Sesi Paralel, 25 September 2014
Posted in Pelatihan
sesi pleno |
- kesehatan Ibu & Anak
- Pembiayaan kesehatan
- HIV / AIDS
- Gizi Masyarakat
- Jiwa Masyarakat
- Pelayanan Kesehatan
- SDM Kesehatan
kesehatan Ibu & Anak
Pokja Kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak
Pemaparan pokja KIA pada sesi ini memfokuskan pada program penurunan AKI, AKB dan AKABA. Beberapa langkah telah diilakukan, salah satunya melalui kerja sama dengan perusahaan. Hal ini seperti yang dipaparkan oleh Dwi Endah, MPH. Menurut Dwi kerjasama dengan CSR dengan pengadaan program mobil sehat sebagai suatu implementasi untuk menurunkan AKI, AKB dan persalinan nakes di daerah dengan akses sulit. Dengan adanya program ini cakupan persalinan nakes mencapai 100%. Selain dengan program mobil sehat penurunan AKI dan AKB dapat dilakukan dengan cara prediksi kematian neonatal dengan data rekam medik yang dipaparkan oleh Herlin Priscila Pay. Herlin memaparkan dengan rekam data medik dapat memprediksikan bagaimana resiko kematian ibu dan anak oada waktu persalinan.
Penurunan AKI dan AKB dapat juga dilakukan dengan pengembangan pengetahuan dan sikap dalam kondisi resiko tinggi. Hal ini dikarenakan masih banyak ibu hamil yang belum mengetahui bahwa dirinya mempunyai resiko tinggi. Oleh karena itu menurut Esti Hitatami perlu adanya sosialsasi yang aktif mengenai resiko tinggi dengan memanfaatkan layanan pesan singkat. Capaian yang dihasilkan dengan metode ini meningkatkan pengetahuan tentang kehamilan dan resiko-resiko tinggi yang terdapat dalam ibu hamil.
Pemerintah daerah turut andil dalam penurunan AKI dan AKB seperti yang dipaparkan oleh Deni Harbianto. Deni memaparkan bahwa Perencanaan dan pelayanan KIA merupakan persan daerah dan membutuhkan tanggung jawab bersama antar lintas sektor, namun yang terjadi sekarang terjadi tumpang tindih program di pemerintah. Oleh karena itu perlu adanya perencanaan yang berbasis bukti dan menempatkan Bappeda sebagai koordinator utama dalam perencanaan daerah.
Sementara ini, jarang program penurunan AKI dan AKB dengan memanfaatkan faktor sosial budaya. Menurut Dr. Marten Sagrim, penurunan AKI dan AKB dapat dilakukan dengan pelatihan kader kesehatan dan ibu adat dalam persalinan, menyekolahkan orang daerah menjadi bidan, perawat dan tenaga kesehatan lainnya dan promosi media kesehatan. Hal ini dikarenakan beberapa masyarakat tidak mau dibantu kelahirannya oleh orang lain yang bukan berasal dari komunitas sendiri.
Sesi Paralel 3 : Kebijakan KIA |
|
Tantangan dalam Perencanaan dan Penganggaran Program Kesehatan Ibu dan Anak di Provinsi Papua |
Materi |
Pengaruh Pendidikan Kesehatan tentang Kehamilan Risiko Tinggi Melalui Layanan Pesan Singkat terhadap Peningkatan Pengetahuan dan Sikap Ibu Hamil - Esti Hitatami dkk |
Materi |
Model Integratif Kemitraan Kader Kesehatan, Ibu adat, dan Petugas Kesehatan dalam Pertolongan Persalinan pada Perempuan Suku Taburta di Kawasan Adat Terpencil (KAT) Kabupaten Mamberamo Tengah Propinsi Papua - Dr. Marthen Sagrim |
Materi |
Prediksi Kematian Neonatal Menurut Penyebab Kematian dengan Model ARIMA Box Jenkins Tahun 2008-2013 di RSUD Prof DR. W. Z. Johannes Kupang - Herlin Pricilia Pay |
Materi |
Kontribusi Program CSR Perusahaan dalam KIA (Studi Implementasi Mobil Sehat di Daerah Sulit) |
Materi |
Pembiayaan kesehatan
Pokja Kebijakan Pembiayaan Kesehatan
Hari kedua Fornas V JKKI memiliki 3 pleno besar yang kemudian diikuti oleh sesi-sesi paralel di setiap kelompok kerja. Pokja pembiayaan kesehatan mengawalinya melalui sesi paralel 3 kebijakan pembiayaan yang dimoderatori oleh Dr. Felix Kasim, dr., M.Kes. Presentasi pertama menjelaskan tentang monitoring dan evaluasi pelaksanaan SJKN oleh BPJS di provinsi Sulawesi Selatan tahun 2014. Menurut Rini Anggraeni, peningkatan peserta mandiri lebih dari 100% dan diikuti adanya kolaborasi antara fasilitas kesehatan primer milik pemerintah dan swasta. Faskes tingkat lanjut justru sudah mencukupi tetapi tidak disertai dengan ketersediaan obat yang memadai. Upaya yang Rini usulkan antara lain : menambah faskes tingkat pertama, redistribusi peserta terdaftar, dan mengurangi workload rumah sakit. Dukungan dari asosiasi faskes memegang peranan penting dalam menunjang keberhasilan penyelenggaraan JKN.
