logoKKI

jkki2kki2

  • Home
  • Tentang KKI
    • Visi & Misi
    • JKKI
    • Hubungi kami
  • publikasi
    • E-Book
    • Artikel
    • Hasil Penelitian
    • Pengukuhan
    • Arsip Pengantar
  • Policy Brief
  • Pelatihan
  • E-library
  • Search
  • Login
    • Forgot your password?
    • Forgot your username?
27 Jul2023

Bab II. Bagian Satu - Hak

Posted in Pelatihan

  • Ke Halaman Depan
  • Isi Undang-undang
  • Bab II Bagian dua

 

  Silahkan diskusikan pada kolom komentar dibawah

{jcomments on}

27 Jul2023

Bab II. Hak dan Kewajiban - Bagian dua

Posted in Pelatihan

  • Ke Halaman Depan
  • Isi Undang-undang
  • Bab II Bagian satu

 

  Silahkan diskusikan pada kolom komentar dibawah

{jcomments on}

26 Jul2023

Pembahasan UU Kesehatan berdasarkan Dimensi Mutu: Efisiensi

Posted in Pelatihan

Dalam dimensi mutu, efisiensi dapat didefinisikan sebagai bagaimana pelayanan kesehatan dapat memaksimalkan sumber data yang ada dan menghindari pemborosan. Dalam hal ini pelayanan kesehatan yang bermutu harus memaksimalkan sumber daya yang ada se-efisien mungkin sehingga tidak ada pemborosan seperti test laboratorium yang berulang-ulang, pengujian tambahan lainnya untuk diagnosa penyakit, dan penggunaan antibiotik yang lebih tepat sasaran. Hal ini tentunya harus didukung dengan SDM kesehatan yang kompeten dan juga infrastruktur dan peralatan kesehatan yang memadai.
Dalam UU Kesehatan yang baru disahkan ada beberapa kontroversi yang perlu dibahas dalam kacamata efisiensi sebagai bagian dari 6 domain utama dalam mutu pelayanan kesehatan:

1. Mandatory spending

Penghapusan mandatory spending 5% dalam UU Kesehatan yang baru oleh Kemenkes diharapkan dapat menjadi bagian dari pemerataan layanan kesehatan menuai banyak kontroversi. Pasalnya, penghapusan mandatory spending ini berpotensi mengurangi sumber daya kesehatan yang ada. Banyak obat-obatan esensial seperti ARV untuk HIV atau insulin untuk diabetes yang dibiayai dari 5% tersebut. Jika 5% ini tidak lagi menjadi mandatory maka dikhawatirkan alokasi anggaran kesehatan menjadi banyak berkurang yang berakibat pada berkurangnya sumber daya kesehatan esensial yang wajib dipenuhi untuk menjamin pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Daerah dengan APBD terbatas diprediksi akan mengalami kesulitan tanpa adanya anggaran wajib ini karena mereka masih sangat bergantung dengan pembiayaan dari anggaran wajib ini. Dampak pada domain efisiensi adalah keterbatasan sumber daya dapat memicu praktek-praktek inefisiensi seperti rujukan yang tidak perlu, tingginya readmisi, dan antrian yang panjang di fasilitas kesehatan. Di sisi lain, penghapusan mandatory spending juga berpengaruh pada peningkatan efisiensi dimana seringkali program kesehatan yang dirancang tidak berpatokan pada kebutuhan dan lebih kepada penghabisan anggaran yang ada saja sehingga apabila diikuti dengan prioritisasi dan kajian kebutuhan di masyarakat tanpa adanya mandatory spending selama alokasi anggaran tersebut menjawab kebutuhan masyarakat hal ini tidak menjadi masalah. Yang perlu dipertimbangkan adalah bagaimana mengatasi masalah ketimpangan yang ada.

2. Kriminalisasi tenaga kesehatan

Isu kriminalisasi tenaga kesehatan dalam UU Kesehatan juga kencang berhembus terutama dari organisasi-organisasi profesi yang menolak adanya pasal terkait dengan ancaman pidana bagi tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian (pasal 462) yang mana point kelalaian ini perlu didefinisikan secara jelas. Dari aspek efisiensi, hal ini dapat menjadi kekuatan dan kelemahan dalam meningkatkan efisiensi.

Keuntungan artinya tenaga kesehatan tidak lagi semena-mena dalam meresepkan antibiotik, melakukan test lab yang berkali-kali, dan tindakan lainnya yang memboroskan sumber daya tanpa adanya kontribusi pada outcome. Namun demikian, ketegasan ini perlu ditelaah kembali agar tidak menimbulkan ketakutan diantara tenaga kesehatan yang justru dapat menimbulkan pemborosan misalnya untuk menghindari “kelalaian” tenaga kesehatan menghindari efek samping dari terapi yang ada dengan alternative yang lebih “aman” namun memperpanjang lama perawatan pasien.

