Reportase Peluncuran Buku Indonesia Public Expenditure Review oleh Bank Dunia
24 Juni 2020
Jakarta. Bank Dunia pada Senin hingga Kamis, 22 - 25 Juni 2020 pukul 08.30 WIB menyelenggarakan webinar terkait peluncuran buku Indonesia Public Expenditure Review (PER/Kajian Belanja Publik di Indonesia).
Webinar ini bertujuan untuk mendiskusikan beberapa temuan kunci dari hasil kajian terhadap pola pembelanjaan pemerintah Indonesia dalam beberapa sektor utama. Harapannya buku ini dapat memberikan gambaran mengenai bagaiamana kebijakan pemerintah direfleksikan oleh pola pembelanjaan anggarannya. Webinar ini terdiri dari serial empat webinar dengan fokus yang berbeda.
Pada hari pertama, fokusnya adalah pada highlight dari temuan utama dan diskusi mengenai seberapa besar ruang fiskal yang dimiliki pemerintah untuk anggaran pembangunannya. Hari kedua membahas bagaimana transfer dari pemerintah pusat ke daerah dapat lebih diarahkan menjadi transfer berbasis kinerja. Hari ketiga membahas mengenai pola pembelanjaan di sektor pembangunan sosial (nutrisi, Kesehatan, bantuan sosial dan pendidikan), sementara pada hari terakhir akan membahas mengenai pola pembelanjaan di sector pembangunan infrastruktur (jalan, akses air,dan perumahan). Reportase ini adalah reportase mengenai webinar ketiga. Webinar ketiga ini dimoderatori oleh Angela Lapukeni. Webinar menghadirkan beberapa narasumber berikut:
- Rhytia Afkar (Education Economist - World Bank)
- Juul Pinxten (Social Protection Specialist – World Bank)
- Reem Hafeez (Senior Health Specialist – World Bank)
- Eko Pambudi (Health Specialist – World Bank)
Acara dibuka oleh Frederico Gil Sander (Lead Country Economist di World Bank untuk Indonesia). Frederico memberikan sambutan dengan menyatakan isu human capital merupakan modal dasar dalam membangun bukan hanya sektor pengetahuan tetapi juga membangun ekonomi. PER merupakan dokumen penting yang dapat menjadi refleksi dari kualitas pembelanjaan pemerintah, melihat dimana ada gap yang dapat diisi oleh pihak non pemerintah (swasta). Isu yg dibahas adalah tiga tantangan utama anggaran: (1) kecukupan dan keberlangsungan, (2) efisiensi, dan (3) efektivitas.
Human Capital Indeks Indonesia masih menunjukkan posisi yang butuh peningkatan, dan hal ini disadari oleh Pemerintah Indonesia, dimana Presiden Jokowi telah menekankan bahwa dalam periode k-dua ini pemerintah memiliki prioritas pada pembangunan human capital. Beberapa temuan kunci yang disoroti oleh Sander adalah:
- Social assistance: hanya bersifat jangka pendek, tetapi memiliki peran besar dalam mendukung human capital, karena diperlukan pada saat masyarakat berada dalam himpitan masalah sosial. Jadi ini merupakan investasi kunci untuk melindungi masyarakat.
- Pendidikan: akses telah meningkat pesat namun tetap ada tantangan mengenai kualitas.
- Kesehatan: ada peluang untuk lebih meningkatkan kemampuan Indonesia untuk memiliki sistem kesehatan yang lebih siap untuk menghadapi krisis dan pandemi di masa depan.
Paparan
Pembicara pertama, Rhytia Afkar menyebutkan bahwa belanja publik untuk sektor pendidikan telah meningkat: Kementerian Agama (12%), Kementerian Ristekdikti (9%), Kementerian Pendidikan (72%) dimana 63% - nya merupakan belanja di tingkat daerah (provinsi dan kabupaten). Rhytia menekankan pentingnya peningkatan akuntabilitas dari anggaran sektor pendidikan (BOS, BOP-PAUD, TPG dan DAK fisik) untuk memastikan efisiensi anggaran, juga investasi yang lebih besar pada peningkatan kualitas pendidikan termasuk ketersediaan guru yang berkualitas untuk meningkatkan efektivitas.