Pemaparan berikutnya juga menyangkut faskes tetapi lebih menitikberatkan pada ketidakadilan dalam pelaksanaan JKN di wilayah eks karesidenan Surakarta Jawa Tengah. Topik yang disampaikan oleh Rusdiana Khasanah ini membahas inequity dari beberapa sudut pandang. Sosialisasi merupakan salah satu aspek yang juga ditekankan dalam sesi ini. Di lain sisi, Atik Triratnawati menyampaikan bahwa program BPJS masih terlalu mahal bagi warga Madura. Hal tersebut berkaitan dengan kebudayaan dan minimnya sosialisasi pada keluarga miskin. Ibu Atik juga mengemukakan bahwa masyarakat lebih memilih untuk membayar jasa dokter secara langsung daripada dengan membayar iuran asuransi atau jaminan kesehatan.
Determinan keberlanjutan pembayaran premi non PBI mandiri pada JKN di wilayah pedesaan kabupaten Purbalingga oleh Arih Diyaning Intiasari menjelaskan mengenai adverse selection dan sosialisasi sistem autodebet secara lintas sektor. Beberapa kendala JKN juga disampaikan oleh Budi Eko Siswoyo dalam kajian media : analisis awal penyelenggaraan JKN. Media tingkat nasional dan lokal pun dilibatkan untuk menggambarkan kondisi spesifik dan perubahan isu di daerah. Menyikapi hal tersebut, materi analisis ketersediaan fasilitas dan pembiayaan kesehatan pada penyelenggaraan JKN di provinsi Bengkulu disampaikan oleh Yandrizal. Berdasarkan hasil studi, masih banyak Puskesmas yang menerima kapitasi sebsar Rp 4.500,- yaitu sekitar 38,33 % dari jumlah Puskesmas di Bengkulu.
Penelitian Tri Astuti Sugiyatmi tentang gambaran asuransi kesehatan pada era JKN pada wanita pekerja seksual di lokalisasi kota Tarakan, Kalimantan Utara makin melengkapi sesi paralel 3 ini. Walaupun sekitar 77% WPS memiliki gaji melebihi UMR dan 83,8% sudah cukup mengetahui informasi kesehatan, tetapi penelitian ini justru menunjukkan bahwa pasca JKN mengurangi kepemilikan asuransi kesehatan. Setelah paparan ini, moderator membuka diskusi untuk menyikapi paparan semua penelitian di sesi paralel 3 kebijakan pembiayaan.
Hilmi dari Universitas Padjajaran mempertanyakan perbedaan PBI dan non PBI yang memicu equity dalam JKN. Akses terhadap informasi merupakan salah satu indikasi equity, sehingga Puskesmas diharapkan lebih aktif karena menurut Ibu Septi, seringkali informasi berhenti di tingkat kecamatan. Adapun beberapa harapan dari forum antara lain : adanya penelitian besar yang mengakomodir semua tujuan monitoring dan evaluasi, pemerintah pusat bersama pemerintah daerah lebih memperhatikan aspek equity, adanya perbaikan sistem rujukan dan tarif INA-CBG, ketersediaan fasilitas kesehatan yang merata, perbaikan data pendukung JKN, dan mengoptimalkan strategi pemasaran sosial.
Sesi Paralel 3 : Kebijakan Pembiayaan |
|
Moderator: Dr. Felix Kasim, dr., Mkes |
|
Ketidakadlian dalam Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional di Wilayah Eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah |
Rusdiana Khasanah |
Determinan Keberlanjutan Pembayaran Premi Non-PBI Mandiri pada JKN di Wilayah Pedesaan Kab. Purbalingga |
Arih Diyaning Intiasari |
Layanan Gratis pun Ditolak Masyarakat Miskin: Pemanfaatan Kartu Jaminan Kesehatan dan Jaminan Kesehatan Daerah di Provinsi Jawa Timur dan Nusa |
Faisal Mansur dkk |
Analisis Ketersediaan Fasilitas dan Pembiayaan Kesehatan pada Pelaksanaan JKN di Provinsi Bengkulu |
Yandrizal |
Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan SJKN oleh BPJS di Provinsi Sulawesi Selatan |
Rini Anggraeni |
Gambaran Asuransi Kesehatan pada Era JKN pada Wanita Pekerja Seksual di Lokalisasi Kota Tarakan, Kalimantan Utara |
Tri Astuti Sugiyatmi |
Penyelenggaraan Program JKN di RSUD Kota Tangerang Selatan Tahun 2014 |
Riastuti Kusuma Wardani |
Program BPJS: Terlalu Mahal bagi Orang Madura |
Atik Triratnawati |
HIV / AIDS
Pokja Kebijakan HIV / AIDS
Strategi dan Aksi Nasional Penanggulangan AIDS 2015-2019
Pada hari kedua Forum Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia 2014 diselenggarakan sesi paralel dari Pokja Kebijakan HIV/AIDS, dengan tema Strategi dan Aksi Nasional Penanggulangan AIDS 2015-2019. Dr. Suriadi Gunawan, MPH mewakili Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) menyampaikan materi dengan judul "Strategi dan Rencana Aksi Nasional dalam Rangka Pelaksanaan Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia". Para pembahas materi tersebut, terdiri dari Setia Perdana dari GWL-Ina, Aldo Napitupulu dari OPSI, Dr. Trijoko Yudopuspito MSc.PH dari Subdit AIDS Kemenkes dan Hersumpana, MA dari PKMK FK UGM.
SRAN Penanggulangan AIDS 2015-2019: Tantangan dan Perbaikan?
