Reportase Pengenalan Pembelajaran Kelembagaan

untuk Penelitian Kebijakan bagi Fakultas-Fakultas kedokteran di Indonesia

22 Juli 2024

22jul 2

PKMK UGM – Pada 22 Juli 2024, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM) menyelenggarakan webinar bertajuk “Pengenalan Pembelajaran Kelembagaan untuk Penelitian Kebijakan bagi FK-FK di Indonesia”. Kegiatan ini diselenggarakan secara daring melalui zoom meeting yang dimoderatori oleh Via Anggraini, SKM. Narasumber pada webinar ini adalah Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD yang merupakan dosen dan guru besar di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM.

Laksono membahas Pengenalan Pembelajaran Kelembagaan untuk penelitian kebijakan kesehatan di Fakultas Kedokteran (FK) di Indonesia. Konsep ini menggabungkan pembelajaran individu dan pembelajaran organisasi, dengan tujuan meningkatkan kinerja lembaga melalui pemahaman dan penerapan kedua jenis pembelajaran tersebut. Fokus utamanya adalah bagaimana FK dapat berkontribusi dalam pembuatan kebijakan kesehatan. Pada pembelajaran kelembagaan menekankan kolaborasi antara peneliti, pengelola data, penulis policy brief, dan advokator untuk menciptakan kebijakan yang efektif. Tantangannya adalah memastikan hasil pembelajaran individu dapat diintegrasikan ke dalam konteks organisasi sehingga dapat mempengaruhi proses kebijakan dan menyelesaikan masalah kesehatan di dunia nyata. Pembelajaran organisasi penting untuk memastikan bahwa hasil penelitian diimplementasikan dalam dunia nyata, bukan hanya berhenti di jurnal ilmiah.

Narasumber juga menyoroti pentingnya Evidence-Based Medicine (EBM) dan Evidence-Based Policy Making (EBP) dalam proses penyusunan kebijakan kesehatan. Dalam pembuatan kebijakan, diperlukan bukti terbaik yang saat itu tersedia untuk membuat keputusan dalam keadaan masalah yang mendesak. Kebijakan tidak hanya berdasarkan bukti ilmiah, tetapi juga harus mempertimbangkan pengalaman, kepercayaan, dan nilai-nilai. Bukti ilmiah seringkali tidak mencapai pembuatan kebijakan karena berbagai faktor. Fakultas Kedokteran (FK) memainkan peran penting dalam banyak kebijakan, seperti dalam kasus diabetes mellitus. Diperlukan kebijakan untuk memastikan masalah yang ada tidak dibiarkan dan memberikan impact yang dapat diukur. Kebijakan harus memiliki indikator yang jelas untuk melihat dampaknya dan memastikan perubahan positif terjadi.

Pada sesi tanya jawab, Johny Setyawan, MBA menanyakan mengenai bahwa perguruan tinggi sering tertinggal dalam memahami permasalahan mendesak di dunia nyata. Laksono menekankan bahwa memang terdapat kesenjangan antara perguruan tinggi dan dunia nyata dalam memahami dan menangani masalah kesehatan yang mendesak. Meskipun pembuat kebijakan di lapangan membutuhkan bukti ilmiah terkini, seringkali penelitian dari perguruan tinggi kurang update terhadap isu masalah kesehatan terkini. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih integratif, di mana akademisi secara aktif menerapkan ilmu mereka di lapangan salah satunya melalui pendekatan problem-solving.

Materi   video

Reporter:
Hasna dan Via Anggraini (Divisi Public Health, PKMK UGM)

 

 

 

Reportase webinar Menerjemahkahkan Hasil Riset untuk Proses Kebijakan melalui Policy Brief

Rangkaian webinar penelitian kebijakan untuk para dosen Poltekkes

  7 Februari 2024

7feb1Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, Ph.D., selaku Guru Besar dan Pakar Bidang Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM memberikan pengantar pada Seri ke-3 Webinar Penelitian Kebijakan untuk Para Dosen Poltekkes menyampaikan bahwa teman-teman Poltekkes telah hadir dalam webinar perlu diberikan opsi untuk mengikuti webinar secara perorangan, meskipun dianjurkan untuk membentuk kelompok. Meskipun ada ujian perorangan, kelompok juga diperbolehkan.

Dosen menekankan pentingnya berpartisipasi dalam kelompok, tetapi para dosen memahami bahwa beberapa peserta mungkin tidak memiliki kelompok. Selama sesi, mereka memasuki topik kebijakan publik, membahas bagian-bagian penting dari proses kebijakan, dimana hasil riset dan analisis disampaikan. Mereka juga membahas hasil angket minggu sebelumnya yang dapat menjadi landasan untuk pembahasan dalam konteks kebijakan. Webinar ini mencatat partisipasi aktif dari sekitar 500 peserta dari 1000 yang terdaftar. Dosen menyampaikan pentingnya pembuatan proposal bersifat multicenter untuk penelitian atau implementasi, seperti contoh riset implementasi dalam menggunakan alat antropometri.

7feb2

Sebelum memulai sesi webinar, Tri Muhartini, MPA., selaku peneliti PKMK FK-KMK UGM menyampaikan hasil pengisian angket evaluasi yang telah diisi oleh peserta pertemuan webinar sebelumnya bahwa hasil angket menunjukkan peningkatan pemahaman peserta setelah mengikuti webinar dari pertemuan sebelumnya. Dari 346 peserta yang mengisi angket, terlihat bahwa sebelum webinar, 63% peserta tidak memahami pertanyaan riset implementasi, namun setelahnya, jumlah peserta yang memahami meningkat menjadi 78%, sementara yang sangat paham naik dari 2% menjadi 20%.

Pemahaman tentang peran riset implementasi dalam siklus kebijakan juga mengalami peningkatan, dari 21% sebelum webinar menjadi 78% setelahnya. Pemahaman peserta mengenai contoh-contoh metode penelitian juga meningkat, dan pemahaman tentang outcome dari implementasi kebijakan mengalami perubahan positif secara signifikan. Meskipun masih ada peserta yang belum memahami beberapa aspek, secara keseluruhan, webinar ini membawa peningkatan pemahaman peserta terkait implementasi kebijakan dan metode penelitian. Evaluasi ini memberikan dasar untuk tindakan selanjutnya dan menunjukkan bahwa ada potensi perbaikan pada karakteristik implementasi yang masih perlu ditingkatkan untuk mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi.

7feb3Narasumber pertama, Shita Listyadewi, MPP., selaku Kepala Divisi Public Health PKMK FK-KMK UGM menyatakan bahwa bagaimana kita menerjemahkan hasil riset untuk proses kebijakan melalui policy brief. Shita yakin Indonesia memiliki banyak riset-riset yang telah dilakukan, dan pihaknya juga yakin bahwa ada terbersit keinginan hasil riset tersebut dimanfaatkan oleh para pengambil kebijakan. Webinar pada pagi hari ini sangat cocok bagi peserta karena akan membantu para peserta memperoleh pemahaman dasar mengenai cara menerjemahkan hasil-hasil tersebut untuk proses kebijakan.

Kita akan membahas tiga hal, pertama, peran evidence dalam proses penyusunan kebijakan; kedua, pemahaman tentang knowledge translation; dan ketiga, strategi penggunaan policy brief untuk mempengaruhi proses pengusungan kebijakan. Perlu diingat bahwa evidence policy menjadi isu yang disorot belakangan ini, dimana evidence harus menjadi dasar pengambilan kebijakan. Namun, hal ini tidak selalu mudah karena adanya faktor-faktor lain seperti konteks politik, nilai-nilai yang berbeda, dan ketersediaan sumber daya yang mempengaruhi penerimaan dan pemanfaatan evidence oleh para pengambil kebijakan. Oleh karena itu, diperlukan strategi knowledge translation untuk mendekatkan para peneliti dengan para pengambil kebijakan agar bukti-bukti penelitian dapat bermanfaat dalam proses kebijakan.

7feb4Narasumber kedua, Tri Muhartini, MPA., selaku peneliti PKMK FK-KMK UGM menyatakan bahwa pada dasarnya, policy brief sering didefinisikan sebagai dokumen ringkas atau ringkasan kebijakan, juga dikenal sebagai produk kebijakan di Kementerian Kesehatan. Policy brief awalnya adalah ringkasan kebijakan yang sering menjelaskan evidence atau hasil penelitian dalam bentuk grafik dan teks. Policy brief memiliki tujuan untuk memberikan informasi kepada pengambil keputusan tentang masalah yang perlu diperhatikan dan mendorong mereka untuk mengambil tindakan sesuai dengan rekomendasi yang disampaikan.

Dalam penyusunan policy brief, penting untuk memperhatikan standar dokumen, baik yang umum maupun kompleks, dan memperhatikan faktor penyebab masalah serta opsi kebijakan yang diajukan. Policy brief dapat disusun oleh lembaga penelitian, kelompok advokasi, lembaga pemerintah, atau lembaga internasional, dan ditujukan terutama kepada pembuat kebijakan, birokrasi pelaksanaan, dan akademisi. Dalam penyusunan policy brief, strategi advokasi perlu diterapkan, dengan memperhatikan faktor penyebab masalah, ukuran masalah, dan rekomendasi kebijakan yang spesifik. Standar dokumen policy brief yang kompleks dapat membantu dalam proses dialog kebijakan dan strategi advokasi yang lebih efektif.

Di akhir sesi, terdapat beberapa pertanyaan dari peserta. Pertanyaan pertama Dewi Aryani dari Poltekkes Tasikmalaya, “Mohon diberi penjelasan yang spesifik atau best practice mengenai dialog kebijakan (khususnya perbedaan dengan FGD)?”. Shita Listyadewi menjawab, “FGD merupakan teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif yang bertujuan untuk menggali informasi dari para informan yang diundang ke dalam sesi diskusi. Namun, dalam konteks dialog kebijakan, kegiatan ini lebih spesifik dan difokuskan pada isu kebijakan. Dialog kebijakan membahas secara mendalam isu kebijakan tertentu dengan tujuan yang jelas terkait pembahasan kebijakan tersebut.

