Pembukaan Kongres Dunia International Health Economic Association

Laporan Hari III

Hari ini, Senin 11 Juli 2011, Konggres resmi di buka. Konggres ini diikuti oleh 1900 peserta dari lebih 50 negara dan akan mempresentasikan 1100 makalah yang membahas berbagai isu terkait ekonomi kesehatan. Terdapat 9 makalah dari Indonesia, yang dipresentasikan oleh peneliti dari UGM, UI, dan Unpad. UGM diwakili oleh 5 makalah, UI 3 makalah dan Unpad 1 makalah.

Pada pembukaan kongres dipresentasikan Keynote speech dari Katherine Ho, Associate Professor dari Columbia University. Isu yang dibahas dalam keynote speech adalah mengenai pengaruh insentif dokter dalam memilih rumah sakit rujukan. Katherine Ho adalah peneliti yang mendapat penghargaan Kenneth J Arrow karena tulisannya mengungkap teori baru dalam ekonomi kesehatan. Dalam kongres ini juga ada beberapa pembicara yang di dunia ekonomi kesehatan cukup terkenal seperti Adam Wagstaff dan Martin Feldstein.

Datang ke kongres dengan ribuan makalah dan peserta seperti ini dapat diibaratkan datang ke supermarket atau departemen store. Kalau anda tidak punya rencana membeli sesuatu, anda akan bingung. Oleh karena itu dalam laporan kali ini saya hanya akan berbagi beberapa topik yang menarik dan relevan untuk kasus Indonesia, seperti topik-topik berikut ini.

Kemungkinan Amerika Serikat mempunyai Single payer Health Insurance

Sesi ini menarik karena saat ini RUU BPJS yang sedang diperdebatkan di  Indonesia akan menggabungkan asuransi kesehatan dalam satu lembaga. Sesi diselenggarakan dalam bentuk debat dengan pembicara William Hsiao dari Harvard University dan Pembahas Stepen Parente dari University of Minnesota, Menarik bahwa dalam debat tersebut terdapat dua kubu universitas yang mendukung dan menentang single payer system. Dalam argumentasinya Hsiao mengatakan bahwa single payer system sebenarnya mungkin di Amerika karena saat ini system Medicare (asuransi kesehatan untuk orang tua) dan Medicaid (asuransi kesehatan untuk orang miskin) juga sudah merupakan single payer. Namun Parente menganggap bahwa dengan single payer Amerika akan lebih dalam terjebak dalam defisit anggaran, pertumbuhan ekonomi akan terhambat dan “amerika akan kembali ke dalam depresi ekonomi”. Melihat perdebatan tersebut tampaknya ada kemiripan dengan Indonesia. Dan tampaknya perdebatan akan sangat panjang, seperti juga di Indonesia.

Inequity (ketidakadilan) dalam akses pelayanan kesehatan di Asia Pasific.

Sesi ini dibuat khusus untuk anggota Equitap, suatu jaringan peneliti dari berbagai negara Asia Pacific. Di sesi ini berbagai negara berbagi hasil penelitiannya mengenai inequity dalam pembiayaan kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia termasuk yang masih belum baik kinerjanya dalam menjamin equity dan equality. Indonesia termasuk negara yang menurut Ravindra Rannan-Eliya (Institute for Health Policy, Sri Lanka) pelayanan kesehatannya masih lebih banyak dinikmati oleh orang yang relatif kaya. Tidak seperti Hongkong yang, orang kaya ataupun miskin, dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan yang disediakan pemerintah. Hal itu juga terjadi di India dan Vietnam. Menariknya, di Vietnam, penduduk miskin dapat lebih mudah memanfaatkan layanan kesehatan rawat jalan daripada di Indonesia.  Namun tentu saja analisis ini memerlukan akurasi data. Sayangnya masih terdapat data yang kurang akurat yang harus diperbaiki.