Berdasarkan kajian paruh waktu SRAN 2010-2014, strategi penanggulangan HIV dan AIDS lebih memfokuskan pada populasi kunci pada area Pencegahan, Perawatan, Dukungan dan Pengobatan (PDP), mitigasi dampak dan lingkungan kondusif. Dari sisi pembiayaannya, sejumlah KPA Kabupaten/Kota mayoritas didanai oleh donor asing seperti Global Fund (GF). Sistem pembiayaan ini perlu dipertimbangkan kembali khususnya GF, mengingat pendanaan ini akan berakhir pada pertengahan tahun 2015. Di sisi lain, alokasi APBD untuk penanggulangan HIV dan AIDS dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Untuk pengadaan ARV hampir 80 % lebih sudah didanai oleh APBN.
Hasil kajian paruh waktu juga menunjukkan perubahan perkembangan epidemi HIV dimana terjadi peningkatan prevalensi pada kelompok populasi kunci LSL dan LBT serta ibu rumah tangga sedangkan pada kelompok populasi kunci lainnya cenderung menurun. Dalam monitoring dan evaluasi, pada masa akhir SRAN 2010-2014 sesuai indikator kinerjanya disimpulkan bahwa sejauh ini program telah berhasil menahan laju epidemi HIV, dimana perkembangan jumlah infeksi baru telah melambat. Dengan latar belakang kajian tersebut berbagai pilihan strategi untuk penanggulangan HIV dan AIDS dipilih dan dielaborasi sebagai masukan dalam penyusunan draft SRAN 2015-2019. Draft SRAN 2015-2019 tersebut diharapkan akan selesai akhir tahun ini dimana tantangan yang perlu dipertimbangkan ke depan meliputi komitmen pimpinan daerah, alokasi dana APBN dan APBD serta mobilisasi dana CSR, perluasan cakupan program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, keberlanjutan program dan pencegahan HIV di kalangan LSL dan LBT. Sumber daya manusia yang kompeten harus dapat dimanfaatkan, petugas kesehatan, pelibatan komunitas, ketersediaan dan kebutuhan sumber daya.
Berbagai masukan dalam pembahasan sesi ini mengemuka sebagai strategi yang akan datang, antara lain tentang pentingnya penekanan peran komunitas kelompok/populasi kunci dalam SRAN yang akan datang. Peran komunitas yang dimaksud meliputi program outreach, monitoring program, dan advokasi. Penguatan sistem kesehatan (Health System Strengthening) melalui penguatan sistem komunitas serta penguatan sistem pendanaan lokal, perlu dipertimbangkan dalam penyusunan draft SRAN tersebut. Harapannya strategi yang dipilih dalam SRAN 2015-2019 ini wajib menurunkan epidemi HIV, tidak sekedar mampu menahan laju epidemi HIV seperti pada periode SRAN sebelumnya.
Pembahasan dari PKMK UGM menyatakan masalah integrasi merupakan masalah yang krusial dalam penyusunan SRAN ini. Bentuk-bentuk integrasi yang direkomendasikan dalam SRAN 2015-2019 antara lain meliputi integrasi AIDS dengan pembangunan kesehatan khususnya dilakukan dalam strategi nasional dan operasional, integrasi pembiayaan dalam skema pendanaan khusus atau terintegrasi dengan sektor lain di dalam anggaran pemerintah (APBD), integrasi layanan HIV ke dalam layanan kesehatan dasar dan rujukan, integrasi perlindungan sosial untuk ODHA dan populasi kunci terkait dengan HIV ke dalam sistem asuransi sosial, integrasi penyediaan obat dan perlengkapan diagnostik ke dalam sistem pengadaan logistik yang ada di setiap level pemerintahan dan integrasi sistem informasi HIV ke dalam sistem informasi kesehatan. Namun tetap disadari adanya berbagai tantangan dalam integrasi tersebut seperti fragmentasi kelembagaan, pendanaan yang bersifat project-oriented, tarik menarik kepentingan politik ekonomi dengan data epidemiologi HIV dan keterbatasan SDM. Tantangan ini tentunya juga harus dipertimbangkan dalam SRAN tersebut. Berbagai bentuk integrasi tersebut diharapkan bisa meningkatkan kinerja upaya penanggulangan HIV & AIDS di masa mendatang terutama ketika pendanaan luar negeri semakin berkurang.
PENUTUP
Beberapa masukan untuk SRAN 2015-2019 antara lain; pelibatan dan penguatan populasi kunci sejak dalam perencanaan hingga implementasi penanggulangan HIV dan AIDS. Pelibatan perlu dikembangkan kepada kelompok non populasi kunci, mengingat data menunjukkan peningkatan HIV pada kelompok non populasi kunci seperti pada ibu rumah tangga dan bayi. Masalah integrasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan nasional juga hal yang penting untuk direkomendasikan dalam penyusunan SRAN tersebut. Diharapkan strategi-strategi yang dipilih dalam SRAN 2015-2019 ini dapat menurunkan epidemi HIV sejalan dengan tujuan dari penanggulangan AIDS itu sendiri yaitu menurunkan hingga meniadakan infeksi HIV baru, menurunkan hingga meniadakan kematian yang disebabkan oleh keadaan yang berkaitan dengan AIDS, meniadakan diskriminasi terhadap orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) yang dikenal dengan Three Zero, meningkatkan kualitas hidup ODHA, dan mengurangi dampak sosial ekonomi dari HIV dan AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat.