3. Pembatasan organisasi profesi

Isu pembatasan peran dari organisasi profesi dalam sistem kesehatan juga menjadi salah satu isu yang paling banyak ditentang dalam UU Kesehatan yang baru. Mulai dari perijinan praktek tenaga kesehatan (pasal 234 dan 235), pelibatan dokter asing (pasal 233), jumlah dan jenis organisasi profesi (pasal 314), dan kedudukan konsil kedokteran dan konsil tenaga kesehatan Indonesia dalam struktur sistem kesehatan (pasal 239) masih belum jelas dibahas di dalam UU Kesehatan yang baru. Fungsi pengawasan dari organisasi profesi melalui rekomendasi untuk membuat surat ijin praktek dianggap tidak lagi penting sehingga berpotensi menghasilkan tenaga kesehatan yang tidak kompeten.

Dari aspek efisiensi, percepatan perijinan justru menjadi hal yang efisien dimana rantai perijinan yang panjang bisa dipangkas dan biaya/sumber daya yang tidak perlu bisa dialokasikan ke hal-hal yang lebih bermanfaat. Belum lagi alasan dari Kemenkes untuk memutuskan praktek percaloan dan suap dalam pengurusan ijin yang menjadi latar belakang dari penyederhanaan rantai perijinan ini. Namun demikian, peran organisasi profesi dalam melakukan pengawasan untuk praktek kedokteran dan kesehatan juga perlu diperkuat guna menjamin pelayanan yang bermutu dan sesuai dengan standard praktek klinis yang ada. Kemenkes dan organisasi profesi perlu duduk bersama untuk mendiskusikan terkait dengan hal ini.

Walaupun demikian, UU Kesehatan yang baru saja disahkan ini juga mempunyai berbagai fitur yang mampu meningkatkan efisiensi dalam pelayanan kesehatan diantaranya:

  1. Porsi preventif dan promotif menjadi lebih besar dengan mengedepankan layanan berdasarkan siklus hidup. Dalam UU Kesehatan yang baru, pemerintah juga memandatkan pentingnya standarisasi jejaring layanan primer dan laboratorium kesehatan masyarakat di seluruh Indonesia. Namun demikian, perlu adanya sumber pendanaan yang jelas mengingat situasi pelayanan primer dan laboratorium saat ini yang masih jauh dari harapan ditambah ketimpangan yang sangat jelas terlihat terutama pada daerah timur Indonesia;
  2. Penguatan ketahanan kefarmasian dan alat kesehatan di dalam negeri juga patut diapresiasi mengingat hal ini akan menekan biaya produksi dan pengadaan yang cukup signifikan bagi perusahaan farmasi dan pada ujungnya diharapkan dapat mengurangi biaya kesehatan yang tinggi saat ini;
  3. Penguatan kesiapsiagaan pra dan pasca bencana juga menjadi salah satu fitur yang sangat ditunggu dalam UU Kesehatan kali ini terutama pasca pandemic COVID-19 kemarin;
  4. Integrasi berbagai informasi kesehatan juga menjadi salah satu yang baik dalam UU Kesehatan ini (Bab XI) sehingga penggunaan informasi yang valid dan relevant dapat meringankan beban dari tenaga kesehatan dan program kesehatan yang ada dapat di rencanakan dengan informasi yang memadai dan tepat sasaran;
  5. Pemanfaatan teknologi biomedis untuk pelayanan kesehatan dalam UU Kesehatan yang baru ini juga dapat berkontribusi pada peningkatan efisiensi (pasal 338). Dengan teknologi baru yang terbukti unggul pelayanan kesehatan diharapkan bisa lebih efektif mengatasi masalah-masalah kesehatan yang ada serta efisien dalam penggunaan sumber daya;

UU Kesehatan yang baru masih banyak memunculkan kontroversi di masyarakat dan kalangan tenaga kesehatan. Selain itu, UU Kesehatan ini juga masih memiliki banyak pekerjaan rumah yakni peraturan turunan yang lebih teknis lagi untuk memastikan implementasinya di lapangan. Hal ini tentunya perlu dikawal dengan baik agar semua yang dimandatkan di dalam UU ini bisa terlaksana dengan baik dan memastikan tujuan dari revisi UU ini yakni sistem kesehatan yang adil, merata, dan bermutu baik bagi Indonesia.

