Diskusi ke-6 Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Kesehatan Mata

Diskusi ke-6 UU Kesehatan

Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Kesehatan Mata

Jumat, 11 Agustus 2023  |   Pukul: 13:00 – 14:00 WIB

Webinar UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan #6 berfokus pada topik pembahasan topik Kesehatan Mata dalam kaitannya dengan UU Kesehatan. Melalui diskusi ini, diharapkan dapat menginisiasi berbagai rekomendasi untuk peraturan turunan dari UU Kesehatan terkait kesehatan mata serta memberikan gambaran mengenai penggunaan website tentang UU Kesehatan.

Pengantar dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD mengenai UU Kesehatan dan keterkaitannya dengan reformasi kesehatan di Indonesia.

Webinar dibuka dengan pemaparan dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD yang mengulas tentang UU Kesehatan sebagai sebuah reformasi. Reformasi kesehatan secara luas didefinisikan sebagai sebuah perubahan berkelanjutan dan terarah untuk meningkatkan efisiensi, pemerataan, dan efektivitas sektor kesehatan. Reformasi kesehatan terjadi jika lebih dari satu tombol kebijakan dikelola secara bersamaan melalui siklus reformasi. Di Indonesia, belum pernah ada Reformasi Kesehatan secara menyeluruh sebelum pandemi Covid-19. Setelah pandemi COVID-19, Kementerian Kesehatan berupaya mempercepat reformasi kesehatan melalui proses Transformasi Sistem Kesehatan yang mengelola banyak tombol kebijakan dalam bentuk pilar-pilar transformasi. Undang-Undang Kesehatan sebagai dasar hukum dari Transformasi Sistem Kesehatan terdiri dari 20 Bab dimana setiap bab dan pasalnya saling terkait sesuai dengan prinsip reformasi. Upaya kesehatan pendengaran dan penglihatan termuat dalam UU Kesehatan ini pada Bab V Bagian 10 pasal 71-73, namun dalam memahaminya perlu untuk menelaah pula bagian lain yang terkait dengan pembiayaan, SDM, teknologi kesehatan, dan sebagainya. Selanjutnya berbagai ketentuan dalam UU ini akan diturunkan dalam regulasi turunan yang diharapkan dapat lebih aplikatif dan dapat mencapai tujuan reformasi kesehatan terkait kesehatan mata.

VIDEO

Pembicara Utama: dr. Muhammad Bayu Sasongko, Sp.M(K)., M.Epi., Ph.D (Kepala Departemen Ophtalmology FK-KMK UGM, Ahli Vitreo-retina bedah dan medis)

11ags 4Sesi pembahasan disampaikan oleh dr. Muhammad Bayu Sasongko, Sp.M(K)., M.Epi., Ph.D yang menjelaskan bahwa UU Kesehatan yang mengatur tentang pelayanan kesehatan mata hanya termuat dalam 3 pasal dan bersifat sangat generic. Namun, dalam UU Kesehatan ini terdapat kata kunci yang menarik di Pasal 72 ayat (1) bahwa upaya kesehatan penglihatan dan pendengaran diselenggarakan secara terpadu, komprehensif, efektif, efisien dan berkelanjutan. Kata kunci ini menggarisbawahi pentingnya sistem surveillance yang selama ini masih belum optimal. Sebelumnya sistem surveillance ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan 82 tahun 2020 dan masih banyak area abu-abu yang belum jelas sehingga belum optimal. Hal ini juga terkait pada pasal 72 ayat (2) dimana pemerintah pemerintah pusat dan daerah dapat menetapkan gangguan penglihatan atau pendengaran tertentu sebagai prioritas nasional atau daerah. Dari pasal tersebut bisa membuat aturan turunan terkait pendanaan, pendayagunaan dan infrastruktur. Sehingga di aturan turunan perlu diperjelas supaya kita bisa memetakan secara lebih akurat daerah mana terkait gangguan penglihatan dan pendengaran sehingga bisa mendukung strategi nasional kesehatan mata yang efektif dan tepat sasaran.

video


Sesi Diskusi:
Webinar dilanjutkan dengan diskusi yang membahas tentang telemedisin untuk upaya kesehatan mata, yang mana telemedisin telah diatur dalam UU Kesehatan ini. Aturan turunan UU Kesehatan perlu memberikan rambu-rambu yang jelas untuk pelaksanaannya sehingga upaya kesehatan mata dengan konsep “rumah sakit tanpa dinding” dapat memperoleh payung regulasi yang jelas. Diskusi juga membahas task-shifting dalam upaya kesehatan mata. Task-shifting untuk kesehatan mata saat ini masih jauh dari pemikiran karena dibutuhkan waktu, infrastruktur dan effort yang cukup besar untuk melatih dokter umum dalam tindakan medis penanganan kasus mata, berbeda dengan melatih dokter umum untuk tindakan bedah minor. Sehingga, strategi saat ini masih mengarah pada afirmasi pendidikan spesialis mata untuk dokter umum yang akan ditempatkan di daerah terpencil. UU Kesehatan memiliki sisi inovasi pada isu ini dimana terdapat pendekatan baru yang memungkinkan daerah untuk membangun kerjasama sister hospital kaitannya dengan pendidikan spesialis hospital-based. Potensi segmen pasar non-BPJS untuk pelayanan kesehatan menjadi isu menarik untuk didiskusikan yang mana juga terkait dengan muatan UU Kesehatan pada aspek pendanaan.

video

11ags 5

Sesi Penutup:

Dalam sesi penutup, Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD menyampaikan bahwa para pakar kesehatan mata, spesialis mata, kesehatan masyarakat dan sebagainya harus aktif dalam menyusun dan memberikan masukan untuk regulasi turunan UU Kesehatan ini. Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD juga mengarahkan bahwa diskusi dapat dilanjutkan di website yang telah dikembangkan oleh PKMK: https://kebijakankesehatanindonesia.net

video

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus. Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
  10. Undang-Undang No. 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras
  11. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia. Penyusunan regulasi turunan ini akan dilakukan dalam waktu dekat sehingga membutuhkan masukan-masukan.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan bab-bab berbagai pasal dalam Undang-Undang Kesehatan;
  2. Membahas isu-isu spesifik di dalam UU Kesehatan berdasarkan topik kesehatan mata
  3. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan
  4. Memberikan gambaran mengenai penggunaan website tentang UU Kesehatan di masa mendatang

 

Analisis Implikasi Norma Pengaturan Pasal 310 UU Kesehatan dan Interpretasinya

Webinar Series UU No.17 Th 2023 tentang Kesehatan

Analisis Implikasi Norma Pengaturan Pasal 310 UU Kesehatan dan Interpretasinya

Senin, 2 Oktober 2023  |   Pukul: 10:00 – 11:30 WIB

Webinar ini merupakan rangkaian webinar mengenai pembahasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang ke-24 mengenai Analisis Implikasi Norma Pengaturan Pasal 310 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam ranah Medis dan Interpretasinya. Webinar ini dipandu oleh Nila Munana, MHPM sebagai moderator dan pembawa acara.

Pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro

Pada seri ke-24 ini, dibahas satu isu kunci, yang berkaitan dengan aspek hukum dalam Undang-Undang Kesehatan. Khususnya yang terkait dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu Arbitrase dan Mediasi. Analisis awal dilaksanakan oleh seorang ahli hukum yaitu, Dr. Rimawati yang sekaligus Ketua Program Studi Hukum Kesehatan di Fakultas Hukum UGM. Rima melakukan telaah hukum awal terhadap pasal tersebut. Kemudian, pada pertemuan selanjutnya diharapkan ada tanggapan dari tenaga medis, baik dari dokter dan/atau dokter gigi, untuk melihat bagaimana implikasi pasal 310 terhadap praktik medis yang dijalankan. Paparan ini memberikan penjelasan yang komprehensif, terutama untuk menceminkan kerja sama antara analis yang terdapat di Fakultas Hukum dengan praktisi pelayanan kesehatan dan praktik kedokteran. Dengan adanya komunikasi yang baik antara ahli hukum dan ahli kesehatan masyarakat akan menjadi kunci untuk melihat bagaimana undang-undang diterapkan dalam praktik.

