Reportase Webinar
Serial Forum Kebijakan JKN: Mengevaluasi UU SJSN
dan UU BPJS berdasarkan Bukti
Yogyakarta, 18 Juni 2020
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar Webinar Series 1 “Mengevaluasi UU SJSN dan UU BPJS Berdasarkan Bukti”. Webinar ini dilaksanakan pada Senin (18/06) pukul 13.00-15.00 WIB. Topik kegiatan hari ini adalah “Implikasi Perpres 64/2020: Apakah Kelas Standar Dapat Menjadi Solusi Untuk JKN yang Berkelanjutan dan Adil” yang disampaikan oleh Peneliti JKN PKMK FK-KMK UGM,
- Faozi Kurniawan
- Prof. Laksono Trisnantoro, Pengamat Kebijakan JKN FK-KMK UGM.
Pembahas pada pertemuan ini adalah
- Ronald Yusuf dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
- Heni Wahyuni, dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM
- Dini Pramita, Pimpinan Proyek Investigasi BPJS Kesehatan dari Majalah TEMPO.
Pengantar
Kegiatan ini dimulai dengan pengantar dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD selaku Koordinator menyampaikan bahwa sejak tahun 2014 PKMK FK-KMK UGM telah melakukan penelitian evaluasi dan monitor kebijakan jaminan kesehatan nasional (JKN) yang intinya kebijakan JKN bisa dilihat efektifitasnya dalam Tata- kelola, Equity dan Mutu di 13 provinsi bersama 16 perguruan tinggi, serta menggunakan sistem data Dashboard Sistem Kesehatan (DaSK). Ketiga topik ini sesuai dengan peta jalan dan undang-undang dimana masalah ekuitas dan akses terhadap mutu sangat ditekankan dalam UU SJSN. PKMK FK-KMK UGM sebagai lembaga independen di luar pemerintahan berusaha memberikan penilaian dan rekomendasi yang sifatnya independen untuk perbaikan kebijakan JKN di UU SJSN.
PKMK telah memonitoring dan evaluasi pelaksanaan JKN sejak tahun 2014 dimana kasus defisit BPJS menjadi salah satu perhatian PKMK UGM. Sejak awal segmen peserta PBPU sudah mengalami defisit yang luar biasa. Pemantauan oleh UGM di 3 tahun pertama berjalannya JKN ditemukan segmen PBI APBN, PPU (Pemerintah), PPU (Swasta) mengalami surplus, sedangkan PBI APBD, Bukan Pekerja dan PBPU mengalami defisit. Secara keseluruhan hasil tata kelola, equity dan mutu belum seperti yang diharapkan oleh UU SJSN dan UU BPJS serta UUD 1945 sehingga hal ini mengindikasikan sudah saatnya UU SJSN dan UU BPJS di review.
Sesi Presentasi: Implikasi Perpres 64/2020
Sesi berikutnya paparan dari narasumber, Muhammad Faozi Kurniawan selaku Peneliti JKN PKMK FK-KMK UGM menyampaikan dari 2014 hingga sekarang, BPJS masih mengalami defisit BPJS Kesehatan karena tidak adanya keseimbangan antara iuran dan beban pelayanan kesehatan. Segmen peserta PBI APBD, Bukan Pekerja dan PBPU terus mengalami defisit sejak berjalannya JKN. Untuk mengatasi defisit, pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 64 tahun 2020. PKMK UGM membuat proyeksi defisit berdasarkan Perpres Nomor 64 tahun 2020 dimana hasilnya jika kolektibilitas dan klaim ratio pada semua segmen baik PBI APBD, Bukan Pekerja dan PBPU dapat dikendalikan maka akan terjadi surplus dan dapat digunakan untuk pemberian kompensasi bagi daerah yang membutuhkan.
Namun, Jika tidak dikendalikan maka terjadi defisit seperti saat ini. Proyeksi ini belum memperhitungkan dampak Covid19. Hasil penelitian di 13 Provinsi ditemukan bahwa masih terjadi ketimpangan geografis yang buruk selama bertahun-tahun dan hingga saat ini belum ada solusi dimana pertumbuhan rumah sakit yang pesat di daerah jawa timur dan dan jawa tengah sedangkan di daerah Papua stagnan. Selain itu terjadi kesenjangan antar segmen kepesertaan dimana segmen PBPU dan BP lebih dapat memanfaatkan JKN untuk memenuhi kebutuhan medisnya. Terkait Kelas Standar, Faozi menuturkan apabila kelas III menjadi kelas standar di JKN maka efisiensi akan terjadi, namun beberapa syarat harus diperhatikan sebelum diimplementasikan yaitu pemenuhan pemerataan fasilitas kesehatan, peserta tidak boleh naik kelas, tidak ada penggolong kelas standar PBI dengan non PBI, dan ada pembatasan manfaat.
