Laporan Hari Kedua

"Diskusi Penyusunan Bentuk Hukum Pengelola Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia dan Pembahasan Policy brief dan Pengembangannya untuk Dua Topik Prioritas: BPJS dan KIA", Jakarta, 10-11 Desember 2012

Pada hari kedua, para peserta dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama membahas policy brief dan pengembangannya untuk topik KIA. Kelompok kedua membahas policy brief dan pengembangannya untuk topik BPJS. Laporan ini akan membahas mengenai kelompok pertama.

lap2topikkiaPembahasan policy brief untuk topik KIA

Agenda hari kedua pembahasan policy brief untuk topik KIA diawali dengan pemaparan 3 policy briefs oleh Prof. Laksono Trisnantoro. Ketiga policy briefs tersebut kemudian dibahas oleh tiga orang narasumber, yaitu Prof. Dr. dr. Kuntaman MS, Sp.MK(K) dari Universitas Airlangga, Prof. Dr. dr. H. Alimin Maidin, MPH dari Universitas Hasanuddin, dan dr. Anung Sugihantono, M.Kes dari Dinkes Provinsi Jawa Tengah. Salah satu isi policy brief tersebut adalah mengenai penggunaan angka kematian absolut untuk menentukan program KIA di daerah. Pembahasan berlangsung hangat dengan adanya diskusi beberapa pertanyaan dari peserta konsorsium, antara lain mengenai pengalaman dinas kesehatan dalam menggunakan angka kematian absolut untuk merencanakan program/ intervensi KIA, beberapa isu terkait hubungan dengan stakeholder lainnya dalam menyusun policy brief dan mengenai peran riil perguruan tinggi dalam melakukan penelitian hingga dapat menghasilkan policy brief yang berkualitas dan tepat sasaran.

Dr. Deni dari Universitas Padjajaran memberikan opini mengenai penggunaan angka kematian absolut di Jawa Barat. Secara umum penggunaan angka kematian absolut memang masih menjadi perdebatan antar ahli epidemiologi. Ada yang berpendapat bahwa angka kematian absolut kurang tepat digunakan untuk menilai capaian program KIA. Beberapa ahli mengemukakan pendapat dimana sebenarnya kita dapat menggunakan pendekatan absolut maupun relatif, tergantung dari konteks tujuannya. Apabila kita akan menyusun program untuk mengatasi masalah KIA, maka angka kematian absolut menjadi lebih tepat untuk menggambarkan masalah yang sebenarnya hingga ke tingkat kabupaten. Hampir tidak mungkin untuk menggunakan pendekatan angka kematian berdasarkan rasio dikarenakan banyak kabupaten di Indonesia yang penduduknya kurang dari 100.000 per kabupaten, dengan jumlah penduduk yang sedikit, maka sulit untuk menentukan rasio yang paling sensitif terhadap masalah KIA. Pembahasan policy brief dari sisi perguruan tinggi berfokus pada bagaimana kualitas penelitian dapat ditingkatkan, sehingga dapat menghasilkan kajian yang berkualitas dan menyeluruh (integratif) agar dapat digunakan oleh pembuat kebijakan.

Salah satu topik policy brief yang hangat didiskusikan adalah mengenai policy brief ketiga, yaitu mengenai kebutuhan konsultan dalam program KIA di daerah. Terkait dengan forum konsortium KIA, pokok bahasan konsultan ini menjadi isu yang menarik perhatian dikarenakan saat ini banyak sekali program KIA yang masih dirasa lemah dalam sektor manajemennya. Prof. Endang dari Universitas Indonesia memberikan bahan diskusi mengenai seberapa jauh peran konsorsium KIA dalam mengatasi masalah KIA? Siapakah yang mempunyai kompetensi untuk mencetak tenaga konsultan? Beberapa peserta konsorsium juga mengutarakan pertanyaan mengenai kejelasan kompetensi yang harus dimiliki seseorang sehingga ia layak disebut konsultan, hingga wewenang yang dimiliki konsultan. Terkait dengan wewenang dan posisi konsultan manajemen KIA ini, diskusi menarik terjadi mengenai independensi konsultan tersebut. Banyak sekali lembaga konsultasi di Indonesia yang sudah independen, contoh tersebut dapat diambil oleh konsorsium untuk mencetak tenaga konsultan manajemen KIA yang kompeten sekaligus independen, yang dapat membantu pemerintah RI dalam aspek manajemen program KIA.

Diskusi mengenai konsultan KIA terus berlanjut hingga membahas mengenai perlunya kualifikasi akademik dan pengalaman yang harus dimiliki oleh seorang konsultan manajemen KIA. Konsultan manajemen KIA perlu memiliki pengalaman dan wawasan yang luas mengenai manajerial program, pengalaman tersebut akan berguna pada saat konsultan tersebut diminta untuk menyelesaikan masalah KIA baik di level konseptual maupun hingga level teknis. Pembahasan mengenai kebutuhan konsultan manajemen KIA juga muncul dari dinas kesehatan. Selama ini sebenarnya beberapa orang dari dinas kesehatan/ kementerian kesehatan dan perguruan tinggi telah berpengalaman menjadi konsultan untuk lembaga donor ataupun lembaga di bawah PBB, mungkin hal tersebut dapat dijadikan contoh model pengembangan tenaga konsultan manajemen KIA. Isu seputar pendanaan konsultan manajemen KIA juga muncul, pendapatan konsultan manajemen KIA dapat dialokasikan dari dana APBN, APBD, dana perusahaan, dana donor, dan dana RS yang sudah memiliki status BLUD. Beberapa pilihan sumber dana tersebut dapat dijadikan pertimbangan sesuai konteks masing-masing daerah.