Pengantar reportase Advancing Universal Health Coverage in South East Asia

Advancing Universal Health Coverage
in South East Asia

Paro, Bhutan (23 - 25 April 2014)

Universal Health Coverage (UHC) saat ini menjadi topik diskusi yang paling hangat dibicarakan. Mulai dari konsep sampai dengan implikasi penerapan UHC di berbagai negara ramai dibahas pada berbagai forum internasional. Para pembahas datang dari berbagai latar belakang, yaitu akademisi, praktisi, sampai dengan penyusun kebijakan.

WHO-SEARO mengadakan konferensi dengan tema: Advancing Universal Health Coverage in South East Asia, dengan tujuan untuk mengambarkan pencapaian UHC dan tantangan pada aspek konsep serta aspek praktis dalam penerapan UHC di kawasan ini. Konferensi diadakan di Paro, Bhutan, mulai 23 April 2014 sampai dengan 25 April 2014.

REP1

Reformasi Pengorganisasian Tenaga Kesehatan

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menyelenggarakan

Diskusi Kebijakan Kesehatan

Reformasi Pengorganisasian Tenaga Kesehatan

Selasa, 29 April 2014
Gedung Granadi Kuningan Jakarta

 

  PENGANTAR

Ketidakmerataan distribusi tenaga kesehatan masih menjadi permasalahan penting di Indonesia. Adanya sistem desentralisasi tidak memperbaiki kondisi ini dan mungkin malah semakin memperburuk kondisi. Sebelum desentralisasi, ada penugasan wajib oleh Departemen Kesehatan pada setiap lulusan baru dokter, dokter gigi, apoteker, dan tenaga medis lain untuk bekerja di daerah miskin dan terpencil. Sekarang, dengan adanya penerapan system desentralisasi, Pemerintahan Daerah harus lebih kreatif untuk bisa memperkerjakan tenaga medis secara mandiri tanpa bantuan pemerintahan pusat. Hal ini menjadi sulit karena kurangnya kemampuan Pemda untuk menyediakan insentif tinggi dan/ atau terkait masalah di daerah terpencil.

Diskusi ini diusahaan akan menjawab pertanyaan berikut:

  1. Apa hasil dari penataan tenaga kesehatan, khususnya dokter pasca desentralisasi?
  2. Bagaimana ideologi dalam proses pendidikan tinggi kedokteran berusaha diubah melalui UU Pendidikan Kedokteran?
  3. Bagaimana sistem pendidikan tenaga kedokteran dapat menjamin ketersediaan di daerah sulit dan juga di front internasional?

 

 TUJUAN ACARA

  1. Mengetahui manajemen disitribusi dokter paska sistem desentralisasi.
  2. Mencari cara untuk penerapan UU Pendidikan Kedokteran dalam proses pendidikan kedokteran.
  3. Membuat rekomendasi untuk menjami ketersediaan dokter di daerah sulit melalui perbaikan sistem pendidikan tenaga kedokteran.\

 

  JADWAL KEGIATAN

Selasa, 29 April 2014

Waktu

Acara

Pembicara

08.00 – 08.30

Registrasi Peserta

 

08.30 – 09.00

Pembukaan dan Pengantar

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

09.00 – 10.30

(90 Menit)

SESI I: Reformasi dalam Pendidikan Tenaga Kesehatan

  1. Distribusi dokter dan tenaga spesialis
  2. Dampak ketidak merataan Dokter pada Jaminan Kesehatan Nasional, apakah menghambat reformasi pembiayaan kesehatan?
  3. Tantangan kebijakan penyebaran tenga kesehatan

Moderator : dr. Mustofa 

Pembicara:

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

Dengan Pembahasan sebagai berikut:

Dr. Puti Marzoeki dari World Bank Jakarta

Konsultan WHO, Haroen Hartiah

Badan PPSDM - dr Untung Suseno Sutarjo

 

10.30 – 10.45

Coffee Break

10.45 – 12.15

(90 Menit)

Sesi II

  1. Ideologi UU Pendidikan Kedokteran dan reformasi apa yang ingin dicapai
  2. Diskusi : tantangan kurikulum dan reformasinya

Pembicara :

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D

Pembahas :

Ketua AIPKI, Prof. Dr. Med Tri Hanggono Achmad

Dr. Arsita - Ditjen Dikti

 

 

 

 

 

13.15 – 14.30

(75 Menit)

SESI III:

Kesiapan Dosen-dosen Fakultas Kedokteran untuk Reformasi

  1. Siapa mereka? Apa saja kelompoknya menurut UU Pendidikan Kedokteran?
  2. Apakah cukup jumlahnya?
  3. Bagaimana penanganannya?

Pembahas:

  1. Dr. Hendro Wartatmo Sp.B-KBD dari FK UGM
  2. Dr. Purwadi Sp.B-KBA dari FK Unair 

14.30 – 15.00

Diskusi Penutup

Tim PKMK FK UGM

 

  PESERTA

Peserta yang diharapkan menghadiri seminar ini adalah para Dekan Fakultas Kedokteran, Ditjen Dikti, AIPKI, Anggota IDI, dan Badan PPSDMK, dan setiap pihak yang berkecimpung regulasi dalam SDM kesehatan. Seminar ini bersifat bebas biaya dan limited seat sehingga sangat diharapkan untuk mendaftar terlebih dahulu kepada pengelola. Kami juga tidak menanggung transport dan akomadasi para peserta.

 

  PENDAFTARAN DAN INFORMASI

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM
Sdri. Intan Farida Yasmin/ Hendriana Anggi
Gdg. IKM Sayap UtaraLt. 2, Jl. Farmako Sekip Utara Yogyakarta 55281
Telp.: +62274 – 549425
Mobile: (Intan Farida Yasmin: +628129017065),
(Hendriana Anggi: +6281227938882)
Email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.; This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Web: www.kebijakankesehatanindonesia.net 

Forum Nasional V Bandung

JARINGAN KEBIJAKAN KESEHATAN INDONESIA

Bekerja sama dengan

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJAJARAN BANDUNG

Menyelenggarakan

FORUM NASIONAL V :
JARINGAN KEBIJAKAN KESEHATAN INDONESIA

dengan tema :

MONITORING PELAKSANAAN KEBIJAKAN JKN DI TAHUN 2014
KENDALA, MANFAAT, DAN HARAPANNYA

Sub Tema

Tantangan Kebijakan Kesehatan dalam Pemerataan Kesehatan
di Era Sistem Jaminan Kesehatan Nasional dan Masih Tingginya Hambatan
dalam Pencapaian MDG 4, 5 dan 6.

Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran dan
Hotel Trans Luxury Bandung, 24 – 26 September 2014

 

Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia adalah suatu jembatan penyambung berbagai pemangku kepentingan dalam kebijakan kesehatan di Indonesia. Mereka yang bergabung : para peneliti, akademisi, pemerhati, praktisi kebijakan, kelompok masyarakat, wakil rakyat, birokrat, pengamat dari berbagai profesi dan lembaga.

Forum ini telah 4 kali digelar, setiap tahun berturut-turut di Jakarta (UGM), Makasar (Unhas), Surabaya (Unair) dan Kupang (Universitas Nusa Cendana). Pada tahun 2014 ini kota Bandung mendapat giliran dengan Fakultas Kedokteran Unpad sebagai tuan rumah.

Tahun 2014 merupakan tahun stratejik karena bertepatan dengan perubahan politik yang terjadi di negara ini. Para wakil rakyat baru, pemimpin baru akan segera hadir dengan visi, misi dan strateginya. Sejauhmanakah rencana dan kebijakan mereka selaras dengan kebutuhan dan harapan masyarakat?

Tema tahun ini adalah "MONITORING PELAKSANAAN KEBIJAKAN JKN DI TAHUN 2014 : KENDALA, MANFAAT DAN HARAPANNYA". Dengan sub tema :"Tantangan Kebijakan Kesehatan dalam Pemerataan Kesehatan di Era Sistem Jaminan Kesehatan Nasional dan Masih Tingginya Hambatan dalam Pencapaian MDG 4, 5 dan 6".

Kelompok-kelompok kebijakan kesehatan yang akan berkumpul merupakan kelompok yang sudah lebih dahulu berkembang dalam forum sebelumnya serta kajian baru tahun ini :

pokja-PKMK 01
pokja-2 01

 

26septpolicyb


List Abstrak Forum Nasional V JKKI

    Free Paper Pokja Gizi     Free Paper Pokja HIV / AIDS
Free Paper Pokja Kesehatan Jiwa Masyarakat Free Paper Pokja Kebijakan Kesehatan Ibu & Anak
Free Paper Pokja Kebijakan Pembiayaan     Free Paper Pokja Pelayanan Kesehatan  

Panduan Presentasi

    Panduan Presentasi Oral     Panduan Presentasi Poster
    E-Poster Format  

 

INFORMASI LEBIH LANJUT :

Fakultas Kedokteran Unpad, Jl. Eyckman 38 Bandung; Lantai 4 Wing Utara
An. Sheila Mariana/ Nanang Sudrajat/ Dian Anggraeni
pada no tlp/ fax: 022 203 8030 atau email tersebut di atas
Web : www.kebijakankesehatanindonesia.net  dan www.fk.unpad.ac.id 

 

INFORMASI LAINNYA

Hotel di Bandung :

1.

Aerowisata (Grand Hotel Preanger)

Jl. Asia Afrika No. 81 Bandung

Rp. 700.000,-

2.

Arion Swiss Bel Hotel

Jl. Oto Iskandardinata No. 16

Rp. 750.000,-

3.

Aston Primera Pasteur

Jl. Djundjunan No. 96 Bandung

Rp. 800.000,-

4.

BTC Hotel

Jl. Djundjunan No. 143 – 149

Rp. 500.000,-

5.

Gino Feruci Hotel

Jl. Braga No. 67 Bandung

Rp. 600.000,-

6.

Cassadua

Jl. Cassa No. 2 Bandung

Rp. 200.000,-

7.

Galeri Ciumbuleuit Hotel

Jl. Ciumbuleuit No. 42 A

Rp. 600.000,-

8.

Grand Serela Setiabudi

Jl. Hegarmanah No. 9 – 15

Rp. 700.000,-

9.

Holiday Inn

Jl. Ir. H. Djuanda No. 31 – 33

Rp. 1.000.000,-

10.

Luxton Hotel

Jl. Ir. H. Djuanda No. 18

Rp. 750.000,-

11.

Horison

Jl. Pelajar Pejuang 45 No 121

Rp. 600.000,-

12.

Santika Hotel

Jl. Sumatera No. 52 – 54

Rp. 800.000,-

13.

The Majesty Hotel

Jl. Surya Sumantri No. 91

Rp. 600.000,-

ADVANCING UNIVERSAL HEALTH COVERAGE IN SOUTH EAST ASIA - Day I

REPORTASE

ADVANCING UNIVERSAL HEALTH COVERAGE IN SOUTH EAST ASIA

BHUTAN 23-25 APRIL 2014
 

d1bhutanPEMBUKAAN: Universal Health Coverage (UHC) saat ini menjadi topik diskusi yang paling hangat dibicarakan. Mulai dari konsep sampai dengan implikasi penerapan UHC di berbagai negara ramai dibahas pada berbagai forum internasional. Para pembahas datang dari berbagai latar belakang, yaitu akademisi, praktisi, sampai dengan pembuat kebijakan.

Pertanyaan yang sering muncul adalah: "sejauh mana UHC telah diterapkan?" Beberapa negara menyatakan telah mencapai target UHC sesuai dengan yang telah direncanakan. Pencapaian ini dilihat dari dimensi pengukuran UHC dan program pelayanan kesehatan. Banyak pula negara yang masih bergelut dengan persiapan penerapan UHC dan banyak negara yang sudah memulai perjalanan menuju UHC. Namun demikian masih banyak pertanyaan yang perlu dijawab sehubungan dengan pengembangan dan pencapaian UHC, khususnya di negara-negara South East Asia Region (SEAR).

WHO-SEARO mengadakan konferensi dengan Tema: Advancing Universal Health Coverage in South East Asia, dengan tujuan untuk mengambarkan pencapain UHC dan tantangan pada aspek konsep serta aspek praktis dalam penerapan UHC di kawasan ini. Konferensi diadakan di Paro, Bhutan, mulai 23 April 2014 sampai dengan 25 April 2014.

