes melantik Kirana Pritasari sebagai Sekretaris Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan, Asjikin Iman Hidayat Dachlan sebagai Kepala Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDM Kesehatan, Achmad Soebagjo Tancarino sebagai Kepala Pusat Pendidikan SDM Kesehatan, Suhardjono sebagai Kepala Pusat Pelatihan SDM Kesehatan dan Suhartati sebagai Kepala Pusat Peningkatan Mutu SDM Kesehatan. (TW)

{jcomments on}

 

Program JKN: Pemerintah Hapus 1,754 Juta Nama Peserta PBI

7janPemerintah menghapus nama 1,754 juta peserta penerima biaya iuran (PBI) dari data masterfile BPJS Kesehatan kelompok PBI 2016. Kendati demikian, jumlah penerima PBI tahun ini ditingkatkan menjadi 92,4 juta orang.

"Jadi ada peserta yang dihapus, tetapi ada juga peserta baru yang masuk dalam kelompok PBI, termasuk sekitar 400 ribu bayi baru lahir dari keluarga penerima PBI," kata Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Rahmat Sentika kepada wartawan, di Jakarta, Kamis (7/1).

Hadir dalam kesempatan itu Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris dan Hari Hikmat, Ketua Satgas Percepatan Verifikasi dan Validasi PBI.

Rahmat Sentika menuturkan penghapusan nama 1,754 juta peserta PBI disebabkan tiga hal, yaitu meninggal, status ganda dan peserta "naik kelas" secara ekonomi. Rinciannya, sebanyak 615.665 orang meninggal dunia, 159.648 orang memiliki status ganda (terdaftar di dua tempat) dan 979.096 orang naik kelas secara ekonomi.

"Untuk peserta PBI yang saat ini sudah "naik kelas", jangan buang kartunya. Tinggal lapor ke kantor BPJS Kesehatan untuk mengubah status dari PBI menjadi mandiri. Setelah itu, bayar iuran per bulan sesuai kelas yang diinginkan," tutur Rahmat Sentika.

Hari Hikmat yang juga Staf Ahli Menteri Sosial Bidang Dampak Sosial menjelaskan, meski ada penghapusan 1,754 juta orang, namun secara keseluruhan jumlah penerima PBI 2016 malah bertambah menjadi 92,4 juta orang.

"Tambahan sekitar 8 juta orang ini, datanya sudah ada di tangan. Tinggal kami lakukan verifikasi dan validasi data. Kecuali 400 ribu bayi yang baru lahir dari keluarga penerima PBI," tuturnya.

Bagi peserta PBI yang keberatan namanya dihapus dalam daftar, menurut Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris, bisa mengadukan masalahnya ke Posko Pemantauan dan Penanganan Pengaduan Distribusi Kartu Indonesia Sehat (KIS)-PBI baik di tingkat kantor pusat, kantor divisi regional, kantor cabang dan kantor layanan operasional kabupaten/kota.

"Atau bisa melapor melalui alamat email yaitu, This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.," kata Fachmi menandaskan. (TW)

{jcomments on}

IDI Tak Pernah Rekomendasi Izin Praktik Chiropractic First

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) DKI Jakarta, Slamet Budiarto, menegaskan tidak pernah memberikan rekomendasi izin atas praktik kesehatan Klinik Chiropractic First di Pondok Indah Mal 1. Hal tersebut disampaikan menyusul adanya dugaan malapraktik yang menyebabkan kematian salah satu pelanggan Chiropractic, Allya Siska Nadya (33).

"Kami tidak pernah memberikan rekomendasi izin praktik atas Chiropractic First. Dia komplementer dan berdirinya ilegal," kata Slamet saat dihubungi CNN Indonesia, Kamis (7/1).

Meski demikian, Slamet mengakui masih banyak klinik kesehatan asing yang berdiri secara ilegal di Indonesia. Sebabnya, ketidakjelasan peraturan pemerintah daerah tentang pendirian izin klinik kesehatan.

"Di Indonesia regulasinya belum jelas sehingga klinik asing ini muncul ilegal. Mestinya diatur apakah Klinik Chiropractic itu masuk medis atau bukan. Untuk penanganan kesehatan wilayah leher, misalnya, jika tidak ditangani secara profesional berbahaya sekali," ujarnya.

