Evaluasi 4 Tahun JKN dari Aspek Belanja Kesehatan Strategis

Evaluasi 4 Tahun JKN dari Aspek Belanja Kesehatan Strategis

Oleh: Syafriana Sitorus (Research Assistant – University of Sumatera Utara)

Pada 2020, genap 4 tahun Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS telah diterapkan pada masyarakat Indonesia. Banyak perubahan yang telah dilakukan baik dari kebijakan, penyedia layanan, maupun penerima manfaat. Seluruh kebijakan dievaluasi berkala baik di FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama) maupun di FKTL (Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan). Namun, kenapa BPJS masih mengalami defisit? Apakah masyarakat Indonesia sudah betul merasakan manfaatnya? Dan bagaimana fakta kesiapan fasilitas kesehatan di Indonesia termasuk provider yang berada di daerah 3T (Terluar, Tertinggal, dan Terdepan).

Hingga April 2020, BPJS Kesehatan sudah menjangkau 222.939.830 orang peserta JKN dengan rincian yaitu 96.536.203 PBI APBN, 36.064.703 PBI APBD, 17.713.290 PPU-PN, 37.262.327 PPU-BU, 30.311.104 PBPU-Pekerja mandiri, dan 5.052.203 Bukan Pekerja . Sedangkan Fasilitas Kesehatan (fakses) yang telah bekerjasama (per 1 Mei 2020) yaitu 10.074 Puskesmas, 5.013 Dokter Prakter Pertama, 6.637 Klinik Pratama, 1.198 Dokter Gigi, 30 RS Kelas D, 2.294 Rumah Sakit, 255 Klinik utama, 469 Apotik PRB dan Kronis, 1.101 Optik.

Salah satu masalah yang sering dihadapi oleh fasilitas kesehatan adalah tunggakan pembayaran klaim, seperti dialami oleh RS Bhayangkara Medan. Contoh Rumah Sakit Bhayangkara Medan, tunggakan pembayaran klaim sampai April 2020 sudah mencapai Rp. 499.544.200,- untuk Rawat Jalan dan Rp. 897.980.300,- untuk Rawat Inap. Selain itu, ada banyak rumah sakit lainnya yang mengalami penunggakan pembayaran klaim .

Selain itu, wawancara yang dilakukan dengan beberapa rumah sakit termasuk rumah sakit kepulauan mengungkapkan fakta bahwa sering terjadi pembludakan pasien JKN karena akses ke rumah sakit provinsi jauh (menyebrang pulau), sementara jika ditelusuri dari fasilitas dan sumberdaya manusia belum memadai. Pasien tersebut terpaksa dirawat di rumah sakit sehingga koridor-koridor rumah sakit penuh dnegan pasien. Selain itu, pembayaran klaim yang masih tertunda ini akan menyebabkan penundaan juga untuk pembayaran jasa tenaga medis, peralatan dan obat-obatan medis serta biaya pendukung lainnya. Bukan hanya pasien atau peserta JKN saja yang mengeluhkan tentang JKN ini.

Strategic Health Purchasing/ Belaja Kesehatan Strategis (SHP) adalah upaya untuk melakukan perubahan dalam sistem pembiayaan kesehatan masyarakat dengan menganut sistem hubungan prinsipal-agen yang memiliki lima kriteria penting, yaitu Apa yang harus dibeli? Untuk siapa? Siapa yang harus membeli formulir? Berapa harganya? dan Bagaimana cara membelinya?

Kajian yang telah dilakukan, terdapat 4 faktor yang mencakup semua pertanyaan di atas yaitu kontrak, pembayaran penyedia, informasi dan pemantauan, penggunaan dan penetapan harga farmasi. Masing-masing dari faktor tersebut akan berkontribusi dalam sistem JKN dan dapat dihilangkan untuk menghindari ‘fraud/ kecurangan’.

Kontrak

Kontrak adalah faktor yang mempengaruhi pembelian kesehatan strategis di Indonesia. Penelitian menunjukkan bahwa baik fasilitas kesehatan masyarakat maupun JKN menguntungkan. Ini bisa dilihat dari gambar berikut. Dalam hal pengguna JKN, responden menyatakan pembiayaan 41,2% lebih murah dan layanan 26,5% lebih mudah. Sedangkan Fasilitas Kesehatan menyatakan 60% JKN menjadikan dana pasien lebih terorganisir dan 20% lebih murah.

