08.30-10.00
Plenary III: Public Health Approaches to Address New Challenges of Sustainable Development and Healthy Environment
Reporter: Tiara Marthias
Co-Chair: Michael Moore, WFPHA Vice President, President-Elect
Speakers:
- Howard Njoo, Associate Deputy Chief Public Health Officer, Public Health Agency of Canada
- Bolormaa Purevdorj, Head of Department on Health Promotion, National Center of Public Health, Mongolia
- Shu-ti Chiou, Director-General, Health Promotion Administration, Ministry of Health & Welfare, Taiwan
- Maria Neira, Director, Public Health and the Environment Department, WHO
- Michael Marmot, Director of International Institute for Society and Health, University College London (UK) and Chair of WHO Commission on the Social Determinants of Health
Sesi ini bertujuan untuk memaparkan dan membahas pengalaman serta berbagai wacana seputar tantangan agenda kesehatan global yang lebih menempatkan ekosistem kesehatan sebagai lanjutan dari post-2015 agenda kesehatan global. Ekosistem kesehatan ini merupakan upaya untuk lebih meningkatkan pencapaian status kesehatan dengan menempatkan manusia dan lingkungan sebagai entitas yang tidak terpisahkan. Sejumlah ide yang perlu dibahas lebih lanjut mencakup apa sebenarnya dan bagaimana pendekatan yang tepat untuk mencegah risiko kesehatan yang berasal dari ekosistem atau lingkungan sekitar?
Michael Marmot, pakar di bidang determinan sosial kesehatan, yang sebelumnya berhalangan menghadiri sesi plenari ke-2, hadir di sesi plenari ke-3 ini sebagai salah satu pembicara.
Bagian awal sesi ini lebih banyak membahas determinan sosial kesehatan dan kemudian dilanjutkan dengan sejumlah pembelajaran dan inisiatif yang berupaya untuk memperbaiki status kesehatan melalui upaya perbaikan determinan sosial kesehatan. Inti dari kesehatan masyarakat dapat dicapai dengan menjamin adanya keadilan sosial di berbagai aspek masyarakat, di dalamnya mencakup:
- Pemberdayaan, baik di sisi materi, psikososial, dan juga politik
- Menciptakan kondisi-kondisi di mana masyarakat dapat memegang kendali penuh atas hidup dan kesehatannya
Agenda untuk meningkatkan keadilan sosial (social justice) ini dapat diraih melaluiupaya-upaya berikut; (1) meningkatkan kondisi di mana masyarakat lahir dan hidup, (2) menurunkan kesenjangan yang berhubungan dengan kondisi ekonomi, serta (3) melakukan pengukuran terus-menerus untuk melihat progress atau kemajuan serta memahami alasan mendasar permasalahan yang ada di masyarakat.
Salah satu topik yang menjadi contoh dalam sesi ini adalah tentang inisiatif-inisiatif seputar penyakit tidak menular / NCD yang berupaya untuk mengatasi masalah dasar penyakit itu sendiri, yaitu dengan menyasar pada determinan sosialnya dan juga memperbaiki lingkungan hidup manusia itu sendiri. Sejumlah program atau inisiatif yang dikemukakan antara lain adalah studi implementatif SEWA atau program Parivartan yang berhasil meningkatkan penguatan masyarakat dalam perbaikan status kesehatan.
Contoh menarik lainnya adalah dari Canada dan Taiwan dengan permasalahan obesitas yang semakin meningkat. Salah satu program yang diimplementasikan yaitu memperkuat partisipasi masyarakat dalam penurunan berat badan. Imobilitas atau rendahnya aktivitas fisik memang merupakan salah satu determinan yang sangat mempengaruhi status kesehatan. Namun, tidak semua masyarakat memiliki kesempatan dan fasilitas untuk berolahraga secara rutin.
