Bab II. Hak dan Kewajiban - Bagian dua
Silahkan diskusikan pada kolom komentar dibawah
{jcomments on}
{jcomments on}
Dalam dimensi mutu, efisiensi dapat didefinisikan sebagai bagaimana pelayanan kesehatan dapat memaksimalkan sumber data yang ada dan menghindari pemborosan. Dalam hal ini pelayanan kesehatan yang bermutu harus memaksimalkan sumber daya yang ada se-efisien mungkin sehingga tidak ada pemborosan seperti test laboratorium yang berulang-ulang, pengujian tambahan lainnya untuk diagnosa penyakit, dan penggunaan antibiotik yang lebih tepat sasaran. Hal ini tentunya harus didukung dengan SDM kesehatan yang kompeten dan juga infrastruktur dan peralatan kesehatan yang memadai.
Dalam UU Kesehatan yang baru disahkan ada beberapa kontroversi yang perlu dibahas dalam kacamata efisiensi sebagai bagian dari 6 domain utama dalam mutu pelayanan kesehatan:
Penghapusan mandatory spending 5% dalam UU Kesehatan yang baru oleh Kemenkes diharapkan dapat menjadi bagian dari pemerataan layanan kesehatan menuai banyak kontroversi. Pasalnya, penghapusan mandatory spending ini berpotensi mengurangi sumber daya kesehatan yang ada. Banyak obat-obatan esensial seperti ARV untuk HIV atau insulin untuk diabetes yang dibiayai dari 5% tersebut. Jika 5% ini tidak lagi menjadi mandatory maka dikhawatirkan alokasi anggaran kesehatan menjadi banyak berkurang yang berakibat pada berkurangnya sumber daya kesehatan esensial yang wajib dipenuhi untuk menjamin pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Daerah dengan APBD terbatas diprediksi akan mengalami kesulitan tanpa adanya anggaran wajib ini karena mereka masih sangat bergantung dengan pembiayaan dari anggaran wajib ini. Dampak pada domain efisiensi adalah keterbatasan sumber daya dapat memicu praktek-praktek inefisiensi seperti rujukan yang tidak perlu, tingginya readmisi, dan antrian yang panjang di fasilitas kesehatan. Di sisi lain, penghapusan mandatory spending juga berpengaruh pada peningkatan efisiensi dimana seringkali program kesehatan yang dirancang tidak berpatokan pada kebutuhan dan lebih kepada penghabisan anggaran yang ada saja sehingga apabila diikuti dengan prioritisasi dan kajian kebutuhan di masyarakat tanpa adanya mandatory spending selama alokasi anggaran tersebut menjawab kebutuhan masyarakat hal ini tidak menjadi masalah. Yang perlu dipertimbangkan adalah bagaimana mengatasi masalah ketimpangan yang ada.
Isu kriminalisasi tenaga kesehatan dalam UU Kesehatan juga kencang berhembus terutama dari organisasi-organisasi profesi yang menolak adanya pasal terkait dengan ancaman pidana bagi tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian (pasal 462) yang mana point kelalaian ini perlu didefinisikan secara jelas. Dari aspek efisiensi, hal ini dapat menjadi kekuatan dan kelemahan dalam meningkatkan efisiensi.
Keuntungan artinya tenaga kesehatan tidak lagi semena-mena dalam meresepkan antibiotik, melakukan test lab yang berkali-kali, dan tindakan lainnya yang memboroskan sumber daya tanpa adanya kontribusi pada outcome. Namun demikian, ketegasan ini perlu ditelaah kembali agar tidak menimbulkan ketakutan diantara tenaga kesehatan yang justru dapat menimbulkan pemborosan misalnya untuk menghindari “kelalaian” tenaga kesehatan menghindari efek samping dari terapi yang ada dengan alternative yang lebih “aman” namun memperpanjang lama perawatan pasien.
Isu pembatasan peran dari organisasi profesi dalam sistem kesehatan juga menjadi salah satu isu yang paling banyak ditentang dalam UU Kesehatan yang baru. Mulai dari perijinan praktek tenaga kesehatan (pasal 234 dan 235), pelibatan dokter asing (pasal 233), jumlah dan jenis organisasi profesi (pasal 314), dan kedudukan konsil kedokteran dan konsil tenaga kesehatan Indonesia dalam struktur sistem kesehatan (pasal 239) masih belum jelas dibahas di dalam UU Kesehatan yang baru. Fungsi pengawasan dari organisasi profesi melalui rekomendasi untuk membuat surat ijin praktek dianggap tidak lagi penting sehingga berpotensi menghasilkan tenaga kesehatan yang tidak kompeten.
