Pembukaan Simposium
Reportase Third Global Symposium on Health System Research
Pembukaan
Reporter: Laksono Trisnantoro
Acara pembukaan dibuka oleh moderator Irene Agyepong dengan pidato dari Margaret Chan,
Direktor Jendral WHO Geneva.
Sebagai pimpinan WHO, Margaret memulai pidatonya dengan mengemukakan masalah Ebola. Mengapa terjadi hal yang menyedihkan ini? Hal ini disebabkan sistem kesehatan yang tidak lengkap. Fasilitas yang kurang memadai, pendidikan yang kurang, lemahnya pemahaman mengenai surveilans dan berbagai hal lain termasuk tidak adanya vaksin. Namun, kita semua harus berjuang bersama untuk mengatasi masalah ini. Margaret menekankan mengenai perlunya Sistem Kesehatan yang harus people center. Sistem ini harus harus berfokus pada masyarakat, bukan hanya pada pemberi pelayanan. Selanjutnya dalam pidato pembukaan ditekankan agar sistem kesehatan memperhatikan kegagalan yang ada karena kita tidak mempunyai basis infrastruktur. Dalam hal ini, riset diperlukan untuk mengkaji infrastruktur. Selain itu, diperlukan evidence yang tepat. Di akhir pidatonya, Margaret Chan mengucapkan selamat mengikuti simposium.
Debora Bix, Ambassador at Large dan Koordinator US Global AIDS.
Debora dalam sambutannya menekankan bahwa untuk AIDS, Amerika Serikat memberikan banyak dana untuk menangani fenomena ini. Kemudian, sebagian dana dipergunakan untuk sistem kesehatan horisontal. Kemudian, apa efeknya? Insiden dapat turun walaupun hal ini tidak terjadi di semua negara . Banyak negara di Afrika yang masih mengalami masalah. Dalam hal ini, SDM sangat berat juga infrastuktur, misal di Malawi dan Mozambique.
Tenaga kesehatan seperti dokter dan perawat, mempunyai kemampuan yang terbatas. Untuk itu diperlukan pengembangan untuk mereka. Deborah menekankan perlunya control untuk epidemik dengan pendekatan: Right Things, Right Place, and Right Times. Di ujung pidatonya, Debora menegaskan, bahwa pekerjaan belum selesai. Setiap minggu ada 4600 bayi terinfeksi AIDS. 3600 anak mati , 25 ribu orang dewasa mati. Hal ini yang menjadi pemicu semangat.
Malebona Precious Matsoso, Dirjen Kesehatan Afrika Selatan.
Topik mengenai Ebola masih menjadi isu kunci. Ada banyak wabah di Afrika, infrastruktur yang kurang, konflik yang berkepanjangan menjadi masalah besar. Banyak bantuan dari luar negeri. Dari US, Jepang, dan lain-lain, di dalamnya termasuk dari perguruan tinggi besar. Dalam situasi seperti ini, Malebona menyatakan bahwa perlu ada evidence, yang dapat mendukung proses pengambil keputusan agar perencanaan dapat terinformasi dan dapat mencapai hasil yang baik. Oleh karena itu, perlu investasi dalam health system research.
Kita perlu champion, perlu budaya untuk melaksanakan riset. Kita harus mengembangkan kapasitas terutama untuk penelitian. Harapannya simposium ini dapat menginspirasi para peneliti, pengambil kebijakan dan memicu policy maker untuk melakukan investasi dalam riset. Tema people centre in health system sangat tepat, dan perlu ada penekanan masyarakat sebagai pusat pengembangan, juga untuk user dan provider.
Afrika Selatan ditunjang dengan konstitusi sehingga kesehatan adalah rights (hak), kemudian ada patient-charters. Afrika Selatan akan terus berkomitmen untuk mendukung young scientist untuk mengembangkan riset. Selamat bersimposium.
