Parallel 3
Konsep Pemberian Kompensasi Pada Daerah Belum Tersedia Fasilitas Kesehatan yang Memenuhi Syarat
Sesi Paralel 4 menghadirkan 3 pembahas yaitu dr. Ismiwanto Cahyono, MARS selaku dari Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kemenkes Ri. Kedua adalah dr. Dwi Martiningsih, M.Kes, AAK selaku Deputi Direksi Riset dan Pengembangan BPJS Kesehatan Pusat. Ketiga dr. Fachrurrazi, MM, AAK selaku Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan Primer BPJS Kesehatan Pusat.
Materi
Di awal pembahasan, dr. Ismiwanto Cahyono, MARS menekankan menindaklanjuti UU 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dimana dijelaskan mengenai daerah yang belum tersedia fasilitas kesehatan dan belum memenuhi syarat, dalam kalimat tersebut terdapat kata-kata “memenuhi syarat” setelah melakukan penelusuran lebih jauh lagi hingga sampai saat ini, dimana belum ada yang menguraikan atau menjelaskan mengenai apa yang dimaksud “fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat” atau dengan kata lain belum mempunyai definisi operasional yang jelas.
Selanjutnya dr. Dwi Martiningsih, M.Kes, AAK menjelaskan bahwa dalam hal puskesmas yang tidak memungkinkan untuk dibayarkan menggunakan kapitasi maka dapat dibayarkan dengan mekanisme lain yang lebih berdaya guna, proses ini masih dalam proses penghitungan kembali apakah daerah tersebut masih memungkinkan untuk dibayarkan kapitasi atau tidak, namun apabila puskesmas tersebut tetap tidak memungkinkan maka dibuat mekanisme yang lain, sehingga daerah yang tidak terjangkau dapat terlayani dengan mekanisme atau metode yang lain. Saat ini sedang dilakukan 3 kajian terkait metode pembayaran kapitasi untuk daerah yang tidak memungkinkan untuk diberikan kapitasi, kajian pertama adalah dengan melihat 130 PKM dengan Unit Cose tertinggi, Kedua real cost biaya di FKTP untuk melihat kapitasi yag dibayarkan apakah kelebihan atau kekurangan, Ketiga efektifitas pelayanan Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan (KBK), dari hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan suatu solusi mekanisme pembayaran di FKTP yang lebih efektif dan efisien termasuk mengatasi permasalahan di daerah yang belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat.
Saran yang diberikan oleh dr. Fachrurrazi, MM, AAK terkait definisi untuk daerah yang belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat adalah dengan membuat definisi operasional terlebih dahulu sehingga diharapkan nantinya tidak adanya tumpang tindih antara regulasi yang ada, apabila regulasi tersebut berseberangan atau dengan kata lain tidak saling mendukung akan berdampak pada terjadinya kebingungan bagi para penyelenggara pelayanan kesehatan.
Parallel 4
Kemampuan Fiskal dalam Membiayai Sektor Kesehatan
Topik yang diangkat dalam sesi paralel 3 Forum Nasional VII Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia mengenai kemampuan fiskal dalam membiayai belanja di sektor kesehatan. Hadir dalam kesempatan ini Bimo Wijayanto (Tenaga Ahli Utama, Kantor Staf Kepresidenan, Kedeputian Bidang Kajian Isu-isu Sosial Budaya dan Ekologi Strategis), Wahyudi Sulestyanto (Kasubdit Pemantauan dan Evaluasi Pendapatan Asli Daerah, Dirjen Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan), Wahyu Utomo (Kepala Bidang Kebijakan Belanja Pusat dan Pembiayaan, Kementerian Keuangan RI), dan Prof. Hasbullah Thabrany, (Tenaga Ahli Dewan Jaminan Sosial Nasional). Membuka sesi ini, Giovanni Van Empel (Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM) menyampaikan beberapa isu terkait dengan kapasitas fiskal dalam membiayai belanja sektor kesehatan khususnya dalam konteks defisit/mismatch dana JKN. Sebagaimana disampaikan, komitmen untuk mencapai anggaran 5% untuk kesehatan telah tercapai pada tahun 2016. Proporsi belanja kesehatan juga mencapai 7% dari total belanja negara pada tahun yang sama. Akan tetapi, kondisi defisit dana JKN setiap tahun selalu menimbulkan perdebatan tentang skenario kebijakan yang akan diambil. Hal ini disebabkan karena kapasitas fiskal Indonesia yang diharapkan mampu menyokong belanja negara kurang mendukung pembiayaan sektor publik, termasuk sektor kesehatan dan secara spesifik program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Bimo Wijayanto menyampaikan bahwa pada dasarnya kinerja JKN dinilai cukup positif, akan tetapi masih memiliki banyak celah yang harus ditutupi. Diakui bahwa anggaran Indonesia untuk kesehatan masih cukup rendah jika dibandingkan negara ASEAN lain. Indonesia berada pada urutan 4 terendah di atas Kamboja, Myanmar, dan Laos. Hal ini tentu berimplikasi pada outcome kesehatan nasional seprti capaian angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) serta indikator lainnya. Beberapa strategi diterapkan pemerintah antara lain dengan meningkatkan pendapatan dari pajak melalui kebijakan tax amnesty, meminimalisir penggelapan pajak dengan menerapkan undang-undang, dan beberapa strategi lain yang diharapkan dapat berdampak pada peningkatan alokasi pembiayaan sektor publik, khususnya JKN. Menanggapi hal ini, Bimo menyampaikan bahwa sudah saatnya pemerintah memilih program prioritas. Selain itu, keseimbangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam membiayai program kesehatan perlu dilakukan, termasuk sinergisitas investasi keduanya. Perluasan cakupan JKN melalui peningkatan kesadaran penduduk (voluntary compliance) peserta bukan penerima upah (PBPU) mutlak dilakukan. Peningkatan pendapatan dari cukai misalnya rokok juga merupakan salah satu alternatif yang cukup potensial untuk menutup defisit dana JKN, meskipun pengelolaan dana bagi hasil tembakau di daerah masih belum sepenuhnya sesuai dengan harapan.