Sehingga, salah satu intervensi yang telah berhasil dilakukan antara lain adalah mengadakan sesi olahraga rutin yang ringan dan cukup singkat di lingkungan kerja, sekolah, dan di rumah. Inisiatif ini menunjukkan hasil yang menjanjikan, di mana area studi di Taiwan menunjukkan bahwa sekitar 76% peserta berhasil menurunkan berat badan lebih dari 1 kilogram/bulan serta terdapat penurunan prevalensi berat badan lebih dan obesitas yang signifikan di daerah ini.
Di akhir sesi, seluruh peserta konferensi diminta untuk mempraktekkan sejumlah olahraga ringan yang telah didesain dapat dilakukan di lingkungan kerja secara sederhana. Kegiatan ini dipimpin oleh Shou-ti Chiou dari Taiwan dan diikuti dengan semangat dari para peserta.
10.30-12.00
Session 7: Session on Public Health in reproductive, maternal, newborn & child health ‐ A
Reporter: Tiara Marthias
Presenter:
- Mubashir Angolkar (India) – A study of causes of perinatal deaths through verbal autopsy: A community based study
- Tesfay Gebregzabher Gebrehiwot (Ethiopia) – Impact of health extension program in improving access to maternal heatlh care in Northern Ethiopia
- Melanie Gibson-Helm (Australia) – Maternal heatlh and pregnancy outcomes among women of refugee background in Australia: A retrospective, observational study
- Salib Adib (Lebanon) – Knowledge, attitudes and practices of newborn screening among women in greater Beirut
- Julia Mazza (Canada) – Poverty and disruptive behaviors in early childhood: The mediating role of maternal depression and parenting
- Md. Noyem Uddin (Bangladesh) – An assessment of iron folic acid supplementation during pregnancy in rural Bangladesh
- Vivek Sharma (India) – Men: A key gatekeeper yet a challenging resource to tap in Family Planning: An assessment from Bihar
Sejumlah hasil penelitian seputar kesehatan ibu, anak, dan reproduksi dipaparkan di dalam sesi ini.
Pembicara pertama, Mubashir Angolkar dari India, meneliti apakah otopsi verbal yang disederhanakan dan dilakukan oleh bidan atau perawat yang dilatih di bidang kebidanan (auxiliary nurse midwife), akan menghasilkan penilaian otopsi neonatus yang sama dengan dokter. Penelitian ini telah melihat 187 kematian neonatus di sebuah wilayah di India, dengan disain cross-sectional. Hasilnya adalah hasil otopsi verbal yang dilakukan oleh paramedis dapat diperbandingkan cukup baik dengan hasil otopsi yang dilakukan oleh dokter. Hal ini mengimplikasikan bahwa otopsi verbal tidak harus menunggu adanya tenaga medis di suatu wilayah, tetapi tetap dapat dilakukan dengan baik oleh tenaga paramedis yang mungkin lebih dapat diakses, terutama di daerah terpencil.
Pembicara kedua, Tesfay Gebrehiwot dari Ethiopia, memaparkan hasil program pengembangan pelayanan kesehatan ibu di sebuah daerah di utara Ethiopia. Ethiopia adalah negara terpadat kedua di kawasan Afrika, dengan AKI 471 per 100.000 kelahiran hidup. Program ini berhasil meningkatkan cakupan pelayanan persalinan oleh tenaga terlatih, tetap itidak secara signifikan meningkatkan program antenatal.
Peneliti ketiga merupakan peneliti dari Monash University di Australia, Melanie Gibson-Helm, yang melihat apakah para pengungsi yang melahirkan di Australia memiliki perbedaan dalam hal luaran kehamilan dengan warga Australia yang bukan pengungsi. Penelitian ini juga melihat apakah ada perbedaan dengan warga Australia turunan asing atau lahir di luar Australia tetapi bukan pengungsi. Faktor risiko lain yang menjadi variabel kontrol adalah usia ibu, jumlah paritas, dan status sosioekonomi. Hasil penelitian ini ternyata menunjukkan bahwa luaran kehamilan tidak berbeda baik bagi warga Australia yang merupakan pengungsi ataupun non-pengungsi. Memang terdapat beberapa keterlambatan atau kurangnya perencanaan persalinan di antara pengungsi ini, dan dapat meningkatkan faktor risiko persalinan yang tidak baik. Beberapa faktor yang membuat para pengungsi ini membutuhkan pertolongan tambahan adalah faktor budaya dan bahasa yang menyulitkan pelayanan persalinan di fasilitas kesehatan.