Slamet mengatakan klinik kesehatan komplementer sejenis Chiropractic First di Amerika Serikat memang berkembang pesat. Namun, di Indonesia, kehadiran klinik kesehatan asing justru menimbulkan persoalan tertentu, yakni masalah perlindungan terhadap konsumen menjadi abu-abu.

"Karena sulit mendapatkan izin klinik akhirnya jadi ilegal berdirinya. Nah, ini yang susah kami pantau, termasuk kompetensi tenaga-tenaga medis dan tindakan medisnya," kata Slamet. "Lihat kasus sekarang, dokternya (Randall) malah sudah pergi ke luar negeri."

Slamet menyebutkan hingga saat ini, hanya terdapat sekitar 40 hingga 50 persen klinik kesehatan di Ibu Kota yang memiliki izin. Sisanya, tidak mendapatkan izin dari pemda DKI dan berdiri secara ilegal.

"Jakarta menerapkan sistem zonasi sehingga ada daerah tertentu yang tidak boleh dijadikan tempat klinik. Padahal, prinsip pendirian klinik harus dekat dengan masyarakat. Karena susah, makanya banyak yang ilegal," kata Slamet menjelaskan.

Oleh karena itu, dia berharap pemerintah daerah DKI bisa merevisi aturan mengenai pendirian klinik. Sehingga, ujarnya, akan lebih mudah bagi IDI untuk memantau dan mengawasi praktik-praktik kesehatan dari klinik baik lokal atupun asing.

"Kami sudah sampaikan ke Gubernur DKI. Orang mau legal, kok, malah dipersulit. Nanti, jadinya ilegal. Namun, sampai sekarang belum juga ada respon lanjut," ujar Slamet.

Sementara itu, kepada masyarakat, Slamet mengimbau agar lebih mengutamakan layanan kesehatan primer atau sekunder, alih-alih komplementer untuk mengatasi persoalan kesehatan.

"Kalau nanti ada rekomendasi untuk melanjutkan ke klinik komplementer, baru dijalankan," ujar Slamet.

Ketua Perhimpunan Klinik dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Seluruh Indonesia tersebut juga berharap masyarakat tidak berpikir sempit bahwa tenaga medis asing akan selalu lebih baik dari tenaga medis lokal.

"Masyarakat harus menyadari kalau terjadi masalah, tenaga medis asing tak mungkin menetap di sini. Jadi, bagaimana menelusurinya," kata Slamet.

Sebelumnya, Allya, yang merupakan putri mantan Wakil Direktur Komunikasi Perusahaan Listrik Negara, tewas di RS Pondok Indah pada hari Kamis (5/8) tahun lalu. Sebelum tewas ia melakukan terapi di Chiropractic First karena merasa sakit pada bagian leher bagian belakang akibat aktivitas kerjanya yang terbilang tinggi.

Wanita yang lulus dari jurusan Media dan Komunikasi di Universitas Teknologi Queensland, Australia, merasakan sakit yang luar biasa pada bagian lehernya hingga mengakibatkan muntah-muntah usai melakukan dua kali terapi dalam satu hari di klinik tersebut.

Orang tuanya yang panik kemudian membawa Allya ke RS Pondok Indah dan dimasukkan ke Instalasi Gawat Darurat untuk mendapat penanganan mendis yang lebih intensif. Namun, setelah beberapa jam berada di IGD, Allya menghembuskan nafas terakhirnya meski pihak RS telah melakukan langkah alternatif untuk menyelamatkan nyawa Allya.

Alasan Allya untuk melakukan pengobatan pada bagian lehernya karena pada pertengahan Desember tahun lalu akan meninggalkan Indonesia menuju Prancis untuk melanjutkan pendidikan Masternya.

Atas kejadian tersebut, Orang tua Allya kemudian melaporkan kejadian dugaan malapraktik yang dilakukan Klinik Chiropractic First ke Polda Metro Jaya. (utd)

sumber; http://www.cnnindonesia.com/

 

 

Pemberlakuan MEA: Dokter Praktik di Luar Negeri Masih Tunggu Kesepakatan Kompetensi

6jan-1Menteri Kesehatan (Menkes) Nila Moeloek menyatakan, tenaga kesehatab Indonesia yang ingin praktik di luar negeri, tampaknya masih harus menahan diri. Karena kesepakatan soal kompetensi hingga kini masih belum ditandatangani.