Opening Speech oleh Minister of Health Royal Government of Bhutan, Prime Minister of Royal Government of Bhutan, dan Regional Director WHO-SEAR, Dr Poonam Khetrapal Singh http://www.searo.who.int/regional_director/drd/drd_singh/en/ ). Pesan yang disampaikan adalah:

  1. UHC telah dilaksanakan di Bhutan ( www.who.int/country/btn/en ) sejak 2008 dan saat ini terus dikembangkan. Bhutan mulai menambahkan "happiness index" untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat dan pencapaian sistem kesehatan. Indikator ekonomi akan membaik jika rakyat sehat. Rakyat akan sehat jika pelayanan kesehatan berjalan dengan baik dan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Rakyat yang sehat dan produktif akan merasa berguna, bahagia, dan sejahtera. Oleh sebab itu, perlu diukur "happiness index" sebagai pengukur kesejahteraan rakyat dan kemajuan negara, disamping index ekonomi yang umum dipergunakan. (Untuk lebih memahami "happiness index": http://www.grossnationalhappiness.com/gnh-policy-and-project-screening-tools/ )
  2. Tantangan penerapan UHC saat ini adalah bagaimana menyatukan UHC dengan agenda Post-2015. Apakah UHC menjadi alat menuju pencapaian target Post 2015 atau UHC menjadi tujuannya? Di samping itu, isu keadilan (equity) yang menjadi jantung dari UHC juga menjadi agenda penting untuk dibahas. Bagi negara yang telah menerapkan UHC, perlu dilakukan monitoring dan evaluasi pada aspek keadilan. Sedangkan negara yang baru merencanakan UHC perlu menimbang cara untuk meningkatkan keadilan.
  3. Konferensi ini diharapkan dapat menelurkan kejelasan konsep UHC, fokus dan arah pengembangan UHC, terutama di negara-negara SEAR.

poomanDr. Poonam Khetrapal Singh selaku Regional Director WHO mengunjungi Unit Pelayanan Kesehatan Dasar di Paro, Bhutan (23/4/2014). Dok; WHO SEARO


PRE PLENARY 1

  1. Toward Universal Health Coverage 2030 (WHO-World Bank Spring Meeting 2014)
    Diskusi dimulai dengan adanya report dari Lancet Commissions tentang global health 2035 ( http://globalhealth2035.org/sites/default/files/report/global-health-2035.pdf ). Investasi dalam bidang kesehatan adalah suatu keharusan. Investasi pada pembiayaan pelayanan kesehatan menjadi sangat penting untuk menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan untuk semua lapisan masyarakat. Selain itu, riset untuk mendukung kebijakan kesehatan juga menjadi sangat penting, agar kebijakan yang diambil semakin efektif dan berada dalam jalur yang benar. Kesemuanya adalah investasi yang membawa manfaat tidak hanya bagi individu yang sakit tetapi juga untuk seluruh rakyat. Investasi di bidang kesehatan juga akan meningkatkan kapasitas ekonomi dan kesejahteraan suatu negara.

    Pidato Dr Margareth Chan, Direktur Jendral WHO, ( http://www.who.int/dg/speeches/2014/uhc/en ) mendorong diterapkannya UHC di seluruh negara. Namun demikian diperlukan framework untuk monitoring dan evaluasi kemajuan penerapan UHC. WHO dan World Bank telah mengembangkan framework untuk keperluan tersebut ( http://www.who.int/healthinfo/country_monitoring_evaluation/UHC_WBG_DiscussionPaper_Dec2013.pdf ). Framework ini perlu diujicoba dan dilaporkan hasilnya untuk kemajuan pelaksanaan UHC pada tingkat global.

    Pidato Jim Yong Kim, President World Bank Group berjudul UHC in emerging economies ( http://www.worldbank.org/en/news/speech/2014/01/14/speech-world-bank-group-president-jim-yong-kim-health-emerging-economies ) mendorong riset untuk menepis keraguan terhadap penerapan UHC yang accountable dan measurable di suatu negara.

PRE PLENARY 2

  1. Opportunities for implementation research (Dr Abdul Ghaffar: Alliance for Health Policy and System Research).
    AHPSR menawarkan pengembangan embedded research untuk mendukung penerapan UHC. Manajer kesehatan di lapangan perlu ditingkatkan kapasitasnya untuk menerapkan program-program yang telah direncanakan. Peningkatan kapasitas yang dimaksud adalah kemampuan menjalankan dan menerapkan hasil penelitian. Disediakan dana sekitar USD 15,000-20,000 bagi manajer program untuk melakukan kegiatan ini. Mengenai embedded research dan Dr Abdul Ghaffar (This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.) dapat dilihat di http://meeting.tropika.net/gshsr2012/2012/11/03/qa-abdul-ghaffar-executive-director-alliance-for-health-policy-and-systems-research-geneva/  
    Riset lain tentang UHC dapat dilihat di http://www.searo.who.int/thailand/publications/2013/9789240690837_eng.pdf?ua=1 

PLENARY 1: Overview on Universal Health Coverage

  1. Presentasi oleh David Heymaan ( http://www.who.int/dg/adg/heymann/en/ )
  2. Data menunjukkan bahwa ketersediaan dana, yang merupakan bentuk nyata komitmen pemerintah terhadap pemberantasan penyakit, menjadi faktor utama kesinambungan program-program kesehatan. Investasi di bidang kesehatan akan membawa dampak positif terhadap kesejahteraan rakyat. Namun demikian, burden of disease secara global semakin meningkat dan dana yang diperlukan juga semakin besar. Banyak donor-donor yang dulu membantu pendanaan pemberantasan penyakit, saat ini sudah tidak lagi aktif. Pertanyaan besar: apakah pemerintah sudah siap untuk menggantikan peran donor untuk menyediakan dana pemberantasan penyakit yang semakin besar ini? Data menunjukkan bahwa ketika donor-donor menghentikan bantuan, banyak negara tidak siap untuk menyediakan dana pengganti dan akibatnya program berhenti. Ketika UHC diterapkan, maka kewajiban pemerintah untuk menyediakan dana menjadi tanggungjawab yang besar. Situasi ini akan memberatkan pemerintah dan mengancam kesinambungan UHC dan program-program pemberantasan penyakit yang selama ini telah dilakukan.
  3. Diskusi:
    1. Definisi dari UHC dan bagaimana mengukur achievement adalah tantangan terbesar UHC saat ini.
    2. UHC belum menjadi komitmen dunia dan sering dikalahkan oleh isu lain seperti: climate change, keamanan dan kedamaian, good governance, dan sebagainya.
    3. Mengintegrasikan UHC dengan agenda Post 2015 adalah tanggungjawab bersama
    4. Pemerintah banyak mengandalkan dana dari donor dan mengalokasikan anggaran negara untuk program non kesehatan. Situasi ini masih terjadi sampai saat ini.
    5. Investasi untuk meningkatkan aspek keadilan pada penerapan UHC adalah investasi yang sangat besar, namun pemerintah wajib bertanggungjawab atas invetasi tersebut.