Penelitian menunjukkan bahwa peserta JKN masih belum tahu apa hak dan kewajiban mereka secara keseluruhan. Informasi ini jarang dijelaskan oleh penyedia BPJS. Tidak mengherankan jika pemegang kartu JKN / KIS hanya menggunakannya untuk perawatan. Dapat dilihat bahwa 61,8% yang benar-benar menjawab bahwa program JKN dapat menjamin perawatan, konsultasi medis, rawat inap dan promosi pencegahan. Oleh karena itu, perlu untuk memperkuat peran puskesmas sebagai garda depan untuk pencegahan penyakit dan promosi kesehatan.

Pembayaran Penyedia

Sistem pembayaran antara BPJS dan fasilitas kesehatan selalu mengalami keterlambatan. Ini adalah kejatuhan semua rumah sakit. Proses klaim sangat rumit walaupun pengukur BPJS tersedia di setiap fasilitas kesehatan. Pada tahun 2018, Rumah Sakit Gunung Sitoli mengalami kerugian sekitar 446 juta karena dinyatakan tidak pantas. Sementara itu, Rumah Sakit Bhayangkara mengalami sekitar 1,2 juta klaim yang tidak patut. Selain itu, klaim yang belum dibayarkan oleh BPJS ke rumah sakit, terutama pemerintah sekitar 2 miliar lebih dan 400 juta lebih untuk rumah sakit swasta

Sistem pembayaran antara peserta JKN dengan BPJS kesehatan juga menghadapi masalah. Banyak peserta JKN tidak membayar atau menunda pembayaran karena mereka tidak punya uang dan pihak 3 tidak membayar iuran (Pemerintah Daerah atau Lembaga responden bekerja

Informasi dan Pemantauan

Fasilitas kesehatan telah memberikan informasi tentang layanan JKN. Ini sejalan dengan akreditasi semua fasilitas kesehatan bekerja sama dengan BPJS baik di FKTP maupun di FKTL. Setiap fasilitas kesehatan memiliki verifikasi dan telah dipantau oleh tim BPJS setiap bulan. Salah satu penilaian adalah Kredensian kepada staf medis setiap 6 bulan, survei kepuasan pasien dan lainnya. Ini sesuai dengan prinsip-prinsip yang ingin diwujudkan sambil memberikan layanan yaitu Realibility, Tangibles, Responsiveness, Assurance, Empathy, dan Access. Sekitar 88,2% peserta JKN menyatakan bahwa petugas kesehatan terampil dan memotivasi pasien untuk pulih. Namun, 35,3% responden menyatakan bahwa layanan yang dirasakan oleh peserta JKN masih lama.

Penggunaan dan Penetapan Harga Farmasi

Informan (sebutkan penelitiannya) mengatakan bahwa ada banyak kekurangan dalam pembelian obat-obatan dan mengklaim INA CBG. Obat-obatan yang telah dipesan dari pembelian-e datang terlambat 3-4 bulan sehingga kadang-kadang stok obat habis. Mereka dituntut untuk dapat menghitung dan memperkirakan kebutuhan obat per bulan selama waktu tunggu (lead time). Keluhan dari informan bahwa banyak obat tidak ada dalam e-katalog. Sebenarnya, ini dapat dihilangkan untuk meningkatkan kualitas implementasi NHI. penetapan harga farmasi dapat dievaluasi secara berkala karena dapat berdampak pada pihak lain.

Namun, dalam hal peserta JKN bahwa 82,4% menerima layanan obat sesuai dengan resep. Sisanya mengatakan tidak pernah kehabisan obat sehingga peserta JKN harus membeli narkoba di luar. Ini seharusnya tidak terjadi. Sistem Manajemen Farmasi dan Obat-obatan harus disiapkan sesuai dengan Formularium Nasional dan dibeli dalam e-katalog dan perhitungan anggaran disesuaikan dengan jumlah dan jenis kasus penyakit.

Adanya evaluasi tersebut, harapannya pihak BPJS mempertimbangkan kembali kenaikan iuran yang direncanakan pada tahun 2020 ini serta meningkatkan keadaan fasilitas kesehatan termasuk di daerah 3T sehingga tidak ada lagi keterlambatan dalam rujukan pasien.

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *