Penyelesaian Proposal dan Rencana Tindak Lanjut Pengawasan BPJS

Reportase

Kelompok BPJS-7 September

Penyelesaian Proposal dan Rencana Tindak Lanjut Pengawasan BPJS

Oleh Wega Wisesa Setiabudi


 

Sesi kali ini bertujuan untuk merangkum apa yang telah dibahas pada sesi- sesi sebelumnya guna mengembangkan proposal monitoring and evaluation (monev) BPJS ke depannya. Beberapa hal penting yang perlu dibahas pada sesi kali ini adalah isu penting apa saja yang perlu menjadi fokus, bagaimana roadmap monev BPJS, siapa saja yang akan terlibat, dan bagaimana mekanisme pengawasannya.

Terdapat beberapa universitas dan juga lembaga masyarakat yang bersedia ambil bagian dalam pengawasan BPJS. Konsentrasi anggota terbanyak terdapat di pulau Jawa, sementara bagian Indonesia Timur seperti Maluku, Papua, dan Papua Barat belum memiliki representasi yang cukup. Mengingat penerapan jaminan kesehatan nasional oleh BPJS yang diprediksi akan mengalami kendala dalam penerapan di daerah yang tidak memiliki akses atau fasilitas kesehatan yang memadai, adanya representasi di bagian Indonesia Timur sangat diperlukan.

Untuk menentukan tema atau isu apa yang diprioritaskan lebih kepada interest masing-masing anggota. Setiap anggota bebas memilih isu apa yang ingin mereka teliti, namun dengan syarat hasil itu harus dibagikan kepada anggota lain. Ada beberapa isu yang akan lebih baik apabila dikerjakan bersama dan serentak oleh berbagai pihak yang tersebar di Indonesia, seperti isu equity.

Pembahasan selanjutnya mengenai nama publikasi dari penelitian, apakah dengan nama peneliti atau menyertai nama institusi. Terdapat argumen dimana dalam penelitian yang melibatkan banyak pihak akan lebih baik apabila penelitian dilakukan atas nama institusi sebagai pemberdayaan dan pelajaran bagi sesama. Namun terkadang individu melakukan penelitian yang tidak merepresentasikan universitas mereka, dengan ini lingkup individu yang dapat melakukan penelitian akan menjadi lebih luas dan banyak dan mengundang banyak orang untuk terlibat. Apabila pelaku penelitian adalah individu, terkadang bisa terbentur masalah birokrasi dengan institusi tempatnya bekerja. Dari berbagai argumen tersebut, pada akhirnya disetujui bahwa penelitian bisa atas nama individu maupun institusi.

Diharapkan melalui terbentuknya badan monev independen ini proses pengambilan data dari Askes ataupun BPJS tahun depan akan lebih mudah. Hal ini berhubungan dengan keterbukaan informasi. Perlu adanya keterbukaan oleh penyelenggara jaminan sosial untuk membuka semua data yang mereka miliki ke publik. Hal ini untuk menghindari adanya penyelewengan dana. Dalam hal ini tidak hanya mengawasi input atau pembiayaan saja, namun juga dalam hal process dan outcome dalam bentuk proteksi finansial dan pemerataan status kesehatan dari tiap daerah. Sebagai contoh proses pembiayaan melalui INA-CBG secara sederhana merefleksi mekanisme BPJS yang akan diterapkan tahun depan.

Siklus hidup BPJS juga perlu diperhatikan. Pada intinya dalam proses pembuatan kebijakan, terdapat aspek-aspek sosial politik yang terlibat. Studi kualitatif bisa mengawasi proses pembuatan kebijakan, dilihat dari aspek transparansi. Sebelum penerapan BPJS dilaksanakan, yang bisa dilakukan oleh pengawasan adalah mengawasi proses pembuatan kebijakan dan hal inilah yang bisa dilakukan tahun ini, sebelum output dan outcome diperoleh.

Peran masyarakat juga penting dalam pengawasan BPJS. Di setiap desa dapat memiliki perwakilan warga yang bertugas mengawasi sistem pelayanan kesehatan di daerahnya. Apabila terdapat institusi yang memang tidak memungkinkan untuk meneliti setiap desa, hal ini dapat menjadi solusi. Akan jauh lebih efisien bila sudah ada reporter di tiap daerah yang diteliti. Institusi sendiri harus memiliki bagian complaint manager yang mengurus alur informasi dari level desa ke penelitian secara garis besar. Masyarakat yang tinggal di desa bisa dilibatkan langsung ke proses pembuatan proposal ini.

Bank data juga perlu dibangun demi kepentingan pengawasan bersama. Seluruh data yang diperoleh dari tiap institusi yang terlibat dalam badan pengawasan diharapkan bisa dikumpulkan dan diakses oleh seluruh pihak pengawas. Aspek legal dan formal perlu diperhatikan. Lembaga yang akan diawasi merupakan badan yang sudah mempunyai landasan hukum. Perlu adanya recognition dari pemerintah bahwa pengawas independen yang terdiri dari berbagai universitas dan lembaga sosial masyarakat memiliki landasan hukum yang jelas.

Pada peraturan pemerintah, satu persen dari dana yang diperoleh BPJS dipakai untuk kepentingan litbang, baik untuk OJK sebagai pengawas maupun kementerian kesehatan. Tugas badan pengawas independen ini dapat membuat proposal bahwa sebagai badan pengawas mereka berhak mendapat sebagian dana kepentingan litbang tersebut. Dengan begitu pembahasan ini tidak hanya membahas konsep namun juga mencari sumber dana guna keberlangsungan pengawasan BPJS ke depannya. Sebagai konklusi dari pembahasan ini, target penyelesaian proposal ini pada bulan Oktober 2013.

Plenary 3 : Tradkom dalam Pelayanan Kesehatan Modern

Potensi Kesehatan Traditional, Alternatif dan Komplementer (Tradkom)
dalam Pelayanan Kesehatan Modern

Dr. dr. Trihono M.Sc

Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat alami. Dengan kelebihan ini, Indonesia sangat berpotensi untuk mengembangkan pengobatan tradisional secara mandiri. Tidak bergantung pada produk impor. Sayangnya, saat ini hutan-hutan di Indonesia sudah mulai berkurang luasnya. Tanaman khas Indonesia juga sudah hampir punah dan sangat terbatas tenaga yang mampu mengolah tanaman tersebut menjadi produk obat. "Meskipun masih ada tanaman kandidat untuk obat modern, namun tidak ditindaklanjuti. Padahal kita mampu," tutur dr. Trihono yang merupakan Kepala Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Memang tidak mudah untuk mengolah tanaman obat hingga dapat dipergunakan oleh masyarakat. Ada alur alur yang harus dilakukan: mencari ekstrak, diaplikasikan langsung ke masyarakat dan scientifikasi jamu. Tahapan-tahapan ini bersifat penelitian berbasis pelayanan. "Jadi pasien yang dirawat menggunakan obat tradisional uji coba ini harus mendatangani informed consent untuk penelitian," terang dr. Trihono. Pengobatan tradisional cukup banyak dipilih oleh masyarakat Indonesia. Pemilihnya, sebanyak 72 persen adalah masyarakat lulusan SD. Dengan latar belakang ini, Kemenkes terdorong untuk merintis jenjang pendidikan S1 pengobatan tradisional. Tujuannya, pengobatan tradisional dapat diolah lebih baik oleh para lulusan S1 tersebut sehingga akan dilirik oleh kalangan masyarakat yang lebih luas. Sebagai bahan penelitian, baik untuk mahasiswa S1 tersebut maupun untuk lembaga penelitian lain, saat ini Kemenkes sudah punya daftar bahan baku obat yang mengantri untuk diteliti.

Ditulis oleh: drg. Puti Aulia Rahma, MPH

Reportase sesi 3.4A

Paparan Makalah Bebas Kelompok BPJS

Dalam sesi ini, dibahas lima makalah terpilih yang terkait tema BPJS. Makalah yang dipaparkan merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh para pemakalah. Makalah pertama, berjudul "Analisis Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pengembangan Jamsoskes Sumatera Selatan Semesta Menyambut Universal Coverage". Makalah yang disampaikan oleh Misniarti dari FKM Universitas Sriwijaya ini berisi tentang persiapan dan pengembangan kebijakan yang dilakukan Pemerintah daerah dalam penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan (Jamsoskes) Sumatera Selatan. Makalah ini merupakan hasil penelitian studi kasus yang dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan desain exploratory. Data-data yang terkumpul berasal dari wawancara mendalam dan observasi. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa belum banyak upaya pengembangan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah pada kebijakan Jamsoskes Sumsel Semesta dalam rangka persiapan menghadapi Universal Health Coverage pada 2014. Sebagai penutup paparan, pemakalah menyarankan kepada Pemprov Sumsel agar dapat mengembangkan upaya-upaya pelayanan di Jamsoskes sebagai penyesuaian dalam menyambut Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tahap 2 pada tahun 2019.

Makalah kedua, bertema Peran Jampersal dalam Meningkatkan Kesehatan Reproduksi Masyarakat. Makalah ini disampaikan oleh Rina Nuryati, disebutkan bahwa pemanfaatan Jampersal di Kabupaten Kulon Progo tahun 2012 sebesar 51%, sedangkan 49% masyarakat memanfaatkan jaminan lainnya. Setelah diteliti lebih lanjut, diketahui bahwa terjadi kegagalan konseling KB pada peserta Jampersal. Hal ini disebabkan penjelasan mengenai KB dinilai kurang memadai oleh pasien. Peserta Jampersal juga memiliki persepsi yang kurang tepat tentang KB pasca salin. Program Jampersal di Kabupaten Kulon Progo juga dirasa rancu dengan sistem Jamkesda dan kurang bersinergi dengan kebijakan sebelumnya. Beberapa saran disampaikan oleh pemakalah yang berasal dari Puskesmas Panjaitan Kulon Progo ini, diantaranya: Jampersal harus lebih bersinergi dengan kebijakan kesehatan reproduksi sebelumnya, pemerintah daerah harus mempunyai otoritas untuk melaksanakan kebijakan pusat agar selaras dengan kebijakan yang menjadi prioritas daerah serta Jampersal harus diperkuat dengan layanan konseling yang berkualitas dan layanan kontrasepsi pasca persalinan agar tujuan kesehatan reproduksi tercapai.

Pemakalah ketiga yaitu Asri Maharani dari University of Manchester yang memaparkan materi berjudul "Hubungan Desentralisasi Fiskal di Bidang Kesehatan dengan Cakupan Imunisasi Anak di Indonesia". Dalam paparannya, Asri menyebutkan bahwa terdapat peningkatan cakupan imunisasi pada anak yang bermakna pasca desentralisasi walaupun peningkatan tersebut dimungkinkan juga dipengaruhi oleh proses pemulihan dari krisis ekonomi. Selain itu, ternyata anggaran pemerintah daerah yang besar di bidang kesehatan tidak berkaitan dengan cakupan imunisasi anak, sedangkan kepadatan fasilitas kesehatan dan paramedis (per 1000 orang) memiliki kaitan nyata dan positif terhadap status imunisasi anak. "Belajar dari desentralisasi sektor kesehatan di Indonesia, program imunisasi di negara-negara berkembang terutama negara yang menerapkan desentralisasi perlu menyesuaikan strategi mereka sesuai dengan karakteristik daerah", terang Asri sebelum menutup paparan.

Pemakalah keempat menyampaikan materi bertema "Studi Pelaksanaan Kebijakan Perda Jaminan Kesehatan Sumbar Sakato dalam Menghadapi UU SJSN dan BPJS Tahun 2014". Pemakalah keempat ini yaitu Tuty Ernawati dari UPTD BKIM Sumbar. Pada paparannya, Tuty mengungkapkan bahwa pelaksanaan kebijakan Jamkes Sumbar Sakato sudah dilaksanakan, dan masih perlu perbaikan dan koreksi. Dalam aspek kepesertaan, pemilihan peserta Jamkes Sumbar sakato dilakukan dari tingkat kelurahan/desa/jorong atau button up. Dalam pelaksanaan Jamkes Sumbar Sakato, belum ada dinas yang bertanggungjawab mengenai pendataan. Hal ini dimungkinkan karena kurang detailnya aturan yang menekankan hal tersebut yaitu Pergub hanya berbunyi "pendataan dan validasi data menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota". Program Jamkes Sumbar Sakato, ternyata juga belum mencakup seluruh masyarakat yang menjadi sasarannya. Sebagai bukti, masih banyak masyarakat miskin yang belum mendapatkan jaminan kesehatan daerah. Masyarakat juga dibebani dengan iur biaya. Premi yang masih rendah juga dirasa kurang memadai untuk membiayai perawatan pasien Jamkses Sumbar Sakato.