Dari aspek efisiensi, percepatan perijinan justru menjadi hal yang efisien dimana rantai perijinan yang panjang bisa dipangkas dan biaya/sumber daya yang tidak perlu bisa dialokasikan ke hal-hal yang lebih bermanfaat. Belum lagi alasan dari Kemenkes untuk memutuskan praktek percaloan dan suap dalam pengurusan ijin yang menjadi latar belakang dari penyederhanaan rantai perijinan ini. Namun demikian, peran organisasi profesi dalam melakukan pengawasan untuk praktek kedokteran dan kesehatan juga perlu diperkuat guna menjamin pelayanan yang bermutu dan sesuai dengan standard praktek klinis yang ada. Kemenkes dan organisasi profesi perlu duduk bersama untuk mendiskusikan terkait dengan hal ini.
Walaupun demikian, UU Kesehatan yang baru saja disahkan ini juga mempunyai berbagai fitur yang mampu meningkatkan efisiensi dalam pelayanan kesehatan diantaranya:
UU Kesehatan yang baru masih banyak memunculkan kontroversi di masyarakat dan kalangan tenaga kesehatan. Selain itu, UU Kesehatan ini juga masih memiliki banyak pekerjaan rumah yakni peraturan turunan yang lebih teknis lagi untuk memastikan implementasinya di lapangan. Hal ini tentunya perlu dikawal dengan baik agar semua yang dimandatkan di dalam UU ini bisa terlaksana dengan baik dan memastikan tujuan dari revisi UU ini yakni sistem kesehatan yang adil, merata, dan bermutu baik bagi Indonesia.
oleh Stevie Ardianto Nappoe, SKM, MPH
Silahkan untuk memberikan tanggapan atau komentar pada kolom di bawah
{jcomments on}
Undang-undang Kesehatan tahun 2023 yang baru terbit tentunya bertujuan untuk meningkatkan mutu kesehatan secara umum di Indonesia, mulai dari memberi fokus lebih banyak pada upaya promotif dan preventif, memperluas akses, kemandirian industri kesehatan, kesiapsiagaan menghadapi wabah, pembiayaan yang efektif, nakes yang terdistribusi merata, nyaman dan aman, sistem informasi terintegrasi dan pemanfaatan lebih baik teknologi kesehatan. Badan Kesehatan Bangsa-Bangsa (WHO) sendiri mengusulkan untuk menggunakan 7 dimensi apabila akan membahas mengenai mutu kesehatan secara komprehensif, yaitu dimensi: efektif (effective), keselamatan (safe), berorientasi kepada pasien/pengguna layanan (people-centred), tepat waktu (timely), efisien (efficient), adil (equitable) dan terintegrasi (integrated).
Kami mengajak para praktisi mutu kesehatan di Indonesia untuk memberikan tanggapan dan usulan penerapan undang-undang kesehatan ini agar efektif dalam meningkatkan mutu. Praktisi dapat berasal dari para tenaga kesehatan, pengelola Fasyankes dari tingkat Puskesmas hingga Rumah Sakit, hingga regulator baik di Dinas Kesehatan, Kementrian Kesehatan, Organisasi Profesi, Perhimpunan Fasyankes, dan BPJS Kesehatan, serta para peneliti, konsultan dan pengamat mutu kesehatan.
Sebagai awal diskusi kami telah menuliskan bahan diskusi awal untuk masing-masing dimensi mutu, dibawah ini:
Dimensi Efektif (effective): oleh Dr. dr. Hanevi Djasri, MARS, FISQua | link |
Dimensi Keselamatan (safe): oleh Andriani Yulianti, MPH | link |
Dimensi Berorientasi kepada pasien/pengguna layanan (people-centred): Eva Tirtabayu Hasri, MPH | link |
Dimensi Tepat waktu (timely): oleh dr. Muhammad Hardhantyo, MPH, Ph.D, FRSPH | link |
Dimensi Efisien (efficient): oleh Stevie Ardianto Nappoe, SKM, MPH | link |
Dimensi Adil (equitable): oleh Lucia Evi Indriarini, SE, MPH | link |
Dimensi Terintegrasi (integrated): oleh Nusky Syaukani, S.Sos, MPH | link |
Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
Rosianna Silalahi bersama Ketua Umum PB IDI Dr. dr. Moh. Adib Khumaidi, Sp.OT.
Kamis, 13 Juli 2023 di KompasTV.