Materi oleh Dr. Rimawati, SH., M.Hum

Rimawati menjelaskan 5 hal, yang pertama adalah jenis-jenis alternatif penyelesaian sengketa (APS) di dalam hukum, kemudian dilanjutkan dengan konsep dari APS yang sudah ada, lebih mengerucut lagi dijelaskan soal mediasi dan arbitrase, dilanjutkan dengan analisis dan implikasi Pasal 310 UU Kesehatan. Pada pendahuluan, Rimawati menjelaskan bahwa hubungan antara dokter dapat terjadi apabila terdapat kontrak (terapeutik) dan juga perintah undang-undang (zaakwarneming). Perjanjian terapeutik sederhananya adalah hubungan antara dokter dan pasien dalam kondisi non darurat, contohnya pasien berobat ke dokter karena penyakit flu. sementara zaakwarneming adalah konsep yang diperintahkan oleh undang-undang apabila pasien di dalam situasi gawat dan/atau darurat maka dokter harus menolongnya tanpa mempersulit dengan hal-hal administratif, misalnya pasien dalam kondisi tidak sadarkan diri. Sengketa dapat terjadi apabila timbul ketidakpuasan dari pasien terhadap dokter dalam kerangka pengobatan. Ketidakpuasan tersebut bisa terjadi karena ada dugaan kesalahan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan tugasnya sehingga menimbulkan kerugian pada pihak pasien.

Sengketa dalam dunia medik, dapat diselesaikan melalui jalur hukum dan jalur etika. Jalur hukum berarti dapat diselesaikan melalui hukum perdata, pidana atau perlindungan konsumen. Sementara jalur etika dapat diselesaikan melalui Majelis Disiplin Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan. Penyelesaian sengketa di ranah medis, dalam rezim Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 menggunakan fokus non-litigasi berupa mediasi. Kemudian dalam paradigma Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang baru, alternatif penyelesaian sengketa menjadi lebih luas, tidak hanya mediasi. Terdapat arbitrase sebagai upaya lain untuk menyelesaikan sengketa medis. Kemudian, bagaimanakah konsep arbitrase tersebut? Kemudian apa yang menjadi nilai lebih arbitrase dan mediasi dalam penyelesaian sengketa medis?. Silakan simak rekaman webinar untuk mengetahui lebih jauh (klik video).

Reporter: Tim Website UU Kesehatan PKMK

  Waktu Kegiatan

Tanggal : 2 Oktober 2023
Pukul 10:00 – 11:30 WIB

  Kegiatan

Moderator: Nila Munana, MHPM


Pengantar: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

VIDEO


Pembicara: Dr. Rimawati, S.H., M.Hum (Dosen Fakultas Hukum UGM)

VIDEO   MATERI


Sesi Diskusi

video 

 

 

 

 

Webinar “Analisis Usulan Daftar Perencanaan Program Penyusunan Judul dan Pokok Materi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Berdasarkan Hasil Inventarisasi Pendelegasian UU NO. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan”

Senin, 14 Agustus 2023  |   Pukul: 13:00 – 14:00 WIB

Diskusi ini membahas inventarisasi aturan pelaksana pendelegasian UU Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan menggunakan dua perspektif yaitu perspektif hukum dan perspektif pemerhati kebijakan kesehatan.

Pengantar dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD mengenai UU Kesehatan dan keterkaitannya dengan reformasi kesehatan di Indonesia.

14ags 1Webinar dibuka dengan pemaparan dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD mengenai penyusunan turunan UU Kesehatan dengan perspektif reformasi dan terkoordinir dengan UU lain yang tidak masuk dalam UU Omnibus Law kesehatan. UU Kesehatan merupakan landasan untuk transformasi sistem kesehatan yang disusun untuk dilaksanakan dengan berbagai aturan turunan. Enam pilar transformasi kesehatan termuat dalam UU Kesehatan yang terdiri dari 20 bab yang terkait pendahuluan, pilar kesehatan, fondasi dan aspek hukum. Setiap bab dan pasal saling terkait sesuai dengan prinsip reformasi, sehingga setiap topik sebaiknya tidak dilihat secara terpisah-pisah. Sebagai contoh, pasal penglihatan dan pendengaran hanya termuat dalam 3 pasal UU Kesehatan, yaitu pasal 71, 72 dan 73. Namun perlu ditelaah pada pasal lainnya, bagaimana pelayanan penglihatan dan pendengaran didanai? Akankah ditopang oleh regulasi pasal 401 – 412? Bagaimana SDM diatur? Apakah ditopang oleh regulasi bab VII pasal 197 – 311? Dengan demikian, dalam aturan turunan terdapat berbagai pasal yang dipakai bersama oleh pasal-pasal upaya kesehatan. Pasal-pasal itu cenderung berada di pilar-pilar yang berfungsi seperti pondasi dalam metafora transformasi kesehatan yang terkait pendanaan, SDM, teknologi, perbekalan kesehatan, dan sebagainya. Oleh karena itu, perlu diinventarisasi pasal yang dipakai bersama dan merupakan pilar dasar, di sisi lain, terdapat berbagai pasal yang dipakai bersama masih diatur oleh UU lain di luar UU Nomor 17 Tahun 2023 seperti UU SJSN dan UU BPJS, UU Pendidikan Tinggi, UU IT dan sebagainya, sehingga akan ada banyak aturan turunan yang penulisannya sangat kompleks. Oleh karena itu, tantangan saat ini adalah bagaimana memberikan masukan untuk turunannya. Pasal demi pasal dalam UU Kesehatan dapat dipelajari dan turunan UU akan dapat dipelajari melalui website: https://kebijakankesehatanindonesia.net/4735-uu-kesehatan-omnibus-law-2023  yang didalamnya membahas berbagai isu dalam bentuk webinar, diskusi per-bab UU Kesehatan, serta referensi dalam berbagai kategori. Dengan demikian, website ini diharapkan menjadi tempat untuk mempelajari dan membahas UU Kesehatan secara interaktif.

materi   video

Pembicara Utama: Dr. Rimawati, S.H., M.Hum (Dosen Fakultas Hukum UGM)

14ags 2Rimawati memberikan penjelasan mengenai upaya inventarisasi aturan pelaksana yang diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Mengingat cukup banyak peraturan turunan yang timbul sejak diundangkannya regulasi tentang kesehatan ini. Rimawati juga menjelaskan, terdapat prinsip utama yang tidak boleh dilanggar dalam penyusunan peraturan turunan seperti Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. Mengadopsi dari teori Piramida Hukum (Hans Kelsen), sebuah peraturan baru dapat diakui secara legal jika tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku pada suatu jenjang yang lebih tinggi. Kemudian juga terdapat asas-asas yang melandasi sebuah peraturan baru diciptakan, asas pertama adalah lex superiori derogate legi inferiori yang berarti peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah (sehingga peraturan yang lebih tinggi kedudukannya akan didahulukan). Asas kedua, lex specialis derogate legi generali yang bermakna peraturan yang bersifat khusus mengesampingkan peraturan yang bersifat umum. Kemudian asas ketiga, lex posteriori derogate legi lex priori bermakna peraturan yang baru mengesampingkan peraturan yang lama.

Selain memperhatikan prinsip dasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, pemerintah juga perlu menyusun rencana penyusunan Peraturan Pemerintah yang memuat hasil inventarisasi pendelegasian Undang-Undang. Pemerintah yang dimaksud dalam hal ini adalah Kementerian yang terkait dengan perintah pendelegasian yang terdapat di Undang-Undang.

Unsur berikutnya yang juga patut diberi perhatian, adalah mengenai partisipasi masyarakat. Ada beberapa metode yang bisa digunakan pemerintah untuk mengikutsertakan masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu lisan dan tertulis. Kondisi yang dapat digunakan untuk menyampaikannya adalah melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, dan/ata seminar, lokakarya dan/atau diskusi. Media untuk mengumumkan terbukanya kesempatan untuk partisipasi publik biasanya diberikan oleh Pemerintah melalui media elektronik, media cetak maupun forum tatap muka atau dialog langsung.

