Reportase Pertemuan 3: Meningkatkan Keadilan Sosial dalam Industri sektor Kesehatan
30 Desember 2024
PKMK-Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM) menyelenggarakan rangkaian webinar 10 tahun kebijakan JKN pada Desember 2024. Seri 3 pertemuan tersebut digelar pada Senin (30/12/2024) dengan topik Meningkatkan Keadilan Sosial dalam Industri sektor Kesehatan. Kegiatan dibuka oleh moderator Hermawati Setiyaningsih, S.Si (Pusat KPMAK UGM) dan dilanjutkan dengan sesi 1 membahas tentang Meningkatkan Keadilan Sosial dalam Industri Sektor Kesehatan.
Sesi 1: Meningkatkan Keadilan Sosial dalam Industri Sektor Kesehatan
Sesi 1 diawali dengan pemaparan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD. membahas tantangan utama Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) selama 10 tahun terakhir, yang mencakup 3 tahun masa pandemi COVID-19, menunjukkan dinamika yang kompleks dalam mencapai keberlanjutan program dengan prinsip keadilan sosial. Sebelum pandemi, JKN menghadapi tantangan seperti disparitas antar segmen peserta dan keterbatasan pendanaan, terutama pada segmen Penerima Bantuan Iuran (PBI). Pandemi COVID-19 membawa perubahan signifikan, termasuk penggunaan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk pelayanan kesehatan terkait COVID-19. Namun, ketidaksesuaian penggunaan dana antar segmen peserta dan ketergantungan sistem pada alokasi anggaran APBN menimbulkan ketidakadilan dalam akses dan mutu pelayanan, terutama bagi masyarakat miskin dan daerah terpencil. Hal ini menegaskan bahwa meskipun JKN bertujuan mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, implementasinya belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip UUD 1945 dan tujuan UU SJSN.
Dalam konteks industri kesehatan, keberadaan JKN telah mempengaruhi pertumbuhan rumah sakit swasta di wilayah ekonomi tinggi, namun tanpa peningkatan signifikan pada pemerataan layanan di daerah terpencil atau daya saing internasional. Model pembiayaan INA-CBG berbasis fee-for-service dinilai lebih mendukung pertumbuhan rumah sakit di kota besar dibandingkan dengan daerah miskin atau terpencil. Selain itu, peran BPJS yang seharusnya bersifat non-profit justru memicu peningkatan komersialisasi pelayanan kesehatan, bertolak belakang dengan tujuan utama JKN. Untuk mewujudkan keberlanjutan program JKN dengan prinsip keadilan sosial, diperlukan reformasi mendalam, termasuk pengembangan kebijakan yang lebih strategis dalam pembiayaan dan distribusi pelayanan kesehatan, serta penguatan mutu pelayanan berbasis kebutuhan masyarakat yang merata
Sesi 2: Rekomendasi untuk Meningkatkan Keadilan Sosial dalam Industri Sektor Kesehatan
Laksono menyoroti pentingnya reformasi kebijakan yang terfokus pada pengelolaan pendanaan berbasis segmen dan eksplorasi sumber pendanaan non-BPJS. Tantangan utama adalah stagnasi share belanja kesehatan dalam GDP Indonesia, yang hanya sekitar 3%, jauh di bawah negara-negara lain seperti Amerika Serikat yang mencapai 16%. Keterbatasan ini diperburuk oleh rendahnya rasio pajak terhadap GDP (sekitar 10%), yang membatasi kontribusi pendanaan publik. Laksono menekankan bahwa dana APBN dan APBD harus diprioritaskan untuk masyarakat miskin dan daerah terpencil, sementara segmen yang lebih mampu dapat diarahkan pada model pendanaan swasta seperti askes komersial dan filantropi. Untuk itu, diperlukan pendekatan dua lapis, yakni skenario pendanaan berbasis segmen BPJS untuk efisiensi dan pemerataan, serta eksplorasi sumber pendanaan non-BPJS untuk melengkapi kebutuhan yang tidak dapat ditanggung pemerintah.
Pendekatan berbasis skenario untuk mengoptimalkan pendanaan BPJS, dengan skenario peningkatan klaim rasio pada segmen yang tidak defisit seperti PBI APBN, PPU-ASN, dan PPU-BU untuk mendukung akses lebih merata, serta mendorong segmen defisit untuk efisiensi melalui penyesuaian premi dan penguatan mutu layanan. Pendekatan pendanaan non-BPJS juga menjadi rekomendasi strategis, terutama melalui penggalian sumber seperti askes komersial, filantropi, dana perusahaan, dan kontribusi luar negeri. UU Kesehatan 2023 dan Nomor PP 17 Tahun 2024 membuka peluang untuk diversifikasi pendanaan, namun implementasinya membutuhkan kebijakan konkret, termasuk regulasi terkait fraud dan sistem pool yang mendukung daerah terpencil. Pemerintah dan organisasi kesehatan diharapkan berkolaborasi untuk merevisi UU SJSN dan UU BPJS agar lebih sesuai dengan prinsip keadilan sosial. Kreativitas dan inovasi dalam pengembangan pelayanan non-BPJS juga menjadi tanggung jawab operator kesehatan, seperti rumah sakit dan klinik, untuk mengatasi ketergantungan pada sistem pendanaan publik.
Materi dan rekaman video kegiatan dapat disimak pada link berikut:
Reporter: Via Angraini (PKMK UGM)