6. Kebijakan diteruskan atau dihentikan
1. Agenda Setting
Dalam siklus kebijakan, agenda setting (fase penetapan agenda) merupakan langkah pertama yang penting. Secara resmi dalam level UU langkah pertama ini adalah memastikan bahwa agendanya berada dalam Prolegnas. Untuk dapat masuk ke dalam Prolegnas juga tidak mudah karena membutuhkan proses politik yang mungkin mempunyai pihak-pihak yang bertentangan.
Dalam konteks penyusunan RUU Kesehatan, ada pihak yang ingin masuk ke Prolegnas dan sebaliknya ada pula yang tidak. Kontroversi lebih kuat karena RUU Kesehatan berupa Omni Bus Law yang mempunyai cara tersendiri dalam menyusunnya. Proses agenda setting UU Kesehatan ini sedang diteliti.
Isi Undang-Undang
PP No.28 Tahun 2024 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU No.17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan | Link |
Undang-undang No.17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan | Link |
Naskah Akademik UU Kesehatan OmniBus | Link |
RPP tentang Peraturan Pelaksanaan UU No.17 / 2023 | Link |
Judicial Review UU Kesehatan | Link |
Buku saku UU No.17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan |
Link |
Putusan mahkamah konstitusi republik indonesia |
Link |
Berikut undang-undang yang sudah di pecah dalam 20 Bab :
Tahap 2 dan Tahap 3 Memahami dan Menyusun Produk Analisis Kebijakan
Latar Belakang
Pembangunan kesehatan tidak dapat terlepas dari penggunaan data dan informasi kesehatan. Data kesehatan merupakan angka dan fakta kejadian berupa keterangan dan tanda-tanda, yang secara relatif belum bermakna bagi pembangunan kesehatan. Sedangkan informasi kesehatan merupakan data kesehatan yang sudah diolah dan diproses menjadi bentuk yang bermakna dan bernilai bagi pengetahuan dan pembangunan kesehatan.
Banyak data-data kesehatan diperoleh baik melalui survey, program surveilans, monitoring, maupun evaluasi yang secara rutin dilakukan oleh otoritas-otoritas kesehatan baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Analisis data-data kesehatan tersebut memegang peranan krusial dalam mendukung proses-proses perencanaan, penganggaran, pengambilan keputusan, penyusunan kebijakan, maupun perbaikan sistem kesehatan dengan didasarkan pada bukti.
Data juga merupakan bagian dari evidence untuk menjadi suatu dasar bukti dalam menyusun dan menetapkan suatu kebijakan. Secara konsep, evidence atau bukti ini dapat diartikan sebagai ‘kebijakan berbasis bukti’ (Evidence Based Policy) yang sering dianggap sebagai hasil evolusi dari gerakan kedokteran berbasis bukti (Evidence Based Medicine) (Goldenberg 2005; Pawson 2006; Young et al. 2002). Pendekatan ini mengarahkan untuk setiap keputusan diambil untuk menyelesaikan suatu masalah kesehatan telah mempertimbangkan bukti atau evidence yang ada. Permasalahan yang diselesaikan dengan mengambil suatu keputusan atau penetapan kebijakan dari pengambil keputusan tanpa mempertimbangkan evidence dapat mengakibatkan kesalahan tipe III yaitu masalah tidak terselesaikan dan menimbulkan masalah baru lainnya (Dunn, 2003).
Namun, ketika EBP ini tersedia, banyak pengambil keputusan yang tidak memiliki kemampuan untuk membaca dan memahaminya sehingga hasil dari EBP ini diperlukan pula jembatan atau diterjemahkan. Penerjemahan EBP ini dapat disebutkan dengan melakukan Knowledge Translation Product (Produk Penerjemahan Pengetahuan) yang memiliki fungsi untuk mengisi gap antara pengetahuan dan kebutuhan praktik. Ada banyak bentuk Knowledge Translation Product yang menjadi prioritas materi pelatihan, dua di antaranya;, policy brief dan briefing notes. Dua produk ini banyak digunakan karena memiliki dampak lintas konteks dan topik. Policy brief dan briefing notes merangkum banyak evidence antara lain; evidence dari sumber global, lokal, dan kontekstual (wawancara informan kunci dengan pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan yang ditargetkan). Policy Brief mengandung beberapa poin utama yang cukup lengkap yaitu pernyataan masalah, opsi atau elemen, dan pertimbangan implementasi. Sedangkan briefing notes lebih singkat, dengan cepat dan efektif memberi saran kepada pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan tentang masalah publik yang mendesak dengan menyatukan bukti penelitian global dan bukti lokal.