Pada bagian akhir, Rimawati menjelaskan tentang hasil identifikasi delegasi peraturan yang harus dibentuk oleh Pemerintah, untuk lebih lengkapnya silahkan untuk menyimak materi berikut ini

materi   video

Sesi Diskusi

Pertanyaan dari peserta cukup banyak dan beragam. Salah satunya adalah pertanyaan mengenai kepastian hukum dari peraturan turunan yang sudah berlaku sebelumnya, apakah tiba-tiba tidak berlaku begitu saja atau akan tetap berlaku?. Terdapat kekhawatiran tentang kekosongan hukum. Salah satu peserta juga menanyakan terkait dengan kedudukan dokter residen dan dokter spesialis, terutama kaitannya dengan jobdesc dan insentif yang diberikan. Seperti apa jawabannya?
Silakan klik di sini untuk menonton videonya.

video

Closing Remarks

Peraturan turunan yang didelegasikan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 begitu banyak, dan perlu perhatian tinggi untuk fokus dalam mengawalnya. Kemungkinan yang dapat terjadi dalam pembuatan peraturan turunan ini, waktu pelaksanaannya akan cukup cepat. Selain itu Laksono mendorong untuk berdiskusi lebih jauh sesuai dengan topik-topik yang tersedia dan mendorong untuk membuat policy brief untuk usulan yang akan diberikan pada Pemerintah terkait.
Reporter: Tim asisten topik UU Kesehatan PKMK

video

 

Pengantar

Setelah Undang-Undang Kesehatan diundangkan pada tanggal 8 Agustus 2023 lalu, secara otomatis akan mengubah aspek-aspek dalam bidang-bidang Kesehatan. Melalui Undang-Undang Kesehatan itu pula kemudian diikuti dengan pembentukan peraturan-peraturan turunannya. Menurut tujuan (outcome) dari Reformasi Kesehatan kebijakan Kesehatan harus dapat mendukung peningkatan status Kesehatan masyarakat, kepuasan masyarakat dalam pelayanan Kesehatan yang diperoleh dan pengurangan risiko terhadap masalah Kesehatan yang dihadapi. Oleh karena itu perlu ada “tombol-tombol” kontrol (input) untuk menjamin tercapaianya tujuan, seperti tombol pembiayaan, tombol pendanaan, tombol pengorganisasian, tombol regulasi dan tombol perilaku. Kelima tombol tersebut harus dapat bekerja bersama-sama.
Pertanyaannya untuk saat ini, apakah Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 bisa menjadi sarana untuk mendorong upaya Kesehatan dalam mencapai tujuan-tujuan tersebut?. Berangkat dari hal tersebut. Mengingat muatan dari Undang-Undang Kesehatan yang baru cukup banyak, seperti :

  1. UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
  4. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  5. UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  6. UU no. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  7. UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  8. UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  9. UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  10. UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan

Beberapa aspek terutama dalam aspek jaminan sosial dalam perjalanan pembentukan Undang-Undang Kesehatan tidak dimasukkan dalam draft finalnya karena dalam perjalannya terdapat pengemukaan pendapat yang beragam hingga akhirnya UU SJSN dan UU BPJS tidak turut diubah. Pertanyaan berikutnya, apakah rangkaian Undang-Undang yang diubah tersebut kedepannya dapat mendukung reformasi Kesehatan? Apakah cukup reformis?. Oleh karena itu perlu pendalaman dan diskusi-diskusi yang dilaksanakan untuk membedah Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Pada Webinar ini terdapat dua perspektif yang akan disampaikan oleh para pembicara. Perspektif yang pertama adalah mengenai perspektif hukum, akan dijelaskan muatan apa saja yang didelegasikan oleh Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan ke peraturan turunannya. Kemudian pada perspektif yang kedua, akan disampaikan mekanisme pengusulan muatan materi yang akan difasilitasi oleh PKMK FK-KMK UGM.

  Tujuan Kegiatan

  1. Memberikan sosialisasi kepada lingkungan peneliti, akademisi dan praktisi di bidang hukum dan Kesehatan mengenai muatan apa saja yang didelegasikan oleh UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
  2. Memberikan sosialisasi kepada lingkungan peneliti, akademisi dan praktisi di bidang hukum dan Kesehatan mengenai adanya website yang memfasilitasi untuk memberikan usulan dan masukan terhadap materi yang akan dimasukkan ke dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan turunan lain dari Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan

Narasumber

Pengantar Diskusi – Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

materi   video

Dr. Rimawati, S.H., M.Hum (Dosen Fakultas Hukum UGM)

materi   video

Sesi Diskusi

video

Penutup Oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

video

Task Shifting dalam Implementasi Undang-Undang No.17/ 2023 tentang Kesehatan

Webinar Series UU No.17 Th 2023 tentang Kesehatan

Task Shifting dalam Implementasi UU No.17/ 2023 tentang Kesehatan

Senin, 9 Oktober 2023  |   Pukul: 11:00 – 12:30 WIB

9okt

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar Undang-Undang Nomer 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang ke-26 yang membahas Task Shifting dalam implementasi Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Narasumber Utama oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D mengantar webinar dengan mempresentasikan peluang era baru sistem kesehatan melalui penerapan task shifting yang diatur dalam UU Kesehatan. Saat ini Indonesia masih menghadapi masalah jumlah SDM yang terbatas baik dalam hal produksi dan distribusi serta ketersediaan anggaran sehingga mempengaruhi akses, pemerataan, dan mutu pelayanan kesehatan. Salah satu alternatif yang muncul ke permukaan adalah task-shifting, yaitu pemindahan task (tugas), dengan sepantasnya, dari tenaga medis atau tenaga kesehatan yang mempunyai kualifikasi tinggi ke tenaga medis atau tenaga kesehatan yang lebih rendah kualifikasi dan pelatihannya. UU Kesehatan telah secara tegas mengatur mengenai task-shifting, namun kemanfaatannya akan bergantung pada implementasi yang diatur dalam aturan pelaksana UU Kesehatan.

Pembahas: dr. Jon Calvin Frans Paat, M.Kes- MMR

dr. Jon Calvin Frans Paat, M Kes- MMR menjelaskan bahwa task shifting merupakan kebijakan untuk menjembatani gap ketersediaan sumber daya manusia (SDM) terutama di daerah yang terpencil. Kekurangan SDM dokter spesialis pada umumnya disebabkan oleh retensi yang rendah, kenyamanan kurang terjamin, serta kesejahteraan tidak menentu. Transformasi SDM kesehatan dan transformasi sistem pembiayaan kesehatan membutuhkan pemikiran outside the box untuk dapat menjangkau masyarakat di berbagai daerah secara merata. Task shifting merupakan salah satu solusi, meski demikian, ketentuan mengenai task shifting masih dalam tataran UU. Ketentuan mengenai task shifting perlu diatur lebih lanjut dalam RPP, PMK, hingga pedoman/panduan task shifting.

Sesi Diskusi

Dalam sesi diskusi dibahas bahwa penekanan dalam task shifting adalah dalam rangka pemerataan akses terhadap pelayanan kesehatan. Task shifting perlu dilakukan untuk mengurai masalah ketiadaan SDM Kesehatan di tempat tertentu, misalnya ketiadaan dokter spesialis obstetri ginekologi di daerah tertentu sehingga dapat dilakukan task shifting dari dokter spesialis obstetri ginekologi kepada dokter umum yang telah dilatih untuk melakukan operasi sectio caesaria. Deklarasi ketiadaan dan kebutuhan akan SDM Kesehatan pada daerah tertentu ini dinyatakan oleh pemerintah daerah untuk kemudian diimplementasikan kententuan terkait task shifting. Sementara, pelatihan bagi tenaga yang diberi limpahan wewenang dilakukan oleh pihak yang terkait untuk pelatihan kompetensi, seperti kolegium yang bersangkutan. Disamping itu, pembiayaan untuk implementasi task shifting juga perlu diatur dengan jelas, serta perlu ada jaminan hukum dan jaminan kesejahteraan bagi tenaga medis atau tenaga kesehatan yang mendapatkan pelimpahan wewenang dan tanggungjawab melalui proses task shifting.

