Virus flu burung H7N9 di Cina membuat Indonesia makin waspada

Korban tewas akibat flu burung jenis baru di Cina bertambah menjadi 9 orang dan membuat negara-negara lain semakin waspada.

Pemerintah Indonesia sendiri memperketat pengawasan di pintu masuk penumpang dari Tiongkok.

Departemen Kesehatan RI menerbitkan surat edaran ke semua dinas kesehatan propinsi untuk memperketat pengamatan dan respon dini di bandar udara dan pelabuhan internasional terhadap penumpang yang baru tiba dari Tiongkok.

Petugas di bandara dan pelabuhan diminta melakukan pemeriksaan khusus terhadap penumpang yang baru tiba dari Tiongkok. Jika ditemukan penumpang dengan keluhan batuk dan demam harus segera di bawa ke puskesmas terdekat.

Kebijakan ini diberlakukan menyusul krisis flu burung jenis baru yang tengah melanda Cina. Kantor berita Xin Hua melaporkan hingga Rabu kemarin, virus flu burung H7N9 telah menjangkiti 28 orang dan menyebabkan 9 orang tewas di negara itu.

(sumber: www.radioaustralia.net.au)

Dokter Asing ASEAN Sebaiknya Ditempatkan di Daerah

11aprPasien dan pelayanan rumah sakit (Jakarta, 11/4/2013)Jakarta-PKMK. Dokter asing yang masuk ke Indonesia di pasar bebas ASEAN mulai tahun 2015, sebaiknya ditempatkan di lokasi di luar kota besar, khususnya lokasi yang masih kekurangan dokter. Dengan demikian, persoalan kekurangan dokter di Indonesia berkurang, ungkap Arif Minardi, Anggota Komisi IX DPR RI (11/4/2013). Menurut legislator dari Partai Keadilan Sejahtera itu, sangat tidak tepat bila dokter asing ASEAN nantinya berpraktek di kota besar. Sebab, bisa saja dokter lokal kemudian tergeser ke kawasan luar kota. Bila hal itu terjadi tentu sangat tidak adil. "Sebab, dokter kita kan memulai karir di daerah non-kota, kok tiba-tiba dokter asing bisa langsung praktek di kota besar," ucap Arif.

Pengaturan penempatan dokter asing ASEAN harus memperhatikan faktor psikologi masyarakat Indonesia yang menganggap segala hal berbau asing berstandar lebih baik. Padahal, dokter lokal pun sudah menempuh pendidikan dengan standardisasi tertentu. "Pemerintah Indonesia harus memperhatikan faktor psikologi masyarakat tersebut," dia berkata. Bisa saja saat ini negara ASEAN tersebut kelebihan jumlah dokter. Kemudian, mereka berniat ekspansi ke Indonesia yang masih kekurangan dokter. "Memang kita kekurangan dokter. Tapi itu kan untuk daerah-daerah tertentu. Nah, Pemerintah Indonesia harus benar-benar memerhatikan hal ini dalam menerima dokter asing ASEAN," ungkap Arif. Pemerintah Indonesia pun perlu lebih cermat dalam mendistribusikan dokter lokal. Seharusnya mereka yang mau praktek di daerah mendapat kompensasi tinggi. Misalnya gaji senilai Rp 25 juta per bulan. Memang dengan demikian Pemerintah Indonesia keluar biaya banyak. Namun itu tidak masalah demi kepentingan masyarakat di lokasi terpencil.

BPJS Kesehatan Belum Perhatikan Anak Jalanan

Jakarta - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang tinggal 268 hari lagi akan dilaksanakan, dinilai belum memperhatikan hak anak telantar dan jalanan. Dengan sistem pendataan orang miskin dan tidak mampu yang semerawut saat ini diperkirakan anak-anak tanpa pendampingan ini akan terabaikan.

Anggota Presidium Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) Timboel Siregar mengatakan, dengan pendataan orang miskin dan tidak mampu yang berorientasi pada keluarga, maka anak-anak tanpa orang tua atau pendampingan, seperti anak telantar, jalanan, yang tinggal di kolong jembatan, sebagian besar dipastikan belum masuk sebagai PBI.

