Breakfast
Breakfast Launches
Pada rangkaian acara Global Symposium, terdapat beberapa acara breakfast launches. Acara biasanya dilakukan pada pagi hari, satu jam sebelum acara plenary atau symposium dimulai, dan untuk yang hadir disediakan makan pagi . Program ini biasanya berupa launching suatu suplemen jurnal, proyek penelitian baru, atau organisasi atau kelompok kerja baru. Peserta diminta mendengar dan berdiskusi tentang apa yang sudah mereka lakukan.
Pada breakfast launches tanggal 2 Oktober, terdapat lima kelompok yang berbagi pengalamannya. Pertama mengumumkan supplement journal untuk Health Policy and Planning untuk "Science and Practice on people-center health system,". Kedua untuk seri penelitian baru tentang "Universal Health Coverage (UHC)" dari UNICEF, dan ketiga tentang joint group WHO dan World Bank untuk pengukuran kemajuan UHC dalam konteks post MDG 2015. Selanjutnya adalah book launching untuk "African Health Leaders: making change and claiming the future", dan yang terakhir adalah launching dari Chatam House report terkait health financing.
Reporter mengikuti launching dari supplement journal untuk "Health policy and planning" untuk tema Global Symposium tahun ini aitu, "Science and Practice on People-center Health System." Beberapa penulis publikasi dan chief editor mempresentasikan proses penerbitan dan isi dari supplement tersebut. Semua peserta mendapatkan satu eksemplar jurnal yang sudah terbit tersebut.
Dalam pengantarnya, Sarah Bennet, editor in chief dan Kabir Sheikh (Public Health Foundation of India) mengatakan bahwa sistem kesehatan harus mencari cara untuk melayani orang dan masyarakat. Sistem kesehatan harus membawa nilai-nilai dalam kehidupan manusia, bukan hanya dengan merawat dan melayani mereka, melainkan juga secara lebih luas menawarkan janji untuk keamanan ekonomi dari waktu ke waktu dan keluar dari kerentanan yang berat.
Upaya tersebut dilakukan dengan, pertama, mengedepankan suara dan kebutuhan masyarakat, karena seharusnya keinginan dan kebutuhan masyarakatlah yang membentuk "health system." Nandi dan Scheneider dalam jurnal ini mencontohkan keikutsertaan Mitanin (pekerja kesehatan di masyarakat) dalam mempengaruhi "social determinant of health di India. Demikian juga Abimbola yang hadir dalam launching tersebut mencontohkan bahwa sumber daya masyarakat dapat mengatasi kegagalan pemerintah dalam penyediaan layanan kesehatan.
Kedua adalah "people-centredness in service delivery," yaitu pelayanan hendaknya dirancang dan diberikan berdasarkan kebutuhan masyarakat, bukan klinisi atau penyedia layanan. Prinsip yang dianut adalah quality, safety, longitudinality, closeness to community dan responsiveness terhadap perubahan. Manu dalam publikasinya dalam jurnal suplemen ini mengemukakan bahwa petugas surveilan masyarakat yang bekerja secara sukarela dalam suatu intervensi dapat mempromosikan perawatan esensial bagi bayi baru lahir dan mengidentifikasi tanda-tanda vital bayi dan kemudian merujuk ke fasilitas kesehatan.
Ketiga, kita harus menyadari bahwa sistem kesehatan adalah insititusi sosial, dimana semua aktor di dalamnya seharusnya bertindak sesuai dengan tanggungjawabnya. Penelitian Aberese-Ako dkk. di Ghana menggarisbawahi kerjasama yang baik antara administrator kesehatan dan petugas kesehatan serta masyarakat atau pasien, namun hubungan antara pengetahuan dan kebijakan orang-orang dalam health system sangat jarang untuk diteliti.
Kemudian yang keempat adalah prinsip bahwa nilai-nilai akan mengarahkan sistem kesehatan yang bersumber pada masyarakat dan pada akhirnya reformasi sistem dapat berdampak pada nilai-nilai dalam sistem itu sendiri. Menghormati dan mencapai " equal treatment" bagi mereka yang berlainan gender, agama, kelompok sosial dan ekonomi adalah prinsip yang penting untuk mempertimbangkan bagaimana pelayanan harus dirancang dan diberikan kepada masyarakat.