Diskusi tentang task shifting dalam implementasi Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan ini diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan untuk UU Nomer 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, khususnya terkait proses task shifting untuk pemerataan akses terhadap layanan kesehatan di seluruh Indonesia. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

 

  Narasumber

Moderator: Eurica Stefany Wijaya, S.H., M.H.

Pembicara: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

video   materi

Pembahas: dr. Jon Calvin Frans Paat, M Kes- MMR

video   materi

Sesi Diskusi

video

 

 

 

 

 

Diskusi ke-7 Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Mutu Pelayanan Kesehatan

Diskusi ke-7 UU Kesehatan

Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Mutu Pelayanan Kesehatan

Selasa, 15 Agustus 2023  |   Pukul: 15:00 – 16:00 WIB

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang berfokus pada pembahasan topik Mutu Pelayanan Kesehatan. Diskusi ini diharapkan dapat memberikan masukan terhadap peraturan turunan UU Kesehatan terkait Mutu Pelayanan Kesehatan dan gambaran penggunaan website UU Kesehatan.

Pengantar disampaikan oleh Shita Listyadewi

30ags3Pengantar terkait implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) disampaikan oleh Shita Listya Dewi, Ph.D yang memaparkan tentnag UU Kesehatan sebagai dasar reformasui yang terkait dengan perspektif mutu pelayanan kesehatan. Mengacu pada metafora tentang control knobs untuk reformasi sektor kesehatan, reformasi kesehatan terjadi jika lebih dari satu knob diaktifkan secara bersama-sama untuk mencapai tujuan, yaitu efisiensi, equity, dan efektifitas yang mengarah ke status kesehatan yang lebih baik. Pengalaman reformasi kesehatan di Indonesia seperti reformasi pendanaan selama ini belum mencapai tujuan-tujuan tersebut dengan optimal, sebab masih ada isu terkait dengan akses dan cakupan.

UU Kesehatan yang baru ini merupakan upaya reformasi sektor kesehatan pasca Covid-19 dengan mengaktifkan beberapa knobs reformasi sekaligus melalui transformasi sistem kesehatan. Meski demikian, apakah kebijakan transformasi ini dapat berjalan? UU Kesehatan Omnibus Law ini terdiri atas 20 Bab yang selanjutnya akan diturunkan dalam regulasi turunan. Hal ini akan berimplikasi terhadap mutu pelayanan kesehatan sehingga penting untuk mendiskusikan bersama mengenai masukan terhadap regulasi turunan UU Kesehatan ini dan akan dibagikan di web www.kebijakankesehatanindonesia.net secara berkala.

video   materi

Narasumber Utama: Dr. dr. Hanevi Djasri, MARS, FISQua

Dr. dr. Hanevi Djasri, MARS, FISQua dalam sesi pembahasan menjelaskan tentang aspek mutu pelayanan kesehatan dalam UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023. Istilah mutu pelayanan kesehatan disebutkan sebanyak 28 kali dalam UU Kesehatan, yaitu pada bagian pertimbangan, tanggungjawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah; di dalam turunan terkait kompetensi tenaga medis; di dalam pasal kesehatan ibu, kesehatan remaja, kesehatan dewasa, kesehatan lanjut usia, penyandang disabilitas, kesehatan reproduksi, keluarga berencana, gizi, kesehatan jiwa; pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan PKRT; farmasi; dan fasilitas pelayanan kesehatan (pasal 173 dan 178). Seluruh dimensi mutu WHO telah termuat dalam UU Kesehtan, dengan beberapa dimensi yang sering muncul adalah aman, akses, berkeadilan, efisien dan efektif. Meski demikian, belum ada prioritas dimensi mutu yang akan dipastikan tercapai lebih dahulu dalam 5 sampai 10 tahun mendatang.

Mutu pelayanan kesehatan tidak dibahas dalam satu bab tersendiri, melainkan tersebar dan terintegrasi di seluruh bab yang ada. Dengan demikian, apabila menggunakan health system framework, mutu pelayanan kesehatan sudah terbagi rata pada seluruh health system building blocks sehingga UU Kesehatan ini tidak bisa dibahas per bab namun secara keseluruhan. Kerangka kerja mutu yang jelas dalam UU Kesehatan ini adalah bahwa pemerintah bertanggung jawab dan mengatur serta perlu ditetapkan kebijakan dan strategi nasional. Jika menilik kerangka kerja menggunakan struktur, proses, output, dan outcome mutu pelayanan kesehatan kepada pasien, outcome WHO adalah berupa peningkatan kesehatan pasien, proteksi resiko sosial dan finansial, serta peningkatan efisiensi dan responsiveness. Dalam hal kebijakan dan strategi, secara eksplisit belum terdapat kebijakan dan strategi yang dipilih untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dalam UU Kesehatan. Dengan demikian, diperlukan pengembangan PP khusus yang mengatur tentang mutu pelayanan kesehatan dan program kesehatan sebab setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau.

video   materi

Sesi Penutup

Webinar dilanjutkan dengan penjelasan muatan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan mulai dari proses perumusan UU Kesehatan, knowledge management, file dokumen UU Kesehatan, hingga kolom komentar yang disediakan untuk memfasilitasi diskusi. PKMK berupaya mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan sebagai wadah untuk diskusi serta menyelenggarakan rangkaian webinar untuk memantik diskusi berkelanjutan dan menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan UU Kesehatan.
Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus. Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
  10. Undang-Undang No. 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras
  11. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia. Penyusunan regulasi turunan ini akan dilakukan dalam waktu dekat sehingga membutuhkan masukan-masukan.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan bab-bab berbagai pasal dalam Undang-Undang Kesehatan;
  2. Membahas isu-isu spesifik di dalam UU Kesehatan berdasarkan topik mutu pelayanan kesehatan
  3. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan
  4. Memberikan gambaran mengenai penggunaan website tentang UU Kesehatan di masa mendatang

  Narasumber

Pengantar Diskusi – Shita Listya Dewi, MM., MPP

video   materi

Isu-isu spesifik dalam UU Kesehatan terkait Mutu Pelayanan Kesehatan (pembicara: Dr. dr. Hanevi Djasri, MARS, FISQua)

video   materi

Penggunaan website Pengembangan UU Kesehatan sebagai media diskusi bagi berbagai pihak (Stefany)

video 

Arbitrase sebagai Paradigma baru Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Sengketa Medis

Webinar Series UU No.17 Th 2023 tentang Kesehatan

Arbitrase sebagai Paradigma baru Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Sengketa Medis

Rabu, 11 Oktober 2023  |   Pukul: 13:00 – 14:30 WIB

16okt

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang ke-23 yang membahas peluang pendidikan dokter spesialis berbasis kompetensi pasca penerbitan UU Nomor 17 Tahun 2023. Webinar ini dipandu oleh dr. Aditiawardana, SpPD, KGH sebagai moderator.

Pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (Guru Besar FK-KMK UGM)

Webinar dibuka oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D yang memaparkan bahwa UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan bersifat sangat komprehensif. UU kesehatan bersifat transdisiplin dan banyak ketentuan yang mengandung aspek hukum yang menetapkan bagaimana agar tidak ada pertikaian hukum. Sesi ini masuk ke dalam topik hukum untuk membahas apa yang dimaksud dengan arbitrase sebagai sesuatu yang baru untuk menyelesaikan sengketa Kesehatan.