oleh Stevie Ardianto Nappoe, SKM, MPH

Silahkan untuk memberikan tanggapan atau komentar pada kolom di bawah

{jcomments on}

25 Jul2023

Community of Practice Aspek Mutu dalam UU Kesehatan 2023

Posted in Pelatihan

  Pengantar

Undang-undang Kesehatan tahun 2023 yang baru terbit tentunya bertujuan untuk meningkatkan mutu kesehatan secara umum di Indonesia, mulai dari memberi fokus lebih banyak pada upaya promotif dan preventif, memperluas akses, kemandirian industri kesehatan, kesiapsiagaan menghadapi wabah, pembiayaan yang efektif, nakes yang terdistribusi merata, nyaman dan aman, sistem informasi terintegrasi dan pemanfaatan lebih baik teknologi kesehatan. Badan Kesehatan Bangsa-Bangsa (WHO) sendiri mengusulkan untuk menggunakan 7 dimensi apabila akan membahas mengenai mutu kesehatan secara komprehensif, yaitu dimensi: efektif (effective), keselamatan (safe), berorientasi kepada pasien/pengguna layanan (people-centred), tepat waktu (timely), efisien (efficient), adil (equitable) dan terintegrasi (integrated).

Kami mengajak para praktisi mutu kesehatan di Indonesia untuk memberikan tanggapan dan usulan penerapan undang-undang kesehatan ini agar efektif dalam meningkatkan mutu. Praktisi dapat berasal dari para tenaga kesehatan, pengelola Fasyankes dari tingkat Puskesmas hingga Rumah Sakit, hingga regulator baik di Dinas Kesehatan, Kementrian Kesehatan, Organisasi Profesi, Perhimpunan Fasyankes, dan BPJS Kesehatan, serta para peneliti, konsultan dan pengamat mutu kesehatan.

Sebagai awal diskusi kami telah menuliskan bahan diskusi awal untuk masing-masing dimensi mutu, dibawah ini:

Dimensi Efektif (effective): oleh Dr. dr. Hanevi Djasri, MARS, FISQua link
Dimensi Keselamatan (safe): oleh Andriani Yulianti, MPH link
Dimensi Berorientasi kepada pasien/pengguna layanan (people-centred): Eva Tirtabayu Hasri, MPH link
Dimensi Tepat waktu (timely): oleh dr. Muhammad Hardhantyo, MPH, Ph.D, FRSPH link
Dimensi Efisien (efficient): oleh Stevie Ardianto Nappoe, SKM, MPH link
Dimensi Adil (equitable): oleh Lucia Evi Indriarini, SE, MPH link
Dimensi Terintegrasi (integrated): oleh Nusky Syaukani, S.Sos, MPH link

 

 

 

 

 

 

20 Jul2023

Referensi Video

Posted in Pelatihan

  • Ke Halaman Depan
  • Isi Undang-undang
  • Event Webinar Series

 

11jan

Sidang Perkara Nomor 130/PUU-XXI/2023. Kamis, 11 Januari 2024

Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan

video

 

 

 


 

16ags

ROSI | Selamat Tinggal IDI, UU Kesehatan Sah!

Rosianna Silalahi bersama Ketua Umum PB IDI Dr. dr. Moh. Adib Khumaidi, Sp.OT. 
Kamis, 13 Juli 2023 di KompasTV.

video

 

 

 


16ags

Sosialisasi Penyelenggaraan Kesehatan Pasca Disahkan UU No.17 Tahun 2023

Narasumber pada webinar ini ialah Indah Febrianti, SH, MH (kepala biro hukum kemenkes RI), drg. Arianti Anaya, MKM (Dirjen tenaga kesehatan Kemenkes RI), Sundoyo, SH, MKM, M.Hum (staf ahli menteri bidang hukum kesehatan kemenkes RI), dan dr. Sunarto, M.Kes (direktur tata kelola pelayanan kesehatan kemenkes RI)

Silakan klik materi pada link berikut

materi

 


 

13ags

Webinar Nasional Hukum Kesehatan

Webinar diselenggarakan oleh Perhimpunan Hukum Perumahsakitan Indonesia yang membahas Masa Depan Rumahsakit dan Tenaga Kesehatan di Indonesia Pasca Ditetapkannya UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Narasumber pada webinar ini ialah Indah Febrianti, SH, MH (kepala biro hukum kemenkes RI), drg. Arianti Anaya, MKM (Dirjen tenaga kesehatan Kemenkes RI), Sundoyo, SH, MKM, M.Hum (staf ahli menteri bidang hukum kesehatan kemenkes RI), dan dr. Sunarto, M.Kes (direktur tata kelola pelayanan kesehatan kemenkes RI)

Silakan klik materi dan video webinar pada link berikut

materi   video

 


 

cov31jl

UU Kesehatan yang baru disahkan banyak membahas mengenai pendidikan kedokteran dan pengembangan SDM Kesehatan. Dalam bulan Agustus ini akan ada penyusunan turunan UU dalam bentuk PP dan Peraturan-peraturan Menteri. Dalam rangka memberi masukan untuk aturan turunan. PKMK FK-KMK UGM mengundang teman-teman ahli pendidikan kedokteran dan ahli kebijakan publik untuk diskusi dengan topik Kebijakan Pendidikan terkait dengan Kolegium dan Konsil Kedokteran dan berbagai isu lainnya.