Penulis : dr. Juliandi Harahap, MA
Paralel 3
Integrasi Penanggulangan HIV / AIDS dalam Sistem Kesehatan pada SRAN 2015-2019 |
|
Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN) dalam rangka Pelaksanaan Pencegahan dan Penanggulangan HIV & AIDS di Indonesia |
|
Trijoko |
Tata Kelola Program Penanggulangan HIV dan AIDS
Pengantar
Pada hari kedua Forum Nasional JKKI Bandung, 25 September 2014, Pokja Kebijakan HIV & AIDS mengangkat isu penting, yaitu Tata Kelola Program Penanggulangan HIV dan AIDS. Tujuan dari sesi ini untuk menyajikan hasil penelitian dan pengalaman lapangan terkait dengan upaya penanggulangan AIDS dan sistem kesehatan di Indonesia. Penyelenggaraan program penanggulangan HIV dan AIDS memerlukan tata kelola yang baik dan kuat di tingkat nasional maupun di daerah. Hal ini mencakup kepemimpinan nasional, sektor, daerah, lembaga, dan kelompok-kelompok masyarakat baik di tingkat pembuat kebijakan sampai ke tingkat pelaksana. Penyelenggaraan aksi penanggulangan HIV dan AIDS ini menganut prinsip tata kelola pemerintahan yang baik sebagaimana prinsip dan strategi yang dituangkan dalam SRAN 2015 -2019.
Prinsip-prinsip tata kelola yang baik dalam strategi penanggulangan HIV dan AIDS Indonesia meliputi hal-hal berikut: 1) Akuntabilitas penyelenggaraan upaya penanggulangan AIDS dalam segala bidang dan di semua tingkat, 2) Terlaksananya upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan upaya penanggulangan AIDS dengan melibatkan masyarakat khususnya penerima manfaat layanan, 3) Kepekaan dan daya tanggap para penyelenggara upaya penanggulangan AIDS terhadap hal-hal yang berkembang dan mempengaruhi jalannya penyelenggaraan upaya termasuk aspirasi kelompok-kelompok masyarakat tanpa kecuali, 4) Profesionalisme dalam upaya penanggulangan AIDS memiliki kemampuan dan keterampilan serta sifat bertanggung jawab dalam memberi pelayanan yang mudah, cepat dan tepat dengan biaya terjangkau serta bersahabat, 5) Efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan upaya penanggulangan AIDS dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab, 6) Transparansi dalam penyelenggaraan upaya penanggulangan AIDS sehingga tercipta kepercayaan timbal balik antar berbagai pihak yang berperan aktif, 7) Kesetaraan dengan memberi peluang yang sama bagi setiap orang untuk berperan sebesar-besarnya dalam upaya penanggulangan AIDS, dan mendorong peran aktif mereka, 8) Wawasan ke depan (visioner); melakukan pengelolaan upaya penanggulangan AIDS berdasarkan visi yang jelas yang telah disepakati, 9) Penegakan hukum mewujudkan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Tata Kelola Program Penanggulangan HIV dan AIDS
Dalam sesi ini dipaparkan tujuh makalah dari para peneliti universitas dan pegiat HIV dan AIDS yang berfokus pada tema Tata Kelola Program Penanggulangan HIV dan AIDS. Presentasi dari pemakalah menunjukkan bahwa sejauh ini, tata kelola program penanggulangan HIV dan AIDS belum sepenuhnya menggunakan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, misalnya prinsip transparansi, kesetaraan dan pengawasan, efisiensi dan efektivitas serta penegakan hukum. Hasil riset dari Asa Simplexius menunjukkan lemahnya sosialisasi Perda tentang HIV dan AIDS menjadi penyebab ketidakefektifan suatu Perda HIV dan AIDS. Masyarakat seharusnya dilibatkan dalam sosialisasi pra legislasi yaitu sejak suatu Perda dirancang, sosialisasi legislasi atau pasca legislasi yaitu sosialisasi isi (content) dan struktur materi, serta sosialisasi kontinuum/ reguler dimana sosialisasi secara kontinyu dan berlanjut sampai pada efek culture of law yaitu menghasilkan perilaku baru yang membudaya sehingga menciptakan ketaatan yang sukarela dan kontinuum terhadap suatu perda.
Hasil riset yang lain dari Esthi Susanti menegaskan bahwa program penanggulangan HIV dan AIDS pada populasi kunci lebih bersifat temporal/proyek sehingga yang dicapai hanya perubahan pengetahuan tanpa mengejar perubahan perilaku. Hal ini kemudian menciptakan suatu kondisi ketergantungan terhadap program atau menghasilkan efek sesaat dalam merespon suatu program penanggulangan HIV dan AIDS. Oleh karena itu, sosialisasi pencegahan HIV dan AIDS seharusnya dimulai pada usia dini atau sekolah dengan tujuan membentuk mental dan karakter serta perilaku aman untuk dapat melindungi diri dari HIV dan AIDS. Hasil riset Sewdas Ranu, dkk, menyatakan bahwa keterlibatan peran publik begitu penting dalam mendukung penanggulangan HIV dan AIDS. Selama ini publik kurang dilibatkan dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS khususnya dalam sistem perencanaan daerah, misalnya LSM, akademisi, konsultan dan organisasi profesional tidak dilibatkan dalam Musrenbang sehingga perencanaan kurang berbasis data dan fakta yang aktual.