PBI adalah orang miskin dan tidak mampu yang iuran dalam BPJS Kesehatan, dibayarkan oleh negara. Dikhawatirkan anak tanpa pendampingan ini akan mengalami kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan gratis.

Data Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011 yang divalidasi Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menyebutkan jumlah orang miskin dan tidak mampu sebanyak 97,6 juta jiwa. Tetapi, pemerintah sudah memutuskan hanya mengkaver 86,4 juta jiwa sebagai PBI dalam BPJS Kesehatan.

"Anak telantar adalah bagian dari kemiskinan, tetapi bagaimana mereka akan mendaftarkan diri sendiri. Sementara data orang miskin sekarang pun semrawut, dan pemerintah seenaknya pangkas jumlah yang mestinya ditanggung," kata Timbul pada acara diskusi Forum Komunikasi SJSN, yang digelar Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), serta Lembaga Analisis Kebijakan dan Advokasi Perburuhan (Elkape), di Jakarta, Selasa (9/4).

Menurut Timboel, pada saat dilaksanakannya BPJS Kesehatan per 1 Januari 2014 nanti banyak orang miskin tercecer dan tidak mendapatkan pelayanan. Oleh karena itu, serikat buruh yang tergabung dalam Majelis Perserikatan Buruh Indonesia (MPBI), KAJS, dan BPJS Wacth mendesak pemerintah agar memperluas cakupan kepersetaan. Dari rencana pemerintah untuk mengkaver sekitar 121 juta jiwa pada awal operasional, harus ditingkatkan menjadi 150 juta.

"Cakupan kepesertaan harus diperluas, sehingga ketika anak terlantar membutuhkan juga mendapat pelayanan. Sejauh ini tidak ada rencana pemerintah untuk membuat sebuah mekanisme pelaporan bagi anak-anak

telantar ini, untuk melapor jika memang tidak terdaftar. Kalau pun anak telantar dioorganisir oleh satu kelompok, kita harus menjamin bahwa rumah sakit siap menerima mereka ketika membutuhkan pelayanan," katanya.

Dalam berbagai kesempatan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi maupun jajarannya beralasan tidak semua orang miskin masuk sebagai peserta Jamkesmas, yang nantinya sebagai PBI, karena keterbatasan anggaran.

Kementerian Keuangan beralasan APBN hanya menyanggupi sekitar Rp 16 triliun lebih untuk membayarkan iuran bagi 86,4juta jiwa atau Rp 15.500 per orang per bulan.

Padahal dengan total APBN yang diperkirakan mencapai Rp 1.900 triliun pada 2014, maka alokasi anggaran untuk PBI ini dinilai masih sangat kecil yakni hanya sekitar 0,84 persen dari APBN. Dan kalau pun dinaikan menjadi Rp 25 triliun untuk 97,6 dengan iuran Rp 20.200 per orang per bulan, hanya menyedot 1,31 persen dari APBN.

(sumber: www.beritasatu.com)

Sektor Kesehatan Jadi Prioritas Pengawasan KPPU

Ketua KPPU (ketiga dari Kiri) dalam rapat di komisi VI DPR RIJAKARTA, PKMK - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk tahun ini menjadikan sektor kesehatan sebagai salah satu prioritas pengawasan. Adapun sektor lain yang diprioritaskan adalah pangan, energi, infrastruktur, dan keuangan, ungkap Nawir Messi, Ketua KPPU di Jakarta (10/4/2013). Dalam rapat dengan Komisi VI DPR RI, Nawir mengungkapkan bahwa ini pertama kali sektor kesehatan menjadi isu prioritas bagi KPPU. Sebelum ini, sektor kesehatan dimonitor bersamaan dengan kartel secara umum. Secara terpisah, Ahmad Kaylani, Kepala Bagian Kerjasama Kelembagaan dan Publikasi Biro Hubungan Masyarakat dan Hukum KPPU, menjelaskan sejumlah hal yang dimonitor pihaknya dari sektor kesehatan. Pertama, harga obat di Indonesia yang relatif mahal. Kedua hal tersebut berpotensi mengurangi tingkat kesejahteraan masyarakat.