"Skema Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) telah diterapkan sejak awal 2016, tetapi hal-hal yang lebih detik seperti kompetensi tenaga kesehatan yang bisa praktik di luar negeri belum disepakati," kata Nila Moeloek dalam jumpa pers awal tahun 2016, di Jakarta, Selasa (5/1).

Ditambahkan, hingga kini masih terjadi perdebatan terkait dengan kompetensi tenaga kesehatan, khususnya dokter. Karena, ada pihak2 yang diuntungkan dalam kondisi ini. Misalkan, dokter dari Singapura yang bisa mudah praktik di Myanmar, tapi belum tentu sebaliknya.

"Masih ada standar-standar yang harus dipenuhi. Dan hingga kini masih dalam tahap pembahasan," tutur Nila seraya menyebutkan tenaga kesehatan itu menyangkut dokter, dokter gigi dan perawat.

Menurut Nila, sejauh ini belum ada titik temu di antara negara ASEAN soal keleluasaan pertukaran tenaga kesehatan ini. Untuk itu, ke depannya masih akan dibicarakan di antara negara ASEAN soal harmonisasi kompetensi tenaga kesehatan ini.

Ditambahkan, MEA sejatinya memberikan kemudahan di antara negara ASEAN untuk berbagai hal salah satunya soal tenaga kerja. Kendati begitu, untuk soal tenaga medis belum ada kesepakatan.

"Meski begitu, belum adanya kesepakatan soal pertukaran tenaga medis tidak lantas membatasi masyarakat ASEAN untuk melakukan aktivitas yang berkenaan dengan urusan kesehatan di antara negara Asia Tenggara," katanya.

Disebutkan, antara lain, konsultasi kesehatan, transfer pengetahuan kesehatan, penelitian kesehatan pertukaran misi kemanusiaan dan berobat di antara negara ASEA.

"Kita tidak bisa melarang orang konsultasi kesehatan, berobat ke Indonesia apa kita bisa larang. Tentu soal dokter dan sarana prasarana kesehatan lintas negara ini harus ada regulasi," katanya.

Nila mengatakan, penerapan MEA sejatinya memberikan dampak terhadap pencegahan dan penanggulangan permasalahan kesehatan. Selain itu, ada persoalan kesehatan yang makin mengancam Indonesia pada 2016, seiring mobilisasi penduduk akibat penerapan MEA.

"Hal itu belum ditambah dengan adanya kendala ancaman penyakit, pertambahan jumlah penduduk, luas wilayah dan ketersediaan infrastruktur," tuturnya.

Sementara itu, Sekjen Kementerian Kesehatan Untung Suseno Sutardjo mengatakan, negara-negara ASEAN sejauh ini masih dalam tahap penyesuaian soal pertukaran tenaga medis ini.

"Seluruh negara ASEAN sejauh ini belum berani membuat kesepakatan bersama. Dalam fase ini, kita saling bantu dan sembari melihat kesetaraaan di antara potensi kesehatan kita," katanya. (TW)

{jcomments on}

Program JKN: Proporsi Biaya Manfaat Tertinggi untuk Layanan Rujukan

Dua tahun pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) belum mencapai target ideal. Pasalnya, proporsi terbesar biaya manfaat program JKN 2015 terbesar masih pada layanan rujukan di rumah sakit, sebesar 80 persen.

"Idealnya, proporsi biaya manfaat JKN di fasilitas kesehatan (faskes) tahap satu adalah 70 berbanding 30. Sekarang masih jauh dr perkiraan ideal," kata Menteri Kesehatan (Menkes) Nila Moeloek dalam jumpa pers awal tahun 2016 di Jakarta, Selasa (5/1).

Nila menjelaskan, sebelum pelaksanaan program JKN pemerintah seharusnya gencar melakukan tindakan prevensi dan promosi kesehatan. Sehingga pasien bisa diselesaikan penyakitnya di faskes tingkat satu, karena kondisinya yang tidak parah.