Sesi Pembahas
Paparan selanjutnya oleh Ibu Heni Wahyuni, dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM selaku pembahas pertama. Heni menyampaikan manfaat yang dijamin dalam JKN meliputi kebutuhan dasar kesehatan dan rawat inap yang standar. Kondisi ini perlu melihat kembali definisi kebutuhan dasar kesehatan dan juga memperhatikan kemampuan pendanaan yang ada baik dari iuran peserta maupun dari pemerintah. Review manfaat dan tarif layanan dilakukan secara konsisten dan reguler dengan pendekatan aktuaria yang akuntabel dan valid dan mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan, kemampuan membayar peserta, inflasi dan potensi perbaikan yang ada.
Terkait Perpres Nomor 64 tahun 2020 agar dapat menjawab permasalah defisit maka perlu menganalisis penyebab subsidi iuran BPJS bagi peserta PBPU dan BP, menganalisis sosio ekonomi karakteristik peserta PBPU dan BP sebelum menetapkan tarif, dan menganalisis trend klaim rasio dari peserta PBPU dan BP untuk menentukan skenario yang tepat dalam menghitung defisit BPJS serta mencari cara agar daerah terlibat dalam menanggung defisit.
Pembahas kedua dari Majalah TEMPO yang disampaikan oleh Dini Pramita. Berdasarkan temuan Majalah TEMPO ada 4 hal yang menjadi perhatian dari Tempo yaitu Kepesertaan, manajemen klaim untuk mendeteksi fraud dan penggunaan sistem tarif yang lebih adil, Kapitasi dan Komitmen Kepala daerah, serta Rumah Sakit. 1) Pada segmen kepesertaan, Tempo menemukan ada persoalan seperti data PBI terdapat 24 juta dari 99 juta yang bermasalah, terdapat 30 juta penerima PBI tidak ada di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), Badan Usaha tidak sepenuhnya patuh melaporkan data karyawan dan memanipulasi gaji karyawan.
Peserta mandiri hanya membayar iuran hanya saat menggunakan layanan, 2) Perhitungan tarif INA CBGs belum pernah dikaji sejak 2014, banyak klaim yang mengalami dispute karena banyak daerah yang menggunakan klaim manual dan adanya perbedaan persepsi koding untuk keperluan klinis dan klaim yang berpotensi underpaid dan overpaid, 3) Kapitasi dan Komitmen pemerintah daerah perlu dikaji, karena belum semua menerapkan kapitasi berbasis komitmen, daerah terpencil belum mendapatkan pemenuhan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang berkualitas, dan 4) Fraud masih terjadi di Rumah Sakit sehingga PNPK dibutuhkan untuk menciptakan ketepatan hitungan klaim medis sekaligus menghindari fraud.
Pembahas ketiga, Ronald Yusuf dari Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Kesehatan. Pada pemaparannya Ronal lebih menekankan pada segmen Pekerja Informal atau PBPU dimana berdasarkan data peserta PBPU yang terdaftar dan peserta yang aktif semakin kemari semakin besar peserta yang menunggak. Selain itu, tingkat utilisasi dan unit cost pada rawat inap dan rawat jalan peserta PBPU lebih tinggi dibanding peserta lainnya. Hasil penelitian tentang jarak daftar PBPU ke klaim pertama menunjukkan jarak PBPU sejak pertama kali terdaftar dengan menggunakan layanannya sekitar 3 bulan terdapat 48,6% namun data ini hanya dilihat berdasarkan data Individu bukan data keluarga.
Lebih lanjut Ronald menyatakan sangat sepakat dengan UGM, jangan sampai kelebihan surplus PBI digunakan untuk mensubsidi kelas 1 dan kelas 2 yang relatif mampu bukan untuk pemenuhan fasilitas kesehatan di daerah. Selain itu, pada Perpres No 64 Tahun 2020 tidak hanya mengurangi defisit tapi juga berkeadilan sosial agar terjadi kesinambungan sehingga kemenkeu menawarkan penerapan kelas standar.
