Laporan Hari Kedua
"Diskusi Penyusunan Bentuk Hukum Pengelola Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia dan Pembahasan Policy brief dan Pengembangannya untuk Dua Topik Prioritas: BPJS dan KIA", Jakarta, 10-11 Desember 2012
Pada hari kedua, para peserta dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama membahas policy brief dan pengembangannya untuk topik KIA. Kelompok kedua membahas policy brief dan pengembangannya untuk topik BPJS. Laporan ini akan membahas mengenai kelompok kedua.
Pertemuan ini diawali dengan sharing informasi oleh Faozi Kurniawan dari PMPK FK UGM. Faozi menyampaikan hasil Seminar dan Workshop 'Peran Daerah dalam BPJS Kesehatan'. Pertemuan di Yogyakarta pada 7-8 Desember tersebut, membahas mengenai penyelenggaraan Jamkesda yang mulai tahun 2013 akan mengalami beberapa hambatan dengan berlakunya UU Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS dan dimulainya JK SJSN tahun 2014. Dalam sejarah, lahirnya Jamkesda merupakan komplementari dari lahirnya Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Dengan berlakunya undang-undang BPJS tahun 2011 maka Jamkesmas harus menginduk pada BPJS. Dengan demikian, keberadaan Jamkesda tidak memiliki payung hukum yang jelas untuk berdiri sendiri. Anda dapat menyimak laporan kegiatan seminar tersebut pada link berikut: http://manajemen-jaminankesehatan.net/index.php/88-Reportase/490.
Beberapa isu pokok dari pertemuan Jamkesda yang disampaikan oleh Faozi sehubungan dengan operasionalisasi BPJS mengerucut pada tiga hal:
- Payung Hukum
- Iuran/premi
- Kepesertaan
Anda dapat mengunduh materi presentasinya silahkan klik disini
Setelah sharing informasi selesai, diskusi pembahasan policy brief dimulai dengan dipimpin oleh Dr. Nyoman Anita. Diskusi diawali dengan pendapat dari Tyas bahwa mengawali operasionalisasinya, BPJS pada 2014-2019 atau sesuai peta jalan Jaminan Kesehatan Nasional (2012-2019) maka kondisi ini akan menjadi masa transisi. Selama masa transisi tersebut akan banyak isu yang dapat dilihat dari sisi penelitian kebijakan kesehatan.
Dalam kesempatan ini, Dr. Deni menyatakan pentingnya memahami istilah BPJS dan JK SJSN. Dalam beberapa diskusi di tempat lain, masih ada orang yang belum mengerti dan menganggap kedua istilah ini adalah sesuatu yang interchangeable. Padahal dua istilah ini merujuk pada dua hal yang berbeda. BPJS adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sehingga yang dimaksud adalah badan pelaksananya. Sementara JK SJSN adalah Jaminan Kesehatan Sistem Jaminan Sosial Nasional, sehingga yang dimaksud adalah sistemnya. Harapannya penjelasan tentang istilah ini dapat dimasukkan ke dalam bagian proses sosialisasi.
Diskusi terus berlanjut menuju kebijakan mengenai BPJS dan SJSN. Menurut Chriswardani, sehubungan dengan kebijakan maka materi referensi utama yang digunakan adalah Undang Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan Undang Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Satu masukan lainnya adalah mengenai perlunya milis untuk para penulis policy brief. Melalui media ini, mereka dapat saling berbagi materi referensi dan juga hasil penelitian.
Prof Charles menyampaikan perlunya policy brief untuk menyoroti isu yang sudah ada konsensusnya. Sehingga policy brief tidak menyentuh isu yang masih dalam wilayah abu-abu. Dr Nyoman menyatakan bahwa terkait dengan BPJS ini akan ada banyak sekali isu yang bisa dibuat policy brief-nya. Beberapa contoh antara lain kualitas pelayanan medis, kualitas administrasi keuangan, manajemen peserta, juga terkait mindset dari semua lini yang terlibat.
Chriswardani juga menambahkan terkait sosialisasi operasional BPJS. Sosialisasi diperlukan tidak hanya untuk masyarakat sebagai peserta namun juga diberikan kepada pemberi pelayanan kesehatan. Perubahan model pembayaran out of pocket menjadi pra upaya telah menimbulkan banyak kebingungan tidak hanya di penerima pelayanan kesehatan, namun juga di pemberi pelayanan kesehatan.
Andre menyampaikan pendapatnya terkait isu kesiapan pemberi pelayanan kesehatan. Contohnya antara lain distribusi dokter yang belum merata serta fasilitas kesehatan di daerah tertentu yang masih sangat kurang. Bahkan di beberapa puskesmas masih belum ada dokter.
Ilsa juga mengangkat isu mengenai equality dan equity. Sementara itu, Dr. Deni menambahkan satu isu mengenai adekuasi. dr Ketut menambahkan isu terkait pembiayaan SJSN dengan studi kasus dari Jamkesda Propinsi Bali.
Sistem Jaminan Sosial Nasional yang mengarah kepada cakupan universal dipandang oleh Prof Bhisma melalui tiga dimensi yang dapat dilihat dari :
- Populasi yang dijangkau
- Seberapa besar benefit yang diberikan
- Jumlah cost sharing yang harus ditanggung.
Ketiga dimensi ini dapat dilihat untuk menentukan topic policy brief. Prof Siswanto menyatakan pentingnya distribusi policy brief. Target sasaran policy brief dapat dilihat dari level nasional maupun level daerah. Bisa juga policy brief ditujukan kepada target audiens tertentu. Misalnya kalangan akademis (mahasiswa, dosen), organisasi profesi (terkait pemberi pelayanan kesehatan), serta elemen birokrasi structural (kepala dinas, staf kementrian).
Diskusi ini menghasilkan cukup banyak daftar fokus utama substansi yang akan dibahas terkait pelaksanaan SJSN. Dr Nyoman menutup diskusi ini dengan menyatakan bahwa nanti policy brief ini akan dibawa melalui jaringan sampai menyentuh para pembuat kebijakan. Tindak lanjut diskusi ini adalah perlunya pembentukan milis. Milis akan menjadi media komunikasi untuk para penulis policy brief dan juga bermanfaat sebagai tempat berbagi informasi serta referensi.