Perbedaan mendasar terletak pada fokus dan tujuan yang lebih jelas dalam dialog kebijakan dibandingkan dengan FGD yang lebih berorientasi pada pengumpulan informasi. Meskipun ada banyak perbedaan dalam pelaksanaannya, webinar ini menjadi peluang bagi peserta untuk mendalami topik tersebut lebih lanjut. Dengan demikian, perbedaan utama terletak pada tujuan, fokus, dan output yang dihasilkan dari kedua kegiatan tersebut”. Selain itu, Tri Muhartini juga menambahkan, “Jika kita melibatkan diri dalam dialog kebijakan, perlu diingat bahwa ini adalah suatu proses yang sangat berbeda dengan politik konvensional. Berdasarkan pengalaman kami, praktek yang umum dilakukan pada tahap akhir dialog kebijakan adalah mencapai suatu kesepakatan dengan pengambil keputusan terkait rekomendasi dan opsi kebijakan yang telah kita ajukan. Dalam konteks ini, kita berupaya memastikan bahwa pemangku kepentingan dan pengambil keputusan yang diundang dapat mencapai kesepakatan untuk mengadopsi salah satu opsi kebijakan yang telah diusulkan”.

Pertanyaan kedua Asrie Abu dari Poltekkes Mamuju, “Apakah judul policy brief dapat dimodifikasi atau dibuat sedikit berbeda dengan judul primary research-nya?”. Shita Lisyadewi menjawab “Policy brief yang merupakan ringkasan penelitian, dapat berbeda dengan judul penelitian utama. Ini disebabkan oleh perbedaan dalam sifatnya. Ringkasan penelitian tentu harus memiliki judul yang sama persis dengan penelitian utama yang dilakukan. Namun, dalam konteks policy brief, judulnya diperbolehkan untuk berbeda, bahkan sebaiknya berbeda.

Hal ini dikarenakan sulit membayangkan apakah judul policy brief yang sama persis dengan penelitian utama dapat memberikan motivasi kepada pengambil kebijakan untuk bertindak. Nature dari policy brief sendiri menuntutnya untuk dapat memotivasi pengambil kebijakan dalam melakukan suatu tindakan. Sehingga, judul policy brief cenderung membahas tema, isi, atau permasalahan di dalam suatu isu yang berbeda.

Singkatnya, judul policy brief sebaiknya berbeda dengan judul penelitian utama, mencerminkan sifatnya yang lebih bersifat motivasional dalam memicu tindakan”. Tri Muhartini juga menambahkan, “Dalam melaksanakan kebijakan tersebut, penting untuk menciptakan judul policy brief yang sesuai. Berdasarkan pengalaman pribadi, seringkali judul policy brief yang dibuat berbeda dengan judul penelitian yang dilakukan. Dalam konteks ini, policy brief-nya pun bisa lebih dari satu, tergantung pada temuan dan konteks penelitian.

Sebagai contoh, dalam penelitian inklusivitas yang pernah saya lakukan, kita memecah hasil penelitian menjadi beberapa policy brief berdasarkan konteks daerahnya, terutama karena advokasi ditujukan kepada pemerintah daerah. Oleh karena itu, jumlah policy brief dapat disesuaikan dengan konteks penelitian dan target advokasi yang kita miliki”.

Reporter: Agus Salim, MPH.
(Divisi Public Health, PKMK UGM)

 

 

 

Reportase Webinar Penelitian Kebijakan untuk Para Dosen Poltekkes

  25 Januari 2024

Seri I Riset Kebijakan Kesehatan Sebagai Peluang Policy Windows

Acara ini diawali dengan pengantar yang disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD dan dilanjutkan pemaparan materi utama yang disampaikan oleh Dr. Gabriel Lele, M.Si. Topik yang diangkat pada seri pertama ini mengangkat mengenai riset kebijakan yang diperuntukkan bagi para dosen yang berbasis di Politeknik Kesehatan (Poltekkes), dan apa peluang-peluang yang bisa dimanfaatkan dari adanya riset kebijakan.

Pengantar oleh Prof. Laksono Trisnantoro

25jan1Terdapat 4 poin utama yang disampaikan oleh Prof. Laksono, pertama mengenai tantangan untuk Poltekkes, kemudian dilanjutkan dengan paparan hasil survey exposure, diikuti penjelasan kegiatan yang dilaksanakan dalam seri webinar ini dan terakhir adalah pembelajaran yang diperuntukkan bagi perorangan dan kelembagaan. Pada situasi terkini dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang berjalan beriringan dengan Transformasi Sektor Kesehatan, banyak kebijakan yang diinisiasi oleh pemerintah. Kebijakan tersebut meliputi kebijakan terhadap stunting, kebijakan untuk penyakit menular dan tidak menular, alat kesehatan, jaminan kesehatan dan masih banyak lagi.

Banyaknya kebijakan yang disusun oleh pemerintah tentu saja tidak lepas dari siklus proses kebijakan seperti penetapan agenda, perumusan kebijakan, penetapan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan monitoring serta evaluasi kebijakan (Monev). Peran monev ini cukup krusial karena proses ini dapat melihat ke seluruh proses tadi tentang bagaimana penyelenggaraannya dan konsep-konsep apa yang digunakan untuk menelurkan kebijakan yang akan diimplementasikan. Evaluasi ini tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah atau instansi pengawas di luar pemerintahan, tetapi juga dilaksanakan oleh pihak masyarakat seperti universitas, pusat studi, lembaga swadaya masyarakat dan media massa.

Posisi Poltekkes dalam peran monev ini perlu untuk diperkuat dan diperbanyak untuk turut serta. Jangan sampai posisi Poltekkes yang strategis untuk menjalankan riset tidak digali dan berakhir menjadi “penonton” saja. Peningkatan kapasitas untuk dosen Poltekkes supaya dapat turut serta dalam proses monev kebijakan menjadi cukup penting.

Hasil survey yang melibatkan 260 dosen Poltekkes menunjukkan hasil bahwa riset mengenai kebijakan adalah riset yang paling sedikit dilakukan. Khususnya pada studi berbasis evaluasi (research evaluation) dan systematic review. Hal ini menunjukkan perlunya peningkatan kapasitas bagi dosen Poltekkes untuk masuk ke dalam proses riset kebijakan kesehatan. PKMK FK-KMK UGM memfasilitasi dosen Poltekkes dengan series webinar yang bebas dan gratis untuk diakses, dan bisa menjadi awalan untuk membuka pengetahuan mengenai apa-apa saja peluang dan kemampuan apa saja yang harus dimiliki supaya dapat melaksanakan riset kebijakan. Selain materi yang diberikan, peserta di dalam webinar seri riset kebijakan juga diberikan peluang untuk dilatih skill-skill yang dibutuhkan.

pemaparan materi oleh Dr. gabriel Lele

25jan2Pokok-pokok pembelajaran yang disampaikan oleh Gabriel sebagai pemateri yaitu mengenai Dasar-Dasar dari Riset Kebijakan. Riset kebijakan adalah bagian dari studi kebijakan publik, dan kebijakan publik itu sendiri bermakna pilihan-pilihan yang diambil untuk dilaksanakan atau untuk tidak dilaksanakan oleh pemerintah (Thomas Dye). Gabriel juga mengutip pernyataan dari Easton bahwa kebijakan publik juga dapat dimaknai sebagai sebuah instrumen bersifat otoritatif untuk mengalokasi nilai.

Riset kebijakan didefinisikan sebagai sebuah proses investigasi atau analisis mengenai suatu masalah sosial yang penting atau fundamental untuk memberikan rekomendasi praktis bagi pembuat kebijakan supaya menyelesaikan masalah yang diinvestigasi. Sifat dari riset kebijakan bermacam-macam, dapat bersifat deskriptif, eksploratif, eksplanatif dan juga retrospektif. Contohnya pada saat ada perumusan kebijakan baru bisa dilaksanakan evaluasi kebijakan yang sedang berjalan seperti apa, dengan mengukur perubahan sosial, proyeksi (forecasting) fenomena tertentu, atau permodelan. Perlu juga diketahui dalam proses riset kebijakan umumnya dibarengi dengan pendekatan multi dan lintas disiplin.

Terdapat perbedaan antara riset kebijakan dan analisis kebijakan, pada riset kebijakan orientasinya adalah akademis yang digunakan untuk menghasilkan pengetahuan dengan sedikit implikasi praktis. Selain itu riset kebijakan atau studi kebijakan juga bersifat retrospektif, sebab yang didalami adalah kebijakan yang sudah berjalan atau yang sedang berjalan saat ini. Sementara analisis kebijakan orientasinya praktis dan juga bersifat preskriptif (menyelesaikan persoalan).

Meskipun demikian, orientasi antara keduanya dicampur dengan analisis kebijakan yang dapat menghasilkan rekomendasi kebijakan dengan menggunakan beragam metodologi. Orientasi riset kebijakan seperti yang disebutkan di awal adalah praktis, karena berurusan langsung maupun tidak langsung dengan pengambil kebijakan. Metode yang digunakan dalam riset kebijakan diantaranya adalah: kualitatif, kuantitatif, eksperimental, semi-eksperimental. Kasus yang diteliti dapat merupakan fenomena tunggal maupun jamak. Nilai-nilai yang difokuskan dalam rist kebijakan mencakup efisiensi, efektivitas, pemerataan dan keadilan. Lokus riset kebijakan meliputi agenda setting, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan.