Riset yang dilakukan Siregar Y.M. Adiatma menunjukkan bahwa prinsip tata kelola mengenai efisiensi dan efektivitas perlu diperhatikan dalam penanggulangan HIV dan AIDS dengan memberikan sosialisasi yang kuat kepada ODHA dan penyelenggara penanggulangan HIV dan AIDS. Menurutnya, sebelum pemberian ART, biaya pengobatan ODHA didominasi oleh biaya tes laboratorium (>65%), dan setelah inisiasi ART, oleh obat antiretroviral (≥60%). Biaya rata-rata per pasien menurun seiring dengan berjalannya perawatan. Tingkat CD4 Cell counts yang lebih tinggi saat dimulainya perawatan diasosiasikan dengan biaya tes laboratorium dan perawatan infeksi oportunistik yang lebih rendah. Biaya transportasi mendominasi biaya pasien dalam mengakses layanan HIV (>40%). Hal ini berarti dengan mengkonsumsi ARV, seorang ODHA akan mampu menekan biaya infeksi oportunistik dan biaya pasien dalam mendapatkan layanan dan hanya mengeluarkan biaya transportasi. Untuk itu, akses terhadap ARV harus lebih dekat dengan masyarakat sehingga dapat menekan biaya transportasi. Kurniawan Rachmadi menyatakan bahwa peran ARV sekarang ini sangat penting dan terbukti bermanfaat. Namun tidak semua 'gold standart' sebuah pedoman pengobatan dapat lansung diterapkan. Menurutnya efek samping sebuah kebijakan dapat terjadi. Oleh karena itu perlu kehati-hatian dalam menyusun dan menerapkan kebijakan obat ARV dan perlu komunikasi yang transparan tentang efek samping suatu kebijakan antar stakeholder.
Hasil riset yang lain dari Riziyani Shanti, dkk menyoroti posisi KPAD yang dianalogikan sebagai anak tiri. Walaupun ketua KPA Provinsi adalah gubernur, namun KPA Provinsi bukanlah bagian dari struktur organisasi pemerintah daerah. Sebagai anak tiri, KPA provinsi merasa sulit ketika harus mengkoordinir SKPD yang merupakan bagian dari organisasi pemerintah daerah (dianalogikan sebagai anak kandung) untuk penanggulangan AIDS di daerah. Penelitian ini menunjukkan bahwa posisi KPAD masih problematis dan penanggulangan AIDS di daerah masih sangat bergantung pada peran pimpinan tiap SKPD yang menjadi anggota KPA. Dengan demikian penguatan posisi KPA perlu dilakukan untuk lebih mendukung tata kelola penanggulangan AIDS yang efektif. Hasil riset yang dilakukan oleh Okta Siradj pada tahun 2013 menyoroti pelaksanaan prinsip tata kelola penanggulangan HIV dan AIDS dari aspek penegakan hukum. Secara global, eksistensi kriminalisasi penularan HIV diakui memberi disinsentif pada strategi penanggulangan AIDS. Faktanya, studi terhadap 18 Undang-Undang dan 4 Peraturan Daerah menunjukkan adanya kriminalisasi terkait penularan HIV di Indonesia, di samping adanya pasal penganiayaan dalam kitab undang-undang hukum pidana yang representatif terhadap penularan HIV. Sebagai hukum positif, kriminalisasi memiliki keniscayaan konsekuensi pembuktian. Tanpa forensik HIV, pengadilan tidak dapat membuktikan bahwa penularan terjadi dari terdakwa kepada korban. Namun, forensik HIV seperti pemanfaatan phylogenetic analysis memerlukan standar yang ekstensif agar memiliki kualifikasi pembuktian di pengadilan. Pemangku kepentingan kebijakan AIDS nasional perlu mempertimbangkan inklusi forensik HIV dalam regulasi dan anggaran dalam mengantisipasi penerapan pasal pidana atas penularan HIV. Penguatan kelembagaan eksekutif di tingkat penyidikan maupun yudiktif di tingkat pengadilan terkait forensik HIV perlu dilakukan secara nasional. Lembaga yudikatif melalui hakim pidana dengan sistem pembuktian negatif perlu dikawal oleh masyarakat sipil. Pemantauan keberhasilan forensik HIV merupakan modal advokasi dekriminalisasi dalam kebijakan penanggulangan AIDS nasional.
Penutup
Penerapan prinsip tata kelola penanggulangan HIV dan AIDS yang baik akan menjamin keberhasilan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat daerah dan nasional. Berdasarkan seminar pada forum nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia ke V di Bandung ini telah menjawab berbagai persoalan yang dihadapi dalam pelaksanaan tata kelola penanggulangan HIV dan AIDS yang baik. Pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota implementasi prinsip ini pada kenyataannya masih bervariasi. Tata kelola program penanggulangan HIV dan AIDS belum sepenuhnya menggunakan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Berbagai upaya dan peran kepemimpinan nasional, sektor, daerah, lembaga, kelompok-kelompok masyarakat baik di tingkat pembuat kebijakan sampai ke tingkat pelaksana masih sangat diperlukan untuk menjamin terlaksananya prinsip tata kelola upaya penanggulangan HIV dan AIDS pada semua tingkatan.