Narasumber utama: Dr. Rimawati, S.H., M.Hum

Dr. Rimawati, S.H., M.Hum memaparkan presentasi mengenai arbitrase sebagai paradigma baru sebagai alternatif penyelesaian sengketa non litigasi dalam sengketa medis. Sengketa medik merupakan perselisihan yang timbul akibat hubungan hukum antara dokter dengan pasien dalam upaya melakukan penyembuhan. Berlandaskan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, sengketa medik dapat diselesaikan melalui litigasi dan non-litigasi diluar persidangan. Pasal 310 membuka peluang untuk penggunaan arbitrase dalam penyelesaian sengketa medis. Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Keuntungan arbitrase lebih unggul dari mediasi karena sidang tertutup dan rahasia sengketa para pihak dijamin, dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif, harus dilakukan 180 hari selesai sehingga putusan yang dibuat mutlak. Kelemahan arbitrase yaitu biaya administrasi yang mahal, tidak berkekuatan eksekutorial tanpa perintah pengadilan dan tidak adanya preseden hukum. Bagaimana arbitrase menyelesaikan sengketa medis? Kita masih membutuhkan arbiter, syarat-syarat untuk menjadi arbiter terdapat pada pasal 12 UU Nomor 30 Tahun 1999. Dalam menentukan jumlah arbiter dalam suatu kasus ada beberapa faktor yang dipertimbangkan yaitu tergantung jumlah perkara yang dipersengketakan, kompleksitas klaim, nasionalitas para pihak, ketersediaan arbiter yang layak dan tingkat urgensi kasus yang bersangkutan.

Pembahasan oleh Dr. dr. Dwi Heri Susatya, SpB, FinaCS, FICS dan Dr. dr. Darwito, SH, Sp.B(K)Onk

Dr. dr. Dwi Heri Susatya, SpB, FinaCS, FICS selaku pembahas menyampaikan bahwa Undang-Undang Kesehatan telah memperbaharui jalur alternatif penyelesaian sengketa medis, yang mana bukan hanya mediasi melainkan juga arbitrase dapat menjadi solusi alternatif penyelesaian sengketa medis. Sebab, selama ini timbul permasalahan dalam mediasi sehingga tidak lagi menjadi alternatif penyelesaian sengketa yang efektif dan tidak mempunyai daya eksekutorial. Dr. dr. Darwito, SH, Sp.B(K)Onk menanggapi bahwa arbitrase sejarahnya pada lembaga independen, diciptakan atau dibentuk oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN). Perjanjian dokter dan pasien adalah perjanjian tidak langsung sedangkan kontrak langsungnya dengan RS dan RS dengan asuransi sehingga dokter jarang inspanning verbintenis.

Dalam sesi diskusi dibahas tentang pembiayaan penyelesaian sengketa medis serta arbiter untuk arbitrasi dalam rangka penyelesaian sengketa medis. Diskusi diharapkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan untuk UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

 

  Materi Kegiatan

Pengantar: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

video


Pembicara: Dr. Rimawati, S.H., M.Hum

video   materi


Pembahas:

Dr. dr. Dwi Heri Susatyo, SpB, FinaCS, FICS

video   materi


Dr. dr. Darwito, SH, Sp.B(K)Onk

video


Sesi Diskusi

video


 

 

 

 

 

Diskusi ke-10 Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Kesehatan Keluarga

Diskusi ke-10 UU Kesehatan

Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Kesehatan Keluarga

kamis, 24 Agustus 2023  |   Pukul: 09:00 – 10:30 WIB

Topik pembahasan dalam seri Webinar UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan #10 berfokus pada Kesehatan Keluarga dalam kaitannya dengan UU Kesehatan. Melalui diskusi ini, diharapkan dapat menginisiasi berbagai rekomendasi untuk peraturan turunan dari UU Kesehatan terkait kesehatan mata serta memberikan gambaran mengenai penggunaan website tentang UU Kesehatan.

Pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D

Webinar dibuka dengan pemaparan dari Prof. dr Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D yang membahas peluang dan persiapan dalam menyongsong reformasi sistem kesehatan pasca UU Kesehatan 2023. Saat terjadi pandemi COVID-19, presiden memberikan perintah kepada Menteri Kesehatan untuk memperbaiki sistem kesehatan yang terdampak pandemi COVID-19. Melalui pengalaman pandemi COVID-19 ini diharapkan terjadi percepatan reformasi sehingga Kementerian Kesehatan berkomitmen untuk melakukan transformasi sistem kesehatan yang terdiri dari 6 pilar transformasi. Transformasi sistem kesehatan merupakan bentuk reformasi sejati yang melibatkan banyak tombol kebijakan sesuai dengan metafora health system control knobs. Kebijakan transformasi kesehatan ini perlu didukung oleh dasar hukum yang kuat yaitu UU Kesehatan Omnibus Law. Metode omnibus law digunakan karena banyak UU di masa lalu tentang kesehatan yang sulit dipadukan dan berpotensi menjadi penghambat reformasi. Setiap bab dan pasal dalam UU ini saling terkait sesuai dengan prinsip reformasi. Diskusi dan event terkait isu UU Kesehatan dapat diakses melalui www.kebijakankesehatanindonesia.net 

video

Narasumber utama: dr. RA Arida Oetami, M.Kes

dr. RA Arida Oetami, M.Kes. (Ketua Dewan Penelitian dan Pengembangan DIY) yang mengawali pembahasan dengan tujuan dari kesehatan keluarga yaitu agar tercapai kesejahteraan mental dan sosial. Kesehatan keluarga dilihat dari 4 aspek, yaitu aspek sosial dan emosional, aspek kebiasaan hidup sehat, aspek sumber daya keluarga, dan aspek dukungan sosial eksternal. Kesehatan keluarga termuat dalam UU Kesehatan yang mana terkait pembangunan keluarga dan ketahanan keluarga dimana hubungan sosial mencakup dari sisi agama, cinta kasih, perlindungan, sosial budaya, reproduksi, ekonomi, lingkungan dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan keluarga tidak hanya dibangun dari sisi kesehatan saja karena sektor lain perlu mendukung fungsi keluarga. Dalam melaksanakan UU Kesehatan ini. perlu pendekatan pengasuhan positif dan kebiasaan hidup sehat termasuk kesehatan lingkungan. Oleh karena itu, peraturan turunan perlu dibuat secara detail untuk menjelaskan siapa saja yang berwenang (leading sector) dalam hal kesehatan keluarga karena dikhawatirkan sering terjadi ketidakjelasan dalam pelaksanaannya. Penyusunan aturan turunan ini perlu melibatkan kementerian lain yang terkait dengan pendidikan, agama, sosial, budaya, BKKBN, PUPR, transportasi, perempuan dan perlindungan anak dan sebagainya. Sebab, keluarga tidak hanya berkaitan dengan kesehatan reproduksi saja sehingga tidak hanya sektor kesehatan saja. Sektor kesehatan perlu berkolaborasi dengan sektor lain untuk meningkatkan kesejahteraan, sebab Ketahanan keluarga menjadi kunci dalam kesejahteraan.

Shita Dewi (Konsultan PKMK FK-KMK UGM) selaku moderator turut memantik diskusi tentang dampak UU Kesehatan terhadap kesehatan keluarga. Kesehatan keluarga termuat dalam BAB V tentang upaya kesehatan. Banyak pertanyaan yang muncul jika mencermati kesehatan keluarga dalam UU ini. Bagaimana pelayanan kesehatan keluarga akan didanai? Bagaimana dengan pembiayaan untuk kunjungan keluarga? Bagaimana mengenai alat kesehatan dan IT untuk upaya kesehatan keluarga? Bagaimana data diperoleh dan dimanfaatkan? Oleh siapa? Dalam konteks pasal SDM Kesehatan, bagaimana SDM untuk kedokteran keluarga dididik, dilatih, ditempatkan dan dikembangkan karirnya? Siapa yang perlu mengawal UU No. 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan di Isu Upaya Kesehatan Keluarga? Oleh karena itu, perlu adanya aturan turunan untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut.


Materi Shita Listyadewi  download


materi dr. RA Arieda Oetami, M.Kes  download


video

Sesi Diskusi:

Webinar dilanjutkan dengan diskusi tentang siapa yang disebut dengan keluarga dan pendekatan siklus kehidupan yang digunakan dalam upaya kesehatan keluarga. Kesehatan perempuan disoroti karena perempuan memainkan peran penting dalam kesehatan keluarga, terlebih pada kondisi perempuan yang menjadi kepala keluarga. Dalam diskusi ini juga dibahas mengenai akses dan SDM untuk upaya kesehatan keluarga, serta berbagai stakeholders yang diharapkan ambil peran dalam upaya kesehatan keluarga ini.

video

Sesi Penutup:

Diskusi dalam webinar ini diharapkan dapat dilanjutkan melalui website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan yang dikembangkan sebagai wadah untuk diskusi serta menyelenggarakan rangkaian webinar untuk memantik diskusi berkelanjutan dan menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus.