Yandrizal menjadi pemakalah kelima dalam sesi ini. Pembicara yang berasal dari Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Bengkulu ini, memaparkan makalah yang berjudul "Analisis Jaminan Kesehatan Kota Bengkulu dalam Upaya Efisiensi dan Efektivitas Pelayanan di Puskesmas". Dalam paparannya, Yandrizal mengungkapkan bahwa Puskesmas merujuk sebanyak 67% pasien yang sebenarnya masih dapat ditangani Puskesmas. Hal ini terjadi karena adanya desakan dari pihak pasien atau keluarganya. Terkait hal ini, Dinkes Kota dirasa belum optimal melakukan pembinaan dalam upaya meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan kesehatan. Bagian Kesra juga belum melaksanakan koordinasi dengan Dinkes Kota untuk melakukan pembinaan kepada Puskesmas. Pihak lain yang bertanggungjawab terhadap upaya efisiensi dan efektivitas pelayanan Puskesmas adalah penyelenggara Jaminan Kesehatan Kota (Jamkeskot). Mereka belum melakukan pembinaan kepada Puskesmas sebagai pemberi pelayanan primer. Terlebih, pelaksanaan Jamkeskot juga belum menerapkan prinsip jaminan kesehatan sosial.

Ditulis oleh: drg. Puti Aulia Rahma, MPH

Reportase sesi 3.1A

Model Pengawasan Pelaksanaan Kebijakan BPJS 2014
"Siapa Melakukan Apa?"
 

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, akan dilaksanakan per Januari 2014. Namun hingga beberapa bulan menjelang pelaksanaannya, peraturan BPJS masih ada yang belum jelas sehingga perlu pembahasan lebih lanjut. Untuk mendiskusikan hal ini, empat pembicara tampil membawakan materi dengan tema Model Pengawasan Pelaksanaan Kebijakan BPJS 2014 "Siapa Melakukan Apa?". Diskusi yang berjalan selama 1,5 jam ini berjalan hangat dengan antusiasme peserta diskusi yang memberikan masukan-masukan berharga untuk perbaikan program BPJS. Namun demikian, ada juga peserta diskusi yang menyampaikan komentar bernada pesimis terkait pelaksanaan BPJS ini.

Menurut Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., Ph.D, selaku pembicara pertama, stakeholder utama BPJS mempunyai peran yang sangat rumit. Mereka akan menghadapi tiga isu utama yang berpotensi muncul dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yaitu status kesehatan masyarakat yang tidak meningkat. Hal ini terjadi karena mutu pelayanan kesehatan buruh bahkan bisa jadi tambah buruk, perbedaan geografis semakin meningkat karena dana akan terpakai oleh pasien katastropik di daerah-daerah maju serta adanya fraud dan korupsi. Kemungkinan terjadinya fraud atau korupsi dapat dimungkinkan karena saat ini belum ada independensi badan pengawas pelaksanan BPJS. Namun hal ini dapat "diakali" dengan keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Walaupun OJK belum memiliki kemampuan klinis, namun OJK juga punya deputi perlindungan konsumen untuk melindungi masyarakat dari mutu pelayanan yang buruk.

Prof. Dr. dr. Alimin Maidin, MPH selaku pembicara kedua lebih menyoroti tentang pentingnya jaminan kesehatan bagi masyarakat Indonesia. Prof. Alimin menegaskan bahwa pelaksanaan BPJS harus didukung, walaupun masih ada kontroversi terkait besaran premi yang harus dibayarkan oleh peserta BPJS. Mekanisme pengumpulan premi dari pekerja sektor informal juga masih belum jelas. Dekan Fakultas Kedokteran Unhas ini juga menyinggung tentang pentingnya pengawasan dalam peresepan obat oleh dokter, yang berpotensi menjadi sumber pembengkakan biaya perawatan. Prof. Alimin juga menyarankan bahwa badan pengawas pelaksanaan BPJS ini harus berasal dari pihak yang mengerti kondisi klinis, seperti dokter senior.

Pembicara ketiga, yaitu Prof. dr. Bhisma Murti, MPH, mengangkat tema tentang kejelasan metode pembayaran dalam BPJS termasuk sistem evaluasi BPJS. Sedangkan pembicara keempat, Agung Dwi Laksono dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) memaparkan tentang penggunaan data yang dikelola Litbangkes untuk pengembangan BPJS. Paparan ditutup dengan diskusi yang membawa masukan-masukan baru bagi persiapan pelaksanaan jaminan kesehatan semesta, diantaranya adalah pendekatan community outreach untuk menjangkau masyarakat di daerah terpencil. Pendekatan community outreach sebagai jawaban atas kemungkinan terjadinya "ketidakadilan" yang diterima akibat perbedaan geografis dalam pelaksanaan BPJS bagi masyarakat Daerah Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan (DTPK). Selain itu, untuk meningkatkan mutu BPJS, diusulkan evaluasi pelaksanaan BPJS ini tidak hanya bersifat sumatif (menanti 1 tahun), tetapi juga bisa bersifat evaluasi formatif (setiap saat).

Ditulis oleh: drg. Puti Aulia Rahma

Keynote Speech - Dr. Jon Adams

A Critical Public Health Traditional Medicine Significance and Approach

Prof. Dr. Jon Adams

jon

Masalah kesehatan masyarakat, sangat terkait dengan apa yang masyarakat gunakan. Demikianlah pembukaan keynote speech yang disampaikan oleh Prof. Dr. John Adams dari University of Technology Sidney. Dalam paparannya, profesor yang merupakan anggota dari Public Health Association of Australia ini mengangkat tentang pengobatan tradisional yang saat ini mulai meningkat penggunaannya di masyarakat, termasuk masyarakat Australia. Umumnya, masyarakat memilih obat tradisional untuk alternatif pengobatan penyakit kronis yang diderita. Masyarakat di Australia ada yang memilih pengobatan tradisional dan tinggal di daerah yang memiliki akses terbatas terhadap pengobatan modern. Kondisi ini menjadi bahan perdebatan diantara praktisi obat tradisional dan praktisi pengobatan modern. Hal ini disebabkan karena perbedaan pendapat mengenai aspek ilmiah dalam penggunaan obat tradisional.

Terkait hal tersebut, topik keynote speech ini lebih ditujukan ke arah kompetensi riset dengan penekanan pada balanced approach, impartial approach, critical methods dan transitional research. Balanced approach dimaksudkan agar dalam penelitian tidak ada anggapan bahwa obat tradisional lebih rendah dari obat paten. Impartial approach dimaksudkan agar tidak ada keberpihakan atau penolakan berlebihan terhadap obat tradisional. Critical methods dimaksudkan karena saat ini orang senang menggunakan obat tradisional tapi tidak melakukan riset lebih lanjut. Transitional research dimaksudkan untuk menggali kemungkinan pemanfaatan obat tradisional sebagai pelengkap obat modern. Di Australia, karena kemajuan ilmu Public Health, saat ini sudah mulai dilakukan penelitian terkait aspek kualitas dan efektivitas dalam penggunakan pengobatan tradisional. Sebagai penutup paparan, Prof. Jon Adams menyatakan bahwa pengobatan tradisional juga perlu masuk ke dalam kurikulum ilmu Public Health.

Ditulis oleh: drg. Puti Aulia Rahma, MPH

Policy Brief dengan Pendekatan Pemetaan Intervensi Hulu Hilir

mdg4-5Policy Brief dengan Pendekatan Pemetaan Intervensi Hulu Hilir


      

Hulu

 

 

 

 

 

 

 

 

Hilir

Pendekatan Kebijakan di Hulu

  1. Pemberdayaan masyarakat
  2. Promosi Kesehatan
  3. Perencanaan Lintas Sektor


Pendekatan Kebijakan Hilir

Strategi Penurunan Jumlah Kematian Bayi: Pengembangan audit kematian maternal
perinatal (AMP) dan penggunaan Prinsip surveilans respon

Policy brief selengkapnya silahkan 


Strategi Penurunan Jumlah Kematian Ibu dan Bayi: Penggunaan Prinsip Surveilans Respons dalam KIA  