TECHNICAL SESSION 1: Mengukur UHC: Pengalaman di Bhutan dan India (Haryana State)

  1. Presentasi oleh Jayendra Sharma (This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.) menunjukkan bahwa Bhutan telah berhasil mengukur achievement dari UHC melalui composit index yang dikembangkan sejak beberapa tahun yang lalu. Indikator yang dinilai adalah: Effective Coverage, Service Availability, dan Financial Protection. Hasilnya Bhutan telah mencapai angka 97%.
  2. Presentasi oleh Shankar Prinja ( http://pgimer.edu.in/PGIMER_PORTAL/PGIMERPORTAL/home.jsp ) menggambarkan framework yang dipergunakan untk mengukur pencapaian UHC di Haryana State India. Langkah yang dilakukan adalah: Memilih Indikator Kunci, Membuat estimasi coverage, melakukan adjustment untuk inequality, dan menetapkan composite UHC index. Hasilnya composite UHC index dapat dipergunakan untuk mengukur kemajuan UHC di suatu wilayah.


  LESSON LEARNED UNTUK INDONESIA

  1. Konsistensi dalam penerapan JKN perlu dijaga untuk menjamin kesinambungan JKN sehingga target untuk mencapai UHC tahun 2019 dapat diperoleh. Pandangan para pengambil kebijakan perlu disatukan untuk meningkatkan konsistensi sikap terhadap penerapan JKN di Indonesia. Pergantian pemerintahan seharusnya tidak menganggu kesinambungan JKN.
  2. Investasi pemerintah di bidang kesehatan adalah tantangan terbesar terhadap keberlangsungan JKN.
  3. Debat mengenai efektifitas UHC seharusnya dilandasi oleh ukuran yang jelas mengenai affordability, acceptability, accessibility, dan availability. Ahli-ahli ekonomi kesehatan di Indonesia perlu segera menyusun framework untuk mengukur kemajuan dan manfaat UHC secara obyektif dan sistematis

 

 

Reportase diskusi bulanan - Februari

Diskusi Bulanan Februari 2014: Tujuan dan Cara

Diskusi kali ini disampaikan oleh dr. Mubasysyr Hasanbasri, MA dan dimoderatori oleh Rossi Sanusi. Diskusi dilakukan pada Kamis (20/2/2014), pukul 14.00-15.30 WIB di Ruang S3 FK UGM. Judul yang disampaikan ialah Knowledge Management, Tujuan dan Cara. Kegagalan sistematik yang sering terjadi. Kegagalan bisa sangat sering terjadi, karena pola pikir yang berbeda antara negara maju dan negara berkembang.

Teori -> praktek.

Knowledge Management (KM) lebih kepada bagaimana membuat praktek menjadi teori. Praktek di lapangan yang kemudian diuji menjadi teori. Praktek yang dilakukan harus dibangun menjadi sebuah teori, dan konteksnya berbeda. Hal ini yang disebut dengan knowledge building/knowledge management, pengalaman lapangan diubah menjadi pengetahuan. Pengetahuan itu apa yang bisa kita pelajari dari pengalaman itu. Apa yang salah dengan sistem? Sehingga sulit untuk melakukan knowledge management?

Kegagalan KM dipicu antara lain oleh:

  1. Mengambil pelajaran/pengalaman, bekerja tidak sesuai bidangnya
  2. Seharusnya bisa mengajarkan ke orang lain. Jadi, bisa memperbaiki yang salah tadi.
  3. Jika bisa dengan publikasi, maka akan tersebar lebih luas.

Tujuan KM, membangun tugas organisasi, berbagi melalui publikasi. KM: bagaimana mengemas yang sudah kita miliki untuk publikasi. Bentuk KM diantaranya support system-simposium, seminar dan lain-lain. Sementara, aspek yang kurang mendukung dalam KM bahasa, waktu, mentor, orang yang salah di tempat yang salah, dan dari dunia yang tidak berkebudayaan (misalnya: plagiarisme).

Mubasysyr menyampaikan, mengapa tidak mau berbagi? Karena tidak memiliki sumber daya lain. Di dunia akademis Indonesia, ketrampilan belajar tidak memuat: personal reflecting-tidak ada mekanisme refleksi dan jika tidak di-monitoring, mahasiswa cenderung menulis yang salah. Dalam paper yang menjadi contoh, ada istilah mapping yaitu kerangka konsep yang akan dikembangkan dan perlu kerangka berpikir untuk membangun comittee of practices (COP).

Penanya:

Bagaimana membudayakan hasil di lapangan menjadi teori? Publikasi hasil penelitian-misalnya jurnal internasional. Hasil itu bisa ditulis sederhana untuk dipublikasikan di media. Mubasysyr menanggapi dengan melontarkan orang yang memiliki kompeten dan bekerja di bidang yang sesuai untuk membudayakan penulisan hasil penelitian. Rossi Sanusi menyampaikan yang membuat teori harus yang ahli dan paham kenyataan di luar, di PT tidak dilatih mengkaji teori.

Umumnya, teori dinamai penggagas/fenomena yang diteliti. Mubasysyr menanggapi COP merupakan komunitas yang mendalami suatu hal sesuai arahan pembimbingnya. Level S1 harusnya menguji kerangka teori dengan hipotesis yang besar, COP yang harus dibangun. Terkait kesalahan pengelolaan sampah, apakah terkait KM?

Mubasysyr menyampaikan peneliti harus mendokumentasikan apa yang salah dalam suatu praktek di lapangan? Pengetahuan yang dikelola harus didokumentasikan. Rossi Sanusi menambahkan apa yang salah jika belajar tidak linier?. Mubasysyr menyampaikan sebenarnya yang dikejar ialah kedalaman ilmunya bukan luasnya. Susilowati mempertanyakan banyak masalah di kesehatan yang bisa diselesaikan secara transdisiplin. Kenapa kita tidak bisa belajar? Kita tidak punya database expertise, orang yang salah di posisi yang salah. Mungkin problemnya: kita tidak mau belajar.

Mubasysyr menyampaikan merampas hak orang lain, unethical untuk plagiarisme. Problem solving: dalam keilmuan, generalist sudah tidak ada lagi. Banyak teori yang diadopsi dari luar, sehingga ahli kesehatan tidak menciptakan sendiri. Apa yang diadopsi, bertentangan dengan ideologi bangsa. Knowledge itu teori yang duji orang sebelumnya. COP bisa diartikan menjadi masyarakat seminar- klaster. Posmo- yang benar kita, bukan barat.