Sesi berikutnya dilanjutkan dengan sesi diskusi (tanya-jawab) antara narasumber dan peserta webinar, rekaman kegiatan dapat disimak ulang melalui link berikut

VIDEO

Reporter: Eurica Steffany Wijaya (Divisi Public Health, PKMK UGM)

 

 

 

Dialog Nasional Bersama Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden 2024 tentang Kesehatan

Pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD

Pada sesi ketiga Dialog Nasional Capres-Cawapres 2024 yang digelar oleh Komunitas Profesi dan Asosiasi Kesehatan (KOMPAK) dan disiarkan melalui Kanal YouTube milik IAKMI, paslon nomor urut 3 berkesempatan untuk memaparkan visi dan misinya dalam bidang kesehatan. Pemaparan diwakili oleh Timses dari Paslon Nomor Urut 3 (Ganjar & Mahfud MD) yang terdiri dari:

  1. dr. Dripa Sabana
  2. dr. Michael Spika
  3. dr. Putu agus
  4. Satya Heragandhi

Dialog ini juga dihadiri oleh panelis yang memiliki latar belakang beragam, baik dari kedokteran, keperawatan, apoteker, kesehatan masyarakat dan lain-lain. Jumlah panelis yang hadir dalam dialog nasional ini sebanyak 12 orang yang terdiri dari:
Panelis:

  1. Hj. Oman Faturrahman, S.Ag., S.H., S.Kep
  2. Prof. Dr. Mufdlilah, S.ST., M.Kes
  3. Prof. Dr., Budi Santoso, Sp.OG
  4. Apt. Nurfendri
  5. Prof. dr. apt. Keri Lestari, M.Si
  6. Djamani, S.TR., AKK., AMM
  7. Rudatin, SST., SKM., M.Si
  8. Prof. drg., Anton Rahardjo, M.Sc., Ph.D
  9. Kol. Purn. Dwi Joko, HR, SKM., Mkes., MM
  10. Moh. Irfan, SKM, M.Fis
  11. Dr. Heri Priyatna, S.KM., S.Sos
  12. Prof. Dr., apt., Gemini Alan, M.Si

17jan12

Sama seperti sesi-sesi sebelumnya yang sudah lebih dulu dilaksanakan oleh paslon nomor urut 1 dan 2, didahului dengan penyampaian visi-misi dan program-program yang dijanjikan oleh paslon nomor tiga. dr. Dripa Sabana selaku perwakilan menyampaikan tagline di bidang kesehatan yaitu “Masyarakat Kesehatan Sejahtera, Rakyat Sentosa”. Misi yang berkaitan langsung dengan kesehatan adalah investasi manusia dan juga pelayanan masyarakat. Cara untuk mencapai misi tersebut menggunakan 3 platform yang direncanakan, diantaranya adalah digitalisasi, anggaran dan juga Sikat KKN. Ketiga platform ini akan dijelaskan lebih lanjut pada sesi diskusi.

Dripa menjelaskan adanya 6 tantangan yang dihadapi di bidang kesehatan, pertama tentang kurangnya akses ke layanan primer, kurangnya kapasitas pelayanan rujukan di rumah sakit, ketahanan kesehatan yang masih lemah, pembiayaan kesehatan yang belum efektif dan efisien, SDM Kesehatan yang masih belum baik dan merata, dan minimnya integrasi data dan teknologi kesehatan serta inovasi/bioinovasi. Melihat pada problem-problem tersebut, paslon nomor urut 3 menawarkan beberapa program.

Program yang pertama adalah 1 Desa, 1 Faskes, 1 Nakes, program ini bertujuan untuk meningkatkan jumlah puskesmas pembantu hingga berjumlah 45 ribu karena awalnya jumlah puskesmas hanya 10 ribu di Indonesia. Program yang kedua adalah Uang Saku Kader Posyandu, ditekankan bahwa jika ingin program preventif dan promotif dapat berhasil maka diperlukan peran dari Kader sebab pihak yang berjasa untuk memberikan edukasi dan menjadi ujung tombak upaya promotif dan preventif adalah Kader.

Dukungan untuk Kader tersebut berbentuk Uang Saku yang diberikan per bulan sebesar lima ratus ribu rupiah (Rp. 500.000,00). Program yang ketiga menyasar pada penduduk lanjut usia, yang diberi nama Lansia Bahagia, Anak Cucu Gembira. Penekanan program untuk penduduk lansia ini adalah pada pemberian jaminan kesehatan, bantuan modal usaha, bantuan sosial dan bantuan supaya ada pekerjaan yang dekat dengan rumah. Kemudian program keempat, adalah Tenaga Kesehatan Indonesia untuk Dunia. Tenaga kesehatan yang dimaksud pada program ini adalah nakes yang lulus dari program Vokasi.

Lapangan kerja untuk nakes lulusan vokasi diharapkan dapat berdiaspora di berbagai negara dan pemerintah dapat bekerjasama dengan pemerintah negara lain untuk penempatan tersebut. Selain itu, terdapat tendensi dari paslon nomor urut 3 untuk melaksanakan perlindungan terhadap tenaga kesehatan, baik perlindungan dari sisi kesejahteraan dan perlindungan hukum. Pada digitalisasi, paslon nomor urut 3 memiliki rencana untuk melaksanakan integrasi identitas atau disebut dengan KTP Sakti, supaya program-program kesehatan dapat diikuti oleh masyarakat dengan identitas tunggal saja, tidak perlu multi-administrasi.

Setelah paparan selesai, dilanjutkan dengan diskusi. Panelis yang hadir menggali beberapa hal, salah satunya tentang isu keamanan bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan yang ditempatkan di daerah-daerah 3T yang sering kali menjadi penyebab tenaga medis atau tenaga kesehatan tidak betah untuk tinggal. Kemudian, terdapat juga pertanyaan mengenai pengarusutamaan upaya promotif dan preventif untuk mengurangi beban pembiayaan kesehatan.

Pada aspek kebijakan, juga terdapat concern dari panelis mengenai peraturan perundang-undangan tentang kesehatan yang baru disahkan, yaitu UU Nomor 17 Tahun 2023. Terutama, kaitannya dengan keberpihakan Paslon 3, apakah ada tendensi untuk meninjau kembali peraturan tersebut karena ada pertentangan-pertentangan yang terjadi pasca disahkan. Jawaban dari timses paslon nomr urut 3 dapat disimak lebih lanjut pada Kanal YouTube IAKMI OFFICIAL.

Reporter: Eurica Stefany Wijaya, MPH (PKMK UGM)

 Link Terkait

 

 

Dialog Nasional Bersama Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden 2024 tentang Kesehatan

Pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka

Yogyakarta, 16 Januari 2024

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Komunitas Profesi dan Asosiasi Kesehatan (KOMPAK) secara hybrid. KOMPAK mendukung sosialisasi dan penyebarluasan visi dan misi para pasangan calon sebagai implementasi ketaatan komunitas kesehatan terhadap Undang-Undang Pemilu. Mereka juga ingin memperkuat posisi tenaga medis, kesehatan, serta asosiasi kesehatan sebagai pemangku kepentingan kesehatan utama, dalam kerangka dedikasi yang setinggi-tingginya untuk pembangunan kesehatan bangsa. Pada sesi kedua, pasangan calon nomor urut 2 tidak dapat hadir pada acara hari ini. Oleh karena itu, kegiatan dilaksanakan dengan menyampaikan aspirasi dari para panelis. Pertanyaan dan masukan akan dicatat oleh tim sukses yang hadir dalam acara, untuk kemudian diteruskan kepada pasangan calon nomor urut 2.

Panelis pertama dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI)
Dr. Aprisunadi, S.Kep. Ns., M.Kep., Sp.Kep. MB.

17jan1

Aprisunadi menyampaikan bahwa dalam negara ini, saya ingin menekankan dua hal pertama mengenai tenaga kesehatan. Ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang tenaga kesehatan, seperti sertifikasi dan sebagainya. Namun, dalam praktiknya, sertifikasi tidak dihitung atau dinilai oleh negara, berbeda dengan profesi lain seperti guru yang langsung mendapatkan penghargaan setelah memperoleh sertifikasi.

Saya merasa bingung dan bertanya-tanya, mengapa tenaga kesehatan tidak mendapatkan perlakuan serupa? Apakah kita, sebagai tenaga kesehatan, mendapatkan pertanyaan dan jaminan dari negara terkait praktik kita? Saat ini, perlindungan untuk tenaga kesehatan hampir tidak ada, namun yang ada hanyalah penghargaan yang terbilang minim, yakni sekitar 1,2 juta. Artinya, pemberdayaan terhadap tenaga kesehatan belum sepenuhnya dilakukan, terutama di desa-desa. Kami mengusulkan agar desa-desa juga mendapatkan pemberdayaan sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan. Namun, masalahnya adalah ketidakjelasan terkait masuknya profesi perawat ke dalam skema JKN tentang Praktek Keperawatan. Kami merasa bingung dan ingin menanyakan siapa yang seharusnya memberikan jawaban terkait hal ini, terutama karena hal ini menjadi perhatian bersama.

 

Panelis kedua dari Ikatan Bidan Indonesia (IBI)
Dr. Emi Nurjasmi, M.Kes.

17jan2

Emi Nurjasmi menyampaikan bahwa Kami tetap serius dan menantikan bagaimana pesan kami dapat sampai kepada pasangan calon. Jika terpilih menjadi presiden, mereka akan memiliki tanggung jawab terhadap semua aspek kehidupan di negara ini, termasuk hak kesehatan setiap individu sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Kami menitipkan pertanyaan mengenai strategi untuk memastikan bahwa setiap orang dapat mendapatkan hak terhadap pelayanan kesehatan.