Makalah Dari Indonesia

Pada hari Senin dipresentasikan makalah dari Dr. Budi Hidayat, dari Universitas Indonesia. Ahli ekonomi kesehatan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat ini meneliti dampak dari program keluarga harapan (PKH) terhadap perilaku mencari pelayanan kesehatan. PKH sebenarnya adalah pemberian uang kepada keluarga miskin agar mereka teratur melakukan pemeriksaan kesehatan, imunisasi dan persalinan ke tenaga kesehatan. Dr Budi Hidayat kemudian menganalisis apakah betul setelah dijanjikan imbalan uang, kelurga miskin betul-betul memanfaatkan pelayanan kesehatan. Analisisnya, dengan menggunakan teori dan perhitungan ekonometrik yang cukup rumit, membuktikan bahwa betul, terjadi peningkatan pemanfaatan layanan kesehatan pada masyarakat miskin. Pertanyaan yang harus dijawab adalah, apakah PKH perlu diteruskan? Hal ini karena saat ini masih dalam tahap uji coba. Dan apabila diteruskan bagaimana sumber pembiayaannya?

Selain itu terdapat presentasi dari Dr. Henni Djuhaeni dari Universitas Pajajaran Bandung. Dalam makalahnya Dr. Henni menyampaikan makalah mengenai upaya kabupaten/kota di propinsi Jawa Barat untuk menjamin kesehatan masyarakatnya. Setelah desentralisasi kesehatan, banyak daerah yang ingin membentuk lembaga Jaminan Kesehatan daerah. Bu Henni mendapatkan bahwa seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat saat ini sudah membentuk lembaga jaminan tersebut. Namun karena keinginan untuk membayar asuransi kesehatan dari masyarakat masih kurang dan dasar hukum pembentukan masih belum jelas, maka diperlukan upaya yang lebih keras.

Pengorganisasian Kongress

Satu hal yang dapat dipelajari dari penyelenggaraan kongres ini adalah dalam hal manajemen penyelenggaraan. Mengorganisasikan 1900 peserta dan 1100 makalah adalah bukan pekerjaan mudah. Untuk itu panitia telah menyiapkannya setahun sebelumnya. Teknologi internet sangat dioptimalkan pemanfaatannya. Semua pemberitahuan dilakukan lewat website dan email. Seluruh ruangan dilengkapi dengan jaringan wi-fi. Disediakan beberapa laptop statis untuk peserta apabila mereka ingin membuka email atau website. Pengaturan waktu presentasi dilakukan terintegrasi dari website. Panitia, yang diketuai Bill Swan, merekrut lebih dari 200 sukarelawan mahasiswa untuk membantu peserta. Kongres ini juga disponsori oleh 26 perusahaan dan lembaga termasuk International  Development Research Center, Canada; USAID dan lainnya.

Makalah Katherine Ho

The Effects of Conditional Cash Transfer Program on Basic Health Care                                               Services in Indonesia

Makalah Equity

Kuliah Umum Prof. Martin Feldstein dari Universitas Harvard.

Apa Peran Ahli Ekonomi Kesehatan dalam Pembangunan Kesehatan?

Martin Feldstein, Professor senior dari Harvard, mempertanyakan hal itu dalam kuliah umumnya di hari kedua Kongres iHea. Tentu saja, perannya sangat besar. Namun menarik kalau kita menyimak lebih jauh kuliah umum Prof. Feldstein. Disebutkan bahwa Amerika Serikat sampai pada keputusan untuk mengesahkan UU pelayanan kesehatan yang baru karena sumbangan para ahli ekonomi kesehatan. 

Feldstein menyebutkan bahwa salah satu  dasar pengambilan keputusan UU itu adalah prediksi-prediksi ekonometrik dari para ahli ekonomi kesehatan. Dari prediksi-prediksi tersebut tampak dalam 10 – 20 tahun mendatang berapa beban fiscal yang harus ditanggung pemerintah. Dan UU yang resminya disebut Patient Protection and Affordable Care Act ini diprediksikan akan menelan biaya $940 Milyar dalam 10 tahun dan mengurangi defisit anggaran $143 Milyar dalam 10 tahun pertama dan $1,2 trilliun dalam 10 tahun kedua.

Pemerintah Amerika Serikat yang sekarang berkuasa dari partai Demokrat memang dianggap cenderung beraliran “kiri” dan Harvard juga termasuk “kubu” demokrat tampaknya. Ciri-ciri dari aliran kiri ini adalah peran pemerintah yang lebih kuat dalam mengendalikan pasar. Sebaliknya Partai Republik adalah partai beraliran “kanan” yang menentang peran pemerintah yang terlalu besar. Tidak mengherankan kalau sekarang UU Patient Protection and Affordable Care Act ini diancam akan dianulir oleh Konggres yang dikuasai mayoritas partai republik.

Sekedar mengingatkan, UU SJSN di Indonesia telah ada sejak 2004 dan ditandatangani oleh Presiden Megawati, dari PDIP yang merupakan “keturunan”  PNI yang mengusung ideology “kiri”. Sampai saat ini UU tersebut dianggap belum dijalankan. Pemerintah sekarang berasal dari partai lain.

Makalah dari UGM

Pada hari ini UGM membawakan makalahnya yang berjudul “Different Impact after Different Management: the case of Health Insurance for the Poor in Indonesia”. Makalah di bawakan oleh dr. Sigit Riyarto, Mkes. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada sebelum tahun 2007, ketika program masih bernama Askeskin, orang miskin yang memanfaatkan pelayanan kesehatan lebih banyak daripada ketika setelah tahun 2008, ketika program menjadi Jamkesmas. Selain itu, pembayaran langsung (out of pocket payment) dari orang miskin lebih sedikit ketika program bernama Askeskin, dibandingkan ketika bernama Jamkesmas.

Salah seorang peserta menanyakan: Apakah anda sudah menyampaikan hasil penelitian ini kepada pemerintah anda? Dijawab: sudah, namun sampai sekarang belum ada tindak lanjut.

Komentar penanya: itulah mungkin bedanya antara negara maju dengan negara berkembang. Di negara maju, keputusan strategis didasarkan pada studi ilmiah serius dan didukung ahli-ahli yang teruji. Di negara berkembang keputusan didasarkan pada selera politisi dan lambat dijalankan.

(download makalah UGM)

Metodologi Ekonometrik

Kongres kali ini juga merupakan ajang para ahli ekonometri untuk menguji teori dan metode penelitian. Hampir sepertiga dari makalah yang disajikan adalah makalah tentang uji statistik dan metodologi. Sayangnya tidak banyak ahli di Indonesia yang mendalami hal ini. Padahal ini penting untuk pengambilan kebijakan di tingkat mikro maupun makro. Salah satu contohnya, untuk menentukan apakah pembayaran fee for service lebih memuaskan dokter dibanding pembayaran kapitasi? Logikanya bila pembayaran fee for service lebih memuaskan. Namun penelitian dari Canadian Health Service Foundation, salah satu sponsor acara ini, menemukan bahwa jumlah dokter yang lebih suka fee for sevice berkurang dari 50% di tahun 1995 menjadi sekitar 23% di tahun 2007. Untuk menentukan apakah hal itu betul perlu dibuat mathematical modelling yang tepat dengan memperhitungkan semua variabel yang dapat dikontrol atau dapat diperhitungkan. Dengan metode yang tepat dan modelling yang juga telah teruji, akan semakin sulit orang membantah temuan tersebut.

Metode ekonometrik juga penting untuk mengevaluasi kebijakan kesehatan yang telah dilakukan. Seperti laporan hari ke tiga kemarin, evaluasi Jamkesmas dan Askeskin sebenarnya telah dilakukan dengan uji yang cukup sahih. Dan hasilnya ketika bernama Askeskin, jumlah uang yang dikeluarkan ketika sakit lebih sedikit. Selain itu, metode ini penting juga untuk melakukan prediksi atau konsekuensi ekonomis ketika kebijakan akan dikeluarkan. Misalnya di Indonesia telah dikeluarkan kebijakan Jampersal (jaminan persalinan) namun sampai sekarang belum ada studi ekonometrik yang memprediksi berapa tahun akan dapat bertahan kebijakan tersebut? Faktor-faktor apa yang kemungkinan dapat berpengaruh sehingga orang memanfaatkan atau tidak memanfaatkan? Apakah anggaran yang direncanakan cukup? Modeling matematik-ekonometrik yang teruji untuk memprediksi hal-hal tersebut perlu diteliti. Namun salah seorang tokoh peneliti senior dari Indonesia meragukan studi semacam ini akan dilakukan di Indonesia. " Banyak kebijakan di Indonesia berdasarkan kepentingan sesaat " begitu katanya.