"Ketika JKN diterapkan, masyarakat yang sebelumnya sudah sakit tapi takut ke dokter, langsung memanfaatkan program itu. Akibatnya, rumah sakit langsung penuh di mana-mana," tuturnya.

Disebutkan biaya manfaat program JKN 2015 yang dipergunakan di layanan rujukan sebesar Rp33 triliun (80 persen) dan Rp8,2 triliun (20 persen) pada faskes tingkat satu.

Peserta yang dirujuk ke rumah sakit pun, lanjut Nila Moeloek, hampir 42 persen dirawat di rumah sakit tipe B, dan sekitar 10 persen dirawat di rumah sakit tipe D. Padahal, rumah sakit di Indonesia terbanyak adalah tipe D (37 persen), tipe C (43 persen) dan tipe B sebanyak 17 persen.

"Ini menandakan belum efektifnya sistem rujukan. Pasien banyak menumpuk di rumah sakit tipe B. Kondisi semacam ini akan kita benahi. Pasien yang tidak tertampung di B, harus bisa didistribusikan ke C dan D," tuturnya.

Menkes juga memaparkan perubahan beban penyakit. Jika pada tahun 90-an didominasi oleh penyakit seperti tuberkolusis, ispa, diare, stroke, komplikasi kehamilan, kini didominasi oleh penyakit degeneratif seperti stroke, jantung, kanker, diabetes dan kecelakaan lalu lintas.

"Biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk penyakit degeneratif ini sangat mahal. Misalkan jantung, pada 2015 dana JKN sekitar Rp3,5 triliun, pencernaan Rp3,3 triliun dan stroke sebesar Rp1,5 triliun. Dananya habis buat kuratif," ucap Nila.

Untuk itu, pemerintah akan terus menggiatkan kegiatan promosi kesehatan agar penyakit degeneratif bisa dicegah sedini mungkin. Upayanya, dengan cara memperkuat keberadaan Puskesmas.

"Mulai tahun ini Puskesmas akan diberikan dana penguatan melalui dana BOK (Biaya Operasional Kesehatan) sebesar Rp 42 juta per tahun. Ada sekitar 472 puskesmas yang akan dilibatkan dalam program 2016 ini," tuturnya.

Ditegaskan, dana itu diluar biaya rutin puskesmas yang diberikan setiap bulannya. Selain dana kapitasi yang dialokasikan oleh BPJS kesehatan.

Nantinya, puskesmas akan bekerja sama dengan tim penggerak PKK di masing-masing kecamatan, tokoh masyarakat atau pihak-pihak yang dinilai mampu melaksanakan program promosi kesehatan dengan pendekatan keluarga.

"Cara kerjanya bisa dengan mendatangi langsung rumah-rumah yang tercatat memiliki resiko kesehatan tinggi," tuturnya.

Keluarga yang dimaksud adalah keluarga inti, yakni bapak ibu dan anak-anak. Puskesmas akan memantau status kesehatan, apalagi kalau ada penyakit kronis di dalam keluarga tersebut. (TW)

{jcomments on}

Program JKN: Disayangkan, Petugas Kesehatan dan Peserta Tak Paham Layanan Rujuk Balik

6janKetua Komisi Monitoring dan Evaluasi Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Zaenal Abidin menyayangkan masiah rendahnya pemahaman petugas kesehatan dan peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terhadap pelayanan rujuk balik yang dikembangkan oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan.

"Padahal layanan rujuk balik sangat penting untuk efisiensi, guna menjaga keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)," kata Zaenal Abidin dalam acara pemaparan survey Indeks Kepuasan Program JKN 2015 oleh PT Swasembada Bisnis Media, di Jakarta, Rabu (30/12).

Zaenal mengungkapkan, layanan rujuk balik masih sulit dipahami tak hanya oleh petugas kesehatan, tetapi juga sebagian peserta BPJS Kesehatan sendiri. Sehingga banyak pasien yang merasa seperti di"ping-pong" karena harus kembali ke fasilitas kesehatan tahap pertama (FKTP).