SESI DISKUSI
Apa dasar kebijakan peraturan apabila pemerintah daerah boleh menutup defisit BPJS kesehatan?
Faozi (PKMK UGM): Dari sisi regulasi belum ada yang mengharuskan pemerintah daerah untuk menanggung defisit BPJS.
Laksono Trisnantoro (PKMK UGM): Yang terjadi di Undang-Undang malah menggunakan Dana APBN untuk menutup defisit misal Jogja mengalami defisit banyak tapi pemerintah Jogja tidak ikut serta membayar defisit. Sehingga ini menjadi satu hal untuk mereview UU SJSN mengenai peran daerah jadi tidak hanya pusat yang menangani resiko.
Apakah kemenkeu pernah membuat kajian tentang peran daerah untuk ikut membiayai defisit?
Ronald (Kemenkeu): Beberapa kajian pernah dilakukan oleh Kemenkeu. Kajian yang paling agresif dilakukan kemenkeu adalah defisit ini dibagi dengan proporsi pembagian defisit antara pemerintah pusat dan pemda dimana pemda juga dibagi sesuai kemampuan fiskalnya. Dulu idenya tiap daerah dihitung surplus defisitnya dengan berbasis domisili. Ketika itu sudah kita dapat, baru kita bagi. Tentu sudah ada subsidi silang dulu antar daerah, kemudian baru dibagi-bagi antara Pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Cuma kita melihat itu terlalu agresif, sehingga kita pelan-pelan saja dengan Perpres Nomor 82 Tahun 2018 dengan mewajibkan pemerintah daerah ikut mendukung minimal sebesar 37,5% dari pajak rokoknya untuk mendukung JKN dalam konteks pemerintah daerah mendaftarkan penduduknya ke dalam JKN. Selain itu pada Perpres Nomor 64 Tahun 2020, nantinya PBI tidak hanya ditanggung pusat tetapi pemerintah daerah berdasarkan kemampuan fiskal. Selain itu, kajian tentang penyakit katastropik untuk dibagi berapa % ditanggung pusat dan berapa % ditanggung daerah.
Menurut Bu Heni, kalau kita menggunakan kelas standar, kelas perawatan 1 kamar 4 orang, berarti kita tidak perlu ada PBPU kelas 1, 2 dan 3, semuanya peserta BPJS?
Heni (FEB UGM): Menurut saya, kalau pelayanan standar ini sesuai dengan kebutuhan standar kesehatan. Kalau selama ini misalnya pasien menginginkan pelayanan yang berbeda, perbedaannya pada akomodasinya bukan pelayanan kebutuhan standar kesehatan. Jadi meskipun dalam 1 ruangan 3-4 orang tidak jadi masalah asalkan masing-masing mendapatkan pelayanan kesehatan yang menyangkut kesehatan dasar dari pasien.
Dalam konteks Public Good, yang di maksud kelas standar PBI atau semuanya?
Ronald (Kemenkeu): Kalau kita baca ketentuan UU SJSN, sebenarnya itu semestinya sama semuanya cuman sekarang sedang dirumuskan sebagai contoh PBI kelas III dan Non PBI kelas II. Berarti 1 orang yang setelah PBI, apakah dia hanya akan dibuka paling rendah kelas II? sekarang berapa yang harus dia bayar?, apakah dengan struktur biaya sekarang dengan standar Rp.110.000? itu pasti mereka tidak akan mampu. Itu salah satu yang perlu kita lihat efeknya. Nah, UU dibuat di tahun 2004. Kemenkeu sudah katakan, program ini untuk rawat inap kelas standar. Makanya Kemenkeu di tahun 2013 cukup insis, ini harus kelas standar dan Kemenkeu telah menyiapkan skema on top. Tentu dengan melihat kemampuan keuangan negara namun saat itu infrastruktur kita belum siap. Akhirnya kita buat di dalam road map, tahun 2019 sudah tidak boleh lagi boleh ada perbedaan kelas. Dan tadi mengenai multipooling, itu yang salah satu kami usulkan, jangan-jangan nanti idealnya buat negara kita perlu ada perbedaan yang formal dan informal karena yang formal terlihat sangat baik.
Lebih lanjut diskusi lengkap mengenai kelas standar ini dapat di akses pada link berikut:
Reporter: Candra, MPH