Mubasysyr menambahkan ideologi merupakan kepentingan yang dicita-citakan bangsa ini. China mmampu membuat fokus perhatian daripada yang digunakan luar negri, approve bottom up. Learning by doing, dan dikembangkan sebuah usable knowledge (UK). UK ini digunakan untuk mengembangkan SDM. Jika kita bisa mengembangkan pajak, teknologi tumbuh secara kompetitif. Sejauh mana kita lebih unggul dari yang seharusnya, Mubasysyr menambahkan. COP seharusnya orang yang khusus bidangnya. Misal apakah butuh RS khusus?

Kita harus mengidentifikasi orang khusus yang tergabung dalam COP. Harus ada manager of knowledge. Sistem pendidikan berpengaruh pada sistem KM. KM bagus saat teori yang digunakan dapat diaplikasikan di lapangan. School of management, asal bisa membaca banyak itu sudah cukup. Putu mempertanyakan, policy maker dan decision maker jarang membaca jurnal, ada bahasa ilmiah yang dianggap teori dan tidak bisa diaplikasikan. Mubasysyr menyampaikan jurnal untuk publikasi sudah dibatasi agar tidak terlalu melebar. Peneliti boleh meneliti atas request policy maker, dengan independensi tinggi.

Reportase Diskusi Series HIT Ketiga Reformasi Pengorganisasian RS

Diskusi Series HIT Ketiga
Reformasi Pengorganisasian RS

23 April 2014

23aprfoto

HIT merupakan penelitian overview system kesehatan negara dan menjadi benchmarking antar negara. Penelitian jenis ini telah dilakukan Fiji, Filipina, dan negara lain. UGM dalam hal ini menginisiasi penelitian dan seminar untuk menulis reformasi kebijakan dan reformasi kesehatan Indonesia. Series HIT sudah memasuki minggu ketiga dan kali ini mengangkat 'Reformasi Pengorganisasian RS'. Sesi pertama yaitu Pemaparan Hasil Penelitian PKMK oleh Prof. Laksono Trisnantoro yang membahas Otonomi RSD di Indonesia. Dalam BLUD tidak ada pemisahan aset, tidak ada pembagian SHU, non profit, serta RS harus menyusun rencana bisnis anggaran. BLUD merupakan korporatisasi, serta mempunyai misi sosial. Setelah menyimak bentuk BLUD seperti hal tersebut, maka Dinkes harus melakukan banyak pengawasan baik RSD dan RS swasta. Rekomendasi dari Prof. Laksono ialah renumerasi Dinkes yang lebih baik dan peningkatan kapasitas Dinkes yang maksimal. Lalu, perlu pengawasan dirjen BUK sebagai pembinaan dan regulasi. Serta, harus banyak yang diawasi dengan ketat, termasuk pelayanan standar. Kemudian, perlu diadakan pelatihan Kadinkes terkait pengawasan RS.

Evaluasi Pelaksanaan BLUD: Studi Kasus di Lima RSUD oleh Putu Eka Andayani, M. Kes. Institusi yang menerapkan BLUD merupakan bagian dari Pemda, produktivitas dan akuntabilitas jelas. Kemudian, institusi itu harus menyusun rencana bisnis: target keuangan dan non keuangan, lalu apa yang akan dikembangakan. Menurut penelitian yang dilakukan tim dari PKMK di tiga RSD DIY, satu RSD di Magelang dan satu RSD di Aceh, hasilnya bisa membiayai investasi dari pendapatan BLUD.

Kesimpulan penelitian tersebut, yaitu mengubah governance, SDM yaitu segi perekrutan dan renumerasi, pengadaan, akuntabilitas terkait mutu layanan. BLUD perubahan mindset yaitu RS sebagai lembaga usaha yang efektif, responsif dalam menghadapi perubahan. Tantangan yang masih dihadapi, isu kesehatan menjadi alat politik serta RS memerlukan dukungan pemerintah/subsidi. Saran yang diberikan peneliti ialah Direktur RS harus memiliki komunikasi politik, Direktur RS perlu memonitor kinerja RS dalam berbagai perspektif. Lalu, sistem manajemen operasional perlu dikembangkan.

Prof. Laksono menambahkan reformasi birokrasi pemerintah sudah berjalan lama, maka harus ada mutu pelayanan yang diperbaiki. Namun, hal ini masih mendapat tantangan yaitu tidak ada badan yang berfungsi sebagai pengaewas (dulu Kanwil/Kandep). Bagaimana regulasi RS sebagai pelayan utama untuk masyarakat? Bagaimana peran Dinkes sebagai regulator/pengawas? Ada peran rangkap Dinkes regulator dan operator?

Pembahasan

Pembahasan sesi 1 disampaikan pengurus Arsada Pusat, yaitu dr. Slamet Riyadi Yuwono yang memaparkan 'Peran ARSADA dalam mengawal Proses Otonomi RSD dalam era JKN'. Dinkes berperan dalam regulasi dan perijinan atau sebagai regulator (makro). RS sebagai badan dan BLUD (mikro) harus memperkuat kemampuan sebagai operator. Pengalaman menarik dari Australia yaitu rasio perawat dan pasien diusahakan tetap sama, jika perawat cuti, maka RS akan meng-hire orang yaitu melalui nurse bank. Ada kualifikasi standar tertentu yang menjadi core business RS, analoginya orangnya bisa ganti namun standar mutu pelayanannya sama.

Diskusi. dr. Heru (ARSADA) menyampaikan bahwa kemampuan Dinkes harus diperkuat. dr. Kuntjoro (ARSADA) menyatakan pelayanan kesehatan harus baik, bermutu, berkesinambungan. Kadinkes harus merupakan strong leader yang berpengaruh dan mau melakukan transformasi budaya, mampu memberi reward dan konsekuensi. Prof. Laksono menegaskan Dinkes melindungi kesehatan masyarakat. BLUD bisa dijaga melalui budaya organisasi yang dipegang Dirut RS ungkap Putu Eka (PKMK). Jabatan fungsional Dinkes tidak menarik menurut dr. Kuntjoro. dr. Slamet Riyadi (ARSADA) menyatakan harapannya, kemampuan advokasi Dirut RS mampu mengubah mindset pejabat RS, uang merupakan bagian dari unsur percepatan pelayanan. Nurul dari RSD Sragen menyatakan sebaiknya ada garis merah antara Pusat, Daerah dan RS. Kemudian, RSD dan RS swasta dilindungi Kadinkes. dr. Kuntjoro, menyatakan ini bagian dari sistem politik yang dipilih negara ini, akibatnya peraturan Kemkes banyak yang tidak bisa diaplikasikan daerah.

Sesi Kedua yaitu membahas Fungsi Regulasi dan Pengawasan. Paper pertama yaitu Apakah RS surplus di Era BPJS? yang disampaikan oleh Dr. dr. Anastasia Susty Ambarriani. SE, AK.