"Petugas kesehatan juga menganggap kenapa pasien harus dikembalikan ke FKTP, jika bisa disembuhkan di rumah sakit. Padahal, pasien dikembalikan ke FKTP karena kondisi penyakitnya dianggap sudah bisa diatasi hanya di FKTP," katanya.

Layanan rujuk balik yang dikembangkan BPJS Kesehatan saat ini untuk pasien dengan penyakit kronis, seperti diabetes mellitus dan hipertensi.

Zaenal juga mengaku kurang setuju dengan istilah rujuk balik, karena memberi kesan dokter spesialis merujuk pasiennya ke dokter umum di layanan primer. Istilah yang lebih tepat menurutnya adalah mengembalikan rujukan.

"Pelayanan rujuk balik ini juga sangat baik sebagai proses pembelajaran untuk dokter umum. Karena sebelum pasien dikembalikan ke layanan primer, dokter spesialis di rumah sakit akan memberi catatan khusus mengenai apa yang harus dilakukan dokter umum dalam merawat pasien tersebut," ucapnya menegaskan.

Mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia itu berharap, BPJS Kesehatan lebih menggiatkan lagi kegiatan sosialisasi rujuk balik ini agar peserta BPJS Kesehatan tidak merasa dipermainkan. Sosialisasi juga termasuk pada petugas kesehatannya.

Indeks Kepuasan

Terkait dengan hasil survey, Rohmat Purnadi, Kepala Riset PT Swasembada Media Bisnis menjelaskan, indeks kepuasan peserta program JKN 2015 masuk dalam kategori tinggi yaitu 78,9 persen. Survey dilakukan terhadap 20.163 responden peserta BPJS Kesehatan.

"Survey juga kami lakukan terhadap 1.759 responden penyedia layanan fasilitas kesehatan. Total responden sebanyak 21.922 responden, dengan margin error 5 persen," tuturnya.

Rochmat menyebutkan, indeks kepuasan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) lebih tinggi dibandingkan peserta Non-PBI, yaitu sebesar 79,7 persen (PBI) dan 78,1 persen (Non-PBI).

Jika ditelisik lebih dalam, indeks kepuasan peserta Non-PBI untuk masing-masing jenisnya bernilai relatif sama, yaitu Pekerja Penerima Upah (PPU) sebesar 78.2 persen, Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) sebesar 78.2 persen dan Bukan Pekerja sebesar 77.8 persen.

Sementara itu dari sisi kontak dengan titik pelayanan, secara umum indeks kepuasan peserta BPJS Kesehatan tidak jauh berbeda, yaitu antara 78-79,5 persen, dengan rata-rata indeks nasional sebesar 78,9 persen.

Adapun untuk masing-masing rinciannya adalah Puskesmas sebesar 78.6 persen, Dokter Praktek Perorangan (DPP) sebesar 79.5 persen, klinik sebesar 78.9 persen, Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) sebesar 79.1 persen, Kantor Cabang BPJS Kesehatan sebesar 78.5 persen, dan BPJS Kesehatan Center sebesar 79.0 persen.

"Khusus di FKRTL, indeks kepuasan peserta BPJS Kesehatan di RS swasta, RS pemerintah, dan RS TNI/Polri secara umum tidak jauh berbeda. Di RS swasta 79.7 persen, RS pemerintah 79.2 persen, dan RS TNI/Polri 78.5 persen,"ujarnya.

Dalam hal tipe perawatan, kepuasan peserta BPJS Kesehatan rawat jalan adalah 79.2 persen, sedangkan untuk peserta BPJS Kesehatan rawat inap adalah 78.9 persen.

Secara umum, indeks kepuasan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) cenderung lebih tinggi daripada FKRTL. Masing-masing indeks kepuasan berdasarkan jenis FKTP yaitu Puskesmas sebesar 76.2 persen, DPP 78.0 persen dan klinik 77.5 persen.

Sementara untuk FKRTL, indeks kepuasan terhadap kinerja BPJS Kesehatan adalah sebesar 71.9 persen. Sementara itu, jika dilihat dari segi wilayah kerja, Divisi Regional IX memiliki indeks kepuasan peserta lebih tinggi (85.6) dibandingkan Divisi Regional lainnya, yang berkisar antara 75.0- 85.6 persen.