Penelitian dari Lebanon melihat bagaimana screening untuk neonatus dilakukan di Lebanon dan apakah ibu melahirkan paham tentang pentingnya screening ini. Screening neonatus sangat relevan di Lebanon, karena 30% perkawinan dilakukan dengan kerabat dekat (dengan sepupu pertama atau keluarga dekat). Ternyata kurang dari setengah persalinan mendapat skrining ini, dan sebagian besar ibu bersalin serta tenaga kesehatan tidak terlalu memahami / tidak pernah mendengar tentang skrining neonatus. Hal ini merupakan agenda penting pemerintah dan masyarakat di Lebanon, di mana upaya kesehatan masyarakat perlu dilakukan untuk mengedukasi masyarakat dan tenaga kesehatan tentang pentingnya skrining neonatus.
Penelitian dari Kanada oleh Julia Mazza melihat apakah gangguan perilaku pada anak dipengaruhi oleh status ekonomi. Penelitian ini menggunakan dataset kohort di Quebec yang mengikuti sekitar 1.800 anak hingga usia 5 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa memang kemiskinan mempengaruhi gangguan perilaku pada anak, di mana anak yang mengalami kemiskinan cederung lebih hiperaktif dan agresif. Dua faktor penting yang menjadi faktor perantara adalah bahwa kemiskinan mempengaruhi pola asuh (overprotektif) dan juga level depresi pada orangtua. Untuk agresivitas pada anak, ternyata sikap orangtua yang overprotektif justru menurunkan insidensi agresivitas pada anak. Sementara untuk variabel hiperaktivitas, orangtua yang overprotektif atau mengalami depresi justru meningkatkan level hiperaktivitas pada anak tersebut.
Penelitian terakhir dari India menunjukkan bahwa rendahnya partisipasi pria dalam program Keluarga Berencana sangat perlu diatasi dengan lebih mengikutkan pria dalam program tersebut, terutama karena India memiliki sistem patriarkal yang sangat kuat.
Sesi presentasi oral ini membawa begitu banyak pembelajaran. Salah satu hal yang menarik dikemukakan oleh Barbara Walker sebagai moderator, negara-negara yang mempresentasikan topik KIA ini sangat beragam. Misalnya, skrining neonatus di Amerika dan Kanada adalah kewajiban rumah sakit dan telah menjadi program utama di bidang kesehatan masyarakat sementara Lebanon masih berusaha meningkatkan cakupan program tersebut. Namun, beberapa penelitian ini telah berusaha menggunakan metodologi yang bagus untuk melihat bagaimana program-program kesehatan diimplementasikan, hal ini merupakan nilai penting dalam semua inisiatif di bidang kesehatan dan sangat penting untuk dipublikasikan di level global.