Jenis obat generik bermerek hanya ditemui di Indonesia. KPPU mengasumsikan bahwa obat generik bermerek merupakan kiat dari pelaku usaha untuk mengatrol harga obat generik. Di negara lain, jika masa berlaku obat paten telah habis, otomatis obat tersebut menjadi obat generik yang harganya murah. Bukan menjadi obat generik bermerek, ungkap Kaylani. Hal kedua yang membuat sektor kesehatan diprioritaskan KPPU adalah mekanisme pengadaan alat kesehatan yang kurang efisien. Di beberapa RSUD ataupun RSU, ada pengadaan alat kesehatan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. "Ada pula yang sumbernya dari pinjaman Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah," kata Kaylani. Sistem lelang pengadaan alat kesehatan di rumah sakit tersebut rawan oleh mark up harga. Hal ini juga rawan persekongkolan antar-para peserta tender. Hal tersebut bisa membuat manajemen RS tidak efisien. "Selain menyubsidi pasien, pihak rumah sakit juga bisa memenuhi inefisiensi dalam pengadaan alat kesehatan tersebut," ujar Kaylani.

Penjualan Obat Suplemen Herbal MLM Tumbuh 30 Persen

Thomy Setiawan, pengamat industri MLM saat dimintai keterangan tentang MLM Obat (Jakarta, 10/4/2013)Jakarta-PKMK. Penjualan obat suplemen herbal oleh perusahaan multilevel marketing (MLM) di Indonesia naik signifikan. Sejumlah perusahaan MLM besar yang mempunyai basis distribusi kuat mencatatkan pertumbuhan sekitar 30 persen di tahun 2012, ungkap Thomy Setiawan, Pengamat industri MLM (10/4/2013)

Thomy menjelaskan via telepon, jika dibandingkan ketika dipasarkan sebagai obat over the counter (OTC), pemasaran obat suplemen herbal melalui perusahaan MLM memiliki kelebihan. Antara lain, biaya promosi dan edukasi pasar lebih kecil. Hal ini merupakan keuntungan tersendiri karena biaya promosi yang tinggi tidak menjamin penerimaan produk oleh konsumen.

Country manager PT Dwi Era Natural itu mengatakan, jalur OTC pun membutuhkan biaya distribusi yang tinggi. Faktor ketersediaan barang di level pengecer membutuhkan biaya yang tidak sedikit. "Sementara, seluruh aktivitas berbiaya tinggi itu bisa dilakukan sekaligus oleh para distributor perusahaan MLM. Mereka memiliki 'militansi' tinggi bila didukung sistem kompensasi yang menggiurkan," ucap dia. Dengan keunggulan itu, tidak heran bahwa usai kesuksesan pemasaran obat suplemen herbal melalui perusahaan MLM, produk serupa muncul melalui jalur OTC. Dengan kata lain, setelah pasar terbukti menerima satu produk via jalur MLM, barulah produk serupa muncul di jalur OTC.

Ia menjelaskan sejumlah contoh tentang itu, antara lain, jus herbal mengkudu (jus noni) dipasarkan lebih dulu oleh satu perusahaan MLM. Hal serupa terjadi pada jus herbal manggis. "Vitamin C jenis Ester C populer lebih dulu via jalur MLM dan kini di jalur OTC ada setidaknya lima merek berbeda," kata alumnus Fakultas Teknik Universitas Indonesia itu. Kini bisa dikatakan bahwa mayoritas obat suplemen herbal di perusahaan MLM merupakan produk impor. Hal ini terjadi karena produk tersebut sudah melalui proses riset dan pengembangan yang lebih maju, sehingga varian yang ditawarkan banyak. "Tapi, sekarang institusi yang memformulasikan suplemen herbal dengan baik mulai muncul di Indonesia. Umumnya didukung oleh universitas ternama," Thomy mengatakan.

Menkeu Upayakan Dana Bencana Rp 1,3 Triliun Disetujui

rapat menkeuRapat Menkeu dengan Banggar DPR RI tentang Dana Bencana (Jakarta, 9/4/2013)Jakarta-PKMK. Agus D. Martowardojo, Menteri Keuangan RI akan mengupayakan anggaran penanggulangan bencana untuk Badan Nasional Penanggulangan (BNPB) senilai Rp 1,3 triliun cepat disetujui Badan Anggaran (Banggar) DPR RI. Untuk itu, Menteri Agus akan meminta agar Syamsul Maarif, Kepala BNPB hadir segera dalam rapat dengan Banggar. "Kami usahakan agar rapat bisa berlangsung lagi sebelum masa reses DPR RI pada 12 April 2013 mendatang. Hal itu didampingi kepala BNPB," ungkap gus dalam rapat dengan Banggar di Jakarta (9/4/2013).