Sebagai Ikatan Bidan Indonesia, kami ingin memberikan beberapa masukan. Pertama, perlu adanya ketersediaan fasilitas kesehatan yang dekat dengan masyarakat agar mudah diakses. Selanjutnya, pentingnya memperhatikan aksesibilitas dalam konteks jarak dan biaya, termasuk pembiayaan yang terjangkau oleh masyarakat. Kontinuitas peningkatan kualitas layanan kesehatan juga harus dijaga melalui pendidikan berkelanjutan, pemantauan, evaluasi, dan penghargaan terhadap tenaga kesehatan profesional. Selain itu, Emi Nurjasmi setuju dengan pembicaraan sebelumnya mengenai kurangnya penghargaan terhadap tenaga kesehatan profesional, yang sudah mendapatkan sertifikasi namun tidak mendapatkan insentif. Seharusnya, program-program dari pasangan calon 02 dapat mengembangkan strategi dalam konteks pembiayaan yang terjangkau dan peningkatan kualitas dari fasilitas kesehatan.

 

Panelis ketiga dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
Mayor Jenderal TNI Dr. Budiman, Sp.BP-RE (K), MARS.

17jan3

Budiman menyampaikan bahwa Para dokter, dokter gigi, perawat, bidan, apoteker, dan tenaga kesehatan lainnya merupakan agen-agen pelaksana yang sangat penting dalam sistem pertahanan dan ketahanan negara ini, terutama dalam menghadapi ancaman di bidang kesehatan. Ancaman tersebut tidak hanya bersifat fisik, namun juga mencakup ancaman penggunaan biologi, kimia, dan sebagainya. Peran mereka sebagai garda terdepan terbukti saat kita berhadapan dengan pandemi COVID-19. Dengan jumlah perawat mencapai 420 jutaan pada tahun 2011, mereka bergabung sebagai garda terdepan dalam kolaborasi pentahelix yang merupakan pilar pertama dalam pemerintahan, melibatkan TNI, Polri, akademisi, pengusaha, dan media.

Sangat penting bagi para calon pemimpin bangsa untuk tetap melibatkan organisasi profesi dan asosiasi kesehatan sebagai mitra strategis pemerintah. Organisasi profesi memiliki fungsi utama untuk melindungi masyarakat dalam aspek kesehatan serta menjaga marwah profesi dalam hal etika, moralitas, dan profesionalisme. Oleh karena itu, keterlibatan mereka sebagai mitra strategis perlu dipertahankan, tergantung pada kemungkinan revisi undang-undang yang mungkin dilakukan oleh pemerintah di masa depan. 

 

Panelis keempat dari Persatuan Ahli Farmasi Indonesia (PAFI)

17jan4PAFI menyampaikan bahwa kami membawa pesan kepada Calon Presiden dari nomor urut 02 yang saat ini menjadi Menteri Pertahanan. Pengalaman dalam menghadapi COVID-19 telah mengajarkan kita betapa pentingnya ketahanan kesehatan nasional, khususnya dalam konteks ketahanan kefarmasian. Mewakili apoteker se-Indonesia, kami ingin memberikan masukan terkait ketahanan kefarmasian. Kami percaya bahwa pemerintah perlu mencapai ketahanan kefarmasian nasional dengan membangun ekosistem farmasi yang sehat, termasuk riset dan investasi di industri farmasi. Penting untuk mempersiapkan ekosistem yang sehat dari hulu ke hilir, mulai dari riset bahan baku hingga penyediaan obat yang terjangkau. Kami berharap pemerintah dapat mempertimbangkan regulasi terintegrasi seperti RUU Kefarmasian yang telah kami usulkan kepada DPR.

Selain itu, kami ingin menyoroti konsep "mining full participation" yang menjadi tren di organisasi profesi saat ini. Kami merasakan bahwa Undang-Undang 17 Tahun 2023 belum sepenuhnya mendukung konsep ini, dan kami berharap pemerintahan yang baru dapat segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk menyempurnakan Undang-Undang 17 Tahun 2023 dalam 100 hari ke depan. Kami tidak menentang undang-undang tersebut, namun kami merasa perlu untuk memberikan masukan guna meningkatkan efektivitasnya.

 

Panelis kelima dari Persatuan Ahli Teknologi Laboratorium Medik Indonesia (PATELKI), Ally Kafesa, S.ST., M.Si.

17jan5Ally Kafesa menyampaikan bahwa materi yang telah dibahas sejak pagi hingga sekarang, yang mengungkapkan berbagai hal terkait fasilitas perundang-undangan. Harapannya untuk pasangan calon nomor urut 2, baik calon presiden maupun wakilnya, adalah agar pemerintah dapat memperhatikan laboratorium sebagai bentuk kegiatan atau fungsional yang sangat penting. Ia berharap bahwa dari segi perundang-undangan dan fasilitas, serta peralatan laboratorium, dapat ditingkatkan sehingga mereka dapat menghadapi berbagai situasi yang mungkin dihadapi di masa depan.

Ia menyoroti kebutuhan akan kesiapan laboratorium, khususnya terkait dengan sistem biologi. Ia menginginkan peningkatan dalam hal perundang-undangan dan fungsionalitas laboratorium, sehingga laboratorium dihargai sepenuhnya dan memiliki posisi yang jelas dan diakui. Ia menekankan bahwa pemerintah perlu meningkatkan kualitas dan kualifikasi laboratorium, bukan hanya sebagai pandangan sebelah mata. Selain itu, Ally Kafesa mengungkapkan harapannya terhadap program dan langkah-langkah strategis yang akan diambil jika pasangan calon nomor 2 menang.

 

Panelis keenam dari Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI).

17jan6Persagi menyampaikan bahwa permasalahan stunting yang selalu menjadi pembicaraan, termasuk dalam peraturan yang dikeluarkan oleh Presiden pada tahun 2021 terkait percepatan penurunan stunting. Dalam lima pilar yang diambil, salah satunya adalah penguatan pengembangan sistem data, informasi, dan inovasi. Meskipun demikian, peran organisasi profesi masih belum optimal, meskipun sudah bekerja aktif di tingkat desa. Target penurunan stunting pada tahun ini seharusnya sudah mencapai 14 persen, namun data terakhir masih mencatat 21,6%.

 

Panelis ketujuh dari Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI)
Prof. drg. Suryono, SH, MM, Ph.D

17janpdgiSuryono menyampaikan bahwa permasalahan pemerataan tenaga kesehatan, terutama dokter gigi, merupakan isu kronis yang belum terselesaikan sejak saya berada di SMA hingga saat ini. Pemerataan tersebut menjadi kendala utama, terutama di daerah pinggiran dan terpencil. Saya ingin bertanya mengenai strategi yang akan diambil oleh Paslon nomor urut 2 dalam satu periode kepemimpinan untuk menyelesaikan masalah pemerataan tenaga kesehatan ini. Menurut evaluasi saya, kurangnya koordinasi di antara kementerian, seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan, dan Kementerian Kesehatan, menjadi kendala utama. Saya melihat solusinya adalah dengan meningkatkan koordinasi di tingkat tersebut.

Selain itu, saya mengamati bahwa ada kurangnya pemanfaatan pendanaan terkait beasiswa atau LPDP oleh Kementerian Kesehatan. Dengan koordinasi yang baik antara kementerian, terutama Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri, serta pemerintah daerah, pemenuhan pemerataan tenaga kesehatan, terutama dokter gigi spesialis, dapat lebih mudah dicapai. Inisiatif seperti menempatkan dokter-dokter gigi spesialis di setiap desa dan kelurahan di Indonesia menjadi sebuah ide yang saya harapkan dapat diwujudkan.

Selanjutnya, saya ingin membahas pergeseran paradigma dalam undang-undang kesehatan terbaru nomor 17 tahun 2023. Dengan pergeseran ini, pelayanan kesehatan yang semula bersifat sosial dan ekonomi, kini menjadi industri kesehatan. Saya melihat bahwa orientasi yang lebih pada proses dan keterlibatan investor asing, terutama di Rumah Sakit asing, dapat membawa dampak negatif. Saya berharap Paslon nomor urut 2 memiliki keberanian untuk memerintahkan jajaran kementerian agar selalu berkoordinasi dalam membangun bangsa dan negara. Kemandirian dalam pelayanan kesehatan juga harus diutamakan, dengan menghindari eksploitasi oleh rumah sakit asing untuk kepentingan profit semata. 

 

Panelis kedelapan dari Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI)
Bambang Lukisworo, SKM.

17jan7Bambang Lukisworo menyampaikan bahwa kami ingin menyoroti aspek kebijakan terkait undang-undang nomor 17 tahun 2023. Banyak telah dibahas mengenai pertahanan dan pemerataan. Saya ingin mengemukakan tentang kebijakan yang terasa ambigu, terutama terkait lapangan pekerjaan dan pemerataan. Banyak lulusan kita yang menghadapi minimnya formasi di Kementerian Kesehatan untuk tenaga sanitarian. Seandainya paslon nomor 2 terpilih sebagai presiden, saya berharap ada harmonisasi regulasi antar lembaga dan kementerian, terutama terkait lapangan pekerjaan. Saya juga ingin menyampaikan keprihatinan mengenai partisipasi dan kontribusi lembaga terhadap regulasi yang sama. Meskipun paslon nomor 2 menyuarakan program seperti memberikan makan dan susu gratis, saya berharap hal ini tidak menciptakan ketergantungan di masyarakat.

Apakah program tersebut akan merangsang kemandirian masyarakat atau sebaliknya? Saya berharap agar kebijakan-kebijakan yang diusulkan tidak menjadi blunder dan berdampak negatif pada masyarakat. Selanjutnya, mengenai masalah harmonisasi regulasi, penting bagi pemerintah untuk segera mengatasi persoalan ini agar program-program yang diusulkan dapat berjalan dengan baik. Sebuah contoh konkret adalah kerjasama antara Kementerian Desa dan Kementerian lain, seperti program satu Desa satu sanitarian untuk tenaga kesehatan. Harmonisasi ini akan memungkinkan penggunaan dana desa untuk memberikan solusi bagi tenaga kesehatan di desa. Terakhir, saya ingin menambahkan bahwa program makan siang gratis dan susu gratis sebaiknya tidak hanya menjadi isu kampanye semata. Harapannya, program ini tidak hanya menciptakan ketergantungan dan berhenti setelah kampanye berakhir. Kita perlu memperhatikan pengalaman negara-negara maju yang telah menerapkan program serupa, agar tidak menciptakan ketergantungan di masyarakat kita. Semoga saran-saran ini dapat dijadikan pertimbangan.