13.30-15.00
Comprehensive control of cancer cervix - WHO SEARO
Reporter: Eva Tirtabayu Hasri
Speakers:
- Global-Regional Situation of Cancer Cervix and Regional Framework on Comprehensive Control of Cancer Cervix: Dr Arvind Mathur, WHO-SEARO
- HPV Vaccination: towards Healthier Girls, Women and Future: Bhutan Country Experience: TBC: Sangay Phuntsho
- Country Situation of Cancer Cervix and progress in development of National guidelines for screening and management:
- Nepal: Dr Meera Thapa Upadhyaya
- India: Dr Lakhbir Dhaliwal, Professor and Head, Department of Obstetrics and Gynecology, Post Graduate Institute of Medical Sciences, Chandigarh and Chair of MOHFW, GOI Expert Group on Cancer Screening Guidelines
- Development of Regional Training Package on "Cancer Cervix Screening and Management": Dr Partha Basu, Professor and Head, Department of Preventive Oncology, CNCI, Kolkatta
Salah satu delegasi PKMK berkesempatan untuk mengikuti panel di ruang Hangar 2. Sesi ini bertujuan untuk mempertimbangkan situasi global dan regional kanker serviks, menyebarkan kerangka kerja strategi regional dan memfasilitasi pertukaran pengalaman negara. Pengalaman tiga negara yang mejadi bahan pembelajaran negara lainya yaitu Nepal, Bhutan, dan India.
Pengendalian kanker serviks di negara-negara anggota south-east Asia regional office (SEARO) tidak pernah menjadi prioritas. Negara-negara anggota SEARO adalah Bangladesh, Bhutan, Myanmar, Nepal, Sri Lanka, Thailand dan Timor-Leste. Wilayah ini mempunyai banyak popolasi penduduk. Tahun 2013 India menempati urutan pertama dengan penduduk terbanyak sebesar 1. 252.140 kemudian diikuti oleh Indonesia sebesar 249.866.
Negara anggota SEARO menyumbang hampir 175.000 kasus kanker serviks etiap tahun dan sebesar 284.823 wanita Asia terdiagnosa kanker serviks. 122.844 kasus per tahun kanker serviks terjadi di India, data ini menjadikan Indonesia menjadi penyumbang kanker serviks nomor dua setalah India yakni 20.928 kejadian per tahun. Di beberapa negara ini, jumlah perempuan yang meninggal karena kanker serviks sebanding dengan jumlah kematian ibu saat melahirkan.
Untuk menjawab tantangan tersebut, kantor WHO wilayah Asia Tenggara telah mengembangkan kerangka kerja strategis regional kontrol yang komprehensif bukan spesifik berdasarkan kebutuhan tapi secara global dengan tujuan untuk memperkuat program pengendalian kanker serviks nasional melalui dua cara yaitu pencegahan primer melalui vaksinasi HPV dan pencegahan sekunder melalui strategi skrining kanker serviks dan pengobatan.
13.30-15.00
Free Papers 5: Health System development tools, priorities, advocacy & evaluation - C
Reporter: Bella Donna
Free paper yang penulis ikuti adalah Health System - development tools, priorities, advocacy, and evaluation. Ada 6 oral presentasi tetapi yang hadir hanya 3 orang, yaitu:
- Understanding the politics of PRIs in provisioning of primary healthcare: A study of primary healthcare providers in Uttar Pradesh oleh Virendra Kumar
- An evaluation of homecare need and quality of life among idividuals in a semi-rural area of western Turkey oleh Resat Aydin
- Determinants of willingness to participate in community-based health insurance scheme (CBHIS) in a rural community of north western Nigeria
- Community based health care financing: a bridge to accessible health care for rural households-Osun State, Nigeria, 2012 oleh Aishat Usman
- District gap analysis (DGA) dashboard: decision making for policy makers/ managers to adress health system gaps in Assam, India oleh Ajitkumar Sudke
- Local governance system for management of hospital: functionally of rogi kalyan samiti in north eastern states of india oleh Anil Thomas
Presenter pertama Resat Aydin dari Turkey dengan judul " An Evaluation of homecare need and quality of life among individuals in semi-rural area of western Turkey ". Resat bercerita tentang penelitian yang dilakukan bahwa dari 99% masyarakat, ada 80% yang berkunjung ke dokter dan hanya 28 % yang mengikuti Home Health Services (HHS). Kebanyakan dari mereka berusia > 75 th yang menggunakan HHS sementara usia < 65 th jarang menggunakan HHS. HHS ini masih sangat perlu ditingkatkan agar angka harapan hidup didaerah tersebut meningkat.
