Pengantar PAKET KEBIJAKAN UNTUK PENURUNAN KEMATIAN IBU DAN BAYI DI INDONESIA

mdg4-5Pengantar 


      

Pada pertengahan tahun lalu, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon menunjuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama PM Inggris David Cameron dan Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf menjadi pimpinan panel tingkat tinggi untuk merumuskan kerangka kerja baru pasca millenium development goals (MDGs) yang akan berakhir pada 2015. Kerangka kerja baru tersebut sementara ini dinamai Sustainable Development Goals (SDGs).

      

Upaya menyusun SDGs diperlukan suatu suatu evaluasi obyektif, mengingat banyak negara tidak bisa mencapai sasaran yang ditetapkan dalam MDGs. Di Indonesia MDG nomor 4 yaitu penurunan angka kematian bayi (AKB) dan MDG nomor 5 yaitu penurunan angka kematian ibu (AKI) kemungkinan besar gagal tercapai. Di berbagai propinsi terjadi pemburukan situasi.

Bila kita mencermati penyebab kematian ibu dan bayi serta akar masalah penyebab kematian tersebut, sebenarnya tidak ada penyebab/masalah baru yang signifikan sejak MDGs ditetapkan. Memang di berbagai daerah di pulau Jawa, adanya kompetisi tidak sehat antara penyedia pelayanan kemungkinan dapat meningkatkan jumlah kematian ibu dan bayi. Dengan demikian muncul pertanyaan mengapa kita sulit sekali mencapai target MDG 4 dan 5?  Ada berbagai pertanyaan yang perlu dijawab adalah:

  1. Mengapa berbagai kebijakan dan intervensi program KIA yang sudah menggunakan dana besar selama puluhan tahun ini belum berjalan dengan baik di Indonesia?
  2. Di mana letak permasalahan dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan program intervensi KIA di Indonesia? Apakah kebijakan saat ini tidak tepat?
  3. Bagaimana usulan kebijakan mendatang dan strategi intervensi KIA di masa mendatang.


back kembali ke halaman PAKET KEBIJAKAN UNTUK PENURUNAN KEMATIAN IBU DAN BAYI DI INDONESIA


mdg4-5 Analisis Kebijakan Ibu dan Anak Di Indonesia

mdg4-5 Pemetaan Intervensi (Hulu-Hilir).

mdg4-5 Policy Brief dengan Pendekatan Pemetaan Intervensi Hulu Hilir

POLITIK ANGGARAN DI SEKTOR KESEHATAN

POLITIK ANGGARAN DI SEKTOR KESEHATAN

Dewi Marhaeni Diah Herawati1

1 Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran Unpad


Abstrak

Permasalahan anggaran di sektor kesehatan saat ini masih menjadi permasalahan yang krusial baik di tingkat Pusat maupun Daerah. Ketidak cukupan alokasi anggaran untuk sektor kesehatan dipengaruhi oleh banyak faktor dan sangat kompleks. Salah satu faktor yang paling menonjol yang berperan adalah adanya politik anggaran.

Studi ini merupakan pengembangan dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis pada tahun 2006-2007. Selanjutnya penulis melakukan pengamatan untuk kebijakan alokasi anggaran di Direktorat Anak pada tahun 2009 sampai dengan saat ini. Data yang digunakan merupakan data skunder dan data primer yang penulis peroleh dari hasil pertemuan dengan Direktorat Anak dan beberapa Direktorat di lingkungan Dirjen Bina Gizi, dan KIA.

Situasi di Pusat, politik anggaran di DPR terjadi pada saat penetapan pagu definitif, utamanya pada program yang bersifat fisik. Kemenkeu terlihat kurang memberikan dukungan pada sektor kesehatan, dimana anggaran sektor kesehatan baru mencapai sekitar 2, 5%. Dasar pembagian anggaran untuk unit dan subunit di lingkungan Kemenkes kurang jelas. Untuk situasi di daerah, politik anggaran terjadi baik di lingkungan legislatif maupun Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Dampak negatif adanya politik anggaran adalah perolehan anggaran sektor kesehatan belum sesuai dengan amanat UU No 36 Tahun 2009 pasal 171 ayat 1 dan 2. Ketergantungan daerah terhadap anggaran dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan sangat tinggi.

Politik anggaran di makro organisasi seperti DPR terjadi karena memenuhi preferensi kelompok atau partai, sedang di mikro organisasi lebih banyak karena kepentingan individu.