Narasumber :

1. Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD
2. Prof. DR. Dr. Hardyanto Subono SpDV&E (K)

klik disini   reportase

 


58AFF06B D6FC 4CB4 B7D8 49D03FA672D8

RUU Kesehatan resmi disahkan menjadi Undang-undang di rapat paripurna DPR pada 11 Juli 2023. UU kesehatan mengedepankan layanan primer kesehatan untuk masyarakat serta pemerataan akses dan kualitas rumah sakit di seluruh pelosok tanah air.

Narasumber :

1. Budi Gunadi Sadikin, Menteri Kesehatan RI
2. Emanuel Melkiades Laka Lena, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI
3. Prof. Amal C. Sjaaf, Pemerhati Kebijakan Kesehatan

klik disini

 

 

 

 

 

20 Jul2023

Referensi Buku

Posted in Pelatihan

<  Kembali ke referensi

  

WHO HFWorkingPaperSpending Targets for Health: No Magic Number

Buku terbitan WHO yang menyatakan bahwa Mandatory Spending itu tidak relevan.

readmore

 

10318Omnibus Law
Teori dan Penerapannya

Penulis:
Dr. Rio Christiawan, Sh, M.Hum, M.Kn

readmore

 

 

 

 

 

 

 

 

 

18 Jul2023

The 17th Postgraduate Forum of Health Systems and Policies

Posted in Pelatihan

17 - 18 July 2023
Faculty of Medicine, Prince of Songkla University, Thailand

  • Keynote Speech
  • Plenary 1
  • Plenary 2
  • Plenary 3

Keynote Speech

Universal Health Coverage (UHC) in a Transitioning World

ky1Prof. Barbara McPake, Ph.D menjelaskan tentang perkembangan Universal Health Coverage (UHC) dalam transisi dunia. Indeks untuk melacak UHC yaitu cakupan layanan.

  1. Reproduksi kesehatan, kesehatan ibu dan anak
    • KB
    • Kehamilan dan persalinan
    • Imunisasi pada Anak
    • Pengobatan pada Anak
  2. Penyakit menular
    • Penanganan TBC
    • Terapi HIV
    • Pencegahan Malaria
    • Air dan Sanitasi
  3. Penyakit tidak menular
    • Pencegahan kardiovaskular
    • Manajemen diabetes
    • Pengendalian tembakau
  4. Kapasitas layanan kesehatan dan akses layanan kesehatan
    • Akses ke rumah sakit
    • Tenaga kesehatan
    • Health security

Indeks untuk melacak UHC yaitu:

  1. Catastrophic out-of-pocket spending (COOP)
    Proporsi penduduk yang melakukan OOP melebihi 10% atau 25% dari total konsumsi atau pendapatan rumah tangga
  2. Impovershing out of pocket spending (IOOP)
    Perubahan rasio angka kemiskinan akibat out of pocket
    Katastropik semakin buruk meskipun UHC semakin membaik. Penyakit tidak menular banyak yang tidak ditanggung dan pengeluaran untuk mengakses fasilitas kesehatan. Pada penduduk di low income country akibat COVID-19 tidak bisa mengakses fasilitas kesehatan, kemampuan untuk mendapatkan layanan kesehatan dan lain-lain.

ky2

Gambar di atas menunjukkan bahwa negara low income lebih banyak tidak dapat mengakses layanan kesehatan.

Kita dapat agak setara antara negara kaya dan negara berkembang karena COVID-19 mempengaruhi kesetaraan. Ukuran pengeluaran pribadi baik secara absolut maupun relatif telah tumbuh secara substansial selama beberapa dekade terakhir. Pengeluaran katastropik kesehatan diperkirakan 7% dari populasi yang lebih tua secara nasional dan pengeluaran kesehatan tersebut memiskinkan sekitar 8% dari seluruh populasi setiap tahunnya. Pengeluaran ini lebih banyak disebabkan karena penyakit kronis dan penyakit tidak menular.