Suplemen jurnal ini pada akhirnya menunjukkan cara-cara yang berbeda dalam melakukan riset dalam sistem kesehatan yang berfokus pada masyarakat dan bagaimana memahami mereka. Selain itu, jurnal ini juga mencoba melihat tantangan para peneliti sendiri dalam melihat perannya dalam sistem itu senndiri.
Reporter: Retna Siwi P
Plenary 3
Recognising Research Paradigm, Methods And Impact For People-Centered Health System
Plenary 2 yang berlangsung pukul 9.30-11.00 waktu setempat dibuka dan dimoderatori oleh Barbara McPake, Direktur Nossal Institute for Global Health, University of Melbourne, Australia. Sesi ini mendiskusikan kontribusi berbagai tradisi system riset untuk menguatkan system kesehatan yang people-centered (berfokus pada orang). Dalam sesi ini, dua orang narasumber memberikan opening statement dan kemudian bersama tiga narasumber lainnya melakukan diskusi panel dipimpin oleh moderator.
Opening statement pertama disajikan oleh James Macinko, PhD, seorang associate professor dari Public Health and Health Policy, New York University. James menekankan pada kontribusi apa yang diberikan oleh penelitian kuantitatif, pendekatan apa saja dalam menggunakan data dan bagaimana kita bias menguatkan riset kuantitatif serta instrumen-instrumennya untuk mempromosikan program dan kebijakan yang lebih baik dalam mencapai dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang people-centered. Menurutnya, penelitian dengan metode random mengalami kebangkitan, dimana metode ini banyak menawarkan solusi untuk mendesain evaluasi dari dampak suatu program atau kebijakan. Masalahnya adalah metode ini memiliki banyak kelemahan dan berbagai konsekuensi yang tidak relevan. Agar data kuantitatif lebih powerful, maka perlu ada interaksi yang lebih produktif antara penghasil dan pengguna data di berbagai tingkatan. Terakhir, James memaparkan hal-hal yang perlu dilakukan untuk membuat pendekatan kuantitatif lebih relevan bagi system kesehatan yang people-centered, antara lain mengintegrasikan ilmu-ilmu terapan dari efikasi ke efektvitas dan kemudian ke pemberdayaan.
Rene Loewenso, Direktur di Training and Research Support Center, Zimbabwe, pada opening statement berikutnya banyak menjelaskan mengenai participatory action research (PAR). Rene bahkan sudah menulis buku mengenai hal tersebut bersama beberapa koleganya. Dalam simulasi di suatu sesi training, dimana peserta berperan sebagai pasien, petugas kesehatan, stakeholders lain bahkan lembaga donor, tampak bahwa setting pelayanan dan system kesehatan secara keseluruhan belum secara langsung member perhatian yang cukup pada pasien. Apa yang dikerjakan oleh seorang petugas administrasi di sebuah RS, bahkan yang dilakukan oleh lembaga donor, belum berpusat pada pasien sebagai tujuan pelayanan kesehatan. Ini membuat banyaknya complain masyaakat terhadap pelayanan dan system kesehatan. PAR akan membantu dengan cara tidak saja memahami bukti-bukti atau realitas melainkan juga mentransformasikannya, karena peneliti bias menjadi terlibat lebih aktif dan karena peneliti adalah bagian dari komunitas yang akan terkena dampak dari suatu program, atau fasilitator dari suatu proses. Namun tentu saja tetap ada tantangan dalam melakukan riset dengan metode PAR ini, mulai dari reliabilitasnya hingga external validity-nya.
Pada sesi diskusi, salah satu panelis, Clara Mbwili-Muleya, dari District Medical Officer, Ministry of Health, Zambia menyampaikan pendapatnya sebagai praktisi pembuat program dan kebijakan, serta sebagai pengguna hasil-hasil penelitian. Menurutnya, selama ini banyak data yang tidak dapat ia dan timnya gunakan karena tidak sesuai dengan kebutuhannya, atau sulit untuk dipahami. Ini menunjukkan bahwa interaksi antara peneliti dengan pengguna hasil penelitian belum aktif dan baik. Ia sendiri sebenarnya sangat tertarik untuk terlibat dalam penelitian-penelitian tersebut, agar bias menjawab berbagai tantangan yang dihadapi sehari-hari dalam melakukan tugasnya sebagai Kepala Kantor Medis Kabupaten.