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia. Penyusunan regulasi turunan ini akan dilakukan dalam waktu dekat sehingga membutuhkan masukan-masukan.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan bab-bab berbagai pasal dalam Undang-Undang Kesehatan;
  2. Membahas isu-isu spesifik di dalam UU Kesehatan berdasarkan topik mutu pelayanan kesehatan
  3. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan

  Waktu Kegiatan

Hari, tanggal : Kamis, 24 Agustus 2023
Pukul : 09:00 – 10.30

  Kegiatan

Jam (WIB) Topik PIC/Narasumber
09.00-09.05 Pembukaan dan Pengenalan Narasumber Shita Dewi
09.05-09.15 Pengantar

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D (Guru Besar dan Konsultan PKMK FK-KMK)

video

09.15-09.35 Materi 1 : Implikasi UU Kesehatan terhadap Kesehatan Keluarga

dr. RA Arida Oetami, Mkes.
(Ketua Dewan DI Yogyakarta)

video   materi

09.35 – 10.20 Sesi Diskusi video
10.20 – 10.30 Kesimpulan dan Closing statement Moderator

 

Diskusi ke-9 Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Bencana Kesehatan

Diskusi ke-9 UU Kesehatan

Diskusi Urusan Bencana Kesehatan dalam Undang-Undang Kesehatan No.17 Tahun 2023

Senin, 21 Agustus 2023  |   Pukul: 08:00 – 09:00 WIB

 

PKMK – Urusan bencana telah menjadi perhatian oleh sektor kesehatan sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 dan peraturan lain sebelumnya. Penanganan manajemen bencana kesehatan di Indonesia juga terus berkembang dan mengambil pembelajaran pada setiap penanganan bencana alam maupun non alam, termasuk situasi andemi COVID-19 lalu hingga saat ini. Kehadiran UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dalam ekosistem urusan bencana kesehatan menjadi menarik dan penting untuk dibahas. Kali ini, PKMK FK-KMK UGM mengadakan webinar seri #9 dengan topik utama “Keberadaan Urusan Bencana Kesehatan di UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023”.

21ags 1

Kegiatan ini dipandu oleh Ns Maryami Yuliana Kosim, S.Kep., M.Kep., Ph.D dan diisi oleh Madelina Ariani, MPH selaku Kepala Divisi Manajemen Bencana Kesehatan PKMK FK-KMK UGM. Dalam pembahasannya, Madelina menyampaikan bahwa perbedaan besar yang terlihat dari UU baru ini adalah keberadaan nomina bencana sebanyak 41 kata dan cantumannya yang tersebar di 8 bab berbeda. Hal ini berubah dari UU lama, yakni UU Nomor 36 Tahun 2009 yang mencantumkan nomina bencana hanya di bab 6 sebanyak 14 kata. Selain itu, di UU baru, juga terdapat nomina krisis kesehatan, di mana hal ini menjadi krusial karena akan mempengaruhi konsep bencana dan penanggulangannya. Pembahasan kemudian dilanjutkan dengan menunjukkan perbedaan-perbedaan dalam beberapa pasal yang tercantum dalam UU baru dan lama, serta kebaruan pasal.

video   materi

Sesi Diskusi

Forum dilanjutkan dengan sesi diskusi dimana salah satu peserta, Madahan Lalu selaku perwakilan Dinkes NTB menyebutkan bahwa UU baru ini membawa semangat baru dan menghidupkan optimisme dalam perbaikan sistem penanggulangan bencana di Indonesia. dr. Bella Donna, M.Kes melanjutkan dengan memberikan semangat kepada semua aktivis bencana kesehatan. Bella mengingatkan bahwa meski memberikan rasa optimis, forum juga harus mengawal lanjutan dari UU ini, yakni produk turunannya. Bella menambahkan bahwa selanjutnya forum dilaksanakan 2 pekan sekali untuk terus mengkritisi kebijakan ini.

Diskusi berjalan baik dengan antusiasme peserta yang tinggi, terutama yang mengkritisi soal nomina-nomina kebencanaan dalam peraturan baru dan definisinya. Selain itu, beberapa peserta yang terdiri dari birokrat dan praktisi lapangan juga menggarisbawahi persoalan seputar ambulans gratis, sistem pendanaan dalam penanggulangan bencana, dan kerahasiaan dalam hal rekam medis pasien bencana.

21ags 2dr. Hendro Wartatmo, Sp.B-KBD turut menyampaikan optimisme dalam ekosistem bencana kesehatan dalam UU baru. Meski sempat menuai kontroversi, terutama dalam hal organisasi profesi dan pendidikan spesialis, bencana kesehatan tidak terpengaruh dan justru mendapat peluang bagus dalam UU ini. Namun, beberapa hal tetap harus dikritisi. Terminologi dalam bencana kesehatan harus disamakan persepsinya. Bagaimana peran masyarakat dalam kondisi kebencanaan belum diatur khusus dalam UU, artinya turunannya harus ada yang mengatur. Bidang pendanaan juga harus diperjelas agar tidak saling tumpang tindih atau justru tidak ada yang menaungi. Webinar ini juga menjadi awal lahirnya Community of Practice atau Masyarakat Praktisi di bidang Bencana Kesehatan. Ke depan akan diadakan webinar seri lanjutan khusus membahas urusan bencana kesehatan beserta turunannya.

video

Reporter: dr Alif Indira (Divisi Manajemen Bencana Kesehatan PKMK UGM)

Pengantar

Urusan bencana telah menjadi perhatian oleh sektor kesehatan sejak Undang-Undang No. 36 tahun 2009 dan peraturan lain sebelumnya. Penanganan manajemen bencana kesehatan di Indonesia juga terus berkembang dan mengambil pembelajaran pada setiap penanganan bencana alam maupun non alam, termasuk situasi Pandemi Covid-19 lalu hingga saat ini.

Sejak kebijakan transformasi sistem kesehatan dan perubahan undang-undang kesehatan terjadi, urusan bencana dan krisis kesehatan juga termasuk yang menjadi perhatian dari pemerintah, akademisi, pemerhati bencana dan masyarakat secara umum. Urusan bencana dan krisis kesehatan penting dibahas karena setiap kejadian bencana selalu memberikan dampak langsung kepada masyarakat dan sistem kesehatan di wilayah terdampak, belum lagi dampak tidak langsung kepada sistem lainnya yang berpengaruh pada layanan kesehatan pada situasi bencana.

Menarik untuk membahas dan mendiskusikan segala perubahan urusan bencana kesehatan pada Undang-Undang Kesehatan No.17 Tahun 2023. Oleh karena itu, tim COP bencana kesehatan menginisiasi pertemuan awal diskusi bencana kesehatan.

  Tujuan Kegiatan

  1. Menyampaikan analisis urusan bencana kesehatan dalam Undang-Undang Kesehatan No.17 Tahun 2023
  2. Mendiskusikan segala perubahan urusan bencana kesehatan dalam Undang-Undang Kesehatan No.17 Tahun 2023
  3. Mengidentifikasi rencana topik diskusi selanjutnya, termasuk mengidentifikasi peraturan turunan masing-masing urusan bencana kesehatan pada setiap bab dan pasal di dalam Undang-Undang Kesehatan No.17 Tahun 2023

  Waktu Kegiatan

Hari, tanggal : Senin, 21 Agustus 2023
Pukul : 08:00 – 09.30 wib

  Agenda Kegiatan

Waktu Kegiatan  
08.00 – 08.05 Pembukaan Moderator
08.05 – 08.15 Pengantar Shita Dewi
08.15 – 08.35

Pemantik diskusi : Urusan bencana kesehatan dalam Undang-Undang Kesehatan No.17 Tahun 2023

video   materi

Madelina Ariani, MPH
(Konsultan/ Peneliti Divisi Manajemen Bencana Kesehatan PKMK FK-KMK UGM)

08.35 – 08.55

Sesi diskusi

video

08.55 – 09.00 Penutup

 

Diskusi ke-11 Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik UU Kesehatan dan Kontrak Perorangan antara Residen dengan RS

Diskusi ke-11 UU Kesehatan

UU Kesehatan dan Kontrak Perorangan antara Residen dengan RS

Jumat, 25 Agustus 2023  |   Pukul: 15:00 – 16:30 WIB

Topik pembahasan yang diangkat dalam webinar UU Kesehatan seri ke 11 berfokus pada kontrak perorangan antara residen dengan rumah sakit terkait dengan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.


Pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD

Webinar dibuka dengan pemaparan dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD yang mengulas perintah UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang pengelolaan tenaga residen di jalur university based dan hospital based. Sebelum UU Kesehatan Omnibus Law ini disahkan, pendidikan dokter spesialis diatur dalam UU Pendidikan Kedokteran selama periode 2013-2023. Undang-Undang Pendidikan Kedokteran ini disusun berdasarkan situasi di Indonesia dan benchmarked di US dan Australia, dimana residen bukan sebagai mahasiswa biasa namun sebagai pekerja. Pada pasal 31 mengenai UU Pendidikan Kedokteran terdapat penjelasan mengenai hak dan kewajiban mahasiswa serta ketentuan lanjut diatur dalam peraturan menteri. Namun, apa yang terjadi dalam pelaksanaan UU Pendidikan Kedokteran 2013? Peraturan turunan tidak banyak disusun, stakeholder utama tidak peduli pada residen, dan sebagainya. Selain itu, UU ini gagal mengubah budaya kerja di pelayanan kesehatan yang tetap tidak mengakui residen sebagai pekerja. Namun, pandemi COVID-19 menyadarkan bangsa bahwa residen adalah pekerja. UU Kesehatan 2023 membuka jalur hospital-based yang diikuti dengan berbagai pro dan kontra. Jalur hospital-based dan university-based memiliki kesamaan yaitu residen sebagai pekerja. Pada pasal 219 prinsip residen sebagai pekerja diatur dalam UU Kesehatan berdasarkan praktek global dan membutuhkan kontrak perorangan antara RS dengan residen. Meski demikian, konsekuensi perintah UU Kesehatan yaitu residen sebagai pekerja tidak mudah karena memerlukan berbagai adaptasi.

materi   video

Narasumber Utama: Letnan Kolonel Ckm dr. Khairan Irmansyah, Sp. THT-KL., M.Kes

Sesi pembahasan disampaikan oleh Letnan Kolonel Ckm dr. Khairan Irmansyah, Sp. THT-KL., M.Kes yang mengantarkan peserta dalam sebuah pertanyaan menarik: apakah UU Nomor 17 Tahun 2023 dapat efektif dalam hal kontrak perorangan residen dengan RS pendidikan? Jika melihat kembali ke UU Nomor 20 Tahun 2013, pendidikan residen menganut sistem university-based, namun pendekatan lain di beberapa negara menggunakan sistem hospital-based. UU Nomor 17 Tahun 2023 membuka opsi pendidikan kedokteran dengan hospital-based dan memerintahkan adanya hak dan kewajiban peserta didik. Apakah hal ini dapat dituangkan dalam kontrak perorangan antara RS Pendidikan dengan residen? Sebelum adanya UU Pendidikan Kedokteran 2013, residen dianggap sebagai siswa yang harusnya membayar ke RS, tidak memiliki kompetensi klinis, tidak memiliki dasar hukum untuk diberi insentif, dan tidak bisa dikontrak. Selain itu, belum ada regulasi yang mengatur pendidikan residen dan peran negara. Namun, UU Pendidikan Kedokteran memerintahkan residen sebagai pekerja sehingga semestinya ada kontrak kerja antara residen dengan RS Pendidikan. Pada kenyataannya, tidak ada niat yang cukup dari berbagai stakeholder, budaya RS yang menempatkan residen sebagai mahasiswa, serta tidak adanya kontrak atau perjanjian sehingga terjadi kegagalan dan adanya perundungan dalam pelaksanaan UU Pendidikan kedokteran tahun 2013.

Tata kelola residen saat ini belum baik, tergambar dalam situasi dimana residen harus membayar dana pendidikan yang besar jumlahnya, hubungan antara residen junior dan senior belum tertata sehingga terdapat bullying, dan mutu pelayanan RS menjadi sulit dikembangkan. Di masa depan, pasca UU Kesehatan sudah selayaknya residen diberikan insentif atas jasa pelayanan medis sesuai kompetensi, mengingat besarnya kontribusi residen. Dalam pelaksanaannya, mengacu pada UU Tenaga Kerja dan PP terkait seperti PP RI Nomor 35 Tahun 2021, unsur dalam hubungan kerja tertera dalam pasal 1 angka 1 yaitu “Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah”. Jika melihat dalam unsur pekerjaan, residen melakukan pekerjaan dengan memberikan pelayanan; dalam unsur perintah, residen mendapat perintah untuk melakukan suatu pekerjaan. Sehingga, dalam hal upah semestinya mendapatkan imbalan jasa yang layak. Selain itu, dalam hal beban kerja, paska UU Kesehatan semestinya terjadi minimalisasi beban kerja residen di RS pendidikan dengan mempertimbangkan jam kerja ideal yang pada akhirnya berdampak pada mutu pelayanan RS. Sebagai kesimpulan, tantangan UU Nomor 17 Tahun 2023 ini adalah bagaimana memaksa semua RS pendidikan pada jalur university based maupun hospital based dalam mengatur hak dan kewajiban residen dalam sebuah kontrak perorangan sebagaimana praktek yang terjadi di negara maju?

materi   video

Pembahas: dr. Andi Khomeini SpPD

Tanggapan terhadap pembahasan ini disampaikan oleh dr. Andi Khomeini SpPD yang menggarisbawahi implementasi sumpah dokter, dimana dokter mengaku bahwa sesama dokter nilainya seolah-olah seperti saudara kandung, tidak selalu mudah. Sebagai saudara semestinya sesama dokter saling menghormati dan menyayangi sebagai prinsip dasar kehidupan yang baik terutama para pelayan medis. Namun, mengapa masih terjadi bullying? Setelah adanya UU Kesehatan ini penting untuk diperhatikan bagaimana kita membuat residen di kontrak sebagai pekerja dan dapat memberikan pelayanan dengan perlindungan hukum. Dalam sesi diskusi banyak dibahas tentang residen sebagai pekerja, kontrak/perjanjian kerja dengan RS, serta insentif atau jasa pelayanan bagi residen dalam kaitannya dengan UU Nomor 17 Tahun 2023 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait. Diskusi juga menyoroti perlunya sinkronisasi pelaksanaan UU Kesehatan ini dengan stakeholders lain seperti Kementerian Keuangan dan badan pemeriksa keuangan.

video

Sesi Penutup

Diskusi dalam webinar ini diharapkan dapat dilanjutkan melalui website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan yang dikembangkan sebagai wadah untuk diskusi serta menyelenggarakan rangkaian webinar untuk memantik diskusi berkelanjutan dan menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus.

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia. Penyusunan regulasi turunan ini akan dilakukan dalam waktu dekat sehingga membutuhkan masukan-masukan.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan bab-bab berbagai pasal dalam Undang-Undang Kesehatan;
  2. Membahas isu-isu spesifik di dalam UU Kesehatan berdasarkan topik UU Kesehatan dan Kontrak Perorangan antara Residen dengan RS 
  3. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan

  Waktu Kegiatan

Hari, tanggal : Jumat, 25 Agustus 2023
Pukul : 15:00 – 16.30

  Narasumber

Moderator: dr. Diaz Novera, BMedSc(Hons), MPH


Pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, Phd

materi   video


Narasumber Letnan Kolonel Ckm dr. Khairan Irmansyah, Sp. THT-KL., M.Kes.

materi   video


Pembahas Oleh dr. Andi Khomeini Takdir

video


Sesi Diskusi

video

Diskusi ke-12 UU Kesehatan Topik Tata Kelola Rumahsakit

Diskusi ke-12 UU Kesehatan

Topik Tata Kelola Rumahsakit

Senin, 28 Agustus 2023  |   Pukul: 12:00 – 13:00 WIB

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang ke-12 yang membahas tata kelola rumah sakit dalam kerangka UU Kesehatan Omnibus Law.