Bahkan sebelum COVID-19, UHC menghadapi beberapa tantangan dari transisi global yaitu:

  1. Transisi ekonomi yaitu pertumbuhan ekonomi akan tetapi menimbulkan ketidaksetaraan ekonomi
  2. Transisi demografi yaitu masalah kesehatan akibat usia yang semakin tua
  3. Transisi epidemiologi yaitu dari obat pil untuk setiap penyakit berkembang ke manajemen penyakit kronis

Berdasarkan analisis singkat dampak jangka panjang setelah 2020 yaitu COVID-19 membalikkan tren jangka panjang yaitu mengurangi kemiskinan di Asia.

Reporter : Ardhina Nugrahaeni – PKMK UGM

 

 

 

 

 

Plenary 1

Plenary session 1: Country's road map for promoting health equity after COVID-19

pl3Pembicara pertama plenary session kali ini ialah Prof. Dr. Syed Mohamed Aljunid, MD, MPH, PhD dari Public Health Medicine and Health Economics Universitas Kebangsaan dengan judul presentasi “Equity and efficiency in post-covid health system: The Balancing Act”. Aljunid mengungkapkan bahwa pandemi COVID-19 memiliki dampak global yang melibatkan berbagai sektor, termasuk sektor kesehatan. Sektor kesehatan menjadi sangat rentan karena terbatasnya anggaran, kurangnya pelatihan tenaga kesehatan, serta kekurangan informasi dan bukti yang diperlukan untuk mengendalikan penyebaran COVID-19.

Setelah pandemi COVID-19, sistem kesehatan terus menghadapi tantangan dalam memberikan pelayanan kepada penderita long COVID-19. Selain itu, sistem juga mengalami kendala dalam memberikan layanan kesehatan mental dan penyakit tidak menular lainnya. Masalah anggaran kesehatan dan cakupan kesehatan universal semakin diperparah oleh resesi ekonomi global yang terjadi setelah pandemi. Oleh karena itu, diperlukan reformasi menyeluruh pada sistem kesehatan, termasuk dalam aspek anggaran dan sumber daya manusia. Pemerintah berharap bahwa respon terhadap COVID-19 melalui paket stimulasi ekonomi dapat mengurangi ketimpangan antara penduduk. Namun, adanya korupsi dalam penanganan COVID-19 menyebabkan inefisiensi dan ketidakadilan dalam pelayanan kesehatan.

pl1Pembicara kedua yaitu Assoc. Prof. Yodi Mahendradhata, M.Sc, PhD, FRSPH dari Departemen Health Policy and Management FK-KMK UGM menyampaikan presentasinya dengan judul “Promoting health equity for pandemic preparedness and response”. dr Yodi mengutip Tan et al, 2023 yang menyatakan “hanya dengan memposisikan penduduk rentan paling depan dalam respon nasional dan menjadikan mereka bagian dari integrasi sistem kesehatan dapat meningkatkan ketahanan sistem kesehatan”. Dalam paparannya, Yodi memberikan perbandingan respon sistem kesehatan dalam pengendalian COVID-19 di Indonesia, Thailand, Filipina dan Vietnam. Berbagai respons sistem kesehatan mulai dari upaya lockdown, pembatasan kegiatan masyarakat, work from home, hingga penutupan sekolah. Namun upaya ini miliki dampak seperti melebarnya kesenjangan pendapatan, meningkatnya kekerasan berbasis gender, menurunkan capaian indikator kesehatan.

Meskipun berbagai strategi mitigasi telah diterapkan untuk mengatasi kerentanan yang ada, upaya ini belum cukup memadai di dalam negeri untuk secara menyeluruh melindungi populasi yang rentan. Populasi yang sering terabaikan, seperti pekerja migran, pengungsi, pekerja seks, narapidana, dan penyandang disabilitas, belum mendapatkan respons kebijakan yang memadai. Negara perlu memanfaatkan pandemi sebagai kesempatan untuk memberikan prioritas pada hak atas Universal Health Coverage (UHC) bagi populasi yang rentan.

pl2Pembicara ketiga, Prof. Virasakdi Chongsuvivatwong, MD, PhD dari Department Of Economic, Faculty of Medicine, Prince of Songkla University memaparkan presentasi dengan judul “who lost, Who gained under the COVID-19 games”. Virasakdi menyatakan tingkat kematian akibat COVID-19 di dunia tampaknya memiliki korelasi negatif dengan PDB per kapita. Dari sisi penganggaran, negara-negara maju mengalokasikan anggaran yang jauh lebih besar dalam upaya penanganan COVID-19 dibandingkan dengan negara-negara berpendapatan rendah. Konteks Thailand, anggaran penanganan COVID-19 terjadi defisit. Hal ini berdampak juga pada sektor pariwisata hingga -47% dibandingkan dengan Indonesia dan Malaysia. Pandemi COVID-19 juga telah menguntungkan perusahaan farmasi di seluruh dunia.