Sebelumnya, dalam rapat itu, Menteri Agus menjelaskan bahwa pihaknya bersama BNPB mengajukan penyetujuan anggaran penanganan bencana sebesar Rp 1,3 triliun ke Badan Anggaran. Dana tersebut terdiri atas dana siap pakai on call sebesar Rp 1 triliun serta dana tambahan Rp 300 miliar. Adapun peruntukan dana tambahan itu untuk pembangunan sodetan dari Kali Ciliwung (Jakarta) ke saluran Kanal Banjir Timur. Ahmadi Noor Supit, Ketua Banggar DPR RI menambahkan persetujuan pencairan dana tersebut sangat memerlukan kehadiran ketua BNPB. Bencana yang terjadi di Indonesia banyak, dan Badan Anggaran ingin mengetahui sejumlah hal terkait anggaran itu. Antara lain, bentuk mekanisme penanganan bencana melalui anggaran itu. "Tidak semua bencana di Indonesia ditangani dengan anggaran BNPB. Kami ingin tahu tentang itu dan tentunya kehadiran ketua BNPB sangat diperlukan," kata politisi dari Partai Golongan Karya (Golkar) itu.

Sementara, sebelum Ahmadi mengetokkan palu menandai penundaan persetujuan anggaran, sejumlah interupsi muncul dari anggota Banggar. Satu diantaranya, ia meminta agar sebelum masa reses DPR RI, anggaran dana siap pakai on call disetujui sementara anggaran tambahan tidak. Hal Itu dengan pertimbangan bahwa bencana bisa terjadi sementara masa reses berlangsung.Adapun Anton Sihombing mengatakan, "Menteri keuangan sudah paham kondisi fiskal. Maka sebenarnya untuk apa kita mendebatkan hal itu. Toh dengan sekali ketok palu, persoalan selesai. Kita harus mencari jalan keluar."

Menteri Agus menyatakan memahami penundaan persetujuan itu. Di akhir tahun 2012, pembahasan serupa direncanakan berlangsung, namun kepala BNPB tidak hadir seperti halnya hari ini. "Anggaran BNPB itu punya banyak kekhususan, Dalam pencairan mendapatkan banyak kemudahan," kata menteri yang Mei nanti mulai menjabat posisi gubernur Bank Indonesia itu.

5 Aspek Pengendalian Hepatitis di Indonesia

1 dari 10 penduduk Indonesia pernah terinfeksi Hepatitis B

Jakarta - Resolusi 63.18 menyatakan bahwa Hepatitis virus menjadi salah satu agenda prioritas WHO. Untuk menindak lanjuti resolusi itu, Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kemenkes RI, Tjandra Yoga Aditama di Jakarta (8/4), mengatakan, perlu mengkaji berbagai aspek lain dari Pengendalian Hepatitis.

Kata Tjandra, seperti (1) imunisasi pada remaja dan dewasa, (2) deteksi dini, (3) akses diagnostik dan pengobatan yang terjangkau, (4) keterpaduan antara progam Hepatitis, HIV-AIDS dan KIA serta (5) aspek pembiayaan kesehatan yang saat ini sudah dilakukan oleh Jamkesmas maupun Askes kedepannya diharapkan dapat menjadi bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Tjandra menjelaskan, hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007 menunjukkan prevalensi Hepatitis B sebesar 9,4%. Ini berarti 1 dari 10 penduduk Indonesia pernah terinfeksi Hepatitis B. Bila dikonversikan dengan jumlah penduduk Indonesia maka jumlah penderita Hepatitis B di negeri ini mencapai 23 juta orang.