 

Panelis kesembilan dari Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI)
Moh Ali Imron, SMPh, S.Sos, M.Fis.

17jan8Moh Ali Imron menyampaikan bahwa tiga isu, yang pertama terkait dengan kurangnya peningkatan kualitas pendidikan nakes di Indonesia sejak undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Kami, terutama para nakes, tidak melihat perkembangan yang signifikan dalam akses pendidikan ini. Saya mengajukan permohonan kepada paslon nomor urut 2 untuk memberikan dukungan nyata dalam pengembangan pendidikan, karena kualitas pelayanan kesehatan erat kaitannya dengan tingkat pendidikan nakes. Isu kedua datang dari Ikatan Fisioterapi Indonesia yang mencatat bahwa sekitar 27% penduduk Indonesia mengalami disabilitas atau cedera pada tahun 2018. Masalahnya adalah kasus disabilitas dianggap sebagai kasus akut dalam JKN, yang berujung pada biaya besar. Saya mengusulkan agar paslon nomor urut 2 mempertimbangkan perubahan dalam penanganan disabilitas, melalui kolaborasi dengan JKN BPJS dan mengakui praktek-praktek ini sebagai bagian dari jejaring pelayanan kesehatan. Terakhir, saya ingin menyoroti pentingnya revisi undang-undang nomor 17 tahun 2023. Perubahan ini diperlukan karena arah sentralisasi yang dapat memengaruhi governance dan peran organisasi profesi yang selama ini efisien. Saya berharap paslon nomor urut 2 dapat mengakomodasi perspektif ini untuk menjaga prinsip pelayanan desentralisasi dan mempertimbangkan tiga pilar dalam penyusunan kebijakan. Masalah lain yang diangkat adalah tentang praktek nakes, disabilitas, dan sentralisasi dalam undang-undang. Semua isu ini membutuhkan perhatian dan dukungan nyata untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan pendidikan nakes di Indonesia.

 

Panelis kesepuluh dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat indonesia (IAKMI)
dr. Agustin Kusumayati, M.Sc., Ph.D.

17jan10Agustin Kusumayati menyampaikan bahwa terima kasih kepada pasangan calon nomor urut 2 atas komitmennya dalam membangun kesehatan, diibaratkan seperti membangun pertahanan bangsa yang harus memiliki alutsista modern. Namun, yang paling utama adalah memastikan ketahanan rakyat itu sendiri. Oleh karena itu, pembangunan kesehatan harus memperkuat kemampuan rakyat, bukan hanya sebatas kekuatan tentara. Prioritas utama harus diberikan pada upaya promosi dan preventif, dengan peningkatan aktivitas fisik melalui pengembangan tata kota, transportasi, dan lingkungan yang aman.

Pasangan calon nomor urut 2 diharapkan mewujudkan perhatian khusus pada upaya promosi dan preventif, seperti pengendalian tembakau, peningkatan pola makan sehat dengan memanfaatkan sumber daya pangan lokal. Selain itu, dibutuhkan dukungan SDM yang kompeten, cukup kewenangan, dan cukup jumlahnya, serta dukungan pembiayaan dan teknologi. Masyarakat berharap agar pemimpin dapat membangun kemampuan rakyat untuk hidup sehat dengan menyelenggarakan program yang sesuai dengan kebijakan yang memadai.

 

Panelis kesebelas Prof. drg. Anton Rahardjo, MSc (PH), PhD

17jan9Anton Rahardjo menyampaikan bahwa sebagai seorang dokter gigi, saya merasa bertanggung jawab terhadap kesehatan gigi masyarakat, dan sudah tiga dekade terakhir ini kami sebagai profesi merasakan bahwa pemerintah kurang memberikan prioritas pada kesehatan gigi. Hal ini mengakibatkan status kesehatan gigi cenderung memburuk dari waktu ke waktu. Meskipun banyak program telah dijalankan sejak saya masih mahasiswa, dampaknya tidak terlihat signifikan karena kurangnya fokus pemerintah dalam mengurus kesehatan gigi.

Oleh karena itu, kami berharap pemerintah dapat mendengarkan aspirasi profesi kesehatan gigi dan membentuk Direktorat Kesehatan Gigi di Kementerian Kesehatan untuk memperhatikan dan meningkatkan kesehatan gigi masyarakat secara menyeluruh. Selain itu, terkait dengan program untuk meningkatkan derajat kesehatan lansia, kami berharap paslon nomor urut 2 dapat menampung aspirasi dan unek-unek yang telah disampaikan oleh panelis.

 

Sebagai penutup pada sesi kedua, DR. Dr. Mohammad Adib khumaidi, Sp.OT

17janpMenyampaikan bahwa Terlepas dari satu sisi informasi dan jadwal yang mungkin padat di sela aktivitas. Kami berharap agar pembawa acara dan moderator tetap melanjutkan diskusi dan pertanyaan dari para peserta dengan KOMPAK, mengingat kehadiran 11 organisasi profesi dan 8 asosiasi kesehatan yang serius dalam menyelesaikan permasalahan kesehatan di Indonesia. Kami ingin dilibatkan sebagai mitra strategis utama dalam permasalahan kesehatan, bukan hanya sebagai penonton.

Kami bukan hanya ingin menghadirkan diri, melainkan juga ingin agar pemikiran yang disampaikan oleh para penelis menjadi pokok pemikiran yang dijadikan kebijakan strategis oleh presiden terpilih. Ini bukan hanya berlaku untuk paslon nomor urut 2, tetapi untuk semua calon pemimpin negara. Kami ingin menyampaikan aspirasi anggota kami di seluruh Indonesia dan berharap pemimpin ke depan dapat menyelesaikan permasalahan kesehatan dengan melibatkan semua stakeholder kesehatan. Kami siap berkolaborasi dan menghindari hal-hal negatif serta menjaga forum ini sebagai wadah keilmuan dan intelektualitas.

Link Terkait

 

 

 

 

Dialog Nasional Bersama Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden 2024 tentang Kesehatan

Pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Komunitas Profesi dan Asosiasi Kesehatan (KOMPAK) secara hybrid. Kegiatan ini dimulai dengan paparan visi misi pasangan calon Nomor 1 yang langsung disampaikan oleh Anies Baswedan via zoom. Anies menyampaikan visi misi dalam bidang kesehatan yaitu “Akses Kesehatan Berkualitas: Jalan Menuju Indonesia Adil dan Makmur”. Dilatarbelakangi oleh ketimpangan kesehatan antara Indonesia Barat diwakili oleh Jawa dan Sumatera dan Indonesia Timur yang dinilai berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia.

Data menunjukkan bahwa Wilayah Jawa dan Sumatera telah mengalami peningkatan skor IPM sebanyak 5 point dari tahun 2013-2022. Selain itu, 64% dokter dan 74% rumah sakit terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera sementara 68% rumah tangga di luar pulau jawa dan sumatera merasa sulit mengakses rumah sakit. Untuk itu, melalui misinya, Anies Baswedan menyampaikan beberapa strategi khusus di bidang kesehatan dengan meluruskan paradigma baru yang menghadirkan akses kesehatan berkualitas antara lain:

  1. Dari fokus kesehatan kuratif menjadi fokus kesehatan promotif, preventif dan kuratif
  2. Dari pendekatan Top Down menjadi pendekatan kolaborasi dan gotong royong
  3. Dari kesejahteraan tenaga kesehatan belum menjadi prioritas menjadi kesehatan nasional dan kesejahteraan tenaga kesehatan tumbuh berdampingan
  4. Dari pendekatan sektoral menjadi pendekatan health in all policies

Selain itu, Anies Baswedan juga menyampaikan 6 rumusan agenda strategis ke depan antara lain:

  1. Penguatan Peran Puskesmas dan Pemberdayaan Masyarakat diantaranya:
    • Penguatan fungsi puskesmas dan Posyandu untuk promotif dan preventif
    • Peningkatan peran bidan untuk kesehatan ibu, bayi dan tumbuh kembang anak
    • Tunjangan khusus setiap bulan untuk kader kesehatan
    • Menghadirkan konselor psikolog di puskesmas dan layanan konseling online gratis berkolaborasi dengan lembaga yang sudah ada.
  2. Pelayanan Rumah Sakit diantaranya:
    • Rumah sakit kelas A minimal 1 disetiap provinsi
    • Rumah singgah dekat rumah sakit untuk pasien dan keluarga
    • Jemput bola pemeriksaan pengobatan dan pelayanan home care untuk lansia
    • Sistem rujukan yang efisien dengan dukungan teknologi (ICT) untuk mempersingkat alur rujukan
  3. Kesejahteraan dan perlindungan tenaga kesehatan
    • Status program pendidikan dokter spesialis (PPDS) menjadi tenaga kesehatan dalam pelatihan
    • Peningkatan kesejahteraan tenaga medis dan tenaga kesehatan
    • Perlindungan tenaga kesehatan termasuk dari tindak kekerasan dan hukum
  4. Pembiayaan Kesehatan
    • Sistem rujukan pelayanan bagi peserta JKN yang lebih mudah dan berorientasi keselamatan pasien
    • Evaluasi besaran pembayaran fasilitas tingkat lanjut (INACBGs) dan sistem kapitasi untuk memperkuat pelayanan JKN
  5. Kemandirian Farmasi dan alat kesehatan
    • Menambah produsen bahan baku obat (BBO) yang difasilitasi untuk melaksanakan proses change source
    • Penurunan BBO impor 20% atau lebih per tahun secara bertahap
  6. Pengendalian Penyakit dan Ketahanan Kesehatan
    • Penguatan sistem surveilans nasional (data dan sistem terintegrasi)
    • Peningkatan kapasitas dan kualitas laboratorium (testing)
    • Pengayaan respons pandemi bagi nakes dan kader di lapangan (tracing-treatment)

Selanjutnya, Anies juga meminta peran strategis dari KOMPAK kedepannya antara lain:

  • Mitra Penyusunan, pengambilan dan pembentukan kebijakan kesehatan
  • Bergerak bersama memastikan pelayanan kesehatan yang berkualitas untuk seluruh masyarakat
  • Akselerator peningkatan kesejahteraan tenaga kesehatan

Diakhir paparan Anies menyampaikan bahwa ada 4 komponen perubahan yang menjadi PR yang bisa dikerjakan bersama-sama yaitu:

  1. Apa yang sudah ada yang perlu ditingkatkan?
  2. Apa yang sudah ada sekarang perlu dikoreksi?
  3. Apa yang sudah ada yang yang perlu dihentikan?
  4. Apa yang belum ada dan harus dibuat baru?