Sesi Paralel
Performance Based Incentive Research
Incentivizing Quality in Maternal, Neonatal and Child Health Service
Strategi performance-based incentive (PBI) termasuk result-based financing (RBF) telah diterapkan secara luas di low and middle-income countries (LMICs) untuk mencapai target dalam pelayanan kesehatan, outcome kesehatan dan cost containment. Saat ini, rata-rata strategi PBI dari sisi supply di LMICs lebih berfokus pada unit pelayanan kesehatan untuk mengatasi masalah sangat rendahnya utilisasi faskes dibandingkan dengan fokus pada pengukuran kualitas pelayanan. Hal yang harus disadari ialah kualitas pelayanan penting bagi kesinambungan program, sehingga kini mulai banyak negara dari LMICs yang mencari pengukuran-pengukuran kualitas pelayanan yang berhubungan dengan peningkatan outcome kesehatan, untuk dimasukkan dalam sistem PBI.
Hal tersebut menjadi dasar dikembangkannya materi dalam sesi ini. Sebastian Bauhoff, seorang leader dalam Tehnical PBI dari University Rresearch Co., USA bertindak sebagai moderator. Para pembicara antara lain Stephen Brenner (peneliti dari Heidelberg University, Jerman), Fannie Kachale (Direktur Reproductive Health, Kemenkes Malawi), Ronald Mutasa (Health Specialist dari World Bank Group, Washington DC) yang kali ini diwakili oleh salah satu anggota timnya dan Jurrien Toonen (Senior Advisor, Dutch Royal Tropical Institute Netherland).
Salah satu poin menarik dari diskusi pada sesi ini adalah penggunaan balanced scorecard bukan hanya untuk mengukur kinerja dan mutu outcome kesehatan pada program pemberian insentif untuk peningkatan mutu layanan ibu dan anak, melainkan dimulai dari prosesnya. Ada beberapa keuntungan menggunakan BSC, antara lain adanya feedback yang dapat digunakan untuk menyusun strategi selanjutnya dalam implementasi program. Namun pembicara juga mengungkapkan beberapa kelemahannya antara lain tidak terlihat apakah prosesnya sudah baik, bagian mana dari proses yang sudah lengkap atau tidak lengkap, serta bagaimana caranya mengetahui bagian mana yang perlu diperbaiki dan dimodifikasi.
Pada konsep Result-Based Financing, ada tiga hal yang perlu menjadi fokus, yaitu cost-effectiveness, kejujuran dan equity. Cost effectiveness misalnya apakah alokasi anggaran untuk pengadaan komputer memang betul meningkatkan kinerja pelayanan atau justru pemborosan. Konsep kejujuran dalam pengukuran kinerja hanya dapat diterapkan jika ada check and balance terkait dengan mutu pelayanan. Equity terkait dengan situasi dimana terkadang sulit mengeluarkan staf atau anggota tim meskipun yang bersangkutan under performance. Untuk itu, organisasi perlu mengembangkan sistem pay for performance untuk memastikan terjadinya keadilan diantara saf dan anggota tim.
Menurut para panelis, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan untuk lebih memahami dan memudahkan implementasi konsep PBI dan RBF yaitu:
- adanya rasa kepemilikan terhadap program dari dinas kesehatan setempat (kasus Malawi),
- memahami mengapa sistem tersebut bisa bekerja dengan baik dan bagaimana cara kerjanya dan nyang tidak kalah pentingnya memahami bagaimana mendefinisikan kualitas pelayanan dalam konteks penelitia,n
- dokumentasi untuk melakukan perbaikan-perbaikan di masa depan, misalnya bagaimana memberi insentif bagi supervisor dan manajer untuk memastikan adanya feedback untuk menjaga kualitas pelayanan,
- kemampuan dalam melihat intervensi potensial yang dapat dilakukan.
Reporter: Putu Eka Andayani
Satellite Session 2.61 – 2.63
Realist Evaluation and Other Theory Driven Inquiry Approaches in Health Policy and Systems Research: A Hands-on Troubleshooting Workshop
|
Mengapa ada kegiatan ini?
Tujuan dari sesi ini adalah:
- Mendiskusikan konsep dasar metodologi realist evaluation
- Mendiskusikan aplikasi metodologi realist evaluation dalam penelitian sistem kesehatan
Pembicara dari Indonesia?