Hepatitis B adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati, tambah Tjandra. Salah satu cara pencegahannya adalah dengan pemberian imunisasi. Pengendalian Hepatitis B dimulai dari penanganan pada Ibu hamil yang mengidap Hepatitis serta pemberian imunisasi pada bayi yang dilahirkan akan memutus mata rantai pertama penularan penyakit Hepatitis. Pemberian imunisasi pada bayi ini merupakan langkah kunci dalam menciptakan generasi baru yang bebas Hepatitis B.

Sejak dua dasawarsa yang lalu, Indonesia mulai melaksanakan Imunisasi Hepatitis B. Kegiatan ini diawali dengan pilot project imunisasi pada bayi yang dilakukan selama 10 tahun dari tahun 1987-1997, kegiatan ini dimulai di Pulau Lombok yang kemudian dikembangkan di provinsi-provinsi lain. Pada bulan April 1997 imunisasi Hepatitis B masuk dalam program imunisasi nasional. Adapun strategi penggunaan Uniject untuk imunisasi pada bayi baru lahir dilaksanakan sejak tahun 2003. Strategi imunisasi pada bayi baru lahir ini kemudian diadopsi oleh WHO dan dilaksanakan oleh negara-negara lain. Saat ini tercatat 177 negara telah mengimplementasikan kebijakan tersebut.

Selain Hepatitis B, Hepatitis A dan C juga perlu mendapat perhatian. Hepatitis A sering muncul sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Sementara Hepatitis C sampai saat ini belum tersedia vaksinnya, sehingga upaya pencegahan melalui promosi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), menghindari perilaku berisiko serta penapisan darah donor menjadi hal yang utama.

Menurut Tjandra, keberhasilan pengendalian Hepatitis sangat ditentukan oleh dukungan semua pihak. Prof Tjandra Yoga berharap kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mekembangkan pendidikan kesehatan bagi pelajar dan mahasiswa mengenai cara pencegahan dan penularan Hepatitis. Perusahaan farmasi di bawah Kementerian Negara BUMN diharapkan dapat menyediakan obat Hepatitis dengan harga terjangkau. Sementara itu peran lembaga donor dunia diperlukan dalam pendampingan dana pemerintah.

(sumber: jaringnews.com)

Telemedicine: Harapan baru untuk meningkatkan kapasitas RS daerah terpencil

Kondisi geografis Indonesia yang berpulau-pulau sering menjadi barrier tersendiri untuk memeratakan pelayanan kesehatan. Kondisi ini diperparah dengan tidak meratanya pembangunan infrastruktur sehingga Indonesia memiliki banyak sekali daerah terpencil yang sulit dijangkau, dan membutuhkan waktu lebih dari satu hari perjalanan dengan menggunakan berbagai jenis alat transportasi. Kondisi infrastruktur yang juga belum berkembang menyebabkan banyak tenaga profesional, termasuk tenaga kesehatan, enggan bekerja di daerah terpencil.

Kementrian kesehatan (dulu Departemen Kesehatan) pernah memiliki program WKS (Wajib Kerja Sarjana) agar para dokter spesialis yang baru lulus mengabdi di daerah terpencil selama dua tahun sebelum berkarir. Namun program ini kemudian mendapat pertanyaan dikalangan tenaga medis itu sendiri, mengapa hanya profesi dokter saja yang terkena wajib sarjana, sedangkan prodesi lain tidak. Bahkan muncul isu hak „asasi manusia" dimana profesi dokter juga berhak menentukan ingin berkarir di daerah mana, sehingga kemudian program ini dihapuskan. Para dokter spesialis yang tadinya menjalani WKS di daerah terpencil ada yang kemudian menetap disana, namun lebih banyak yang memilih untuk pindah ke kota besar. Meskipun Kemenkes telah memiliki program flying health care sebagai penggantinya, namun tetap saja tidak semua daerah bisa terjangkau oleh pelayanan ini. Penelitian UGM menunjukkan bahwa penyebaran dokter spesialis sangat tidak merata. Rasio dokter spesialis terhadap masyarakat yang dilayani di Pulau Jawa jauh lebih besar dibanding provinsi lain.