Pembicara kedua, Juul Pinxten menyebutkan beberapa temuan dalam social assistance. Ada dua jenis social assistance, yaitu targeted dan non-targeted. Targeted termasuk conditional cash transfer (program PKH), subsidi energi (listrik dan gas). Non targeted termasuk subsidi BBM (yang disinyalir banyak dinikmati pula oleh kelompok masyarakat menengah). Subsidi BBM sudah turun drastis pada 2015 tetapi masih menjadi porsi terbesar dalam anggaran social assistance, walaupun pada masa pandemi COVID-19 porsi untuk targeted social assistance meningkat hampir dua kali lipat.
Indonesia masih memiliki porsi rendah untuk social assistance, dibandingkan negara - negara Asia lain sehingga masih ada ruang bagi pemerintah untuk meningkatkan perlindungan melalui social assistance. Namun, better targeting adalah kunci dari peningkatan efisiensi dan efektivitas perlindungan social assistance, pembicara menyarankan penggunaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) secara lebih ketat. DTKS hanya mencatat kuintil terbawah (40% rumahtangga) namun dalam masa pandemi ternyata masyarakat yang terdampak jauh lebih besar dari itu. Menurut Juul, rekomendasinya adalah memperluas cakupan DTKS dan juga mencoba mengarahkan berbagai bantuan yang tersedia dalam bentuk yang lebih terintegrasi.
Pembicara ketiga, Reem Hafeez membahas tentang belanja kesehatan. Pertama Reem menyoroti keberhasilan dari sektor kesehatan dalam menurunkan OOP dan menyatukan berbagai jaminan kesehatan ke dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional, tetapi menyoroti pula tantangan yang tersisa khususnya mengenai AKI dan AKB serta stunting. Reem menggunakan supply-side readiness sebagai salah satu proxy dari kualitas layanan dan memperlihatkan beberapa tantangan dalam hal ini. Sementara dalam hal kecukupan pendanaan, Reem menyoroti mengenai deficit dalam JKN. Reem memperlihatkan bahwa walau pun hanya sepertiga pemanfaatan JKN terjadi di tingkat FKRTL tetapi ternyata ini menyodot lebih dari 80% anggaran JKN (2018).
Hal ini menunjukkan peluang untuk lebih meningkatkan efisiensi dari paket layanan yang tersedia di RS. Reem juga menyoroti masalah transfer DAK kurang didasari oleh kebutuhan faskes dan kinerja mereka, karena tidak ada informasi terintegrasi yang tersedia yang memungkinkan pemerintah mendasarkan transfer semacam ini berbasis pada kinerja. Sistem pembiayaan yang terfragmentasi sangat menyulitkan perencanaan anggaran yang terpadu. Untuk meningkatkan keberlanjutan anggaran, Reem menganjurkan BPJSKesehatan memiliki peran lebih besar dalam turut menetapkan premium, paket layanan yang dicakup, dan pembayarannya, sementara Kemenkes lebih berperan dalam menetapkan standar kualitas. Reem juga menutup presentasinya dengan beberapa rekomendasi:
- Meningkatkan kepatuhan pembayaran premi dan memperluas kepersertaan JKN untuk kelompok masyarakat yang belum memiliki jaminan
- Mengendalikan pertumbuhan pengeluaran, termasuk menetapkan ceiling untuk pembelanjaan di rumah sakit
- Meningkatkan tatakelola dan akuntabilitas, termasuk meningkatkan kualitas dan pemanfaatan data
Pembicara terakhir, Eko Pambudi berbicara tentang isu stunting. Eko menyoroti bahwa access to care does not guarantee quality of care karena ternyata walaupun layanan untuk gizi telah tersedia sampai ke tingkat terbawah dari masyarakat namun capaiannya belum sesuai harapan. Eko menyampaikan bahwa sistem anggaran yang terfragmentasi (bahkan di dalam sektor kesehatan sendiri, belum termasuk dari sektor - sektor lain) sangat menyulitkan peningkatan efisiensi anggaran. Belanja publik untuk nutrisi juga masih didominasi oleh anggaran pemerintah pusat.