Sesi ini dimoderatori oleh Bruno Marchal (Department of Public Health, Institute of Tropical Medicine, Belgium)
Terdapat 4 panelis:
- Sara Van Belle (Institute of Tropical Medicine, Belgium)
- Barend Gorretsen (KIT Royal Tropical Institute, Netherlands)
- Isabel Goicolea (Umea University, Sweden)
- NS Prashanth (Institute of Public Health, Bangalore, India)
|
Mengapa ada laporan ini?
Para peneliti di Indonesia perlu mengetahui adanya metodologi baru yang dapat digunakan dalam penelitian sistem kesehatan.
Struktur/agenda kegiatan yang dilaporkan
Pada awal, Bruno Marchal menerangkan bahwa realist evaluation (RE) adalah pendekatan metodologi yang biasanya dipakai dalam evaluasi program, terutama untuk memperdalam tentang sejauh mana tingkat outcome suatu program, bagaimana context dari program tersebut dan mengapa outcomenya bisa demikian dengan menggali mekanisme sampai pada hasil. Pertanyaan utama penelitian yang menggunakan pendekatan RE adalah: mengapa hasilnya demikian, bagaimana konteks programnya sehingga hasilnya demikian, bagaimana mekanisme bisa mencapai outcome dari program. Pada RE, penelitian diarahkan oleh suatu teori sementara (hipotesis) yang didapatkan dari analisis dari 'context' program, kemudian digali keterkaitannya dengan outcome program. RE cocok dipakai untuk evaluasi program terutama jika pengambil kebijakan ingin melakukan peningkatan skala (scaling up) program. Perlu diketahui RE adalah pendekatan metodologi, sedangkan metode penelitian dapat menggunakan apapun metode penelitian yang sesuai.
Selanjutnya, didiskusikan contoh-contoh penelitian menggunakan pendekatan RE seperti misalnya penelitian studi kasus tentang bagaimana supervisi dapat meningkatkan kinerja Perawat di Guatemala (lihat http://www.biomedcentral.com/1472-6963/14/112 ).
Setelah itu, para panelis saling memberikan pengalaman masing-masing tentang pendekatan RE. Meskipun potensinya untuk memberikan bukti-bukti pada pengambil kebijakan sangat besar, namun terdapat tantangan-tantangan yang dihadapi yakni:
- Penelitian dengan pendekatan RE biasanya membutuhkan waktu cukup lama.
- Masih belum ada standard untuk menjamin kualitas aplikasi pendekatan RE yang dijalankan.
- Bagaimana menyampaikan hasil dengan mudah pada pembuat kebijakan karena biasanya hasilnya cukup kompleks.
Daftar abstrak atau power poin atau video yang terbuka untuk umum
- Tidak ada power poin yang dibagikan
- Panelis tidak membuat power point dan hanya mendiskusikan pengalaman mereka
Reporter : Ari Probandari
Satellite Session 1.43 – 1.44
Performance Based Incentive Research
Incentivizing Quality in Maternal, Neonatal and Child Health Service
Strategi performance-based incentive (PBI) termasuk result-based financing (RBF) telah diterapkan secara luas di low- and middle-income countries (LMICs) untuk mencapai target dalam pelayanan kesehatan, outcome kesehatan dan cost containment. Saat ini, rata-rata strategi PBI dari sisi supply di LMICs lebih berfokus pada unit pelayanan kesehatan untuk mengatasi masalah sangat rendahnya utilisasi faskes dibandingkan dengan fokus pada pengukuran kualitas pelayanan. Hal yang harus disadari ialah kualitas pelayanan penting bagi kesinambungan program, sehingga kini mulai banyak negara dari LMICs yang mencari pengukuran-pengukuran kualitas pelayanan yang berhubungan dengan peningkatan outcome kesehatan, untuk dimasukkan dalam sistem PBI.
Hal tersebut menjadi dasar dikembangkannya materi dalam sesi ini. Sebastian Bauhoff, seorang leader dalam Tehnical PBI dari University Rresearch Co., USA bertindak sebagai moderator. Para pembicara antara lain Stephen Brenner (peneliti dari Heidelberg University, Jerman), Fannie Kachale (Direktur Reproductive Health, Kemenkes Malawi), Ronald Mutasa (Health Specialist dari World Bank Group, Washington DC) yang kali ini diwakili oleh salah satu anggota timnya dan Jurrien Toonen (Senior Advisor, Dutch Royal Tropical Institute Netherland).