Penulis : Afia Tahoba, SP.,M.Si, UNIPA, Papua Barat
Paralel 4
Costs of treatment of HIV and AIDS in Indonesia: an empirical analysis - Adiatma Y. M Siregear |
|
Dokter yang masih resepkan Stavudine diberi sanksi |
|
Efek Samping Pelaksanaan Kebijakan Penarikan Obat d4T - Kurniawan Rachmadi |
|
Refleksi Pengalaman Implementasi dan Advokasi Kebijakan HIV / AIDS selama 22 tahun - Dra. ESTHI SUSANTI HUDIONO, M.Si | Materi |
Anak Kandung Mengatur Anak Tiri: Hambatan KPA Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) dalam Upaya Penanggulangan HIV-AIDS | Materi |
Forensik HIV: Prakondisi Kriminalisasi dalam Kebijakan AIDS Nasional - Siradj Okta, SH., LL.M | Materi |
Urgensi Sosialisasi dalam Pembentukan dan Penerapan Perda HIV & AIDS | Materi |
Paralel 5
Layanan Kesehatan Jiwa dalam Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia - Anindita Gabriella |
|
Hasil Penelitian: "Kajian Perlunya Peningkatan Peran Bidan dalam Upaya Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Janin" (Kerjasama HCPI & SaHIVa USU) - Lita Sri Andayani, SKM, Mkes , Dr. Linda T Maas, MPH |
|
Barriers to integrating HIV and AIDS related services into community health centre in Bali Province, Indonesia - Nyoman Sutarsa (1), Simon Barraglough (2) |
|
AFR-MCDA dalam Penentuan Prioritas Program HIV-AIDS di Jawa Barat, Indonesia - Rozar Prawiranegara, | Materi |
Peran dan Dilema Pendampingan dalam Mengadvokasi Pengurangan Perlakuan Diskriminatif yang dialami ODHA dalam Mengakses layanan HIV-AIDS di Kota Makassar | Materi |
Implikasi Mobilitas Penduduk dan Gaya Hidup Seksual Terhadap Penulisan HIV/AIDS di Kabupaten Jember - Dewi Rokhmah | Materi |
Gizi Masyarakat
Pokja Kebijakan Gizi Masyarakat
Pada hari kedua ini, sesi paralel pokja gizi lebih banyak menyoroti tentang gizi pada anak, meskipun ada juga topik lain yang cukup menarik seperti penggunaan teknologi untuk mengukur asupan gizi. Sesi pertama membahas mengenai pengambilan keputusan dalam pengaturan pemberian makan saat anak diare. Sesuai dengan standar pemberian makanan pada anak diare tetap dilakukan bahkan dengan frekuensi tambah dengan memberi nasi dan asupan makanan bergizi lainnya. Namun faktanya malah bertolak belakang dimana para ibu kurang berusaha untuk memberi makanan saat anak diare karena anak sulit untuk makan sehingga hanya diberi ASI dan snack sehingga asupan gizi menjadi berkurang.
Kemudian pokja gizi juga menyoroti tentang tingginya angka kematian bayi dan angka kurang gizi yang terjadi di pemukiman kumuh. Disini posyandu seharusnya mempunyai peran aktif dalam kegiatan promotif dan kader-kader psoyandi dapat memberi edukasi kepada masyarakat. Namun faktanya bahwa edukasi terhadap masyarakat tidak berjalan optimal, kader kurang menggali masalah, dan tidak semua kader mempunyai motivasi. Hal ini memerlukan dukungan dan supervisi dari Puskesmas untuk mengedukasi dan memotivasi para kader posyandu tersebut sehingga kegiatan promotif dapat berjalan lebih baik. Di sisi lain partisipasi masyarakat juga berpengaruh terhadap efektivitas program yang dijalankan posyandu. Semakin tinggi dukungan dari tokoh masyarakat, petugas kesehatan, ibu PKK, dan pejabat desa maka semakin efektif program yang dijalankan oleh posyandu.
Praktik pemberian makanan pada anak juga mempengaruhi tingkat nutrisi pada anak. Pengaruh urbanisasi, ketidakpercayaan diri ibu terhadap ASI nya sendiri, dan pengaruh keluarga membuat kebanyakan ibu memberi makanan instan pada anaknnya. Selain itu terdapat pembahasan mengenai selenium organik dan non organik yang berpengaruh menurunkan diabetes tipe 2 pada kelompok dengan baseline yang adekuat. Pada sesi paralel ini terdapat topik yang cukup menarik yaitu penggunaan teknologi smartphone android untuk mengukur asupan gizi. Namun teknologi ini masih dalam tahapan penyempurnaan dan nantinya akan dapat diunduh di playstore android.
Bahasan berikutnya mengenai food outlet yang mempengaruhi obesitas. Penelitian menunjukkan anak laki-laki mempunyai kemungkinan obesitas 2.7 kali dibanding anak perempuan. Beberapa makanan seperti ayam goreng, kentang goreng, dan juga gula berpengaruh tinggi terhadap kesehatan. Dan ternyata pedagang kaki lima sebagai food service di sekolah mempunyai pengaruh yang cukup tinggi terhadap obesitas anak karena mereka mengkonsumsi makanan dari pedagang tersebut saat istirahat dan pulang sekolah. Dan topik yang tidak kalah menarik adalah kecenderungan fad diet pada remaja putri dimana fad diet lebih mementingkan penampilan daripada kesehatan. Para remaja putri tersebut berdiet dengan berbagai alasan seperti untuk kesehatan, supaya menarik dan cantik. Pengaruh tersebut lebih banyak dari hubungan teman sebaya daripada pengaruh media teknologi seperti internet yang sedang marak saat ini. Sebagai kesimpulan asupan gizi sangatlah penting untuk anak maupun remaja yang sedang dalam pertumbuhan dan hal ini membutuhkan perhatian serta kesadaran orang tua untuk memperhatikan asupan gizi bagi anak-anaknya.
Jiwa Masyarakat
Pokja Kebijakan Jiwa Masyarakat
Tantangan Sosialisasi dan Implementasi Undang-Undang Sistem kesehatan Jiwa
Indonesia telah membangun sistem kesehatan jiwa yang baru. Pengesahan Undang-undang kesehatan jiwa yang disahkan tanggal 8 Juli 2014 menjadi buktinya . Perjuangan ini diinisiasi oleh dr. Nova Riyanti yusuf, SpKJ pada 3 Novemer 2009. "Indonesia pernah menjadi cover majalah time tahun 2003 sebagai negara yang memiliki layanan kesehatan jiwa terendah di ASIA" kata anggota DPR RI ini ketika mengisi sesi paralel FORNAS JKKI di POKJA Kesehatan Jiwa Masyarakat. Hal ini wajar karena minimntya tenaga psikiater dan psikolog di Indonesia.