Beberapa perusahaan farmasi seperti Jhonson & Jhonson, Pfizer, Moderna, dan BioNTech mengalami peningkatan keuntungan selama pandemi COVID-19. Selain itu, beberapa negara seperti China dan Amerika juga memainkan peran geopolitik dengan memberikan bantuan vaksin COVID-19 kepada negara-negara dengan sumber daya yang terbatas. Oleh karena itu, diperlukan pemantauan dan evaluasi yang cermat untuk mencegah klaim berlebihan (overclaim) dari negara-negara produsen vaksin.

Reporter: Candra, PKMK FK-KMK UGM.

 

 

Plenary 2

Post-Covid Research Needs and Prioritization

Pada hari ke-2 Postgraduate Forum (PGF) (18/07/2023) topik yang diskusikan mengenai Post-COVID Researh Needs and Prioritization bersama lima pembicara yaitu:

  1. Prof. Tippawan Liabsuetrakul, M.D., Ph.D., dari Department of Epidemiology, Faculty of Medicine, Prince of Songkla University, THAILAND
  2. Assoc. Prof. Aznida Abdul Aziz, MBBS., MMed, Ph.D., dari Department of Family Medicine, Universiti Kebangsaan Malaysia
  3. Prof. Quazi Monirul Islam, MBBS, MPH., dari Department of Epidemiology, Faculty of Medicine, Prince of Songkla University, THAILAND
  4. Prof. Supasit Pannarunothai, M.D., Ph.D., dari Center for Health Equity Monitoring, THAILAND
  5. Dr. Lutfan Lazuardi, M.Kes., Ph.D., dari Department of Health Policy and Management Gadjah Mada University, INDONESIA.

ple2Plenary session 2 dibuka oleh Prof. Tippawan Liabsuetrakul, M.D., Ph.D dengan merangkum hasil pertemuan plenary session 1 pada (17/07/2023). Setelah itu melanjutkan presentasinya tentang Social Determinants of Health Inequity. Berdasarkan hasil tinjauan literatur yang menemukan selama pandemi COVID-19 pada 2020 banyak studi yang terpublikasi membahas tentang ekuitas kesehatan dan social determinant kesehatan untuk merespons situasi pandemi.

Sementara itu, pada Post-COVID studi mengenai ekuitas kesehatan dan social determinant kesehatan berkaitan dengan isu kondisi kesehatan tertentu, kelompok rentan, minoritas, jejaring sosial, dan kondisi kerentanan lainnya. Prof Tippawan menyampaikan bahwa publikasi-publikasi ini penting untuk mendorong social determinan dalam reformasi sistem kesehatan.

ple2 2Sesi dilanjutkan dengan pembicara kedua yaitu Assoc. Prof. Aznida Abdul Aziz, MBBS., MMed, Ph.D., yang membahas tentang Optimizing Healthcare Delivery in Post-Pandemic Assoc Prof. Aznida menjelaskan bahwa pada post pandemic kesenjangan dalam penyediaan pelayanan kesehatan perlu mendapatkan perhatian besar.

Untuk mengatasi kesenjangan tersebut dibutuhkan beberapa opsi dan beberapa studi untuk mendesain ulang dan optimalisasi pelayanan kesehatan seperti di layanan FKTP, perawatan bersama antara FKTP-FKRTL dan public privat partnerships untuk memastikan keberlanjutan penyediaan layanan dan ekuitas kesehatan.

 

 

ple2 3Pembicara ketiga adalah Prof. Quazi Monirul Islam, MBBS, MPH yang membahas tentang mitigasi dengan judul presentasi Is Community Participation the Way Forward for Future Pandemic Mitigation. Prof Quazi menjelaskan tentang pendekatan a whole community untuk diadaptasi dalam menghadapi bencana yang memiliki dampak besar pada seluruh aspek.

Pendekatan a whole community menekankan adanya aksi kolektif antara pendudukan, dimana penduduk, praktisi wabah penyakit dan manajemen pandemi, pemimpin organisasi dan komunitas, dan pemerintah. Aksi kolektif dibutuhkan untuk memahami dan menilai kebutuhan komunitas masing-masing dan menentukan cara terbaik untuk berorganisasi dan memperkuat aset, kapasitas, dan kepentingan mereka.

ple2 4Pembicara keempat adalah Prof. Supasit Pannarunothai, M.D., Ph.D., yang mempresentasikan tentang COVID Research and Health Equity. Prof Supasit menjelaskan kapasitas penelitian setiap negara dapat menjelaskan interaksi antara kesepakatan individu dengan penelitian partisipasi dan aktivitas dan penelitian kemitraan dibawah payung sistem kesehatan.