Salah satu poin menarik dari diskusi pada sesi ini adalah penggunaan balanced scorecard bukan hanya untuk mengukur kinerja dan mutu outcome kesehatan pada program pemberian insentif untuk peningkatan mutu layanan ibu dan anak, melainkan dimulai dari prosesnya. Ada beberapa keuntungan menggunakan BSC, antara lain adanya feedback yang dapat digunakan untuk menyusun strategi selanjutnya dalam implementasi program. Namun pembicara juga mengungkapkan beberapa kelemahannya antara lain tidak terlihat apakah prosesnya sudah baik, bagian mana dari proses yang sudah lengkap atau tidak lengkap, serta bagaimana caranya mengetahui bagian mana yang perlu diperbaiki dan dimodifikasi.
Pada konsep Result-Based Financing, ada tiga hal yang perlu menjadi fokus, yaitu cost-effectiveness, kejujuran dan equity. Cost effectiveness misalnya apakah alokasi anggaran untuk pengadaan komputer memang betul meningkatkan kinerja pelayanan atau justru pemborosan. Konsep kejujuran dalam pengukuran kinerja hanya dapat diterapkan jika ada check and balance terkait dengan mutu pelayanan. Equity terkait dengan situasi dimana terkadang sulit mengeluarkan staf atau anggota tim meskipun yang bersangkutan under performance. Untuk itu, organisasi perlu mengembangkan sistem pay for performance untuk memastikan terjadinya keadilan diantara saf dan anggota tim.
Menurut para panelis, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan untuk lebih memahami dan memudahkan implementasi konsep PBI dan RBF yaitu:
- adanya rasa kepemilikan terhadap program dari dinas kesehatan setempat (kasus Malawi),
- memahami mengapa sistem tersebut bisa bekerja dengan baik dan bagaimana cara kerjanya dan nyang tidak kalah pentingnya memahami bagaimana mendefinisikan kualitas pelayanan dalam konteks penelitia,n
- dokumentasi untuk melakukan perbaikan-perbaikan di masa depan, misalnya bagaimana memberi insentif bagi supervisor dan manajer untuk memastikan adanya feedback untuk menjaga kualitas pelayanan,
- kemampuan dalam melihat intervensi potensial yang dapat dilakukan.
Reporter: Putu Eka Andayani
Satellite Session 2.41 – 2.43
Experiences Using Photo Voice in Health Systems Research: Transforming Evidence and Methods to Share Knowledge, Engage, Empower and Act
Sesi ini bertujuan untuk menjelaskan konsep dan aplikasi metode photo voice dalam penelitian sistem kesehatan dan menjelaskan keunggulan dan keterbatasan metode photo voice sebagai cara pengumpulan data dalam penelitian sistem kesehatan. Sesi ini dimoderatori oleh Asha George (Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, USA). Kemudian, terdapat empat pembicara yakni:
- Shibaji Bose (Institute of Health Management Research, India)
- Amuda Baba Dies Merci (Institut panafricain de sante communautaire, Democratic Republic of the Congo)
- Caroline Jones (KEMRI-Wellcome Trust Research Program, Kenya)
- Idah Zulu-Lishandu (Lusaka District Community Health Office, Zambia)
- David Musoke (Makarere University School of Public Health, Kenya)
Sesi ini memuat inovasi metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian sistem kesehatan, dimana di Indonesia belum banyak digunakan. Dengan mengikuti reportase ini diharapkan para peneliti dapat mempertimbangkan photovoice sebagai salah satu metode pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian sistem kesehatan. Sesi ini diawali dengan diskusi kelompok kecil dari para partisipan tentang apa itu photo voice. Diskusi kelompok kecil ini menarik karena terjadi interaksi antara partisipan yang sudah mengetahui tentang apa photovoice dengan yang belum.