Wahyudi Sulestyanto menambahkan, kebijakan di lingkungan Kementerian Keuangan terkait dengan anggaran di daerah yang dialokasikan untuk sektor kesehatan antara lain dana perimbangan (dana alokasi khusus bidang kesehatan), dana bagi hasil (cukai), dan pendapatan asli daerah (PAD). Meskipun undang-undang mengamanatkan alokasi dana APBN minimal 5% dan APBD 10% untuk kesehatan, pada kenyataannya di daerah belum terjadi sinergi alokasi antara beberapa sumber dana dalam mendukung layanan kesehatan. Sekitar 14% dari APBD masih dialokasikan untuk belanja pegawai, bukan murni untuk belanja layanan kesehatan. Selain itu, beberapa sumber dana tersebut belum diarahkan juga dialokasikan untuk JKN dalam rangka membantu menutup defisit. Oleh karena itu, perlu regulasi untuk mensinergikan aokasi dana pusat dan daerah untuk mendukung pembiayaan JKN.
Wahyu Utomo menekankan bahwa JKN memiliki nilai yang strategis baik dari sisi ekonomi maupun fiskal. Disampaikan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara outcome kesehatan dengan kapasitas fiskal. Kementerian keuangan sangat mendukung kebijakan JKN agar terlaksana secara efektif, memiliki keberlangsungan finansial, serta memiliki dukungan kapasitas fiskal yang cukup sehingga berdampak pada masyarakat luas. Beberapa ukuran yang diharapkan tercapai yaitu terjadinya peningkatan akses yang ditandai dengan meningkatnya utilisasi layanan kesehatan, adanya perlindungan finansial (financial protection) yang identik dengan rendahnya out of pocket, dan peningkatan kualitas layanan kesehatan yang merata. Menurut Wahyu, sudut pandang terhadap defisit dana JKN perlu diubah. Bukan hanya mitigasi yang ditekankan untuk mengatasi defisit, tapi road map JKN lah yang seharusnya diperkuat. Artinya, road map JKN harus jelas dan memiliki dampak yang terukur. Apabila JKN sudah dijalankan sesuai dengan road map namun terjadi defisit, maka pemerintsh bertanggung jawab untuk mengatasinya. Wahyu juga mengusulkan beberapa solusi terkait isu defisit dana JKN ini, yaitu mengoptimalkan kolektabilitas iuran, peningkatan kualitas layanan dan efisiensi melalui strategic purchasing termasuk melakukan review tarif INA-CBGs, cost sharing, dan mendorong FKTP sebagai gatekeeper, serta efisiensi layanan operasional BPJS Kesehatan itu sendiri melalui program kerja yang kredibel.
Sesi paralel 3 ini ditutup dengan paparan Prof. Hasbullah Thabrany yang menyatakan, permasalahan kesehatan Indonesia terjadi karena para pejabat publik belum memahami amanat undang-undang yang menegaskan bahwa setiap penduduk memiliki hak atas layanan kesehatan. Bagi Hasbullah, kurang tepat menjadikan ketidakmampuan fiskal sebagai alasan minimnya alokasi dana pemerintah untuk kesehatan, yang ada hanyalah “ketidakmauan fiskal”. Artinya, sebenarnya dana tersebut tersedia baik di level pemerintah pusat maupun daerah, namun pejabat publik enggan mengalokasikan dana tersebut untuk mendukung peningkatan kesehatan masyarakat. Banyak negara yang memiliki penghasilan lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia namun mampu mengalokasikan dana untuk kesehatan yang lebih tinggi. Hal ini berarti akar permasalahan bukan berada pada kemampuan finansial, akan tetapi prioritas. Kesehatan belum menjadi prioritas bahkan belum dijadikan sebagai kebutuhan dasar di Indonesia. Seringkali sektor kesehatan menjadi korban politik kepentingan di Indonesia. Oleh sebab itu, beberapa rekomendasi sebagai penutup sesi ini antara lain perlunya dukungan regulasi untuk mendorong fleksibilitas penggunaan dana JKN di daerah termasuk sisi akuntabilitas penggunaannya, perlunya mitigasi yang strategis untuk menghadapi defisit dana JKN, serta perbaikan sistem serta kualitas layanan kesehatan dalam cakupan JKN.
Reportase oleh: Dedik Sulistiawan