Menurut Clara, data yang berguna adalah yang bias ditranslasikan ke perubahan, bias menyesuaikan dengan cara kerja para pengambil keputusan dan penentu kebijakan, data yang memiliki dampak ke masyarakat. Berdasarkan pengalamannya, data yang baik belum tentu dapat digunakan. Ia dan timnya bahkan sering mengunakan data yang buruk, hanya karena data tersebut lebih mudah dipahami sebagai dasar pengambilan keputusan. Pertanyaan pentingnya adalah siapa sebenarnya yang seharusnya menyusun agenda data: pengguna data atau peneliti.
Senior Health Specialist dari UNICEF New York, Kumanan Rasanathan mengakui bahwa memang ada konflik antara penghasil dan pengguna data. Untuk itu peneliti perlu menggunakan sistem yang bias menghasilkan data yang bermanfaat, namun di sisi lain pengguna data juga memahami besarnya biaya yang diperlukan untuk mengumpulkan dan menganalisis data. Dalam hal ini, Rene dan James berpendapat bahwa desain penelitian untuk menghasilkan data dan informasi harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang akan dipengaruhi oleh hasil penelitian tersebut. Dalam system kesehatan, masyarakat dengan berbagai masalah kesehatannya seharusnya menjadi pusat perhatian semua pihak di berbagai level.
Kumanan memberikan contoh kerjasama UNICEF dengan berbagai kelompok peneliti di Indonesia. Menurutnya, kapasitas dan kapabilitas parapeneliti di Indonesia sangat baik dan jumlahnya cukup banyak. Namun masihbanyak hal yang harus dilakukan untuk menyambungkan antara hasil-hasil penelitian dengan pengambil kebijakan di level local maupun nasional. Di Afrika menurut Clara masih terjadi banyak kekosongan untuk sumber daya seperti inis ehingga PAR belum bias membantu pemerintah dalam pengambilan keputusan. Jadi yang diperlukan adalah membangun kapasitas SDM, khususnya para frontliners pelayanan agar bias memanfaatkan knowledge dan mentranslasikannya ke aksi.
Assistant Professor dari Department of Public Health, Institute of Tropical Medicine, Belgium, Bruno Marchal berpendapat bahwa semua harus belajar dari tindakan-tindakan yang sudah dilakukan dan bagaimana dampaknya. Para stakeholders sector kesehatan harus membuka berbagai potensi yang agar bias dimanfaatkan dalam memecahkan masalah. Menurutnya, pengambil keputusan perlu mengidentifikasi sumber daya apa lalu untuk siapa. Rene sependapat, bahwa riset-riset perlu disegmentasi kembali. Jika perlu, sediakan ruang tambahan agar masyarakat bias terlibat lebih banyak, konsistensiperlu dijaga dan yang terpenting adalah menjadikan riset sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.(pea)
Reporter: Putu Eka Andayani
Satellite Session 2.61 - 2.63/Part 1
Process, Methods And Stakeholders in Knowledge Translation and Participatory Decision-Making
Sesi ini menyajikan beberapa hasil penelitian yang menjadi contoh penerapan dari participatory decision making. Penelitian pertama disampaikan oleh Colin Baynes, seorang manajer program dari Ifakara Health Institute, Columbia University, Tanzania. Penelitiannya mencoba menjelaskan mengenai bagaimana task shifting pada tenaga kesehatan dalam program KB injeksi mempengaruhi pembelajaran masyarakat, proses partisipasi dan transfer pengetahuan untuk memperkuat sistem kesehatan.