Secara umum, dirumuskan bahwa photo voice itu adalah metode pengumpulan data dalam participatory action research dimana subjek penelitian diberikan kamera foto untuk kemudian diminta mendokumentasi peristiwa-peristiwa yang terkait dengan tujuan penelitian. Setelah beberapa waktu, foto-foto tersebut dikumpulkan dan didiskusi dengan seluruh subjek yang dilibatkan tentang apa realitas yang mereka tangkap dari foto-foto yang dikumpulkan.
Setelah itu, disampaikan presentasi dari masing-masing pembicara tentang penelitian-penelitian yang menggunakan photo voice dan dilanjutkan dengan diskusi. Dalam diskusi muncul beberapa hal yang terkait dengan kekuatan dan kelemahan metode photo voice sebagai berikut:
Kekuatan:
- Photo voice mudah dipakai pada subjek penelitian yang buta huruf
- Photo voice dapat menyuarakan hal-hal yang mungkin sulit didiskusika
- Photo voice meningkatkan aspek partisipasi dalam suatu action research dan bahkan pasca penelitian.
Namun tantangan dari metode ini adalah adanya persoalan etika, misalnya dalam mengambil foto perlu persetujuan dari subjek yang difoto dan penggunaan foto tersebut. Namun sayang, sesi ini tidak ada materi presentasi yang dapat diakses peserta.
Reporter : Ari Probandari
Satellite Session 1.41
Social Exclusion and Health System: How do vulnerable groups experience health system?
Sesi ini mempresentasikan pengalaman-pengalaman riset pada kelompok rentan yang biasanya terpinggirkan/marginal. Mereka yang termasuk dalam kelompok rentan antara lain masyarakat migran, orang asli/aborigin, orang yang dikucilkan atau tidak mendapat pelayanan dari program karena jarak sosial dan jarak fisik yang jauh, usia tua, pengungsi, dan kelompok disable. Sesi ini mempresentasikan enam hasil penelitian dari beberapa negara yaitu Ethiopia, Australia, India, Afrika Barat, dan Afrika Selatan.
Penelitian oleh Befirdu Jimu di Ethiopia tentang "Persepsi tentang seks yang tidak aman dan penggunaan kontrasepsi oleh para perempuan migran" menunjukkan bahwa mereka sering mendapat perlakuan tidak baik secara seksual dari para perantara yang menguruskan visa dan pekerjaannya di Arab Saudi. Mereka juga dipaksa untuk menjual seks secara komersial. Pengetahuan mereka tentang seks yang tidak aman serta penggunaan kontrasepsi sangat rendah. Mereka berpendidikan sangat rendah dan kjetika akan berangkat, mereka tidak dibekali dengan pelatihan dalam bahasa yang mereka mengerti. Mereka beresiko terhadap seks yang tidak aman dan meningkatkan kesadaran untuk menggunakan kontrasepsi adalah hal yang sangat kritis, karena hal ini merupakan hak kesehatan reproduksi bagi mereka.
Dari Australia, penelitian oleh Kelaher dkk, tentang keterlibatan masyarakat Aborigin dalam "health regional governance" atau tata kesehatan daerah sangat berhubungan dengan perbaikan outcome kesehatan mereka dan bagi reformasi kesehatan Australia. Penelitian diadakan pada Juli 2008-Desember 2012 dan pengukuran dilakukan sebelum terbentuknya "Indigenous Health National Partnership Agreement (IHNPA)" dimana serapan kesehatan masyarakat dan "preventable hospitalization" dinilai. Setelah adanya IHNPA, terjadi serapan yang lebih tinggi dalam penilaian kesehatan dan terjadi penurunan drastic angka hospitalisasi dari beberapa tindakan yang seharusnya dapat dicegah. Utamanya, masyarakat Aborigin mempunyai suara yang lebih kencang di pemerintahan.