Kata kunci: politik anggaran, sektor kesehatan

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN BANTUAN OPERASIONAL KESEHATAN (BOK) DI PUSKESMAS KABUPATEN KUNINGAN TAHUN 2011—2012

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN BANTUAN OPERASIONAL KESEHATAN (BOK)
DI PUSKESMAS KABUPATEN KUNINGAN TAHUN 2011—2012

Dudung Abdul Malik1 dan Dumilah Ayuningtyas2

1Dinas Kesehatan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat
2Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM UI, Depok


 Latar Belakang

Program BOK di Kabupaten Kuningan meningkatan dana operasional Puskesmas tahun 2011 dan 2012 menjadi 2 kali lipat, tetapi hal tersebut tidak berbanding positif dengan pencapaian cakupan indikator SPM bidang kesehatan. Ini mengindikasikan bahwa implementasi program BOK di Puskesmas Kabupaten Kuningan belum berjalan sesuai harapan.
 

 Tujuan

Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan BOK di Puskesmas Kabupaten Kuningan berdasarkan variabel kondisi lingkungan, hubungan antar organisasi, sumber daya organisasi, serta karakteristik dan kapabilitas instansi pelaksana.
 

 Metode

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang dilakukan antara Bulan Maret—April 2013 di 4 Puskesmas dan Dinas Kesehatan dengan jumlah informan 23 orang.
 

 Hasil

Secara umum Puskesmas di Kabupaten Kuningan dalam melaksanakan program BOK tidak mengalami kendala yang berhubungan dengan sumberdaya. Pengalokasian anggaran kegiatan BOK sudah sesuai ketentuan dalam juknis dan mekanisme kontrol terhadap penggunaan dana telah dilakukan melalui kegiatan verifikasi dari tim di Dinas Kesehatan. Dukungan pimpinan Puskesmas menjadi faktor penting dalam kegiatan yang dibiayai dana BOK. Komitmen seluruh elemen di Puskesmas terhadap program BOK sudah baik ditunjang dengan komunikasi internal yang berjalan dengan baik pula. Faktor kualitas pimpinan di Puskesmas Kabupaten Kuningan berdasarkan pendidikan sudah memenuhi standar dan kemampuan petugas dalam melaksanakan program/ kegiatan yang mendapat biaya dari BOK sudah baik.
 

 Kesimpulan

Pelaksanaan BOK di Kabupaten Kuningan memberikan banyak manfaat kepada Puskesmas khususnya untuk operasional kegiatan preventif dan promotif. Tetapi, ini tidak memberikan pengaruh positif terhadap pencapaian SPM bidang kesehatan. SPM cenderung menurun dan item tidak mencapai target cenderung meningkat.
 

 Saran

Puskesmas agar memprioritaskan dana BOK untuk kegiatan yang bisa mendongkrak pencapaian cakupan program kesehatan. Dinas Kesehatan perlu mengupayakan pencairan dana BOK pada awal tahun bisa lebih awal dan mengintensifkan monitoring dan evaluasi disertai uji petik. Disamping itu perlu melakukan refresing kegiatan manajemen Puskesmas. Ke depan Program BOK masih layak dipertahankan, disertai perbaikan dan penyempurnaan dalam pelaksanaannya.

Kata Kunci : Implementasi Kebijakan, Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), Puskesmas

Powerpoint 

ANTARA PERATURAN DAN REALITA: SUDAHKAH DITELAAH SEBAGAI RELATIVITAS? STUDI KASUS PROGRAM BIDAN DESA DI TINGKAT KABUPATEN

ANTARA PERATURAN DAN REALITA: SUDAHKAH DITELAAH SEBAGAI RELATIVITAS?
STUDI KASUS PROGRAM BIDAN DESA DI TINGKAT KABUPATEN

Lindawati Wibowo1 dan Markus Puthut Harmiko2

  1. SEAMEO-RECFON. Departemen Ilmu Gizi - Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia
  2. World Vision Indonesia

 Latar Belakang

Berdasarkan dua laporan terakhir yang dirilis oleh UNDP (2011) dan Bappenas (2010) terkait status MDGs, Indonesia masih merupakan salah satu negara di Asia Tenggara dengan angka kematian ibu (AKI) yang tinggi dan masih jauh dari angka target yang diharapkan pada tahun 2015. Akan tetapi Program Bidan Desa (PBD) yang selama ini dijadikan salah satu program unggulan untuk akselerasi pencapaian target MDG no 4 ini pada kenyataannya masih jauh dari optimal dalam implementasinya. Adapun hal yang paling mendasar di dalam program, seperti fasilitas kesehatan beserta bidan desanya, juga masih dipertanyakan aksesibilitasnya sehingga perlu pembuktian secara objektif. Asumsinya adalah jika input utama program masih jauh dari standar dan kebutuhan, maka dapat dikatakan pula bahwa program secara keseluruhan juga belum berjalan secara optimal (berdasarkan konsep esensialitas dalam sebuah sistem kesehatan).
 