  Sesi Diskusi

Pertanyaan pertama dipaparkan panelis dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Dr. Harif Fadhillah, S.Kp.,SH.,M.Kep.,MH. Hanif menanyakan terkait kesejahteraan tenaga medis dan tenaga kesehatan. Instrumen apa yang ingin dibangun paslon untuk mewujudkan kesejahteraan yang beriring dengan pertumbuhan?

Pertanyaan ini ditanggapi oleh Prof. dr. H. Fasli Jalal Ph.D dan Dr. Ganis selaku tim sukses pasangan calon 1. Prof. Hasli menyampaikan melihat kebutuhan mulai dari 75.000 desa, 10.000 kelurahan serta komposisi penduduk yang beragam. Dari sini akan ditentukan kebutuhan tenaga kesehatan antara desa dan kelurahan karena memiliki karakteristik berbeda. Setelah jelas kedudukannya, maka syarat minimal untuk dibayar sebagai tenaga profesional di atas UMR untuk menjadi profesionalnya harus diperjuangkan. Sekarang dan kedepan, dengan adanya dana desa maka dijaga spending dari kabupaten untuk kesejahteraan tenaga kesehatan. Ganis melanjutkan bahwa kesejahteraan tenaga kesehatan tidak semata hanya uang, tapi juga jaminan kesehatan hingga jaminan hukum.

Pertanyaan kedua dipaparkan panelis dari Ikatan Bidan Indonesia, Dr. Ade Jubaedah, SSiT., MM., MKM. Jubaedah menyatakan Bidan berperan penting dalam program pemerintah. Apa rencana strategis untuk memperkuat dan memaksimalkan peran Bidan sebagai bagian terintegrasi dalam program penguatan sistem kesehatan nasional? dan bagaimana upaya memastikan kolaborasi interprofesional yang adil dan setara dalam mewujudkan percepatan penurunan AKI, AKB dan Stunting di Indonesia? dan bagaimana kesejahteraan bidan di daerah DTPK? serta bagaimana implementasi penempatan bidan di Desa?

Pertanyaan ini ditanggapi oleh Prof. dr. H. Fasli Jalal Ph.D yang menyatakan jika semua kepala daerah di dorong agar DAU, DAK dikaitkan dengan pencapaian KPI, maka kesejahteraan bidan akan dilihat sebagai tenaga profesional.

Pertanyaan ketiga dipaparkan panelis dari Persatuan Ahli Farmasi Indonesia (PAFI), Budi Djanu Purwanto, SH., MH. Djanu menanyakan peran Organisasi Profesi sangat bermakna sejak adanya UU 36 tahun 2014. Berdasarkan UU tersebut ada 11 kelompok jenis tenaga kesehatan. Dalam UU Kesehatan terbaru, peran Organisasi Profesi dihilangkan. Apakah hal ini akan dibiarkan?

Pertanyaan ini ditanggapi oleh Dr. Ganis yang menyatakan Berdasarkan definisi, Organisasi profesi ada kekosongan hukum, dimana ormas dimana organisasi profesi. Ada peluang untuk membahas kerangka regulasi. Dilanjutkan dengan tanggapan Prof. dr. H. Fasli Jalal Ph.D yang menyatakan fungsi Organisasi Profesi sangat vital. Sekarang bagaimana kedudukan Organisasi profesi? Untuk itu, mana yang perlu diperbaiki dan mana yang perlu dirubah. Perlu duduk bersama dengan organisasi profesi

Pertanyaan keempat dipaparkan panelis dari Ikatan Dokter Indonesia, Prof. Menaldi Rasmin, dr, Sp.P(K). Rasmin menyatakan data dari Bappenas menunjukkan serapan belanja kesehatan adalah 6,9% sedangkan ada penghapusan mandatory spending bidang kesehatan. Bagaimana strategi pemenuhan anggaran untuk mengatasi masalah kesehatan AKI, AKB, Stunting, penyakit TB dan Kusta, serta pemenuhan dan keterjangkauan layanan kesehatan di tingkat masyarakat? dan juga keamanan, kesejahteraan, kepastian jenjang karir bagi SDM Kesehatan?

Pertanyaan ini ditanggapi oleh Dr. Ganis yang menyatakan bahwa yang menjadi acuan ilmiah belanja kesehatan 5% GDP bukan APBN untuk mencapai UHC. Angka saat ini untuk belanja kesehatan sekitar 3% dari GDP. Untuk itu, perlu mendorong peningkatan GDP untuk kesehatan. Prof. Hasli menambahkan bahwa kita butuh pembiayaan kesehatan yang lebih besar. Untuk itu, perlu mencari sumber pendanaan kesehatan lainnya dari berbagai sektor di Kementerian.

Pertanyaan kelima dipaparkan panelis dari PATELKI, Atna Permana, SKM., M. Biomed. Atna menyampaikan bahwa Laboratorium belum terintegrasi dan menjadi komponen vital yang disebutkan regulasi dari pusat hingga di daerah. Namun ketika terjadi covid, Negara ditentukan oleh Laboratorium. Indonesia ketika menghadapi penyakit baru menjadi rentan karena laboratorium belum seattle. Bagaimana langkah dan komitmen konkret dalam peningkatan laboratorium karena efek dominonya lebih banyak?

Pertanyaan ini ditanggapi oleh Dr. Ganis yang menyatakan bahwa secara teknis sudah disampaikan di visi misi, jika ada yang kurang bisa diberikan masukan. Prof. Hasli menambahkan

Pertanyaan keenam dipaparkan panelis dari PERSAGI, Prof. Dr. Iskari Ngadiarti, SKM, M.Sc. Ikari menyatakan bahwa dalam strategi health for all, jika dilihat masih terjadi masalah gizi mulai dari gizi kurang, gizi lebih dan defisiensi gizi mikro. Saat ini sudah ada intervensi sensitif dan spesifik yang dilakukan oleh berbagai kementrian yang berbeda. Masalah di lapangan, sulitnya melakukan koordinasi dan lemahnya monitoring dan pengawasannya, bagaimana mengatasinya?. Dalam hal defisiensi gizi mikro, hasil evaluasi konsumsi pangan di Indonesia menunjukkan masih lemah konsumsi protein hewani, sehingga terus terjadi peningkatan masalah. Bagaimana strategi meningkatkan konsumsi B2SA untuk masyarakat yang terkena dampak stunting dan dampak kekurangan gizi?

Pertanyaan ini ditanggapi oleh Prof. Hasli yang menyatakan bahwa Konvergensi antara gizi sensitif dan spesifik kunci untuk penanganan dan koordinasi antar program. Saya melihat yang belum ada, data tingkat desa yang dikumpulkan dari semua posyandu By Name By Address dengan 26 variabel diman 9 variabel untuk intervensi spesifik dan 11 intervensi sensitif, ada yang diterima oleh ibu hamil dan juga intervensi keluarga. Jika dari 26 variabel ini, baik dari data BKKBN, EPPBGM, maupun data kemiskinan kita jajarkan, dan setiap tahun rembuk stunting desa itu sudah berdasarkan data By Name By Address dengan 26 variabel, mana yang perlu seperti wasting makanan tambahan, siapa yang belum dapat tablet fe. Kalau ini di koordinir di tingkat desa, maka usulan kebutuhannya jelas. Dinaikkan dari tingkat desa, kabupaten hingga Pusat. Dana dikeluarkan akan sesuai kebutuhan dari penduduk spesifik.

Pertanyaan ketujuh dipaparkan panelis dari HAKLI, Prof. Dr. H. Arif Sumantri, S.K.M., M.Kes. Arif menyatakan bahwa Apakah paslon memiliki komitmen merumuskan kebijakan dan mendayagunakan tenaga yang ada di Puskesmas?

Pertanyaan ini ditanggapi oleh Dr. Burhan yang menyatakan bahwa Kami sudah merilis dokumen visi misi program. Yang terkait dengan lingkungan ada di Pola Hidup dan Lingkungan sehat, ada 6 program. Kami belum spesifik bicara tentang air. Silahkan kami diberikan masukan, nanti akan kami akomodasi.

Pertanyaan kedelapan dipaparkan panelis dari IAKMI, Prof. Dr.drg. Wahyu Sulistiadi, MARS. Wahyu menyatakan bahwa pada Visi Health in All Policies, bagaimana komitmen konkrit agenda strategis tersebut dilaksanakan dalam pelaksanaan kesehatan yang berkaitan dengan program promotif dan preventif dalam segala aspek kehidupan mulai dari awal hingga akhir kehidupan? Contoh pengendalian stunting dan bagaimana pengendalian tembakau itu bisa memasuki sektor-sektor lain yang sulit? Juga kaitannya dengan komitmen global, apakah akan meratifikasi FTCT sehingga menjadi anggota yang memiliki komitmen pengendalian tembakau karena peraturan KTR belum efektif?