Tujuan
Pelatihan ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan peserta untuk:
- Memahami tentang data kesehatan
- Menganalisis dan menggunakan data kesehatan
- Memahami tentang kebijakan kesehatan
- Memahami analisis kebijakan kesehatan
- Memahami policy brief
- Mampu menyusun policy brief
- Memahami advokasi kebijakan
Target Peserta
- Akademisi Bidang Kesehatan (Dosen dan Mahasiswa)
- Peneliti dan Konsultan Bidang Kesehatan
- Pejabat dan Staf Lembaga Pemerintahan Bidang Kesehatan
- Jejaring Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) atau/dan Mitra PKMK
Tanggal | Kegiatan | Pemateri |
Tahapan 2 Memahami dan Penyusunan Produk Analisis Kebijakan | ||
Rabu, 10 Mei 2023 |
|
Dr. Gabriel Lele, S.IP, M.Si (Dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik, FISIPOL, UGM) |
Rabu, 17 Mei 2023 |
|
Dr. Gabriel Lele, S.IP, M.Si (Dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik, FISIPOL, UGM) |
Rabu, 24 Mei 2023 |
|
Dr. Gabriel Lele, S.IP, M.Si (Dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik, FISIPOL, UGM) |
Tahapan 3 Memahami dan Penyusunan Produk Analisis Kebijakan | ||
Jumat, 23 Juni 2023
|
|
|
Tahapan 4 Pelatihan Strategi Advokasi Kebijakan
Pendahuluan
Advokasi kebijakan merupakan kegiatan strategis yang perlu diperhatikan oleh para peneliti, akademisi, dan kelompok masyarakat/NGO. Advokasi ini terkait dengan transfer pengetahuan dan mendorong perubahan dari satu pihak ke pihak lain khususnya yang mempunyai wewenang mengambil keputusan. Meriam Webster’s New Collegiate Dictionary mengartikan advokasi sebagai tindakan atau proses untuk membela atau memberi dukungan. Advokasi dapat pula diterjemahkan sebagai tindakan mempengaruhi atau mendukung sesuatu atau seseorang.
Dalam konteks kebijakan publik, advokasi hakikatnya suatu pembelaan terhadap hak dan kepentingan publik, bukan kepentingan pribadi, sebab yang diperjuangkan dalam advokasi adalah hak dan kepentingan kelompok masyarakat (public interest). Advokasi untuk sektor kesehatan memainkan peran yang penting, karena kesehatan merupakan isu yang merupakan kepentingan masyarakat (public interest) namun faktanya sangat dipengaruhi oleh proses pengambilan kebijakan yang bersifat programatik dan kurang melibatkan partisipasi publik. Oleh karena itu, peneliti, akademisi dan kelompok masyarakat/NGO dalam bidang kesehatan memiliki peran strategis untuk menyuarakan kepentingan masyarakat melalui bukti yang mereka miliki.
Advokasi kebijakan memiliki ciri yaitu: dilakukan oleh kelompok masyarakat yang terorganisir; strategi untuk mempengaruhi perubahan kebijakan; pengambil keputusan menjadi audiens utama; dan melakukan proses komunikasi persuasif. Keberhasilan advokasi kebijakan mempengaruhi proses pembuatan kebijakan publik sangat tergantung kepada kualitas aktor atau para aktor yang memainkan peran dalam advokasi kebijakan tersebut yang meliputi kemampuan intelektual, kemampuan mengkomunikasikan ide dan pemikiran, kemampuan untuk menjalin relasi politik dan pengorganisasian kekuatan politik serta kemampuan membangun opini publik.
Kemampuan aktor dalam advokasi tersebut dapat dimiliki melalui pelatihan, pendampingan dan modul-modul pembelajaran. Mendapatkan pelatihan merupakan salah satu strategi advokasi untuk memenuhi kapasitas sebelum membangun jejaring dengan pemangku kepentingan dan menjangkau proses kebijakan
Target Peserta
- Akademisi Bidang Kesehatan (Dosen dan Mahasiswa)
- Peneliti dan Konsultan Bidang Kesehatan
- Pejabat dan Staf Lembaga Pemerintahan Bidang Kesehatan
- Jejaring Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) atau/dan Mitra PKMK
Waktu kegiatan
Hari, tanggal : Rabu-Kamis, 26 – 27 Juli 2023
Pukul : 10.00 – 12.00 WIB
Agenda Kegiatan
Waktu | Kegiatan | Pembicara |
Rabu, 26 Juli 2023 video recording | ||
10.00 – 11.00 |
Mengenal Advokasi Kebijakan
|
Dr. Gabriel Lele, S.IP, M.Si |
11.00 – 12.00 |
Pemetaan Pemangku Kepentingan
|
Tri Muhartini, S.IP, MPA |
Kamis, 27 Juli 2023 video recording | ||
10.00 – 12.00 |
|
Tri Muhartini, S.IP, MPA (Peneliti Kebijakan Kesehatan, PKMK FK – KMK, UGM) |