Total ada 101 desa yang terlibat, 50 diantaranya dengan tenaga kesehatan dan 51 tanpa tenaga kesehatan yang dievaluasi dengan menggunakan indikator mencapaian layanan ibu dan anak melalui survey demografis. Dengan menerapkan Participatory Action Research (PAR), ia dan timnya antara lain memberdayakan populasi kunci untuk membangun strategi organisasi dan mencari solusi, mengembangkan milestone yang didorong oleh kapasitas lokal dalam menemukan solusi dan learning by doing. Hasilnya, terjadi perubahan sikap dan perilaku masyarakat dari yang tadinya tidak percaya atau bahkan menolak, menjadi menerima dan siap menggunakan alat kontrasepsi injeksi. Namun masih ada tantangan berupa kesinambungan sumber daya hingga pengaruh budaya dan kepercayaan terhadap alat pengatur kehamilan.
Penelitian kedua terkait dengan pengendalian tembakau yang dilakukan atas kerjasama antar sektor di India. Penelitian yang dilakukan oleh Pragati Hebbar (Advocacy Officer, di Institute of Public Health Bangalore, India) dan timnya ini melibatkan kepolisian, pemerintah kota, sektor transportasi, informasi, pendidikan, serta sektor kesehatan itu sendiri. Intervensi yang dilakukan antara lain pemasangan signage dan berbagai petunjuk terkait larangan merokok di area publik dan bus umum oleh polisi dan mengedukasi masyarakat. Pembelajaran yang didapat adalah pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan isu-isu implementasi. Peran yang jelas dalam menginstitusionalisasi implementasi dan meningkatkan motivasi dan kemampuan, serta review secara terus menerus merupakan komponen penting untuk mentransformasi kebijakan ke pelaksanaannya. Diperlukan kepemimpinan dalam sektor pemerintah maupun swasta. Selain itu, pekerjaan yang melibatkan antar-sektor seperti ini membutuhkan perlu selalu didorong secara aktif, perlu jaringan kerja yang nyata serta kerangka kerja kebijakan sebagai pendukung.
Penelitian ketiga yang dipresentasikan oleh Nasreen Jessani, seorang calon PhD di John Hopkins Bloomberg School of Public Health, USA. Penelitian ini sedikit berbeda dengan riset-riset lainnya karena meneliti dari aspek penghasil pengetahuan, yaitu universitas, untuk mencari jawaban apakah ada "broker" pegetahuan akademik di Kenya. Ada enam perguruan tinggi di Kenya yang menjadi tempat penelitian, dimana sebuah eksplorasi terhadap jaringan riset-ke-kebijakan di berbagai fakultas dilakukan. Dari rantai riset ke kebijakan, ternyata pihak-pihak yang terlibat dapat digolongkan kedalam tiga kelompok, yaitu knowledge producers, knowledge brokers dan knowledge users. Di Kenya, yang tergolong penghasil pengetahuan antara lain institusi akademik, Think Tanks, unit penelitian milik pemerintah dan NGOs. Yang tergolong knowledge brokers antara lain media, organisasi advokasi, KT Platforms dan bahkan juga ada institusi akademik. Knowledge users antara lain masyarakat, praktisioner, pengambil keputusan dan pembuat kebijakan serta stakeholder lain (sektor privat dan kelompok lain yang berkepentingan). Penelitian ini berhasil membuktikan bahwa academic knowledge brokers (AKB) memang benar ada yang berperan menghubungkan antara academic researcher dengan pembuat kebijakan. AKB seringkail bersifat invisible, memiliki posisi yang unik di lingkungan akademis, berkemampuan tinggi serta kredibel. (pea)
Reporter: Putu Eka Andayani
Satellite Session 2.61 - 2.63/Part 2
Process, Methods And Stakeholders In Knowledge Translation And Participatory Decision-Making