Lain halnya dengan dr. Nova, dr. Eka Viora SpKJ menyorot hubungankesehatn jiwa dengan penyakit. Gangguan jiwa sumbangan terbesar beban penyakit. Ada warning dari WHO bahwa depresi adalah krisis global. Sehingga perlu perhatian terhadap kesehatan jiwa agar depresi tidak mempengaruhi sistem kesehatan. dalam MDG's 4 dan 5 tahun 2009-2015 kurang diperhatikan kesehatan jiwa karena secara langsung tidak berpengaruh terhadap penurunan angka kematian ibu dan bayi. Sementara di lain tempat, hasil penelitian di Cina, India menunjukkan adanya hubunga kesehatan jiwa dengan angkan kematian ibu dan bayi.
Rumah sakit Jiwa diharapkan ada disetiap provinsi, saat ini rumah sakit jiwa telah ada di 27 provisni. Diharapkan dengan adanya rumah sakit jiwa tidak ada pasung karena beberapa penderita gangguan jiwa diperkosa ketika dipasung. Bagi anggota keluarga yang memasung penderita gangguan jiwa dikenai hukuman penjara selama 12 tahun.
Ir. Hadadi dari ASDA III memberikan fakta spesifik tentang masalah kesehatan Jiwa di Indonesia khususnya di bandung. Pemerintah kota telah bekerja sama dengan perguruan tinggi UNPAD untuk meningkatkan layanan kesehatn Jiwa. Berbagai kegiatan untuk pengembangan kesehatan jiwa seperti Revitasiasi SDM. Jumlah SDM kesehatan jiwa diharapkan ada mulai layanan primer sehingga usaha promotif dan preventif bisa dilakukan.
Oleh; Eva Tirtabayu hasri S.Kep.,MPH
Pelayanan Kesehatan
Pokja Kebijakan Pelayanan Kesehatan
Paper pertama berjusul Upaya Penataan Tenaga Kesehatan Melalui Perda No . 7 Tahun 2014, Tentang Tenaga Kesehatan dan dibawakan Kepala Biro Hukum Pemprov Jatim. Melalui pemaparan ini, terungkap beberapa fakta di lapangan, masih ada ketimpangan jumlah nakes, tidak meratanya dokter spesialais, belum terpenuhinya tenaga kesehatan saat pemberlakukan JKN serta mutasi yang terlalu cepat. Kemungkinan solusi yaitu terbitnya Perda yang mengatur hal terasebut.
Proses penyusunan Perda tersebut, didahului penyusunan anlisa situasi nakes dengan FGD, dialog informal dengan Dinkes Provinsi, kabupaten dan kota. Bantuan tahap akhir dari AIPHSS.
Hal yang diatur: perencanaan berjenjang, pendayaguianaan nakes secara umum dan khusus, POSKESDES dan nakes asing. Keterlibatan stake holder ini untuk menimbulkan senses of belongingsehingga pelaksanaan Perda lebih mudah, keterlibatan stake holder pula yang membuat permasalahan terungkap dan diketahui solusinya. Rencana Tindak Lanjut dari Perda ini, pertama, sosialisasi pada stae holder di seluruh tingklatan. Kedua, akan disusuyn Peraturan Gubernur yang akan mengelola pendayagunaan nmakes secara khusus. Ketiga, akan dibentuk Pokja-pokja yang akan menyukseskan pelaksanaan Perda ini.
Paper kedua ialah Tantangan dan Peluang Pendidikan Dokter Spesialis Berorientasi pada Penguatan Sistwm Kesehatan di Era JKN yang disampaikan oleh Crezena H. Soejono. Peran RS Pendidikan yaitu pelayanan, pendidsikan dan penelitian. Sistrm JKN mendoeong RS untuk lebih efisien, namun bukan berarti merreduksi pelayanan. Tantangan yang dihadapi antara lain, harus membangun jaringan, harus ada transfer knowledge, mencegah fraud dan sebagainya.
Rujukan kegawatdaruratan Maternal dan Bayi baru lahir di Kab. Karwang |
Materi |
Pengembangan regionalisasi sistem Rujukan di Jatim berdasarkan hasil Assesment kemampuan dan kapasitas rumahsakit |
Materi |
Hubungan antara tingkat pengetahuan keterjangkauan dan sikap petugas kesehatan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan program JKN PBI Masyarakat Tihi-Tihi Puskesmas Bontang Lestari di Kota Bontang - Ratno Adrianto |
Materi |
Faktor Sosial Budaya dan Pemanfaatan Fasilitas Kesehatan Primer oleh Masyarakat Miskin dan Hampir Miskin - Harumanto Sapardi, Digna Purwaningrum | Materi |
Kajian implementasi kebijakan perubahan status kelembagaan rumahsakit terhadap kualitas pelayanan |
Materi |
Audit Mutu Rujukan Layanan Primer di Provinsi DKI Jakarta - Hanevi Djasri | Materi |
Pro‐Kontra Diskursus Rokok dalam Media Sosial YouTube - Agung Dwi Laksono, dkk. | Materi |
Persepsi Korupsi Kecil pada Pegawai Pemerintah di Sektor Kesehatan - Faisal Mansur, Mubasyisyir, Sigit riarto | Materi |
SDM Kesehatan
Pokja Kebijakan Pendidikan SDM Kesehatan
Paralel Kebijakan Pendidikan SDM Kesehatan dipimpin oleh moderator Sari Puspa Dewi, dr., MPHE. Membuka sesi ini, moderator menekankan bahwa pokja SDM Kesehatan adalah pokja yang baru terbentuk sehingga diharapkan akan dapat memberikan kontribusi terhadap tenaga kesehatan sehingga tidak akan terjadi "pelayanan kesehatan jelek karena tenaga kesehatan jelek".