Muncul indikasi RS Pemerintah biasa memberi pelayanan premium, lalu pelayanannya menurun usai BPJS. Sementara indikasi lain yang muncul ialah surplus, RS bisa disebut surplus jika klaim bisa menutup semua biaya (full cost), klaim menutup biaya langsung, tarif yang sekarang lebih tinggi dari yang sebelumnya, terjadi rekayasa dan fraud. Sementara, tujuan BPJS Kesehatan yaitu pelayanan kesehatan yang efektif, efisien masuk akal dengan kendali mutu.

Materi ini dibahas oleh dr. Arida Oetami, Kadinkes DIY, RS memiliki 25% fungsi sosial dari keseluruhan pelayanannya. Sementraa, Dinkes berfungsi merangkul seluruh pihak yang terkait (masyarakat-RS dan BPJS). Dr. Arida menyatakan sosialisasi JKN tidak bagus, maka terjadi banyak keributan. Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) penting segera dibentuk untuk melakukan pengawasan. Badan ini yang akan akan menjadi jembatan antara RS-masyarakat dan penjaminan.

Diskusi. Robert dari NTT menyatakan, Puskesmas di perbatasan belum siap melaksanakan BLUD karena minus SDM dan minus pengetahuan pengelolaan keuangan. dr. Arida berbagi pengalaman bahwa sosilaisasi BLUD harus terus digalakkan, namun kemungkin besar berhasil tinggi jika adbokasi dilakukan secara lunak. Dr. Susty menambahkan, ada banyak kekhawatiran JKN hanya akan dinikmati atau dapat diakses masyarakat kota atau dekat dengan pemerintahan.

Perwakilan dari Balitbangkes: penelitian kami lakukan untuk memperoleh bukti dan bukti untuk menyusun kebijakan. Dinkes bukan hanya regulator namun juga sebagai sosialisasi peraturan/program baru untuk masyarakat. Transformasi: RS bisa memberi pelayanan rujukan yang berkualitas. Hal ini dapat berjalan jjika didukung kebijakan pusat dan lokal. Sayangnya, melalui otonomi daerah, kesehatan menjadi komoditas politik. Penelitian pasca pelaksanaan BPJS memperoleh hasil, diantaranya: sosialisasinya belum baik, terjadi benturan kebijakan antara Pemda dan pusat terkait insentif nakes di lapangan. Kemudian, jumlah pasien langsung RS melonjak. Disusul pemeriksaan diagnostik meningkat. Muncul keluhan terhadap jasa yang akan diterima, meski belum diterima. Komplain pasien terkait prosedur verifikasi di RS. Komplain pasien terhadap obat yang harus diambil. Kesimpulan paparan Balitbangkes ialah transformasi jamkes dan pengelolaan RS di era otonomi daerah belum memberikan solusi maksimal untuk penurunan AKI dan AKB. Peraturannya perlu dikaji, kemudian pelaksanaan dan penegakkannya sudah sesuai belum? Rekomendasi untuk layanan kesehatan ialah peningkatan hardware dan software, Dinkes lebih berperan dalam komunikasi layanan masyarakat antar RS, sosialisasi JKN harus dilakukan secara meluas, kontrol teknis pelayanan RS harus digalakkan.

Ada beberapa poin yang dapat ditarik menjadi kesimpulan, pertama, fungsi regulator dilakukan Kemkes dan Dinkes, RS sebagai operator. Kedua, RS merupakan lembaga yang birokratis dan melaksanakan BLUD. Ketiga, BLUD mampu meningkatkan kemampuan RS di bidang keuangan, pelayanan dan manfaat untuk masyarakat. Maka yang menjadi pertanyaan apa perlu RS dikembalikan menjadi UPT Dinas? Keempat, Dinkes sebagai regulator dan pengawas. Kelima, JKN harus segera didampingi dengan pengawasan dan dievaluasi. Seluruh hal ini harus dilakukan karena desentralisasi bertujuan untuk pemerataan kesehatan di Indonesia.

Reportase Pertemuan Kedua Seminar Series Hit "Reformasi Kebijakan Pembiayaan Kesehatan"

Reportase Pertemuan Kedua Seminar Series Hit
"Reformasi Kebijakan Pembiayaan Kesehatan"

17 April 2014

17apr-a

Seminar Series Hit 'Reformasi Kebijakan Pembiayaan Kesehatan' telah digelar di hotel Santika, Jakarta pada Kamis (17/4/2014). Pembukaan diberikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD yang menyampaikan bahwa perlu ada identifikasi permasalahan dari penerapan sistem desentralisasi kesehatan. Prof. Laksono berharap pertemuan ini dapat merumuskan suatu rekomendasi sehubungan dengan kebijakan publik mengingat akan ada pergantian pemerintahan dalam waktu dekat. Implikasi dari perlunya rekomendasi ini adalah pengadaan seminar tentang sistem desentralisasi terkait dengan pembiayaan kesehatan, SDM, otonomi rumah sakit, pendidikan tenaga kesehatan, dan terakhir adalah skenario masa depan untuk sistem kesehatan. Langkah utama dalam reformasi kebijakan kesehatan adalah menyelesaikan usulan ini melalui diskusi Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia untuk menyatukan visi dan misi dan menuangkan dalam sebuah usulan tertulis sebelum pelantikan anggota DPR pada Agustus nanti sehingga bisa mengusulkan reformasi kebijakan kesehatan untuk masa pemerintahan yang akan datang.

JKN yang menetapkan sistem klaim INA-CBG pada RS memiliki kekurangan karena dengan penerapan sistem klaim maka sistem alokasi penganggaran hanya berdasarkan kelengkapan pelayanan dan tenaga medis RS tersebut. Selain itu, pembiayaan kesehatan yang mengandalkan dana dari luar seperti dari Global Fund, juga tidak semudah membalik tangan karena adanya syarat tertentu sebelum dana dikeluarkan. Pemda juga hanya mengalokasikan sedikit biaya untuk asuransi kesehatan masyrakatnya. Bagaiamana aspek pemerataan model alokasi anggaran? Bagaimana alokasi anggaran untuk preventif dan promotif? Bagaimana dengan peran BPJS? Berikut ini tiga teori dasar pembiayaan untuk memaparkan hal tersebut,

  1. Revenue colletion, merupakan proses menggali dana secara berkelanjutan. Siapa sajakah yang bisa menjadi sumber pendanaan?
  2. Pooling, akan disimpan dan diatur dimana dana yg dikumpulkan tersebut?
  3. Purchasing payment, dari dana yang dikumpulkan akan dibayarkan kepada siapa saja?