Namun, lain halnya dengan penelitian Peterson dkk, dalam penelitian tentang bagaimana pengalaman hidup sebagai pengungsi dialami, dan bagaimana informasi tentang kesehatan diberikan. Penelitian ini unik karena merekrut pengungsi sendiri untuk mengakses/mencapai masyarakat yang sulit dijangkau yaitu pengungsi itu sendiri. Lima orang peneliti pengungsi menceritakan bagaimana kehidupan sesama pengungsi di Brisbane, Australia. Mereka bingung terhadap komplesitas sistem kesehatan. Lalu, tentang masalah budaya mengancam konsultasi kesehatan, trust/kepercayaan antara pengungsi dan health providers, rasisme, bahasa yang tidak dipahami, dan sebagainya juga teridentifikasi. Strategi yang diusulkan untuk memperbaiki kesehatan mereka adalah memperbanyak penelitian bersama dengan pengungsi agar tercapai peningkatan keterlibatan dengan health provider dan juga memperbesar kapasitas masyarakat, untuk memperbaiki "health literacy," tentu saja dengan fokus untuk memperbaiki outcome kesehatan.
Di Gujarat, India, penelitian Nanjappan dkk, tentang suatu kelompok masyarakat yang disebut "Dalit" dilakukan untuk mengetahui konsekuensi politik dan sosial ekonomi karena menjadi "Dalit." Dalit adalah kasta terendah di India dan umumnya dikenal di Gujarat. Penelitian ini mewawancarai wanita "Dalit" yang rata-rata tidak mempunyai tanah dan ternak, serta dipaksa untuk mencari pekerjaan keluar desanya sebagai pekerja bangunan dan pekerja tambang. Mereka dianggap kotor dan hina, bahkan orang melecehkan mereka. Wanita "Dalit" ini mengatakan mereka tidak pernah bergaul dengan masyarakat di sekitarnya. Hubungan dengan masyarakat selalu ditandai dengan penghinaan dan caci maki. Mereka juga tidak diikutkan di dalam program suplementasi gizi yang ada di Gujarat. Walaupun kesehatan dan pelayanan kesehatan adalah hak dan dilindungi oleh undang-undang yang ada, "Dalit" mempunyai kondisi yang kritis karena tidak tersentuh oleh proteksi negara. Politisi dan pengambil keputusan di bidang kesehatan serta penyedia layanan kesehatan harus memikirkan hal ini dan menyamakan hak mereka dengan warga masyarakat yang lain.
Dua paper lain adalah tentang keikutsertaan lansia dalam program asuransi yang disebut "Social Health Protection (SHP)" di Afrika Barat.; serta keikutsertaan warga yang mempunyai masalah kesehatan mental di Cape Town. Mayoritas lansia di Afrika Barat tidak terdaftar dalam skema perlindungan SHP karena mereka justru tidak diharuskan membayar premi. Akibat tidak membayar premi, mereka (seperti) tidak diberi informasi sehingga mereka tidak mendaftarkan diri. Hal lain juga ditemukan bahwa walaupun premi tidak membayar, tetapi untuk mendapatkan kartu mereka harus membayar registrasi. Solusinya, agar para lansia mendaftar, mereka harus diberi informasi, tidak perlu membayar registrasi, dan perlunya pengurusan kartu dibuat di mayarakat terpencil Senegal. Kasus yang hampir sama juga terjadi di Afrika Selatan. Di Cape Town, orang dengan penyakit mental dieksklusikan karena mereka dianggap "defaulter" atau orang yang lalai. Mereka tidak mendapatkan informasi, akses pelayanan, dan sebagainya karena sering lupa bahwa mereka punya janji kepada health provider. Mereka dianggap sebagai orang yang lalai atau tidak peduli, dan mempunyai interaksi negatif dengan pemberi layanan. Penelitian ini telah mengungkapkan mekanisme bagaimana kelompok masyarakat tersebut diekslusi dari pelayanan kesehatan dan menunjukkan poin-poin yang secara sistematis harus dilihat pemerintah untuk memasukkan mereka secara sistematis dalam sistem layanan kesehatan.
Kasus dalam presentasi pelitian-penelitian di atas juga banyak terdapat di Indonesia secara keseluruhan. Keadaan dan kesehatan orang-orang yang rentan seperti TKW/TKI, masyarakat terpencil dan asli, pelayanan pada lansia, masyarakat miskin, dan lain-lain banyak yang belum diteliti. Informasi tentang kelompok ini belum banyak digali dan diteliti.
Reporter: Retna Siwi P