 Policy brief selengkapnya silahkan 


Penggunaan Data Kematian “Absolut” untuk Memicu Penurunan Kematian Ibu dan Bayi di Kabupaten/ Kota

Policy brief selengkapnya silahkan 


“Institution-Based Contracting Out” dengan Penugasan Tim Tenaga Kesehatan

Policy brief selengkapnya silahkan 


Peningkatan Kualitas Kepemimpinan dan Manajemen Direktur RS Dalam Program KIA

Policy brief selengkapnya silahkan 


Strategi Penurunan AKI dan AKB: Peningkatan Mutu Klinis Pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi di Rumah Sakit

Policy brief selengkapnya silahkan 


Penyusunan Manual Rujukan Maternal Neonatal di Tingkat Kabupaten/Kota (lokal spesifik)

 Policy brief selengkapnya silahkan 


 

Pendekatan Kebijakan yang mencakup hulu-hilir

  1. Perencanaan Program KIA berbasis bukti
  2. Kebijakan menggunakan DAK untuk KIA

 


back kembali ke halaman PAKET KEBIJAKAN UNTUK PENURUNAN KEMATIAN IBU DAN BAYI DI INDONESIA


mdg4-5Pengantar Paket Kebijakan Untuk Mengurangi Kematian Ibu dan Bayi di Indonesia

mdg4-5 Analisis Kebijakan Ibu dan Anak Di Indonesia

mdg4-5 Pemetaan Intervensi (Hulu-Hilir).

Pemetaan Intervensi (Hulu-Hilir)

mdg4-5Pemetaan Intervensi  (Hulu-Hilir)


      

Mengunakan pendekatan komprehensif untuk mengurangi kematian ibu dan anak. Pendekatan komprehensif ini menggunakan prinsip continuum of care dari hulu kehilir. Intervensi di hulu terkait dengan program KB, perbaikan gizi, wanita, dan social ekonomi. Intervensi dihilir adalah bagaimana meningkatkan mutu pelayanan klinik untuk ibu dan anak di rumah sakit. Sejak tahun 2009, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM mengembangkan berbagai program intervensi inovasi di dalam KIA secarakomprehensif.

      

Tujuan program intervensi adalah untuk mengurangi kematian ibu dan bayi. Para pembaca web ini dapat klik untuk mempelajari berbagai pengembangan inovatif, dan juga intervensi-intervensi lainnya. silahkan klik http://kesehatan-ibuanak.net 

Berdasarkan analisis kebijakan, dilakukan kegiatan untuk mencari kebijakan di masa mendatang (analysis for policy). Prinsip yang dipergunakan adalah:

  1. Menggunakan pendekatan dari Hulu ke Hilir. Kebijakan dan program KIA dapat dibayangkan sebagai sebuah model hulu yang berisikan program-program preventif dan promotif yang banyak menggunakan pendekatan lintas sector (One Health) dan determinan social. Hilirnya adalah kegiatan-kegiatan klinis.
  2. Menggunakan jumlah kematian absolut sebagai indikator kinerja program KIA. Angka Rates akan dipergunakan sebagai cross-check dan dilakukan dalam dua pendekatan: (1) berdasarkan data dari angka absolut; dan (2) berdasarkan data survey.
  3. Menggunakan filosofi utama dalam kebijakan KIA yaitu mengembalikan “sense of urgency” dan adanya “peningkatan adrenalin” dalam program. Untuk itu diperlukan penggunaan surveilans-respon kematian ibu dan anak. Kematian ibu dan anak yang tidak perlu (avoidable) harus dapat dicegah.
  4. Memperbaiki perencanaan dan monitoring dan evaluasi dengan menggunakan pendekatan Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence Based Policy).