Pembicara pertama adalah Kepala Biro Hukum Provinsi Jawa Timur, Himawan dengan latar belakang dosen hukum UNAIR. Topik yang dibawakan adalah Upaya Penataan Tenaga Kesehatan melalui penyusunan Perda Prov. Jatim Nomor 7 Tahun 2014 tentang Tenaga kesehatan mendapat apresiasi dari peserta karenadibawakan dengan menarik. Perda nomor 7 tahun 2014 ini lahir melalui tahapan regulasi selama 6 bulan dengan latar belakang nakes yang timpang di Jatim karena terkumpul di kota, masih ada faskes yang tanpa nakes, mutasi tenaga kesehatan cepat atau istilahnya "kepindahan nakes berdasarkan agama dan kecepatannya masing-masing" karena memang tidak ada peraturan dan tidak kalah menariknya adalah alasan lainnya dari Perda ini adalah antisipasi terhadap masuknya tenaga kesehatan asing saat MEA 2015. Perda ini mengatur distribusi nakes, kompetensi, syarat nakes asing bila bekerja di Jawa Timur dan keharusan seluruh nakes mengikuti Perda ini. Pada intinya Perda ini mengingatkan semua bahwa masalah kesehatan bukan hanya menjadi urusan dinas kesehatan.
Prof. Czeresna H. Soejono, Direktur Utama RSCM menyampaikan mengenai Tantangan dan Peluang Pendidikan Dokter dan Dokter Spesialis Berorientasi pada Penguatan Sistem Kesehatan di Era JKN. Sejak 1 januari sampai dengan 30 Juni 2014, utilisasi di RSCM meningkat dua kali lipat bila dibandingkan dengan tahun 2013. Disisi lain kecepatan penambahan sarana prasarana juga dituntut agar tidak terjadi antrean yang panjang untuk tindakan operasi dan ini mengancam standar medis dan standar keperawatan sehingga menurunkan mutu. RSCM telah berusaha melakukan evaluasi terhadap pelayanan kesehatan di era JKN maka ditemukan bahwa diagnosa yang ditangani oleh RSCM hanya 15% dengan severity level 3 dan sisanya severity 1 dan 2 yang seharusnya bisa ditangani RSUD. Sehingga RSCM harus melakukan transfer knowledge kepada RSUD untuk menangani pasien sulit sehingga tidak perlu dirujuk bila sudah bisa ditangani. Tantangan RSCM menyambut UHC tahun 2019 adalah remunerasi tenaga kesehatan agar menjamin bahwa dokter tersebut hanya berada 1 tempat sehingga waktu lebih banyak kepada pasien dan mengawasi residen (PPDS) sehingga dapat menjaga mutu layanan, mengisi rekam medis tepat waktu sampai dengan mengurangi kesalahan koding diagnosA INA CBGS.
dr. Nita Arisanti, staf departemen IKM UNPAD membawakan materi Pengembangan Pendidikan Kedokteran Berbasis Komunitas dalam rangka Penguatan Sistem Kesehatan. Disampaikan bahwa SDKI tahun 2012 mengamatkan lulusan FK mampu mengatasi pasien sebagai individu yang utuh, bagian keluarga dan masayarakat, pencegahan penyakit dan keadaan sakit, melaksanakan pendidikan kesehatan, promosi kesehatan dan pendekatan kedokteran keluarga. Sehingga UNPAD sejak 2012 memulai pendidikan kedokteran berbasis masyarakat di beberapa kota dan kabupaten di Jawa Barat upaya penyelaraasan kurikulum dengan kebutuhan masyarakat. Mata kuliah Family Medicine diberikan 7 SKS dengan 2 rotasi, yaitu dalam studi IKM dan profesi dokter. Praktek lapangan dilakukan di puskesmas dan klinik atau praktek swasta.
Kusman Ibrahim, PhD menyampaikan Tantangan dan Peluang Pendidikan Keperawatan Berorientasi pada Penguatan Sistem Kesehatan di Era JKN. Jaman kolonial sampai dengan hari ini telah disahkan UU Keperawatan di Jakarta. Masalah profesi perawat di era JKN adalah bahwa pada PMK No. 71 tahun 2013 tidak ada yang menyebutkan dimana tanggung jawab perawat dalam pelayanan kesehatan sehingga menimbulkan kebingungan. Sedangkan regulasi mengenai tanggung jawab perawat sudah dijelaskan baik di UU Kesehatan maupun peraturan lainnya. Peluang pendidikan keperawatan adalah model pelayanan nursing home, home care dengan integrated care yang sudah populer di luar negeri namun belum dilaksanakan di Indonesia.
Ridwan Roy, Kepala Subdit Pembelajaran Dikti sebagai pembahas menyampaikan review mengenai Regulasi kebijakan untuk mencapai tujuan pendidikan seperti, UU No. 12 Tahun 2012, UU No. 20 Tahun 2013 dan UU Keperawatan yang baru diketok palu hari ini.
Dalam diskusi ada pertanyaan dari dr. Nida yang menanyakan isu yang terjadi saat ini mengenai pendidikan layanan primer, yang ditanggapi dr. Nita dari UNPAD bahwa DLP ini merupakan konsep dokter keluarga dan sesuai regulasi setara PPDS. UNPAD dan perguruan lain telah diberikan kesempatan bersama-sama kementerian untuk menyusun kurikulum pendidikan DLP dengan inisiasi awal membentuk kolegium DLP.