Dengan sistem JKN, diharapkan masyarakat yang kaya membantu masyarakat miskin, namun demikian tenyata JKN memiliki risk pool yang buruk karena pembayaran premi untuk golongan kaya yang rendah per bulannya namun sudah dijamin dengan fasilitas yang maksimal tanpa ada batasan waktu jaminan itu berlaku.

Materi dilanjutkan oleh Bapak Yani Haryanto, Subdit Harmonisasi Peraturan dan Penganggaran Kementrian Keuangan yang menyampaikan bahwa dalam sistem JKN sebenarnya PBI menggantikan fungsi Jamkesmas sehingga alokasi untuk warga miskin yang membutuhkan adalah tetap dari Kemenkes. Namun, meski total dana untuk pembiayaan kesehatan meningkat, keleluasan untuk mengelola dana tersebut menjadi terbatas.

Wahyu Nugrahaini dari Litbangkes menyampaikan bahwa prinsip dasar JKN adalah sistem gotong royong. Apakah JKN memiliki risk pool buruk? Ada perubahan besar dalam sistem kesehatan Indonesia yang beralih menjadi menganut sistem asuransi. Masa transisi ini memerlukan waktu, Adanya BOK dari APBN juga menjadikan penurunan anggaran kesehatan dan bukannya ditafsirkan sebagai dana pelengkap. Tahun ini juga ada dana bantuan desa yang berarti harus ada integrasi antara dana ini dengan dana Bok dan dana lainnya untuk implementasi di daerah tersebut

dr. Andi Afdal sebagai perwakilan Group MPKP BPJS Kesehatan, menyampaikan yang berbeda dariJjamkesmas dengan penerapan INA-CBG JKN adalah berkurangnya kesenjangan pembiayaan dokter spesialis antar tingkat RS sehingga tidak banyak dokter yang akan berkumpul di RS tipe yang lebih tinggi. Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD, menambahkan sebaiknya pool untuk yang kaya disendirikan dan tidak digabung dengan yang miskin untuk menjamin tidak terjadi adverse selection.

Dwijo Susilo dari UMJ mempertanyakan bagaimana menjamin kelanjutan para peserta untuk tetap membayar iuran meskipun sudah tidak sakit lagi. Lalu, BOK yang diberikan sebagian tidak melibatkan UKP, menurutnya akan lebih baik jika ada alokasi dana dari BPJS khusus untuk promotif dan preventif misal untuk screening hipertensi, thalasemi, dan Diabetes Melitus sehingga dapat mengurangi pengeluaran dana akibat komplikasi penyakit-penyakit tersebut.

Putu Eka Andayani, M.Kes dari PKMK UGM menyatakan bahwa yang menjadi masalah dari kurangnya dana APBD untuk kesehatan adalah pemekaran daerah karena menarik alokasi dana baru padahal bisa dialokasikan untuk pembanguan kesehatan. Sementara menurut Nyoman dari FK UNAIR, sifat JKN adalah sosial, sehingga diperlukan upaya agar dana yang berhasil dikumpulkan oleh BPJS tidak over utilisasi dengan cara penguatan sistem data informasi untuk mengevaluasi penggunaan biaya BPJS sehinga dapat mencegah kolapsnya BPJS.

Prof. Dr. dr. H. Alimin Maidin, MPH, Dekan IKM Unhas mempertanyakan mana yang benar, apakah 0,02 % atau 8,5% alokasi dana untuk promotif dan preventif. Meskipun demikian, tetap saja porsi ini terlalu sedikit karena diperlukan setidanya 20% dari alokasi untu upaya promotif dan preventif yang spesifik pada setiap penyakit. Transparansi harus dibuka sehingga setiap pemimpin dapat mengoreksi kesalahan atau kekurangani untuk pemerintahan mendatang.

Sebagai penutup, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD, menyampaikan tentang bagaimana strategi yang bisa dilakukan untuk memperjuangkan anggaran kesehatan yang lebih mementingkan upaya promotif dan preventif. Ada tiga langkah , yaitu

  1. Identifikasi sasaran peningkatan anggaran dana
    1. Kemenkes, Mungkin diperlukan pengkodean untuk anggaran khusus untuk promotif dan preventif. Usaha promotif dan preventif tidak hanya diberatkan pada unit promkes saja dan dilakukan dalam pelayanan kesehatan per individu.
    2. Lintas kementrian: seperti BKKBN, PU (Sanitasi, TB)
    3. Pemda : dinkes dan dinas-dinas lain, Diperlukan advokasi yang fasilitasi oleh universitas masing-masing.
    4. BPJS-Jamkesda, Diperlukan penguatan pelayanan primer, screening penyakit dan upaya preventif sekunder.
    5. Donor : Global Fund, Bill-Melinda Gates, CSR
    6. Masyarakat dan CSO
  2. Pengusahaan anggaran untuk program preventif dan promotif
    1. Dilakukan oleh orang ahli yang berpengaruh
    2. Menggunakan berbagai pendekatan
  3. Monev. Bagaimana evaluasi keberhasilan dari peningkatan anggaran ?

Perlu dikembangkan kemitraan antar kementerian dan juga dengan NGO dalam upaya promotif dan preventif. Perlu ada infiltrasi ahli promkes di setiap struktur pemerintahan Indonesia dari level desa hingga level di atasnya agar bisa menggunakan anggaran yang diterima dengan efesien dan efektif dalam merancang program untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.

 

Reformasi Dalam Pengorganisasian Rumahsakit

Dalam Seri Diskusi mengenai
Kebijakan Kesehatan Indonesia

April – Mei 2014

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM

menyelenggarakan

REFORMASI DALAM PENGORGANISASIAN RUMAH SAKIT

KAMPUS FK UGM, 23 April 2014
08.00 – 14.30 WIB

www.kebijakankesehatanindonesia.net
www.manajemenrumahsakit.net

 

 LATAR BELAKANG

Sistem kesehatan di Indonesia saat ini memasuki fase penting dengan diberlakukannya jaminan kesehatan nasional dan adanya rencana merevisi UU tentang desentralisasi kesehatan. Dua isu besar ini akan mempengaruhi kemampuan Indonesia dalam mengatasi tantangan double burden disease – dan pencapaian target MDGs. Disisi lain, Indonesia akan menghadapi pemilihan umum yang akan menentukan arah pembangunan kesehatan dalam lima tahun kedepan. Oleh karenanya, diperlukan upaya untuk mengawal perubahan dan mengumpulkan ide-ide berisi alternatif solusi dan skenario agar dapat mencapai hasil yang diharapkan.