Pertanyaan ini ditanggapi oleh Dr. Gani yang menyatakan bahwa meratifikasi FTCT butuh diskusi yang panjang. Jika bicara kesehatan promotif dan preventif sangat jelas dalam strategi visi misi. Untuk merokok dari aspek preventif, gaya hidup sehat yang diperkuat,mempermudah akses untuk orang berhenti merokok.

Reporter Candra, MPH (PKMK UGM)

Link Terkait

 

 

 

Kolaborasi Multisektoral Dalam Integrasi Layanan Kesehatan di Indonesia

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia

Bapak Dadang mengeluhkan batuk disertai dahak dan penurunan nafsu makan selama kurun waktu satu bulan terakhir. Beliau memeriksakan diri ke Puskesmas dan ternyata didiagnosis dengan Tuberkulosis setelah melalui beberapa tahapan pemeriksaan. Beliau diharuskan untuk meminum obat rutin selama 6 bulan. Obat diberikan oleh puskesmas dan kemudian diminum.

Satu minggu kemudian, Bapak Dadang mencari second opinion ke dokter di rumah sakit swasta dan ternyata didiagnosis dengan pneumonia. Dokter memberikan antibiotik selama 5 hari dan kemudian Bapak Dadang meminum antibiotik dari Rumah Sakit tersebut. Setelah merasa lebih baik beliau tidak lagi melanjutkan pengobatan Tuberkulosisnya.

Kisah Bapak Dadang diatas merupakan kejadian nyata yang seringkali terjadi di Indonesia. Pasien dengan diagnosis Tuberkulosis (TB) merasa berat untuk menjalani pengobatan selama kurun waktu 6 bulan. Pasien kemudian datang ke fasilitas pelayanan kesehatan swasta untuk memeriksakan diri berulang kali agar tidak didiagnosis dengan TB. Pasien merasa cukup dengan hanya mendapatkan obat antibiotik jangka pendek. Setelah merasa ada sedikit perbaikan biasanya pasien tidak lagi datang ke dokter. Pasien kembali lagi ke Puskesmas jika kondisinya sudah semakin berat.

Demikian adalah sekelumit kisah terkait penanganan manajemen penyakit menular di Indonesia. WHO menyebutkan bahwa Indonesia termasuk dalam kategori teratas dalam jumlah kasus TB, TB dengan HIV, dan pasien TB resisten obat . Kementerian Kesehatan melaporkan bahwa telah terdapat peningkatan yang signifikan dalam jumlah pasien TB di Indonesia, dari 824.000 kasus pada tahun 2020 menjadi 969.000 kasus pada tahun 2021 dengan angka selesai berobat dan penemuan kasus masih cukup rendah.

Sistem informasi yang tidak terpadu menyebabkan pasien dapat dengan mudah untuk berpindah lokasi dengan menyebutkan gejala-gejala yang berbeda. Pun demikian dengan pasien - pasien dengan keluhan "Kejang atau cemas", banyak diantara mereka yang berbohong, berpura-pura agar mendapatkan obat kejang golongan benzodiazepin, padahal mereka mengincar efek samping dari obat, yakni tenang dan nge-fly. Mereka memiliki modus operandi berpindah-pindah dokter atau apotek. Dokter tentu kesulitan karena pasien bisa menjawab pertanyaan anamnesis dengan "tepat" dan hasil pemeriksaan yang tepat berbekal ilmu dari internet.

Manajemen pelayanan kesehatan di Indonesia harus mulai berbenah dengan melibatkan layanan kolaboratif yang terintegrasi pada berbagai sektor mulai dari layanan primer. Keuntungan jangka pendek terutama dalam aspek penanganan penyakit. Dalam konteks ini, dokter dapat mengakses riwayat medis pasien, termasuk obat-obatan yang telah diberikan dan hasil pemeriksaan radiologis sebelumnya saat pasien datang. Hal ini memungkinkan pemeriksaan tidak perlu dimulai dari awal setiap kali pasien datang ke fasilitas pelayanan kesehatan. Pasien juga tidak dapat menyembunyikan riwayat penyakitnya karena data-data pemeriksaan sebelumnya dapat diakses oleh dokter.

SATUSEHAT merupakan inisiatif baru dari pemerintah Indonesia yang bertujuan untuk menggabungkan data kesehatan menjadi satu entitas terpadu. Di Indonesia, salah satu masalah kesehatan yang dihadapi saat ini adalah data kesehatan yang terpisah dalam bentuk silo karena banyaknya aplikasi yang digunakan. Berdasarkan hasil penelusuran terdapat lebih dari 400 aplikasi kesehatan yang dikembangkan oleh pemerintah pusat, bahkan puskesmas harus mengisi sekitar 70 aplikasi kesehatan secara rutin. Kondisi ini yang membuat petugas kesehatan di garis depan kewalahan dalam melakukan input data. Platform SATUSEHAT memiliki target untuk mengintegrasikan layanan bagi 44.071 fasyankes di Indonesia. Tidak boleh lagi data hanya bersumber pada layanan milik pemerintah, terbukti pada kasus MPOX, deteksi pertama kali terjadi di fasyankes swasta bukan negeri.

US CDC melakukan modernisasi sistem surveilans melalui otomatisasi pelaporan elektronik pada seluruh jaringannya. Mereka sedang mengembangkan berbagai standar pemprograman yang memungkinkan sistem saling berkomunikasi dan menghasilkan visualisasi data near-realtime. Keuntungan yang dihasilkan dari upaya ini adalah seorang epidemiolog tidak lagi perlu menghabiskan satu hari penuh hanya untuk memasukkan data, melainkan mereka dapat segera melakukan penyelidikan epidemiologi. Seorang analis data juga dapat membuat laporan hanya dengan dua kali klik tombol, dan data besar akan sangat bermanfaat dalam pengambilan kebijakan bagi pengambil keputusan karena dapat mengalokasikan sumber daya pada wilayah yang terdampak paling berat .

Hal ini yang ingin dicontoh oleh SATUSEHAT dimana kementerian kesehatan sudah menyusun secara lengkap seluruh petunjuk integrasi dalam playbook SATUSEHAT yang dapat diakses di https://satusehat.kemkes.go.id/platform/docs/id/playbook/, namun ternyata prosesnya cukup rumit meski sudah ditunjang dengan PMK 24 tahun 2022 tentang Rekam Medis Elektronik dan Undang - Undang Perlindungan Data Pribadi. Grafik 1 menunjukkan fasyankes yang terhubung dengan SATUSEHAT per 19 Oktober 2023.

16nv

Grafik 1. Jumlah fasyankes yang telah terhubung dengan SATUSEHAT di berbagai Provinsi di Indonesia per 19 Oktober 2023

Grafik 1 menunjukkan bahwa integrasi baru terjadi di 565 (1.28%) dari 44.081 fasyankes di seluruh indonesia. Hal ini dikarenakan proses integrasi berjalan terpisah dan tidak terstruktur meski petunjuk integrasinya sudah lengkap. Perlu ada kebijakan mengenai siapa yang melaksanakan integrasi untuk level dinas kesehatan kabupaten / kota. Apakah pelaksana integrasi adalah bidang P2, bidang pelayanan kesehatan atau bidang SDM dan apakah terdapat insentif tambahan bagi tugas ini. Dinas juga harus mulai melakukan kolaborasi dengan swasta karena swasta akan menunggu inisiatif. Dinas kesehatan dapat membuat SIMPUSnya secara mandiri atau bekerja sama dengan vendor penyedia layanan sistem informasi puskesmas atau klinik untuk penyediaan SIMPUS yang sama bagi seluruh puskesmas di wilayah. Kerjasama dengan vendor akan memudahkan untuk Dinas kesehatan untuk mendapatkan data dari berbagai sumber yang disimpan dalam satu platform, sehingga memudahkan akses dan analisis data dari fasyankes swasta maupun pemerintah. Dinas Kesehatan Kabupaten Malang dan Kota Mojokerto telah membuktikan hal tersebut karena saat ini seluruh puskesmas dan Rumah Sakit di wilayahnya telah terintegrasi 100%.

Proses integrasi sistem informasi di rumah sakit, baik milik pemerintah maupun swasta, memerlukan kontribusi dari pihak pengembang swasta. Meskipun pemerintah telah menyediakan Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit open source SIMRS GOS, pemanfaatannya masih terbatas. Sebagian besar rumah sakit memilih untuk bekerjasama dengan vendor atau menggunakan perangkat lunak open source lainnya. Oleh karena itu, sangat penting untuk Dinas Kesehatan atau bekerja sama dengan akademisi memberikan pelatihan kepada staf kesehatan dalam hal pemahaman bahasa medis, PHP, dan MySQL. Tanpa pemahaman tersebut, proses integrasi sistem informasi di rumah sakit akan berjalan lambat. Idealnya, setiap rumah sakit perlu memiliki tim IT yang terdiri dari 4 atau 5 programmer, satu posisi untuk dukungan teknis, dua programmer untuk mengembangkan kode, dan satu analis sistem yang dapat menggabungkan kebutuhan dari tim medis dengan bahasa pemrograman dari tim IT. Jika sulit mencari tenaga yang mengerti tiga bahasa tersebut maka biaya pengintegrasian akan menjadi sangat mahal, gaji seorang programer bisa mencapai Rp20.000.000,- / bulan. Jika Rumah Sakit diharuskan memiliki 3 orang tenaga programmer maka biayanya mencapai Rp 720.000.000 / tahun hanya untuk upah tenaga. hal ini tentu akan menimbulkan kesenjangan dibandingkan tenaga lainnya.

Semua prinsip ini harus mampu diterapkan di Yogyakarta, terutama di Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FKKMK UGM. Kita perlu memastikan bahwa kolaborasi antara sektor swasta dan pemerintah berjalan dengan baik di wilayah kita sendiri termasuk mengadakan pelatihan untuk proses pengintegrasian data di DIY. Saat ini, situasi di Provinsi DIY masih menjadi perhatian karena baru 3% dari total fasilitas kesehatan yang telah terintegrasi hingga Oktober. Ini mencakup 6 puskesmas dan 12 rumah sakit, seperti yang terlihat dalam Grafik 2.