Penelitian selanjutnya mengambil tema Clustering of Care Facilities: Participatory Decision-Making for Improving Emergency Obstetric Care Facilities Distribution in Maluku Tenggara Barat (MTB District), Indonesia. Bobby Syahrizal dari Maternal and Child Health Program Officer UNICEF yang berkedudukan di Jakarta menyampaikan bahwa kondisi Kabupaten MTB yang berpulau-pulau dan menyebar dari utara ke selatan menyebabkan sulitnya masyarakat mengakses pelayanan kesehatan khususnya yang bersifat darurat maternal. Sebelum intervensi ini dilakukan, hanya ada satu pusat rujukan darurat yang terletak di bagian selatan. Perkampungan penduduk pada pulau terjauh di utara memerlukan waktu dua hari untuk mencapai fasilitas ini, dengan perahu motor. Melalui participatory decision-making, dikembangkan kluster pelayanan kesehatan baru dengan menjadikan salah satu faskes di bagian utara sebagai pusat rujukan. Dengan demikian, sistem kesehatan rujukan di MTB dibagi menjadi dua kluster. Ke depannya, para peneliti merekomendasikan bahwa perlu ada upaya untuk menjaga mutu layanan selain upaya meningkatkan cakupan dan layanan yang telah dilakukan. Selain itu, proses partisipasi perlu dilanjutkan dengan meningkatkan utilisasi layanan dan melibatkan setor lain untuk menjangkau keompok masyarakat yang belum terjangkau. Strategi pengembangan klaster pelayanan kesehatan seperti yang dilakukan di MTB dapat juga dikembangkan di daerah lain di kawasan timur Indonesia untuk mengatasi akses layanan kesehatan, namun perlu memperhatikan konteks lokal.
Loana Vlad, mahasiswa program master pada Karolinska Institutet Swedia menjadi presenter terakhir pada sesi ini dengan penelitian yang berjudul Reframing the role of the media in knowledge translation: exploring mass media and journalists' potential in sub-Saharan African context. Dalam penelitiannya, ia melakukan wawancara terhadap para pelaku knowledge transform (KT) yang berasal dari tim multi disiplin untuk mencocokkan agenda riset dengan agenda kebijakan. Jurnalis memiliki peran yang besar sebagai pelaku KT dan dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan. Agar peran jurnalis lebih optimal dalam mendukung evidence-based policy making, maka perlu ada peningkatan kapasitas, dialog dan berunding sebagai satu bentuk pendekatan pada kelompok ini. Oleh karena itu, instrumen untuk mengoptimalkan peran jurnalis dalam KT perlu dikembangkan. (pea)
Reporter: Putu Eka Andayani
Satellite Session 1.43 - 1.44
The Role of Non-Traditional Health-Care Providers
Sesi ini mempresentasikan penelitian pada logistik ketersediaan pemberi layanan kesehatan non-tradisional namun bukan dokter yang telah berpraktek di banyak negara. Mereka adalah kader (dalam istilah international), asisten apoteker, bidan (dengan pendidikan minimal) atau provider tingkat menengah dan melihat peran mereka dalam meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan yang harus disediakan oleh sistem kesehatan "utama" dan apa saja tantangan-tantangan yang mereka hadapi.
Berbeda dengan istilah kader di Indonesia yang biasanya adalah penduduk setempat yang bekerja secara sukarela, kader di sini adalah mereka yang berpendidikan SMA tetapi dilatih menjadi pekerja sosial selama 3-6 bulan pelatihan. Pelatihan kader seperti ini telah dilakukan di banyak negara seperti India, Malawi, Nepal, dan Afrika. Dalam keadaan pasokan pekerja pelayanan kesehatan yang terbatas, mereka dapat menjadi tumpuan pelayanan kesehatan jika diatur dengan baik.
Brown dkk, dari People that Deliver (PtD) Denmark melakukan evaluasi "supply-chain management (SNM)" di Burkina Faso, the Dominican Republic, Ethiopia, Indonesia, Liberia, Mozambique, dan Namibia namun hanya lima yang dapat dilaporkan. Di negara-negara ini telah dilatih petugas kesehatan yang akan membantu mengatasi askes. Penyelenggara kegiatan kemudian diwawancarai tentang penyelenggaraan dan pelaksanaan penempatan mereka dalam mengatasi masalah supply. Secara umum, penyediaan pemberi kesehatan dari masyarakat ini memerlukan waktu lama karena harus melihat penerapan dan evaluasinya di lapangan. Selain itu, diperlukan reformasi persepsi, kebijakan dan praktek, karena sudah terbiasa dengan health provider yang standar; perlu mengkonversi pengeluaran sekarang menjadi investasi, dan melihat pada keuntungan secara akumulatif, dan terakhir harus country-driven. Jika hal tersebut tudak dilakukan, maka pengadaan tenaga kesehatan yang dikembangkan akan sulit diterima.