Narasumber pada webinar ini ialah Indah Febrianti, SH, MH (kepala biro hukum kemenkes RI), drg. Arianti Anaya, MKM (Dirjen tenaga kesehatan Kemenkes RI), Sundoyo, SH, MKM, M.Hum (staf ahli menteri bidang hukum kesehatan kemenkes RI), dan dr. Sunarto, M.Kes (direktur tata kelola pelayanan kesehatan kemenkes RI)
Silakan klik materi pada link berikut
Webinar diselenggarakan oleh Perhimpunan Hukum Perumahsakitan Indonesia yang membahas Masa Depan Rumahsakit dan Tenaga Kesehatan di Indonesia Pasca Ditetapkannya UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Narasumber pada webinar ini ialah Indah Febrianti, SH, MH (kepala biro hukum kemenkes RI), drg. Arianti Anaya, MKM (Dirjen tenaga kesehatan Kemenkes RI), Sundoyo, SH, MKM, M.Hum (staf ahli menteri bidang hukum kesehatan kemenkes RI), dan dr. Sunarto, M.Kes (direktur tata kelola pelayanan kesehatan kemenkes RI)
Silakan klik materi dan video webinar pada link berikut
UU Kesehatan yang baru disahkan banyak membahas mengenai pendidikan kedokteran dan pengembangan SDM Kesehatan. Dalam bulan Agustus ini akan ada penyusunan turunan UU dalam bentuk PP dan Peraturan-peraturan Menteri. Dalam rangka memberi masukan untuk aturan turunan. PKMK FK-KMK UGM mengundang teman-teman ahli pendidikan kedokteran dan ahli kebijakan publik untuk diskusi dengan topik Kebijakan Pendidikan terkait dengan Kolegium dan Konsil Kedokteran dan berbagai isu lainnya.
Narasumber :
1. Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD
2. Prof. DR. Dr. Hardyanto Subono SpDV&E (K)
RUU Kesehatan resmi disahkan menjadi Undang-undang di rapat paripurna DPR pada 11 Juli 2023. UU kesehatan mengedepankan layanan primer kesehatan untuk masyarakat serta pemerataan akses dan kualitas rumah sakit di seluruh pelosok tanah air.
Narasumber :
1. Budi Gunadi Sadikin, Menteri Kesehatan RI
2. Emanuel Melkiades Laka Lena, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI
3. Prof. Amal C. Sjaaf, Pemerhati Kebijakan Kesehatan
Spending Targets for Health: No Magic NumberBuku terbitan WHO yang menyatakan bahwa Mandatory Spending itu tidak relevan.
|
Omnibus Law
|
17 - 18 July 2023
Faculty of Medicine, Prince of Songkla University, Thailand
Prof. Barbara McPake, Ph.D menjelaskan tentang perkembangan Universal Health Coverage (UHC) dalam transisi dunia. Indeks untuk melacak UHC yaitu cakupan layanan.
Indeks untuk melacak UHC yaitu:
Gambar di atas menunjukkan bahwa negara low income lebih banyak tidak dapat mengakses layanan kesehatan.
Kita dapat agak setara antara negara kaya dan negara berkembang karena COVID-19 mempengaruhi kesetaraan. Ukuran pengeluaran pribadi baik secara absolut maupun relatif telah tumbuh secara substansial selama beberapa dekade terakhir. Pengeluaran katastropik kesehatan diperkirakan 7% dari populasi yang lebih tua secara nasional dan pengeluaran kesehatan tersebut memiskinkan sekitar 8% dari seluruh populasi setiap tahunnya. Pengeluaran ini lebih banyak disebabkan karena penyakit kronis dan penyakit tidak menular.
Bahkan sebelum COVID-19, UHC menghadapi beberapa tantangan dari transisi global yaitu:
Berdasarkan analisis singkat dampak jangka panjang setelah 2020 yaitu COVID-19 membalikkan tren jangka panjang yaitu mengurangi kemiskinan di Asia.
Reporter : Ardhina Nugrahaeni – PKMK UGM
Informasi lebih lanjut silahkan akses laman berikut https://postgraduateforum2023.com
Langkah ke dua adalah menyusun RUU sampai UU tersebut disahkan. Di dalam RUU Kesehatan OBL, langkah perumusan ini tidak mudah karena memerlukan partisipasi dari seluruh lapisan masyarakat. Ada laporan-laporan resmi yang menunjukkan proses yang rumit dalam penyusunan UU Kesehatan. Silahkan klik.
Kronologis Pembahasan RUU tentang Kesehatan oleh Komisi IX DPR | Link |
Laporan Komisi IX DPR RI Mengenai Hasil Pembicaraan Tingkat I/Pembahasan Atas RUU tentang Kesehatan | Link |