Dalam sistem kesehatan, Rumah Sakit Daerah yang berjumlah sekitar 30% dari total fasilitas pelayanan kesehatan rujukan secara kumulatif turut berkontribusi pada pencapaian kinerja sistem rujukan dalam mengatasi angka kematian ibu dan bayi serta berbagai indikator kesehatan lainnya. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan pola pengelolaan kelembagaan yang telah mengalami perkembangan sejak awal tahun 1990-an. RS Daerah mulai mengenalsistem swadana setelah sebelumnya menggunakan mekanisme PNBP, yang menganggap RS sebagai lembaga birokrasi sebagaimana UPTD lainnya. Setelah terjadi reformasi pengelolaan keuangan negara, berbagai pelayanan publik terkena imbasnya, tidak terkecuali RS Pemerintah. Prinsip birokasi mulai perlahan digantikan dengan prinsip-prinsip bisnis yang sehat, dimana RS dikelola secara lebih efisien, akuntabel, transparan, serta mulai membuka diri untuk menerima mekanisme pasar.

Berdasarkan konsep reformasi pelayanan publik, kinerja sistem kesehatan dapat ditingkatkan dengan melakukan perubahan pada 4 aspek yaitu organisasi, regulasi, pembiayaan dan perilaku, yang dapat terjadi di level makro dan mikro. Pada level makro, muncul kebijakan desentralisasi di tahun 1999 yang berdampak pada restrukturisasi radikal di tingkat kabupaten kota. Karena perubahan justru menghasilkan kebingungan dan tidak efektif, maka tahun 1994 muncul UU yang mensentralisasikan kembali beberapa sektor, namun kesehatan tetap terdesentralisasi. Kebijakan ini diikuti dengan UU No 32/2004 mengenai dan PP No 41/2004 yang merupakan reformasi di level organisasi makro. Dengan kebijakan ini diharapkan tidak ada dikotomi antara UPK dan UKM dan Dinkes memegang peranan penting dalam perijinan dan regulasi. Di tingkat mikro, pengelolaan RS milik pemerintah daerah dilakukan dengan menerapkan PPK-BLUD, dimana kemampuannya sebagai operator diperkuat.

Dengan perkembangan yang terjadi saat ini, ada usaha untuk mengembalikan sistem kesehatan pada situasi sebelum desentralisasi, dimana RS Daerah menjadi bagian dari Dinas Kesehatan. Jika hal ini terjadi, maka artinya peran pemerintah sebagai regulator (Dinkes) dengan peran pemerintah sebagai provider pelayanan kesehatan akan tercampur aduk. Good governance akan sulit diwujudkan. Ditambah lagi dengan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional yang membutuhkan adanya sistem monitoring dan evaluasi agar dapat berjalan dengan baik. Dari berbagai diskusi dan pemberitaan, diketahui bahwa ada potensi terjadinya fraud dalam JKN, sehingga peran pengawasan menjadi semakin penting. Diskusi ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk menjaga agar reformasi dalam pengorganisasian RS dapat berjalan menuju penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

  Tujuan diskusi ini adalah untuk membahas mengenai:

  1. Bagaimanakah proses pengembangan otonomi RS? Studi dari PKMK (Health in Transition dan Asia Pacific Observatory)
  2. Bagaimana peran sistem pengawasan mutu pelayanan dan hukum?
  3. Bagaimanakah peran Dinas Kesehatan dalam pengawasan?
  4. Bagaimanakah Prospek Pengembangan DitJen BUK agar lebih fokus pada fungsi regulator?
  5. Mengapa terjadi surplus dalam era JKN. Apakah ada double financing?

 

PEMBICARA

Tim PKMK FK UGM

PEMBAHAS

  1. Dirjen BUK
  2. Dinas Kesehatan
  3. ARSADA
  4. Ketua Badan Pengawas RS
  5. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

 

 JADWAL

Waktu

Kegiatan/Topik

Narasumber/P.Jawab

08.00 – 08.30

Registrasi

 

08.30 – 09.00

Pembukaan:

Course Director

Sambutan Dekan/Wadek Bidang Penelitian dan Kemitraan FK UGM seklaigus membuka kegiatan Diskusi

 

09.00 – 09.15

Break

 

09.15 – 12.00

Pemaparan Hasil Penelitian di PKMK

Moderator: dr. Tiara Marthias, MPH

 
 

Otonomi RS Pemerintah di Indonesia – HiT Chapter

Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

 

Evaluasi Pelaksanaan BLUD: Studi Kasus di 5 RSUD – APO Case Study

Putu Eka Andayani, SKM, MKes

 

Pembahasan:

 
 

Peran Asosiasi RS Daerah dalam mengawal proses otonomi RSUD di era JKN

Slamet R Yuwono - Ketua ARSADA Pusat

12.00-13.00

Lunch

 

13.00 – 14.00

Fungsi regulasi dan pengawasan

Moderator: Putu Eka Andayani, SKM, MKes

 
 

Mengapa terjadi surplus dalam era JKN. Apakah ada double financing?

DR. Dra. Anastasia Susty Ambarriani, SE, AK

 

Peran regulasi dan pengawasan dan strategi penguatannya

dr. Arida Oetami, M.Kes

14.00 – 14.30

Kesimpulan dan Penutupan

 
 

Pemanfaatan hasil riset untuk pengambilan kebijakan bidang kesehatan

Balitbangkes

 

Penutupan

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D asd

 

 

 Peserta yang Diharapkan:

  1. Direktur RSUD
  2. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota
  3. Badan Pengawas RS Provinsi
  4. Lembaga-lembaga penelitian kebijakan dan manajemen kesehatan
  5. Dosen dan mahasiswa program S2 kebijakan dan manajemen pelayanan kesehatan
  6. Pihak lain yang berminat

Tempat Pelaksanaan:

Fakultas Kedokteran UGM
Kampus Bulaksumur, Sekip Utara, Yogyakarta

 

  Informasi dan Pendaftaran

Hendriana Anggi

Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Gedung IKM Sayap Utara Lt. 2, Fakultas Kedokteran UGM Jl. Farmako, Sekip Utara, Yogyakarta 55281
Ph. /Fax : +62274-549425 (hunting)
Mobile : +6281227938882 / +62813292786802

Email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

Informasi Live Streaming dan Webinar:

Seminar juga akan disiarkan secara live dan dapat diikuti secara gratis melalui salah satu dari website berikut:

www.kebijakankesehatanindonesia.net
www.manajemenrumahsakit.net