Makalah dari Indonesia

Hari terakhir dipresentasikan makalah dari DR Mardiati, dosen Universitas Indonesia yang mempresentasikan Tracking Expenditure on HIV-AIDS Program Intervention: Lesson Learned to Achieve Efficient and Sustainable Financing in Indonesia. Dalam penelitian ini terdapat temuan menarik: program AIDS semakin berkurang ketergantungannya dari proyek asing. Dulu tahun 2006 pemerintah hanya berkontribusi 26,58%, namun pada tahun 2008 sudah menjadi 41,96%. Seorang wakil dari Kementrian Kesehatan yang ikut mendengarkan berbisik: "kalau dihitung saham, pemerintah kita berarti masih minoritas ya, jadi ngga punya kekuatan mengambil keputusan". Disarankan oleh Bu Mardiati: sebaiknya ketergantungan asing semakin dikurangi.

Kongress iHea akhirnya ditutup oleh Thomas Getzen, Executive Director IHEA, dan kongres ke 9 akan diselenggarakan dua tahun lagi di Sydney. Selama kongres website kebijakankesehatanindonesia.net mengalami kenaikan kunjungan seperti tampak pada di bawah ini. Hal ini menunjukkan ketertarikan dari pemerhati kebijakan kesehatan. Mudah-mudahan website ini dapat menyumbangkan perannya untuk menyebarkan informasi terbaru dan dapat menjadi salah satu dasar pengambilan keputusan.

Statistik Web untuk Kegiatan Toronto dapat dilihat disini

Strategies for Private Sector Engagement and Public Private Partnership (PPP) in Health

Background
Important changes have occurred in Asian countries and these changes involve not only changes in the landscape of the health sector but also increased challenges in strengthening health systems. In many countries in Asia, the private sector as a key resource and player in addressing health sector concerns has become increasingly important.Not only in Asia but around the world, the public sector has successfully engaged the private sector in addressing health system concerns. A multiplicity of health challenges, coupled with resource constraints, make it imperative for professionals in the public sector to learn how to successfully engage the private sector in order to achieve health sector goals.

This course builds on existing approaches in strategies for private sector engagement and public private partnerships in health and aims at providing participants with analytical and policy-making tools that would better enable them to engage the private sector. It will provide participants with a framework both for analyzing the opportunities for engaging the private sector in a health system as well as for designing strategies and approaches for engaging the private sector to achieve national health system goals.

This year, a new module on private sector engagement in the hospital sector has been added; topics covered in this module include: contracting and purchasing, hospital PPP management and implementation, and capacity planning. Thus, in order to allow for broader discussion of the pertinent issues in PPPs, we will offer participants two tracks to choose from,
hospitals and primary care. The course is designed as a regional course and as such draws heavily on Asian experiences in order to provide a practical and realistic perspective.

Goal
The goal of the course is to provide participants with an understanding of when and how to use the different available strategies and policy instruments for engaging the private health sector in attaining health system goals, particularly in the Asia region, the focus being on hospital and primary care.
 

Objectives

By the end of the course, participants are expected to:

  • Understand how to conduct a private health sector assessment in order to develop strategies for engaging the private sector in attaining health goals, the focus being on primary care and hospitals
  • Understand when and how to use key tools such as regulation, contracting, vouchers and quality assurance/ accreditation for engaging the private sector
  • Understand what is involved in using each of the policy tools to be covered, including  implementation and monitoring challenges
  • Gain understanding about how to draft, implement, monitor and evaluate a sound contract that underlies the partnership
  • Be able to apply the knowledge learned in order to identify opportunities for private sector engagement and PPPs in hospital and primary care in their respective coun tries
  • and develop action plans for engaging the private sector in order to better achieve specifi c health system goals.

 

Participants

  • The primary target audiences for this course are:
  • Senior and midlevel policy makers at national and sub-national level
  • Health policy implementers
  • Health sector managers working with the private sector, and
  • Regulators


The following might also fi nd this course useful:

  • Heads/Directors of Private health care organization associations
  • Hospital managers
  • Faculties and researchers in health policy
  • International organizations/donors representatives.

Course Content

  • A framework to think systematically about publicprivate collaboration in hospital and primary care
  • Assessment of the private health sector within the larger health system and reform agenda
  • Mechanisms to improve the chances of achieving national health goals through partnership with the private sector
  • Case studies to provide a better understanding of private sector engagement in the health system

 

Team of Trainers and Resource Persons

  • World Bank Institute, Washington DC, USA
    Peter Berman, April Harding, Jack Langenbrunner, Tazim Mawji and Rui Sousa Monteiro
    Dominic Montagu, University of California, San Francisco, USA
  • Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand
    Siripen Supakankunti, Jiruth Sriratanaban, Chanetwallop Nicholas Kumthong and Chantal Herberholz
  • Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
    Laksono Trisnantoro and Shita Dewi
  • Asian Institute of Management, Makati City, Metro Manila, Philippines
    Maria Elena B. Herrera and Francisco Roman
  • Aga Khan University, Karachi, Pakistan
    Syed Farid-Ul-Hasnain
  • BRAC University, Dhaka, Bangladesh
    Malabika Sarker
  • Chinese University of Hong Kong, Hong Kong SAR,
    People’s Republic of China
    William Ho and EK Yeoh
  • Other resource persons from other ANHSS members
     

Approach and Methodology
This week long program combines a series of lectures, hands-on case studies, team assignments, group discussions and one fi eld visit. Training materials will feature readings covering key concepts and techniques, case studies, and in-depth background readings. The course will provide the participant an opportunity to develop action plans for engaging the private sector and applying PPP concepts and tools in the areas of hospital and primary care.

 

Download Short Course Material :

 

Semiloka Revisi PP 38/2007

 
 
 
Semiloka
Revisi PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan dan NSPK:
Implikasinya terhadap kepemimpinan Kepala Dinas Kesehatan
serta staf Kementerian Kesehatan
Diselenggarakan oleh
KEMENTERIAN KESEHATAN RI

Bekerjasama dengan
Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM
Program Pascasarjana IKM
Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan (KMPK) FK UGM
Asosiasi Dinas Kesehatan (Adinkes)


Kamis – Sabtu, 30 Juni-2 Juli 2011

Tempat: Hotel Saphir Yogyakarta
Jl. Laksda Adi sucipto No. 38 - Yogyakata



Pengantar

Kebijakan desentralisasi kesehatan di Indonesia telah berjalan lebih dari 10 tahun, sejak mulai berlaku di tahun 2000. Masalah yang masih terus dihadapi adalah kejelasan mengenai pembagian wewenang pemerintah pusat, propinsi, dan kabupaten kota. Dalam proses pelaksanaan kebijakan desentralisasi, pada tahun 2004 telah dilakukan amandemen UU yang menghasilkan UU no 32 tahun 2004 dan PP No 38 tahun 2007 tentang pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan daerah. Saat ini pemerintah merasakan bahwa perlu ada perubahan UU no 32 tahun 2004 yang mungkin akan merubah pembagian wewenang yang diatur PP no 38 tahun 2007 termasuk NSPKnya.


Dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri telah mengantisipasi perubahan tersebut dengan membentuk Kelompok Kerja dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 420/MENKES/SK/II/2011 tertanggal 24 Februari 2011 tentang Pembentukan Kelompok Kerja (POKJA) Harmonisasi  Peraturan Menteri Kesehatan Terhadap Peraturan Daerah. Salah satu tugas POKJA Harmonisasi adalah melakukan analisis terhadap peraturan di lingkungan Kementerian Kesehatan yang bersinggungan dengan Peraturan Daerah. Dalam kegiatannya POKJA Harmonisasi telah melakukan serangkaian pertemuan  dengan Unit Utama di lingkungan Kementerian Kesehatan di Bogor untuk membahas rancangan revisi PP 38/2007 dan NSPK.