Adapun untuk indeks kepuasan fasilitas kesehatan terhadap BPJS Kesehatan yang tertinggi berhasil dicapai oleh Divisi Regional X (84.5%), sementara pencapaian Divisi Regional lainnya berkisar antara 68.1- 84.5 persen.

"Dari hasil survey ini, bisa kita tarik kesimpulan bahwa ada sejumlah aspek yang harus dipertahankan dan ada yang perlu ditingkatkan," kata Rochmat.

Dari sisi peserta, yang harus dipertahankan antara lain ketersediaan loket pelayanan, kesesuaian proses pelayanan dengan alur yang ditetapkan, kecepatan pelayanan di loket pendaftaran, kesamaan perlakuan terhadap pasien BPJS Kesehatan dan pasien umum, kenyamanan ruang tunggu, serta kecukupan jumlah tenaga medis, obat, dan loket pendaftaran di FKTP," tuturnya.

Dari sisi fasilitas kesehatan, menurut Rochmat, kecepatan merespon pengajuan fasilitas kesehatan menjadi mitra BPJS Kesehatan, ketepatan pembayaran jumlah klaim atau kapitasi, dan penyelenggaraan program pertemuan kemitraan adalah beberapa hal yang harus dipertahankan oleh BPJS Kesehatan.

Sejumlah hal yang perlu ditingkatkan, disebutkan, antara lain ketepatan jam kedatangan dokter sesuai jadwal di poliklinik, kecepatan petugas BPJS Kesehatan Center menangani masalah, serta kemudahan proses rujuk balik dari rumah sakit. (TW)

 

Upaya Menkes Tingkatkan Derajat Kesehatan Nasional

UNTUK terus meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia dan mencapai tujuan program Indonesia Sehat, 2016 ini Kementerian Kesehatan Republik Indonesia akan lebih mengandalkan pendekatan keluarga dalam berbagai aspek.

"2016 ini kami menggalakan Indonesia Sehat dengan pendekatan keluarga. Kami menyadari bahwa usaha promotif dan preventif untuk kesehatan tidak hanya harus ditekankan di Puskesmas tapi dari keluarga. Misalnya, pasien yang datang ke puskesmas karena kena TBC, penanganan seharusnya tidak hanya berhenti di pasien tapi juga keluarganya," tutur Menteri Kesehatan, Nila F Moeloek.

Dalam konferensi pers yang dilangsungkan di Kantor Kemenkes RI, Jakarta Selatan, Selasa (5/1/2016), tersebut dilakukan dengan mengubah paradigma sehat dan keluarga sehat. Untuk mencapai hal tersebut, peningkatan kualitas di fasilitas pelayanan kesehatan, khususnya di fasilitas kesehatan tingkat pertama, dan edukasi ke masyarakat terus akan ditingkatkan.

"Kita lihat pada 2015, pasien yang dirawat di fasyankes rujukan masih mencapai 80 persen dan 20 persen di puskesmas. Ini bisa disebabkan dua hal, karena perilaku langsung pergi ke rumah sakit daripada puskesmas atau memang penyakit yang perlu ditangani sudah berat karena terlambat dicegah. Itu masih perlu kita benahi," tutur Menkes Nila.

Menkes Nila melanjutkan, strategi pendekatan keluarga untuk menggalakan upaya promotif dan preventif di antaranya dilakukan dengan pendekatan daur kehidupan dan prioritas pendanaan pada pemenuhan kegiatan promotif dan preventif. Ini di antaranya dengan mengadakan pendidikan dokter layanan peimer yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penjaga gawang di fasilitas kesehatan tingkat pertama.

"Nantinya, tenaga medis juga diharapkan lebih aktif menjangkau keluarga. Misalnya orangtua tidak bisa membawa balita untuk datang melakukan penimbangan ke posyandu, maka dokter layanan primer dapat segera berkunjung ke rumahnya agar bisa dilakukan kontrol kesehatannya," jelas Menkes Nila.

sumber: http://lifestyle.okezone.com/

 

 

Juni: MERS Sampai ke Korea Selatan, Indonesia Ikut Siaga

Secara mengejutkan, wabah Middle East Respiratory Syndrome (MERS) merebak juga hingga ke Korea Selatan. Meski sebelumnya MERS pernah dilaporkan muncul di Tiongkok dan Filipina, namun wabah yang terjadi di Korea Selatan bisa jadi yang terburuk di Asia sepanjang tahun 2015.