 Tujuan

Menelaah kebutuhan bidan dan fasilitas kesehatan sebagai input utama program bidan desa relatif terhadap peraturan yang terkait.
 

 Metode

Penelitian ini merupakan bagian dari studi formatif terkait program bidan desa yang dilakukan secara kolaboratif antara SEAMEO RECFON dan WVI ADP Nias. Studi dilakukan di wilayah layanan WVI yang berlokasi di 3 kecamatan dengan 32 desa di kabupaten Nias. Pendekatan secara kuantitatif dan kualitatif digunakan dalam proses pengumpulan data dari sumber yang berbeda-beda. Wawancara dengan bides (n-24) dilakukan dengan kuesioner terstruktur serta in-depth. Beberapa informan lain seperti kepala desa (n-=7), staff Puskesmas (n=5), dan staff Dinas Kesehatan (n=6) juga diwawancara secara mendalam untuk memperoleh gambaran tentang dukungan manajemen program di tingkat kabupaten ke bawah. Penelitian ini dilakukan atas persetujuan etik dari komite etik Fakultas Kedokteran UI dan ijin dari pemerintah setempat.
 

 Hasil

Mengacu pada faktor-faktor resiko AKI, program seperti desa siaga (Kemenkes, 2006) dan/atau jampersal (Kemenkes, 2011) ternyata belum cukup menjawab permasalahan terkait akses pelayanan kesehatan minimal seperti yang diuraikan dalam Permenkes no. 741/MENKES/PER/VII/2008. Di area studi masih ditemukan adanya keterbatasan infrastruktur yang memadai (contoh: Poskesdes dengan fasilitas minimum), keberadaan bidan di desa (hanya 28%), serta kemampuan bides dalam menjalankan tugas-tugasnya sesuai dengan tupoksi (Kemenkes, 2011; Kemenkes & Kemendagri, 2010; Kemenkes, 2008a; Kemenkes, 2008b). Meski hampir semua desa mempunyai bides (30 dari 32 desa), akan tetapi hanya 28% dari bidesnya yang tinggal di desa. Bidan yang tidak menetap di desa, sebagian besar juga jarang atau bahkan tidak pernah datang ke desa. Hasil wawancara mengindikasikan semua bides tidak mengetahui dan/atau mempunyai kapasitas memadai untuk menjalankan tupoksinya secara lengkap dan sesuai standar. Meski pembangunan Poskesdes telah diatur dalam Permen PU no. 45 (2007), akan tetapi masih ditemukan Poskesdes di beberapa desa yang tidak dapat difungsikan karena letaknya yang jauh dari pemukiman dan susah dijangkau, serta tidak dilengkapi dengan fasilitas minimal seperti air dan listrik. Lemahnya sistem monitoring di setiap tingkatan administratif menjadi penyebab sekaligus juga hasil dari kurangnya dukungan manajemen oleh sektor-sektor yang terkait, baik dari sektor kesehatan maupun dari sisi pemda.
 

 Kesimpulan

Secara garis besar, permasalahan yang mendasar sekalipun akan sulit untuk teridentifikasi dan direspon dengan cepat tepat terlepas dari banyaknya peraturan serta juknis yang mengaturnya.
 

 Saran

Hasil studi di kabupaten Nias ini tidak untuk digeneralisir sebagai keadaan yang terjadi di semua kabupaten di Indonesia. Akan tetapi esensi bahwa pendekatan yang cukup sederhana (rapid appraisal atau partial evaluation) dapat digunakan untuk menguji feasibilitas suatu peraturan dalam implementasinya. Sebagai langkah awal, diharapkan adanya proses capacity building untuk stakeholder program di tingkat kabupaten ke bawah untuk mampu melaksanakan evaluasi cepat guna menjawab permasalahan program atau memberikan asupan untuk telaah peraturan-peraturan yang ada.