Dalam konteks tersebut, diperlukan pertemuan lanjutan antara Kementerian Kesehatan yang bekerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri, KMPK-UGM dan Adinkes untuk memberikan masukan mengenai antisipasi perubahan PP 38/2007. Masukan tersebut diharapkan berasal dari pemerintah daerah (khususnya pimpinan Dinas Kesehatan) di Indonesia dan berbagai pakar dari perguruan tinggi.

Disamping itu diperlukan persiapan untuk pengembangan kepemimpinan  Kepala Dinas Kesehatan dalam mengantisipasi perubahan wewenang pemerintah pusat dan propinsi-kabupaten/kota. Dengan demikian diperlukan suatu pembahasan mengenai kepemimpinan di Dinas Kesehatan melalui kegiatan Semiloka Revisi PP 38/2007tentang Pembagian Urusan dan NSPK : Implikasinya terhadap kepemimpinan Kepala Dinas Kesehatan serta staf Kementerian Kesehatan.


Tujuan Semiloka
1.    Mengkaji draft revisi PP38/2007 dan NSPK dari Kementerian Kesehatan;
2.    Memberi masukan ke Kementerian Kesehatan
3.    Membahas implikasi perubahan terhadap kepemimpinan Dinas Kesehatan dan Kementerian Kesehatan
 

 

Jadwal Kegiatan

Peserta yang diharapkan:
-    Pimpinan dan Pejabat Eselon II dan III Kementerian Kesehatan
-    Kepala Dinas Kesehatan dan Pejabat Struktural Eselon III Dinas Kesehatan Propinsi
-    Kepala Dinas Kesehatan dan Pejabat Struktural Eselon III Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
-    Direktur Rumah Sakit Daerah / Kota
-    Peneliti dan pengamat kebijakan dan manajemen kesehatan

 

INFORMASI PENDAFTARAN

 

Ratna Sary

Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Telp/Fax. +62274-542900, 547659
Mobile. +628164261996
Email. This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

Angelina Yusridar
Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Telp/Fax. +62274-549425 (hunting)
Mobile. +628111498442
Email. This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

RSVP :
DR. Dra Paudah Darmi : 081210777006
Dr. Emilia Arina : 082114324783
Dr. C. Dewi Rusiana : 081804222180

Biaya pendaftaran:
Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) per orang selama 3 hari kegiatan. Fasilitas: Seminar Kit, CD Materi, sertifikat dan konsumsi.

 

silahkan klik untuk pendaftaran online

Daftar Hotel yang Terdekat dengan Hotel Saphir Yogyakarta


Mohon dapat menghubungi panitia jika menghendaki pemesanan kamar di tempat lokasi semiloka yaitu Hotel Saphir Yogyakarta

 

DAY I - 30 Juni 2011

DAY II - 1 Juli 2011

08.30-11.30 : Mengkaji draft revisi PP38 dan NSPK oleh Unit-unit Utama Kementerian Kesehatan
 1. Kajian dari Setjen
 2. Kajian dari Badan PPSDM 
 3. Kajian dari Badan Litbangkes
 4. Kajian dari Ditjen P2PL
11.30-13.30 : ISHOMA
13.30-15.00 : Panel Hasil Diskusi Kelompok
15.00-15.30 :
Coffe Break
15.30-18.00 : Pengembangan kepemimpinan kepala dan staf Dinas Kesehatan serta Kementerian Kesehatan

Narasumber :

:
  1. Prof.dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc. Ph.D
  2. Badan PPSDM
18.00-19.00  : ISHOMA
19.00-21.00  :

Lanjutan Diskusi tentang Pengembangan kepemimpinan kepala dan Staf Dinas Kesehatan serta Kementerian Kesehatan

Pemaparan hasil pembahasan revisi PP 38/2007 dan NSPK

 

The Private Sector in Health

Pengantar
International Health Economics Association (iHea) saat ini sedang menyelenggarakan kongres dunia ke 8 di Toronto Kanada. Dr. Sigit Riyarto bersama dengan Shita Listya Dewi  MPH, dr Hafidz dan ibu Dyah Ayu M.Kes adalah utusan UGM dalam kongres tersebut. Kongres ini rutin di selenggarakan di berbagai belahan dunia tiap dua tahun sekali dan kali ini tema kongres adalah Transforming Health and Economics. Sebelum kongres terdapat beberapa symposium dengan topik-topik tertentu. Dr. Sigit Riyarto akan melaporkan hasil kunjungannya dalam beberapa seri tulisan sebagai berikut.