Tujuan program intervensi adalah untuk mengurangi kematian ibu dan bayi. Para pembaca web ini dapat untuk mempelajari berbagai pengembangan inovatif, dan juga intervensi-intervensilainnya.


back kembali ke halaman PAKET KEBIJAKAN UNTUK PENURUNAN KEMATIAN IBU DAN BAYI DI INDONESIA


mdg4-5Pengantar Paket Kebijakan Untuk Mengurangi Kematian Ibu dan Bayi di Indonesia

mdg4-5 Analisis Kebijakan Ibu dan Anak Di Indonesia

mdg4-5 Policy Brief dengan Pendekatan Pemetaan Intervensi Hulu Hilir

Analisis Kebijakan Ibu dan Anak Di Indonesia

mdg4-5Analisis Kebijakan Ibu dan Anak Di Indonesia


      

Analisis kebijakan ini menggunakan pendekatan analisis segitiga kebijakan dari Bose. Kesimpulan Analisis Kebijakan adalah sebagai berikut:

1. Isi

Terjadi fragmentasi pelayanan KIA antara pelayanan dengan pelayanan sekunder dan tersier. Penggunaan data kematian absolut kurang dimaksimalkan. Kebijakan terlalu menekankan pada penggunaan rates dengan data yang sudah terlambat dan memberikan rasa aman yang palsu (misal sudah lebih baik dari angka rata-rata nasional).

      

Kebijakan monitoring dan evaluasi program belum maksimal dijalankan, padahal kunci keberhasilan program berada pada monitoring dan evaluasi program dan pelaksanaan kebijakan. Dana dekonsentrasi untuk perencanaan dan pembinaan teknis (termasuk monev) belum maksimal dipergunakan. Secara tegas dapat dinyatakan bahwa kebijakan KIA tidak fokus pada indikator kematian.

2. Aktor

Kebijakan selama ini menimbulkan situasi dimana banyak pelaku di pelayanan primer dan pencegahan namun masih kurang di aspek klinis. Hal ini terjadi karena selama puluhan tahun KIA aktif dikelola oleh DitJen BinKesmas. Sementara pelaku di rumahsakit belum begitu aktif (sebelum reorganisasi Kemenkes yang menghasilkan DitJen Bina Upaya Kesehatan). Profesi yang paling banyak menjadi obyek kebijakan adalah bidan. Dokter Spesialis dan dokter umum kurang berperan. Kepemimpinan dokter spesialis dalam pengurangan kematian belum banyak ditekankan. Peran dokter umum dikesampingkan. Tidak ada tenaga ahli manajemen untuk perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring-evaluasi program KIA. Kerjasama lintas sektor untuk promosi dan pencegahan hulu belum maksimal. Para pelaku promosi dan pencegahan yang lintas sektor belum banyak memberikan kontribusi.

3. Konteks kebijakan Dampak Kebijakan Desentralisasi di sektor kesehatan belum banyak diperhitungkan.

Isu program KIA belum diperhatikan di daerah, khususnya di kabupaten. Pemerintah pusat sudah mempunyai perhatian besar untuk KIA, namun tidak mampu mengajak pemerintah propinsi dan kabupaten untuk memperhatikannya. Di berbagai daerah anggaran untuk KIA masih rendah. Kebijakan KIA terlihat hanya satu di seluruh Indonesia. Perbedaan tempat kematian ibu dan bayi dimana di pulau Jawa sebagian besar berada di rumahsakit belum diperhatikan.

4. Proses Kebijakan

Kebijakan KIA sering ditetapkan secara top-down dari pemerintah pusat. Di masa lalu inisiatif kebijakan sering berasal dari lembaga di luar negeri. Kebijakan yang berasal dari daerah belum banyak muncul. Saat ini dari NTT dan DIY sudah mulai ada inisiatif untuk kebijakan di daerah. Inisiatif daerah ini menimbulkan berbagai inovasi seperti adanya Revolusi KIA di NTT atau penyusunan manual rujukan dan Peraturan Gubernur tentang Rujukan KIA di DIY. Saat ini belum popular adanya tim monitoring dan evaluasi kebijakan dan program KIA yang independen. Akibatnya belum ada mekanisme kontrol yang sehat terhadap efektifitas kebijakan dan program KIA.


back kembali ke halaman PAKET KEBIJAKAN UNTUK PENURUNAN KEMATIAN IBU DAN BAYI DI INDONESIA


mdg4-5Pengantar Paket Kebijakan Untuk Mengurangi Kematian Ibu dan Bayi di Indonesia

mdg4-5 Pemetaan Intervensi (Hulu-Hilir).

mdg4-5 Policy Brief dengan Pendekatan Pemetaan Intervensi Hulu Hilir