Wabah ini diduga muncul dari seorang pasien laki-laki berumur 68 tahun yang baru saja pulang dari Timur Tengah. Ia awalnya hanya memeriksakan diri di rumah sakit karena keluhan lain, dan tentu saja tidak ditempatkan di ruang isolasi karena tidak diketahui membawa virus pemicu MERS di tubuhnya.

Namun sembilan hari kemudian, barulah ia dipastikan terjangkit virus pemicu MERS atau virus corona, dan proses isolasi sudah terlambat dilakukan karena akibat kontak dengan pria ini, dua pasien dinyatakan meninggal dunia.

Selama terjadinya wabah yang berlangsung pada bulan Mei-Juli 2015 itu tercatat terjadi 186 kasus dengan jumlah korban meninggal sebanyak 36 orang. Bahkan Korea Selatan juga mengkarantina lebih dari 1.800 orang di rumah sakit-rumah sakit tertentu, serta menutup lebih dari 700 sekolah.

Menariknya, sempat beredar kabar bahwa beberapa pasien MERS di Korea berkewarganegaraan Indonesia, yakni 5 orang TKI. Tetapi hal ini disanggah Kemenkes yang mengaku telah mengecek ke sejumlah instansi terkait di Korea, seperti Kemenkes, Kedubes Indonesia di Seoul dan Kedubes Korea di Jakarta.

Kemudian muncul lagi isu seorang balita laki-laki berusia dua tahun yang diduga terjangkit virus MERS setelah pulang berlibur dari Korea bersama keluarganya. Pasalnya sepulang dari Korea, ia mengalami demam, sehingga kemudian segera dirujuk ke rumah sakit, lalu diisolasi di RSPI Sulianti Suroso, Jakarta.

"Pihak keluarganya mengerti kalau gejala demam itu, apalagi dari Korea Selatan. Mereka waspada," kata dr Ida Bagus Sila, Ketua Tim Emerging and Re-emerging Disease RSPI Sulianti Saroso menanggapi hal tersebut.

Beruntung setelah menjalani serangkaian tes, bocah berinisial M itu diketahui negatif MERS. "Hasil polymerase chain reaction (PCR) pasien yang tadinya dididuga MERS CoV di RSPI Sulianti Suroso a/n M adalah negatif MERS CoV dan Influenza, demikian juga pemeriksaan pada kontak juga hasilnya negatif," ujar Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan saat itu, Prof dr Tjandra Yoga Aditama SpP(K), DTM&H, MARS DTCE.

Prof Tjandra menambahkan gejala klinis pada pasien juga tidak sesuai dengan gejala pasien MERS CoV, dan di Korea sendiri tidak terbukti terjadi penularan pada masyarakat luas, artinya penularan

Pihak RSPI Sulianti Suroso menambahkan sepanjang tahun 2015 sudah ada 4 pasien suspek MERS yang pernah dirawat. Keempatnya punya riwayat dari Timur Tengah dan sudah diperbolehkan pulang karena terbukti negatif.

Dalam kesempatan terpisah, menurut Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP&PL) Dr H. Mohamad Subuh, MPPM, data menunjukkan setidaknya setiap tahun ada 750 ribu warga Indonesia yang pergi umroh dan 250 ribu yang pergi haji, ditambah dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan pebisnis total jumlah yang bepergian dari Indonesia ke Timur Tengah bisa mencapai 2 juta orang per tahun.

"Enggak ada negara sebesar Indonesia yang penduduknya itu datang ke daerah infeksi dengan waktu yang lama. Jemaah haji terbesar di dunia, umrah terbesar di dunia, tenaga kerja terbesar juga di dunia. Kita potensi tinggi terhadap penyebaran," kata Subuh.

Akan tetapi antisipasi telah dilakukan semenjak wabah ini pertama kali muncul di tahun 2012, dan terbukti belum ada satu pun kasus yang tercatat terjadi pada warga Indonesia.(lll/up)

sumber: http://health.detik.com