Simposium Pre Kongres, Sabtu 9 Juli 2011. Sheraton Center Toronto

“The Private Sector in Health”

Simposium ini membahas peran sector swasta dalam pembangunan kesehatan di berbagai negara. Dalam symposium ini Shita Listya Dewi dari PMPK UGM menyajikan makalahnya mengenai “Swastanisasi” RSUD di DKI Jakarta. Selain itu juga terdapat 22 presentasi lain dari berbagai negara mulai dari Ghana, Australia sampai Amerika Serikat.Abstrak dari symposium ini dapat di unduh disini

Secara umum symposium ini membahas berbagai kasus dan ingin menjawab bagaimana swasta dapat berperan dalam system kesehatan. Menarik untuk disimak bahwa beberapa sponsor acara ini adalah lembaga yang sering “dicurigai” mempromosikan system ekonomi pasar seperti USAID dan Rockefeller Foundation dari Amerika Serikat. Oleh karena itu, salah seorang presenter dari negara Afrika sempat terkejut ketika ditanya “bagaimana anda menjelaskan posisi anda sebagai peneliti yang disponsori lembaga donor pro pasar dan anda menemukan bahwa sector swasta punya kontribusi positif terhadap system kesehatan anda”. Presenter tersebut menjawab bahwa walaupun penelitiannya disponsori USAID, namun ia berusaha seobyektif mungkin.

Sektor swasta ternyata sangat dominan di negara dengan pendapatan menengah ke bawah. Menurut Dominic Montagu (University of California, San Francisco. Global Health Group), sector swasta merupakan mayoritas pemberi pelayanan kesehatan rawat jalan di Asia Selatan dan Asia Tenggara, setengah PPK di Sub Sahara Afrika adalah dari swasta namun hanya minoritas di Amerika Latin serta Eropa. Selain itu, di negara berkembang memang sudah ada persepsi bahwa pelayanan swasta lebih baik. Sebuah penelitian di Zambia yang dilakukan oleh Ilana Ron dari Abt Associates Inc.. International Health, menemukan bahwa “kualitas” layanan HIV dan AIDS lebih baik sehingga dikunjungi lebih banyak orang. Nampaknya persepsi itu juga ada di Jakarta, sehingga tidak mengherankan bahwa di Jakarta pernah ada upaya “swastanisasi” RS daerah. Status RSUD Pasar Rebo, RSUD Cengkareng dan RSUD Haji Pondok Gere pada tahun 2005 menjadi PT berdasarkan peraturan daerah. Walaupun kemudian peraturan daerah tersebut dicabut dan kepemilikan RSUD kembali ke pemda DKI. Sayangnya menurut Shita Listya Dewi, yang melakukan penelitian tersebut, semua kebijakan perubahan status tersebut berdasarkan pertimbangan politis. Pada saat diputuskan untuk berubah menjadi PT, DPRD Jakarta mendasarkan keputusannya pada laporan-laporan media bahwa RSUD tidak responsive, tidak ramah, terlalu lama waktu tunggu dan lain-lain. Dan ketika diputuskan untuk kembali menjadi milik Pemda, salah satu dasarnya adalah karena tuntutan dari karyawan PNS yang terancam diminta pensiun dini. Belum terdapat bukti empiris yang cukup untuk mengevaluasi kinerja sebelum dan sesudah menjadi PT. Namun Shita menemukan bahwa “jumlah pasien tidak berubah banyak”.

Secara umum, presenter dari negara-negara lain menemukan bahwa sector swasta harus diikutsertakan dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Pemerintah yang terlalu sibuk memberikan pelayanan tidak akan sempat melakukan “Pembinaan” (stewardship) yang baik. Namun peran swasta yang terlalu dominan akan mengorbankan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu perlu keseimbangan peran (public-private mix) yang tepat. Demikian diungkapkan oleh Julio Frenk, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat di Harvard University, ketika memberikan kuliah penutup pada Simposium ini.(Power point dari Julio Frenk dapat diunduh di sini)