Menurut Prof Supasit investasi untuk penelitian jangka panjang dapat meningkatkan kapasitas penelitian, kompetisi dan mendapatkan hasil yang lebih cepat. Untuk melakukan itu semua dibutuhkan pendekatan yang beragam untuk meningkatkan kapasitas penelitian dalam beberapa level sistem kesehatan.

 

ple2 5Pembicara terakhir dari sesi 2 adalah Dr. Lutfan Lazuardi, M.Kes., Ph.D., menjelaskan tentang Implementation Research on Digital Transformation in Health Sector. Dr Lutfan mempresentasikan implementation research memiliki peranan penting dalm memahami dan efektif implementasi dari inisiatif transformasi digital. Implementation research dinilai juga dapat menjelaskan teknik dan tantangan infrastruktur seperti sistem informasi yang kuat, interprobabiliti, keamanan data, dan konektivitas. Implementation research sangat penting untuk keberhasilan implementasi transformasi digital di sektor kesehatan. Dengan keterlibatan pemangku kepentingan, tantangan teknis, pembangunan kapasitas, pertimbangan kebijakan, dan evaluasi, ini memungkinkan organisasi layanan kesehatan memanfaatkan potensi penuh teknologi digital, yang mengarah pada peningkatan pemberian layanan kesehatan dan peningkatan hasil pasien.

Setelah kelima pembicara melakukan presentasi, peserta dari Malaysia, Indonesia dan Thailand mendapatkan kesempatan untuk berdiskusi dengan mengajukan pertanyaan atau komentar yang berkaitan dengan topik pemaparan sesi ke-2.

Reporter Tri Muhartini
Dokumentasi Ester Febe

 

 

Plenary 3

Role of policy makers and academia for preparedness of new emerging disease

pl3 1Pembicara pertama pada sesi ini adalah Dr. Masaya Kato, Ph.D. yang merupakan perwakilan dari WHO-SEARO berkantor di New Delhi, India. Kato sendiri tergabung di Unit Health Emergency Program. Topik yang diangkat dalam presentasinya secara online adalah “Collaborative Surveillance Advancing health systems and policy for surveillance and risk assessment of health security threats”. Berbicara surveilans yang mana dimulai dari pengambilan data, pengelompokan dan analisis secara sistematis guna memberikan informasi dalam mengambil langkah pencegahan dan penanganan efektif. Seperti pada kasus pandemi COVID-19 yang ditetapkan sebagai situasi emergency.

Langkah-langkah yang dikembangkan dalam surveilans turut membantu pemerintah pusat dan daerah untuk mengambil langkah terhadap permasalahan pengendalian penyakit ini meskipun dalam situasi tidak menentu. Seperti yang dilakukan di berbagai negara di Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina di masa awal pandemi. Dampaknya juga tentu akan semakin kompleks dan menjangkau berbagai konteks kehidupan seperti sosial, ekonomi, lingkungan, dan tentunya dari situasi kesehatan sendiri.

Terkait hal tersebut, tentunya semua pertanyaan dari pembuat keputusan tidak akan pernah terjawab seluruhnya dengan satu sistem surveilans. Oleh karena itu, ketika membagi tingkatan pandemi, maka peningkatan informasi dari surveilans terlihat dari sebelum kejadian, kemudian meningkat ke fase berbahaya, hingga fase kejadian, akan tetapi setelah itu akan menurun kebutuhannya ketika digunakan untuk menyiapkan ke fase transisi. Informasi itu didapatkan juga dari berbagai stakeholder lainnya seperti sistem layanan kesehatan, unit kesehatan masyarakat, laboratorium, serta sektor non kesehatan. Selain itu, pengambil keputusan juga bisa terbantu dengan beberapa referensi yang disediakan oleh WHO dalam mengambil tindakan.

Dalam kesimpulannya, Kato menegaskan perlu adanya kerjasama multi sektoral antara sektor kesehatan, mitra One Health, serta sektor non kesehatan, dimana masing-masing kelompok memberikan analisis dan manfaat terkait deteksi dini, perbaikan pemahaman situasi epidemiologi, dan pemahaman terkait koteks dan bahaya. Sehingga aksi yang dapat ditempuh dalam wujud kolaborasi ini adalah perbaikan desain sistem dan kinerja, pemerintahan dan koordinasi, serta peningkatan kapasitas tenaga kerja.

pl3 2Pembicara kedua adalah Weaphan Leethanakul MD, direktur NHSO Wilayah 12 Songkhla, Thailand. Weaphan membawakan topik “Strengthening the preparedness of health financing to respond to emerging infectious diseases”. Kasus yang diangkat adalah situasi Thailand pada saat pandemi COVID-19 sebelumnya.