Kata Kunci : program, bidan desa, aksesibilitas, PERMEN

powerpoint 

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN INTERNAL RUMAH SAKIT (HOSPITAL BY LAWS) DI RSUD PROF.DR.M.ALI HANAFIAH SM BATUSANGKAR PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2013

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN INTERNAL RUMAH SAKIT (HOSPITAL BY LAWS)
DI RSUD PROF.DR.M.ALI HANAFIAH SM BATUSANGKAR PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2013

Indra Darmanto*Dumilah Ayuningtyas**

*Dinkes Tanah Datar Sumatera Barat**FKM UI


 Latar Belakang

Belum terdapatnya bentuk dokumen peraturan sesuai dengan kebijakan Kepmenkes nomor 772 Tahun 2002 tentang Pedoman Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital By Laws) dan Permenkes nomor 755 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit di RSUD Prof.dr.M.Ali Hanafiah SM Batusangkar, menunjukkan bahwa implementasi kebijakan belum dilaksanakan secara optimal.
 

 Tujuan

Melakukan kajian Implementasi Kebijakan Peraturan Internal Rumah Sakit (HBL), dan mengidentifikasi aspek hukum normatif di RSUD Prof.dr.M.Ali Hanafiah SM Batusangkar tahun 2013.
 

 Metode

Desain penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif retrospektif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam (indepth interview), studi literatur dan telaah dokumen. Wawancara dilakukan pada 11 orang informan kunci yang terkait topik penelitian. Studi literatur diperoleh dari buku bacaan, jurnal, artikel, dan hasil-hasil penelitian dari berbagai media, sedangkan telaah dokumen dilakukan dengan mempelajari dokumen peraturan yang ada.
 

 Hasil

Hasil penelitian menyebutkan bahwa komunikasi kebijakan HBL masih belum konsisten dan tersosialisasikan secara optimal, sumberdaya belum mendukung secara penuh dan komitmen implementasi kebijakan yang masih rendah serta struktur birokrasi yang belum jelas dalam koordinasi pelaksanaan HBL menjadi faktor berpengaruh dalam melaksanakan pembuatan HBL.
 

 Kesimpulan

Implementasi kebijakan HBL di RSUD Prof.dr.M.Ali Hanafiah SM Batusangkar Provinsi Sumatera Barat tahun 2013 belum dilaksanakan dengan baik sehingga membutuhkan advokasi kebijakan lebih lanjut.
 

 Saran

Meningkatkan sosialisasi kebijakan HBL, meningkatkan upaya penegakkan hukum (law enforcement), meningkatkan kajian ilmiah dari segi hukum penyelenggaraan rumah sakit dan meningkatkan upaya menumbuhkan komitmen dari para penyelenggara rumah sakit untuk taat aturan hukum, serta melakukan kajian lebih lanjut mengenai Peraturan Internal Rumah Sakit (HBL) menurut pedoman terkait implementasinya di rumah sakit.

Kata Kunci : Implementasi kebijakan, Peraturan Internal Rumah Sakit (HBL).

Powerpoint 

INTERVENSI KEBIJAKAN YANG MEMILIKI DAMPAK JANGKA PANJANG TERHADAP RETENSI TENAGA KESEHATAN DI DAERAH TERPENCIL: SEBUAH TINJAUAN SISTEMATIS

INTERVENSI KEBIJAKAN YANG MEMILIKI DAMPAK JANGKA PANJANG
TERHADAP RETENSI TENAGA KESEHATAN DI DAERAH TERPENCIL:
SEBUAH TINJAUAN SISTEMATIS

Ferry Efendi

Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya


 Latar Belakang

Salah satu tantangan terbesar dalam pembangunan kesehatan adalah tersedianya akses terhadap tenaga kesehatan yang kompeten secara merata dan berkeadilan. Jumlah tenaga kesehatan yang tidak mencukupi khususnya di daerah terpencil akan menghambat pemberian layanan kesehatan, pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) dan menjadi tantangan dalam mewujudkan kesetaraan kesehatan. Selama ini pemerintah telah menjalankan program distribusi tenaga kesehatan yang mampu membuat mereka bertahan di daerah terpencil, tetapi program ini berjalan sesuai dengan kontrak yang harus mereka selesaikan. Oleh sebab itu diperlukan upaya strategis untuk menarik dan mempertahankan tenaga kesehatan didaerah tersebut dalam jangka panjang.
 

 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis berbagai intervensi kebijakan yang memiliki dampak jangka panjang terhadap retensi tenaga kesehatan di daerah terpencil.
 

 Metode

Tinjauan sistematis dilakukan dari artikel yang diterbitkan di science direct, proquest, pubmed, ebsco, dan google scholar, dengan kata kunci "retensi tenaga kesehatan" dan "daerah terpencil". Kriteria artikel adalah artikel yang direview oleh mitra bestari dan intervensi yang dilakukan memiliki dampak jangka panjang terhadap retensi tenaga kesehatan.
 