Selanjutnya adalah presentasi Crawford tentang meningkatkan akses dan penggunaan obat yang rasional di Malawi melalui pelatihan asisten apoteker. Dia memulai presentasinya dengan keterbatasan staf farmasi akan menghasilkan pencatatan data dan management obat yang buruk. Kualitas data yang buruk akan mengakibatkan seringnya kekurangan obat. Banyak juga terjadi adanya personel yang tidak memiliki kualifikasi di bidang obat tetapi memberikan obat kepada pasien, sehingga klinisi akan menghabiskan waktu di logistik dan pemberian obat. Program ini merupakan program 3 tahun kerjasama kementrian kesehatan Malawi dengan University of Washington dengan mendidik 150 siswa menjadi asisten apoteker selama 2 tahun. Tujuan pemerintah adalah mendidik 650 siswa sampai tahun 2020. Materi pelatihan lebih banyak praktek daripada di kelas. Sebelum pelatihan, sebanyak 65% dokter mengatakan menghabiskan waktu untuk urusan logistikobat, setelah pelatihan dan penerapan, hanya kurang dari 10% yang menghabiskan waktu mengurusi obat. Mereka juga mengatakan senang karena telah mampu fokus kepada pelayanan pasien daripada mengurusi masalah obat.
Pengalaman di Malawi hampir sama dengan yang terjadi di India di Provinsi Chhattisgarh. Mereka telah mendidik Rural Medical Assistant (MHA) dan Rural Health Practitioners (RHP) selama tiga tahun dan mereka berperan membantu dokter untuk melayani pasien. Dalam perkembangannya, banyak yang tidak tertarik dan pelatihan ini harus ditutup di tahun 2008. Namun demikian, kurang lebih 1000 RHP sudah dididik di provinsi tersebut. Pada tahun 2006, di Assam, pelatihan yang sama sudah dilakukan. Pada tahun 2013, telah ditempatkan 370 RMA di pusat kesehatan masyarakatnya, sehingga mereka maksimal dalam berperan secara kuratif, promotif, dan preventif. Keberhasilan ini telah membentuk persepsi pembuat kebijakan di India untuk bisa menerima mereka sebagai tenaga kesehatan tingkat menengah. Tantangannya adalah, karena banyaknya "quack" di India, banyak dari mereka yang kemudian menyebut dirinya dokter dan melakukan praktek pengobatan di luar pengawasan dokter yang sesungguhnya.
Di Nepal, hal yang sama diterapkan untuk kesehatan ibu. Nepal telah mendidik dan menempatkan sekitar 4000 wanita "skilled birth attendants (SGAs)" yang dapat dipanggil sewaktu-waktu selama 24 jam. Namun penelitian oleh Alison Morgan dari Nossal Institute for Global Health, University of Melbourne ini hanya mewancara 22 orang wanita SGA. Para informan ini mengakui ada beberapa factor yang dibutuhkan agar lingkungan dapat menerima mereka, termasuk adanya dukungan yang terus-menerus terhadap mereka, infrastruktur yang memadai, supply dan obat yang adequate, serta jalur rujukan yang tepat dari sisi waktu maupun tempat. Mereka juga mengatakan bahwa lebih baik bekerja berpasangan daripada sendirian. Dengan adanya informasi dari penelitian ini, peneliti mengatakan bahwa pedoman kesehatan ibu harus diubah dan memasukkan di dalamnya semua temuan yang ada dalam penelitian ini.
Di Indonesia, pelatihan dan pendidikan seperti ini sudah banyak dilakukan. Namun, penelitian untuk mengevaluasi keberadaan mereka jarang dilakukan. Pelatihan setahun atau dua tahun kepada bidan desa adalah hal yang sama seperti di Nepal, namun banyak hal harus dievaluasi dari program tersebut dan hasilnya perlu untuk disebarluaskan.