Presenter kedua Abdulrazaq Gobir dari Nigeria dengan judul " Determinants of willingness to participate in community-Based Health Insurance Scheme (CBHIS) in a rural community of North-Western Nigeria". Studi ini menceritakan bagaimana menilai dan memahami keinginan daerah terkait dengan faktor sosial ekonomi terhadap Community Best Health Insurance Scheme (CBHIS). Salah satu yang menyebabkan kurangnya keinginan berpartisipasi adalah karena penerimaan gaji rendah sementara pengeluaran tinggi. Dan dari hasil yang didapat bahwa rata-rata responden memiliki satu istri ( 56.1%) dan anak antara 1-6 ( 54.2%). Dan 81.7% pekerjaannya adalah petani dan hanya education quranic.
Pendidikan dan pemahaman mengenai CBHIS melalui tenaga kesehatan serta skema implementasinya sangat direkomendasikan untuk dilakukan. Rumah tangga poligami harus ditargetkan karena mereka yang paling bersedia berpartisipasi.
Presenter ketiga Ajitkumar Sudke dari India dengan judul " District Gap Analysis (DGA) Dashboard: Decision-making tool for policy-makers/ managers to address health system gaps in Assam, India". Jumlah total populasi di Assam ada 31.1 juta jiwa, dengan perkiraan bayi sekitar 670.000 jiwa , 300 jiwa MMR tertinggi di India, juga 54 jiwa IMR tertinggi di India. Assam memiliki enam rumah sakit kabupaten, 241 puskesmas, 2480 ibu rumah tangga (RT). Hasil penelitian Ajitkumar mengidentifikasi beberapa kelompok-kelompok yaitu infrastruktur termasuk sanitasi, human resources, pelatihan, komoditi dan alat, keahlian petugas, reporting dan record, perhatian masyarakat terhadap kebersihan.
15.30-17.00
Health System Development Priorities for Public Health-JSI (India)
Reporter: Bella Donna & Eva Tirtabayu Hasri
Moderator: Sonali Kochhar
Speakers:
- Murray Aitken, Executive Director, IMS Institute for Healthcare Informatics
- John Durgavich, Regional Manager, USAID DELIVER Project, JSI
- N. Orobaton
- Rahul Mullick, Senior Program Officer, Information & Communication Technology, Bill & Melinda Gates Foundation
Panel ini diselenggarakan dalam bentuk talkshow, berbagai pertanyaan ditanyakan langsung oleh moderator kepada empat narasumber. Narasumber menceritakan pengalaman intervensi program oleh John Snow Inc (JSI). JSI berkolaborasi dengan beberapa komunitas, governments, fasilitas, dan individual untuk mengembangkan skill dan mengidentifikasi solusi yang dibutukan untuk kesehatan masyarakat.
N. Orobaton mengatakan banyak pemahaman mengenai government tetapi Orobaton sendiri mengungkapkan government adalah sebuah kelompok dari beberapa orang yang berkumpul jadi satu yang melakukan tugas sampai selesai. Government harus intensif, langsung dan mempunyai otoritas serta kekuatan tapi komuniti dan government harus saling berhubungan dimana gubernur membuat keputusan dan masyarakat memahami semua yang diputuskan misalnya keputusan government membuat obat kloroheksiden untuk mengurangi infeksi pada bayi baru lahir. Kemudian Rahul mengatakan bahwa manajemen obat jelas kebutuhannya ketersediaan, dan distribusinya. 42 % obat dikontrol oleh pemerintah India tanpa pengawasan dari luar.
Pengembangan sistem kesehatan memerlukan dukungan terus-menerus mulai dari government, kebijakan infrastruktur, penggunaan teknologi, pengumpulan dan penyebaran informasi, organisasi pengembangan tenaga kerja kesehatan di tingkat nasional dan kelembagaan, kualitas pelayanan kesehatan. Hal yang paling penting dalam pengembangan sistem kesehatan adalah transfer atau distribusi informasi sehingga adanya pemahaman bersama untuk perbaikan sistem kesehatan di wilayah Asia.