Eko juga menyoroti adanya disconnectedness antara perencanaan, penganggaran dan kapasitas untuk menyediakan layanan nutrisi. Pemerintah Daerah seringkali tidak mengetahui seberapa besar anggaran yang akan mereka terima dari Pemerintah Pusat, keterlambatan pembayaran, dan juga fragmentasi sistem anggaran. Hal ini diperparah dengan tingginya turnover dari pegawai dan kurangnya koordinasi. Selain itu, Eko juga menyatakan bahwa tidak tersedianya data yang reliable akan sangat menyulitkan keberhasilan dalam mencapai target dalam program penurunan stunting. Eko menutup presentasi dengan beberapa rekomendasi:
- Standarisasi sistem informasi Kesehatan dan sistem akuntansi
- Investasi pada pembuatan sistem informasi yang terintegrasi
- Mendorong pelaporan dan mekanisme akuntabilitas yang lebih baik
- Harmonisasi jadwal anggaran dan mekanisme serta prosedur anggaran
PEMBAHASAN
Sesi diskusi dimoderatori oleh Camilla Holmemo. Ada beberapa panelis dalam sesi diskusi yaitu Elan Satriawan (TNP2K), Kolsum Komaryani (Kepala PPJK, Kemenkes) dan Purwanto (Direktur Anggaran Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kemenkeu).
Elan Satriawan menyatakan bahwa kunci dari mekanisme untuk memastikan penargetan yang lebih baik adalah dynamic targeting. Elan juga sepakat bahwa yang diperlukan bukan hanya konsolidasi tetapi juga integrasi dari social assistance dan memperkuat sistem penyediaan layanannya. Elan menambahkan bahwa diperlukan upaya lebih keras untuk meningkatkan kualitas data, integrasi data dan pemanfaatan data.
Kolsum Komaryani menyatakan bahwa untuk mendukung efisiensi dan sustainability dari anggaran kesehatan pemerintah, telah ada prioritas untuk menekankan upaya public private partnership baik dalam Renstra Kemenkes maupun dalam RPJMN. Kolsum juga menaruh harapan pada peningkatan premium JKN untuk dapat membantu menurunkan defisit JKN, serta pada penghitungan yang lebih akurat dari paket layanan dan kepatuhan pada clinical guideline dan sistem rujukan. Purwanto memberi komentar mengenai potensi untuk investasi lebih besar dalam social assistance dan Kesehatan.
Namun, Purwanto juga menyatakan bahwa ada pola yang berulang dan persistent dari PER tahun - tahun sebelumnya, dan ini mencerminkan sistem politik yang sangat unik (system presidential tetapi sangat berat dipengaruhi oleh parlemen) dan juga kompleksitas dari perencanaan dan anggaran untuk sebuah negara dengan 500 - an kabupaten kota. Kemenkeu juga mengupayakan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak sebagai upaya peningkatan pendapatan, serta penyediaan fasilitas bagi investor.
Angela menutup sesi webinar dengan menyatakan terimakasih kepada seluruh pembicara maupun panelis dan kepada 246 peserta webinar.
Kesimpulan dan catatan untuk pembaca
Ada beberapa pesan kunci dari dokumen PER dan juga presentasi serta diskusi hari ini, yaitu:
- Kita membutuhkan lebih banyak peningkatan pendapatan pemerintah
- Belanja harus ditargetkan hanya untuk kelompok masyarakat miskin
- Investasi harus lebih besar pada early and preventive health
- Fokus terkait capaian SDGs haruslah pada pencapaian kualitas bukan kuantitas
- Terkait belanja untuk anggaran daerah, kumpulkan bukti - bukti capaian (deliverables) sebagai bahan evaluasi untuk memungkinkan adanya belanja berbasis kinerja
- Menarik lebih banyak investasi swasta, khususnya untuk membantu pembiayaan infrastruktur
(Reporter: Shita Dewi/ PKMK)
Link Terkait