Pengantar oleh Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes (Ketua PKMK FK-KMK UGM)

29ags1Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes mengantar webinar dengan menjelaskan bahwa, dari sisi manajemen, terdapat beberapa poin dalam UU Kesehatan yang baru yang dapat mengubah dan menjadi peluang pengembangan rumah sakit. Meski demikian, hal ini akan sangat bergantung pada aturan turunan dari UU Nomor 17 Tahun 2023. Dengan memahami pasal-pasal yang ada, diharapkan kita dapat memperoleh informasi dan mensintesisnya menjadi sebuah gagasan untuk membangun rumah sakit dalam keterkaitannya dengan UU Kesehatan yang baru.

Dalam UU Kesehatan ini, rumah sakit tidak lagi termuat secara independen dalam bab tersendiri melainkan secara terintegrasi dalam sistem kesehatan. Dengan kata lain, berbagai aturan terkait dengan sumber daya manusia, logistik, maupun sistem informasi akan berpengaruh terhadap pengelolaan rumah sakit. Sebagai manajer kita diharapkan dapat menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya untuk memanfaatkan peluang yang ada.

video

Pembahasan oleh Ni Luh Putu Eka Putri Andayani, S.KM., M.Kes (Konsultan PKMK FK-KMK UGM)

29ags1Sesi pembahasan disampaikan oleh Ni Luh Putu Eka Putri Andayani, S.KM., M.Kes yang menjelaskan bahwa rumah sakit merupakan layanan rujukan yang harus bertransformasi sesuai dengan pilar transformasi pelayanan rujukan sebagai bagian dari transformasi sistem kesehatan. Seluruh aturan turunan dari UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dan lembaga yang terlibat akan mendukung upaya pembangunan peningkatan pelayanan RS. Hal ini tertuang didalam pasal-pasal UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023.

Salah satu yang termuat dalam UU Kesehatan ini adalah terkait potensi besar pengobatan tradisional seperti medical wellness agar masuk ke dalam standar pelayanan kesehatan. Dalam hal ini diperlukan aturan turunan yang menjelaskan penyelenggaraan, kompetensi, serta kewenangan dan tanggung jawab pusat dan daerah. Dalam hal fasilitas pelayanan kesehatan pada pasal 187 dan 196, diperlukan aturan turunan yang menjelaskan kewajiban RS untuk melaksanakan sistem rujukan yang terintegrasi serta sistem rujuk balik. Dalam hal keuangan fasilitas pelayanan kesehatan pada pasal 194, diperlukan aturan turunan berupa peraturan menteri kesehatan tentang pola tarif nasional yang dipertegas untuk RS Pemerintah dan di-update secara berkala (maksimal 2 tahun).

Dalam hal SDM Kesehatan, diperlukan aturan turunan yang menjelaskan beberapa aspek penting seperti apa saja yang termasuk dalam tenaga pendukung dan penunjang kesehatan, beban kerja tenaga kesehatan di RS, serta kebutuhan SDM yang mencakup residen. RS akan menghitung terlebih dahulu kebutuhan SDM agar beban pembiayaan tidak terlalu besar, termasuk pembiayaan bagi residen karena akan dibayar sesuai kerjanya.

Terkait pasal 234, diperlukan aturan turunan mengenai penempatan tenaga medis dalam hal insentif (finansial atau non finansial), jaminan keamanan (terutama di daerah rawan konflik), serta perlindungan hukum saat menjalankan tugas. Terkait pasal 251 dan 253, diperlukan PP terkait pendayagunaan tenaga medis lulusan luar negeri. Mengenai pendanaan kesehatan pada pasal 402 ayat 4 dan pasal 406, diperlukan PP yang mengatur bahwa RS non pemerintah harus melaporkan penggunaan anggaran yang berasal dari pemerintah; RS pemerintah harus melaporkan realisasi belanja kesehatan; serta pendapatan RS pemerintah diakui sebagai pendapatan pemerintah yang penggunaan seluruhnya untuk operasional RS. Sementara terkait dengan farmasi, diperlukan aturan turunan yang mengatur dengan detail kompetensi apoteker, proses peresepan obat keras, hingga telemedicine yang kini menjadi bagian dari layanan kesehatan di rumah sakit.

video   materi

Sesi Diskusi

Diskusi mengenai isu-isu yang muncul dengan adanya UU Kesehatan dibahas dalam sesi diskusi, antara lain terkait dengan pola tarif nasional yang termuat dalam pasal 194 ayat 1 dan perlu diatur oleh peraturan pelaksana. Selain itu, diskusi juga mengangkat kekhawatiran upaya badan layanan umum yang kini termuat dalam pasal 185 ayat (2) “Rumah Sakit yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam memberikan layanan Kesehatan dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Isu terkait dengan aturan bahwa pimpinan rumah sakit harus berlatar belakang medis juga dibahas dalam diskusi ini.

video

Sesi Penutup

Diskusi tentang tata kelola rumah sakit dalam Kerangka UU Nomor 17 Tahun 2023 ini diharapkan tidak berhenti dengan berakhirnya webinar ini, melainkan dilakukan secara berkelanjutkan sehingga menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan kesehatan. PKMK UGM berupaya memfasilitasi hal ini dengan mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

Pengantar

Undang-Undang Kesehatan baru saja disahkan pada tanggal 11 Juli 2023 lalu dalam Rapat Paripurna DPR RI. Saat ini telah diundangkan ke dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Proses perubahan UU Kesehatan sudah dilaksanakan, tercatat sejak bulan Agustus 2022 dengan melibatkan partisipasi masyarakat seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan sejumlah organisasi profesi di bidang Kesehatan lainnya. Rancangan Undang-Undang Kesehatan ini adalah inisiatif DPR dan dirancang pembuatannya dengan menggunakan metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law memiliki makna secara harfiah berarti dalam satu bus terdapat banyak muatan (Christiawan, 2021). Muatan perundang-undangan yang dibentuk dengan metode Omnibus Law bersifat beragam dan tidak khusus.

Alhasil pada saat Undang-Undang Kesehatan dibentuk, banyak peraturan yang diubah yang tidak hanya berasal dari muatan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beberapa Undang-Undang juga turut menjadi sasaran perubahan seperti :

  1. UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
  2. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  3. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
  4. UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
  5. UU no. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
  6. UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  7. UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
  8. UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
  9. UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
  10. Undang-Undang No. 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras
  11. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Seiring dengan disahkannya UU Kesehatan, tentu saja akan timbul implikasi-implikasi yang berkaitan dengan topik-topik tersebut, seperti implikasi yang timbul pada aspek penyelenggaraan, personil maupun pembiayaan. Selain itu terdapat agenda berikutnya dari pemerintah untuk Menyusun dan membentuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang harus dikawal Bersama agar pembentukannya memenuhi kemanfaatan bagi upaya penyelenggaraan Kesehatan di Indonesia.

  Tujuan Kegiatan

  1. Mendiskusikan perubahan-perubahan yang terjadi pada bidang-bidang Kesehatan yang terdapat di Undang-Undang Kesehatan
  2. Memberikan usulan untuk peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan

Target Peserta:

  1. Pemerintah Daerah
  2. Akademisi
  3. Peneliti
  4. Mahasiswa

  Waktu Kegiatan

Tanggal : 28 Agustus 2023
Pukul 12.00 – 13.00 WIB

  Kegiatan

Moderator: dr. Haryo Bismantara, MPH. (Dosen Health Policy and Management dan Konsultan PKMK FK-KMK UGM)


Pengantar oleh Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes

video


Narasumber: Ni Luh Putu Eka Putri Andayani , S.KM., M.Kes (Konsultan PKMK FK-KMK UGM)

video   materi


Sesi Diskusi

video