Ketidakmerataan fasilitas dan tenaga profesional kesehatan juga menyebabkan variasi dalam status kesehatan mayarakat. Provinsi NTT misalnya memiliki angka kematian bayi yang masih tinggi meskipun terjadi penurunan dari 2010 ke 2011 (1.214 ke 1.131 kematian) dan kematian ibu yang juga tinggi (239 di tahun 2010 dan 197 di tahun 2011). Salah satu hambatan utama menurunkan angka kematian ini adalah kurangnya tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit. Banyak RS hanya memiliki 1 atau 2 dokter spesialis tetap. Kini dengan adanya program revolusi KIA yang dicanangkan oleh Gubernur sejak 2009 melahirkan program sister hospital. Beberapa RS besar di Jawa dan Sulawesi Selatan (disebut sebagai RS Mitra A) menjadi konsultan pendamping peningkatan pelayanan khususnya maternal dan neonatal di 11 RSUD di NTT (disebut sebagai RS Mitra B). RS Mitra A ini terdiri dari RSCM, RS Harapan Kita, RSUP Dr. Kariyadi, RSUP Dr. Sardjito, RSUD Dr. Syaiful Anwar, RSUD Dr. Soetomo, RSUD Sanglah, dan RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo. Sedangkan RSUD di NTT yang masuk dalam program ini adalah RSUD Soe, RSUD Kefamenanu, RSUD Atambua, RSUD Waikabubak, RSUD Umbu Rara Meha, RSUD Ruteng, RSUD Ende, RSUD TC Hillers, RSUD Bajawa, RSUD Larantuka, dan RSUD Lewoleba,

Salah satu kegiatannya adalah mengirim dokter spesialis atau residen senior untuk melaksanakan pelayanan di RSUD-RSUD tersebut sambil mengembangkan sistem klinik dan manajemen yang mendukung. Dengan demikian, kebutuhan tenaga spesialis di RSUD khususnya untuk Spesialis Kebidanan dan Kandungan, Spesialis Anak, Spesialis Bedah, Spesialis Anestesi cukup teratasi.

Untuk mempercepat proses pembelajaran, 11 RSUD di NTT tersebut juga dilengkapi dengan seperangkat komputer beserta kamera dan sambungan internet untuk melakukan komunikasi lebih intensif dengan RS Mitra A. Awalnya perangkat ini hanya digunakan untuk mengkoordinasikan kegiatan melalui email dan rapat jarak jauh melalui Skype. Namun kemudian fungsinya berkembang menjadi alat konsultasi pada saat tim medis di RSUD melakukan tindakan pada pasien. Hal ini sudah terjadi contohnya di RSUD Kefamenanu. Pada saat ini di RSUD Kefamenanu tidak terdapat dokter spesialis Anestesi, sehingga saat terdapat kasus partus dengan kompllikasi yang membutuhkan operasi, dokter spesialis anestesi di RS Harapan Kita meng-guide tim medis di RSUD Kefamenanu melalui Skype yang perangkatnya sudah dipasang di OK RSUD. Cara ini dianggap efektif untuk mengatasi kendala kekurangan tenaga spesialis.

Jika merefer pada berbagai literatur, apa yang dilakukan di RSUD Kefamenanu tersebut sebenarnya adalah telemedicine. Menurut situs news-medical.net, telemedicine bisa berupa kegiatan sederhana dimana dua orang profesi kesehatan yang mendiskusikan sebuah kasus melalui telepon, sampai ke kegiatan yang lebih kompleks yang melibatkan teknologi satelit, perangkat video-conference untuk melakukan konsultasi real time antar benua. Dengan demikian, pelayanan kesehatan di NTT maupun daerah-daerah lainnya di Indonesia bisa ditingkatkan melalui fasilitas ini.

Yang diperlukan hanyalah seperangkat komputer dan jaringan internet, dan tentu saja kerjasama antara RSUD dengan RS lain yang lebih besar dan memiliki dokter spesialis yang dapat memberikan pelayanan secara jarak jauh. Saat ini sambungan internet sudah menjangkau hampir semua kota kecil di Indonesia. Masyarakat juga sudah sangat familiar dengan internet, jika dilihat dari gadget yang digunakan sehari-hari, termasuk oleh masyarakat dipelosok. Tinggal bagaimana kita menggunakan potensi infrastruktur dan teknologi yang telah tersedia ini untuk kepentingan yang lebih besar dan lebih bermanfaat bagi masyarakat banyak.