15.30-17.00
Maternal Death Surveillance and Response (MDSR) ‐ WHO SEARO
Reporter: Tiara Marthias
Moderator: M.D. Devkota
Speakers:
- Arvind Mathur
- K. Jayaratne
- H. Bhushan
- P.G. Kumar, Senior Demographer, Ministry of Health, Nepal
Sesi ini bertujuan untuk memberikan penjelasan tentang pengalaman-pengalaman seputar surveillans kematian maternal di beberapa negara, dalam framework penggunaan tool maternal death surveillance response (MDSR) dari WHO.
Berbagai negara yang dipresentasikan di dalam sesi ini menunjukkan beberapa tantangan yang serupa dengan Indonesia, seperti:
- Masih belum adanya kewajiban dan penegakan peraturan seputar surveilans kematian ibu di seluruh wilayah
- Keterbatasan waktu dokter, perawat, dan bidan untuk melakukan surveilasn ini
- Tidak semua tenaga kesehatan terlatih dalam melakukan audit maternal perinatal dan memahami pentingnya surveilans kematian ibu
- Tindak lanjut hasil audit sangat terbatas dan belum dapat mengatasi penyebab kematian sesungguhnya, seperti alasan keterlambatan rujukan dan sebagainya
- Adanya isu kekhawatiran masalah sengketa hukum yang membuat para petugas kesehatan enggan membagi atau mengatakan kejadian kematian ibu yang sesungguhnya.
Beberapa pembelajaran yang dapat diambil dari pengalaman di berbagai negara ini adalah:
- Dasar hukum yang kuat sangat dibutuhkan untuk mewajibkan surveilans kematian ini, hal ini juga memandai adanya komitmen politik di daerah tersebut
- Sri Lanka merupakan negara di kawasan Asia yang memiliki kisah sukses dalam menurunkan angka kematian ibu. Sri Lanka telah membuat sistem surveilans atau pelaporan kematian ibu sebagai kasus yang wajib dilaporkan oleh seluruh petugas dan fasilitas kesehatan, baik sektor swasta maupun publik. Kementerian Kesehatan Sri Lanka memiliki pusat surveilans kematian ibu yang bertugas melakukan dan mengkoordinasikan surveilans kematian ibu, termasuk audit menyeluruh, diseminasi hasil temuan, serta tindak lanjut dari hasil temuan tersebut.
- Negara-negara ini telah menempatkan sistem satu pintu untuk surveilans kematian ibu, sehingga seluruh data dapat ter-update dengan cukup baik dan dapat ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang terkait
- Memang masih ada beberapa tantangan, seperti adanya under reporting kasus kematian, terutama karena stigma atau kekhawatiran adanya implikasi hukum terhadap pekerja kesehatan. Namun, hal ini sudah mulai diatasi, salah satunya dengan merancang proteksi hukum untuk kasus-kasus kematian medis yang tidak berhubungan dengan malpraktek
- Surveilans kematian ibu ini didasarkan pada sistem pelaporan penyakit menular yang sudah jauh lebih mapan dan memiliki komponen yang sudah lebih lengkap di berbagai level pemerintahan.
Indonesia, yang belum mengadopsi sistem surveilans yang wajib dan menggunakan sistem yang seragam di seluruh daerah, perlu segera membuat dasar hukum yang menjadikan kematian ibu dan anak sebagai salah satu kasus yang harus dilaporkan hingga ke level nasional. Hal ini akan lebih menjamin keterbukaan kasus yang mengarah pada perbaikan sistem kesehatan dan bukan untuk mencari siapa yang harus disalahkan serta akan lebih membantu pengembangan intervensi yang lebih sesuai dengan kondisi daerah.