Dari situasi pandemi yang dialami oleh Thailand, terdapat beberapa gelombang peningkatan infeksi COVID-19, Dari seri gelombang tersebut, gelombang infeksi kedua menunjukkan kasus kematian yang paling tinggi yang menyebabkan lebih dari 10000 jiwa meninggal dari sekitar 20000 lebih kasus. Sedangkan pada gelombang 3 meskipun terjadi peningkatan kasus mendekati 25000 kasus, namun angka kematian di Thailand jauh menurun di bawah 7000 jiwa.

Salah satu faktor pendukung dalam penanganan dan pengendalian pandemi adalah sektor finansial di mana Thailand telah menerapkan Universal Health Coverage (UHC). UHC di Thailand sendiri terdiri dari 3 skema; 1) skema manfaat pegawa negeri (CSMBS), 2) skema keamanan sosial (SSS), dan 3) skema cakupan semesta (NHSO). Selain itu, juga terdapat dukungan anggaran bagi penduduk yang bukan asli Thailand. Selain anggaran, Thailand juga mengubah beberapa kali kebijakan, penguatan puskesmas, serta kolaborasi dari berbagai sektor.

Anggaran yang disetujui untuk dialokasikan dalam penanganan COVID-19 pada masa pandemi memiliki peningkatan tren mencapai 66.191 Baht dari sektor kesehatan sendiri. Jika ditotal dari semua anggaran untuk COVID-19, anggaran pada tahun 2022 mencapai 1,529.548 Baht. Alokasi anggaran ini meliputi semua layanan terkait COVID-19, mulai vaksinasi, skrining, isolasi untuk 14 hari, mobilisasi/rujukan ke rumah sakit, pengobatan, dan kompensasi bagi yang mendapatkan efek samping dari vaksin
Kesimpulan dari paparan Weaphan adalah paket manfaat untuk COVID-19 diberikan secara khusus, akan tetapi dalam mendukung hal tersebut tentunya diperlukan ketahanan sistem kesehatan, bekerja sama dengan jaringan lama dan baru, serta adanya integrasi data dan informasi sistem.

pl3 3

Dalam sesi diskusi, Prof Tippawan yang menanyakan ke dr. Kato tentang bagaimana Jepang bisa berkolaborasi dengan WHO Searo terkait dengan surveilans. dr. Kato sendiri menjawab bahwa Jepang memiliki agenda prioritas yang telah dibahas bersama dengan berbagai stakeholder, setelah surveilans sendiri ditetapkan sebagai satu agenda prioritas di Jepang, maka kerja sama dan pendanaan dari luar juga disesuaikan berdasarkan kebutuhan dari negara Jepang sendiri.

Reporter: Faisal Mansur – PKMK FK-KMK UGM
Dokumentasi: Mentari Widiastuti – PKMK FK-KMK UGM

 

 Informasi lebih lanjut silahkan akses laman berikut https://postgraduateforum2023.com

 

 

 

 

 

14 Jul2023

2. Perumusan Kebijakan

Posted in Pelatihan

hutama

Langkah ke dua adalah menyusun RUU sampai UU tersebut disahkan. Di dalam RUU Kesehatan OBL, langkah perumusan ini tidak mudah karena memerlukan partisipasi dari seluruh lapisan masyarakat. Ada laporan-laporan resmi yang menunjukkan proses yang rumit dalam penyusunan UU Kesehatan. Silahkan klik.

Kronologis Pembahasan RUU tentang Kesehatan oleh Komisi IX DPR Link
Laporan Komisi IX DPR RI Mengenai Hasil Pembicaraan Tingkat I/Pembahasan Atas RUU tentang Kesehatan Link

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

More Articles ...

  • 3. Pelaksanaan Kebijakan
  • 4. Monitoring dan Evaluasi Kebijakan
  • 12
  • 13
  • 14
  • 15
  • 16
  • 17
  • 18

Copyright © 2019 | Kebijakan Kesehatan Indonesia

  • Home
  • Tentang KKI
    • Visi & Misi
    • JKKI
    • Hubungi kami
  • publikasi
    • E-Book
    • Artikel
    • Hasil Penelitian
    • Pengukuhan
    • Arsip Pengantar
  • Policy Brief
  • Pelatihan
  • E-library