 Hasil

Didapatkan 10 referensi yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dari 300 referensi hasil pencarian. Berdasarkan analisis yang dilakukan, kebijakan rekrutmen calon tenaga kesehatan dari daerah terpencil, perbaikan lingkungan kerja serta kejelasan jenjang karir merupakan pilihan kebijakan yang memiliki dampak jangka panjang terhadap retensi. Kesimpulan: Pendidikan adalah langkah awal dalam menciptakan tenaga kesehatan yang kompeten, oleh sebab itu mendapatkan calon tenaga kesehatan yang tepat harus terintegrasi dengan sistem penerimaan mahasiswa baru. Calon tenaga kesehatan yang berasal dari daerah terpencil memiliki preferensi yang lebih tinggi untuk kembali bekerja di daerah asal. Lingkungan kerja yang mendukung pengembangan diri serta jenjang karir yang jelas bagi tenaga kesehatan yang bekerja di daerah terpencil mampu membuat mereka bertahan dalam waktu yang lama.
 

 Saran

Mengingat kompleksnya faktor yang mempengaruhi retensi, intervensi ini bisa dilakukan melalui koordinasi antar kementerian terkait guna memenuhi kebutuhan masyarakat daerah terpencil akan pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Kata Kunci : retensi, tenaga kesehatan, daerah terpencil

powerpoint 

APLIKASI AGENCY THEORY DALAM INISIATIF INSTITUTION-BASED CONTRACTING OUT DI BERAU, NIAS, DAN NTT

APLIKASI AGENCY THEORY DALAM INISIATIF INSTITUTION-BASED
CONTRACTING OUT DI BERAU, NIAS, DAN NTT

Dwi Handono Sulistyo; Laksono Trisnantoro; Tjahjono Koentjoro

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM


 Latar Belakang

Meskipun institution-based contracting out telah banyak dilakukan di berbagai negara, tetapi kebijakan ini belum menjadi pilihan di Indonesia. Pemerintah masih menggunakan pendekatan individual-based contracting dan team-based contracting sebagai salah satu solusi untuk mengatasi kelangkaan dan ketidakmerataan tenaga kesehatan khususnya di daerah DTPK meskipun kurang efektif. Dalam situasi ini di 3 daerah di Indonesia dilakukan inovasi institution-based contracting out (dengan pendekatan tim) pelayanan kesehatan tertentu sekaligus untuk mengatasi masalah kelangkaan tenaga kesehatan.
 

 Tujuan

Mendapatkan gambaran aplikasi Agency Theory dalam inisiatif institution-based contracting out (dengan pendekatan tim) yang dilakukan.
 

 Metode

Studi kasus dilakukan di Puskesmas Kelay, Berau (Kalimantan Timur), RSUD Gunungsitoli, Nias (Sumatera Utara), dan 6 RSUD Kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi, dan berbagai dokumen sekunder. Data dianalisis secara deskriptip.
 

 Hasil

Aplikasi Agency Theory sebelum kontrak di Berau berhasil dilakukan sehingga masalah adverse selection (provider yang tidak memenuhi persyaratan) bisa dihindari dengan konsekuensi program dibatalkan. Di Nias dan NTT, masalah adverse selection juga berhasil dihindari dengan melakukan upaya "jemput bola" dan pendekatan khusus untuk mendapatkan provider yang tepat; sedangkan masalah moral hazard saat kontrak berjalan dapat dikelola dengan baik. Baik di Nias dan NTT, inisiatif ini berhasil mengatasi kelangkaan tenaga kesehatan tertentu, serta meningkatkan akses dan kualitas pelayanan. Bahkan di NTT, jumlah kematian ibu dan neonatal serta jumlah IUFD berhasil diturunkan.
 

 Kesimpulan

Aplikasi Agency Theory berhasil dilakukan di semua inisiatif institution-based contracting out (dengan pendekatan tim) baik sebelum kontrak maupun saat kontrak dilakukan. Keberhasilan aplikasi teori tersebut dapat menjelaskan mengapa inisiatif di Berau gagal sedangkan di Nias dan NTT berhasil.
 

 Saran

Agency Theory perlu digunakan sebagai landasan teori dalam mengelola inisiatif institution-based contracting out (dengan pendekatan tim). Inisiatif ini akan lebih efektif jika diterapkan dengan pendekatan Performance-Based Contracting.

Kata Kunci: Institution-based Contracting Out; Agency Theory; Performance-Based Contracting; Berau; Nias; NTT

Powerpoint