16nv1

Grafik 2. Jumlah fasyankes yang telah terhubung dengan SATUSEHAT di Provinsi DI Yogyakarta per 19 Oktober 2023

 

 

 

Integrasi Pelayanan Kesehatan dan Peran Sektor Swasta: Program KIA di Remote Area di Indonesia

Agus Salim¹

¹Center for Health Policy and Management Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia;

Artikel ini menggambarkan peran penting kesehatan dalam pembangunan masyarakat dan kesejahteraan negara. Meskipun Indonesia telah membuat kemajuan dalam pelayanan kesehatan, tantangan besar masih ada di daerah remote, di mana akses terhadap pelayanan kesehatan seringkali terbatas. Untuk mengatasi permasalahan ini, integrasi pelayanan kesehatan dan peran sektor swasta menjadi solusi yang semakin relevan. Dalam konteks ini, artikel ini akan membahas pentingnya integrasi pelayanan kesehatan dan peran sektor swasta dalam meningkatkan akses kesehatan di daerah remote Indonesia.

Pentingnya kesehatan sebagai aspek kunci dalam pembangunan masyarakat menjadi landasan utama artikel ini. Khususnya di daerah terpencil di Indonesia, akses terhadap layanan kesehatan menjadi tantangan yang harus diatasi. Mengintegrasikan layanan kesehatan dan peran swasta dinilai merupakan solusi tepat untuk meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan di bidang tersebut. Artikel ini akan mengulas secara sistematis strategi, penjelasan dan tantangan yang terkait dengan integrasi layanan kesehatan di daerah-daerah terpencil di Indonesia, dengan fokus khusus pada peran swasta daerah.

Selain itu, artikel ini menyoroti pentingnya peran Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dalam upaya meningkatkan kesehatan ibu dan anak di Indonesia. Di daerah terpencil, layanan KIA yang berkualitas dan mudah diakses masih menjadi tantangan utama. Dalam konteks ini, artikel akan membahas bagaimana integrasi pelayanan kesehatan dan peran sektor swasta dapat berperan sentral dalam meningkatkan pelaksanaan program KIA di daerah remote Indonesia. Dengan demikian, artikel ini menggarisbawahi peran integrasi dan kerja sama antara sektor publik dan swasta dalam memperbaiki sistem kesehatan di daerah-daerah yang memerlukan perhatian khusus.

Integrasi Pelayanan Kesehatan

Integrasi pelayanan kesehatan merupakan suatu pendekatan komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dengan memadukan berbagai komponen pelayanan, meliputi fungsi pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Di daerah terpencil, integrasi layanan kesehatan menjadi sangat penting karena sumber daya seringkali terbatas. Dalam konteks Indonesia, integrasi layanan kesehatan mencakup berbagai layanan, seperti klinik kesehatan, rumah sakit, puskesmas, dan fasilitas kesehatan swasta.

Integrasi pelayanan kesehatan memberikan solusi untuk meningkatkan keterjangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan khususnya di daerah terpencil di Indonesia. Dengan menggabungkan komponen layanan yang berbeda, pendekatan ini dapat memaksimalkan penggunaan sumber daya yang terbatas. Oleh karena itu, integrasi layanan kesehatan sangat penting dalam upaya meningkatkan akses dan layanan kesehatan yang lebih efektif di seluruh tanah air.

Peran Sektor Swasta dalam Integrasi Pelayanan Kesehatan

Peran swasta dalam mengintegrasikan layanan kesehatan, khususnya di daerah terpencil, memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan akses dan kualitas layanan kesehatan. Beberapa peran penting swasta dalam konteks ini antara lain menyediakan fasilitas kesehatan, bermitra dengan pemerintah, memberdayakan tenaga kesehatan setempat, dan menggunakan teknologi telemedicine.

Pertama, sektor swasta dapat membantu meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan dengan mendirikan fasilitas kesehatan seperti klinik atau rumah sakit di daerah yang membutuhkan. Misalnya, pendirian klinik swasta di pedalaman Kalimantan telah membantu memberikan layanan kesehatan dasar kepada masyarakat di daerah terpencil yang sebelumnya kesulitan mengakses layanan kesehatan.

Kedua, kemitraan antara sektor swasta dan pemerintah daerah dapat memperkuat infrastruktur kesehatan di daerah terpencil. Pemerintah dapat mendorong dokter-dokter swasta untuk bekerja di daerah-daerah terpencil, seperti program mendorong dokter untuk bekerja di daerah-daerah terpencil di Indonesia Timur, sehingga dapat meningkatkan sumber daya manusia medis di daerah-daerah yang membutuhkan.

Ketiga, sektor swasta juga dapat berperan dalam pemberdayaan tenaga kesehatan setempat melalui pelatihan dan pengembangan perawat, bidan, dan tenaga kesehatan lainnya. Hal ini akan meningkatkan kapasitas masyarakat lokal dalam menyediakan layanan kesehatan dasar, sehingga membantu meningkatkan kesehatan masyarakat secara keseluruhan.

Terakhir, berkat perkembangan teknologi, sektor swasta dapat menggunakan telemedicine untuk memberikan konsultasi medis kepada pasien di daerah terpencil dan sulit dijangkau. Hal ini memungkinkan akses yang lebih luas terhadap layanan kesehatan berkualitas, bahkan di daerah terpencil. Oleh karena itu, peran sektor swasta dalam mengintegrasikan layanan kesehatan sangat penting untuk menjawab tantangan kesehatan di daerah-daerah terpencil di Indonesia.

Tabel: Strategi, Penjelasan, dan Tantangan dalam Meningkatkan Keterlibatan Antara Sektor Kesehatan Swasta dan Masyarakat dalam Pelayanan Kesehatan

No. Strategi Penjelasan Tantangan
1 Pendidikan dan pelatihan masyarakat 1. Melakukan program pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat. 1. Budaya dan tingkat literasi yang beragam di masyarakat remote.
2. Mendorong partisipasi aktif dalam pemantauan kesehatan ibu dan anak. 2. Memastikan pemahaman yang tepat tentang kesehatan ibu dan anak.
2 Kolaborasi dengan komunitas lokal 1. Memperkuat kerja sama dengan komunitas lokal untuk merancang dan mengimplementasikan program-program KIA.

1. Memahami budaya dan tradisi setempat yang memengaruhi kesehatan.

2. Membangun kepercayaan antara sektor swasta dan masyarakat remote. 2. Koordinasi yang efektif dengan lembaga pemerintah dan non-pemerintah setempat.
3 Mobile clinics dan tim medis lapangan 1. Menggunakan mobil klinik dan tim medis yang mobile untuk memberikan pelayanan langsung di daerah remote.

1. Perawatan mobil klinik dan akses ke daerah terpencil.

2. Meningkatkan akses terhadap layanan KIA dan pemantauan kehamilan. 2. Koordinasi dengan fasilitas kesehatan lainnya.
4 Telemedicine untuk konsultasi dan edukasi masyarakat

1. Memanfaatkan teknologi telemedicine untuk memberikan konsultasi medis jarak jauh dan edukasi kesehatan.

1. Keterbatasan akses internet di daerah remote.

2. Meningkatkan akses masyarakat terhadap informasi kesehatan. 2. Pelatihan tenaga medis lokal dalam penggunaan teknologi telemedicine.
5 Program KIA berbasis komunitas 1. Membangun program KIA yang berbasis komunitas yang melibatkan ibu dan keluarga dalam pemantauan kesehatan. 1. Partisipasi aktif dari masyarakat dalam program.
2. Mendorong peran ibu dan keluarga dalam perawatan ibu dan anak. 2. Memastikan kelangsungan program di tengah perubahan kepemimpinan komunitas.
6 Kemitraan dengan perusahaan swasta 1. Kolaborasi dengan perusahaan swasta dalam mendukung pendanaan dan sumber daya untuk program KIA. 1. Mengembangkan kemitraan yang saling menguntungkan dan berkelanjutan.
2. Menyediakan dana untuk perluasan program KIA di daerah remote. 2. Memahami tujuan dan nilai-nilai perusahaan dalam kemitraan.
7 Kampanye promosi KIA dan edukasi 1. Melakukan kampanye promosi dan edukasi kesehatan untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya KIA. 1. Mengukur efektivitas kampanye dan dampaknya pada perilaku masyarakat.
2. Menyediakan informasi tentang manfaat KIA dan langkah-langkah kesehatan pra-natal. 2. Pemahaman budaya dan tradisi setempat yang memengaruhi kesehatan.

Strategi-strategi yang disebutkan di atas mencerminkan berbagai pendekatan yang dapat diadopsi untuk meningkatkan partisipasi sektor kesehatan swasta dan pemerintah dalam layanan kesehatan ibu dan anak (KIA) di daerah terpencil. Kolaborasi yang erat antara sektor swasta, komunitas lokal dan masyarakat sangat penting untuk memastikan bahwa program KIA mencapai tujuannya dan memberikan manfaat maksimal.

Strategi-strategi ini juga menunjukkan pendekatan konkrit terhadap integrasi layanan kesehatan dan peran sektor swasta di daerah-daerah terpencil di Indonesia. Misalnya, mengembangkan layanan swasta di komunitas dan menggunakan telemedicine dapat meningkatkan akses terhadap layanan dan kualitas layanan secara signifikan. Namun tantangan seperti keterbatasan sumber daya dan tingkat kesadaran masyarakat harus diatasi agar strategi ini efektif.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Integrasi pelayanan kesehatan dan peran sektor swasta dalam Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di daerah remote Indonesia memegang peran krusial dalam meningkatkan kesehatan ibu dan anak. Sejumlah strategi yang telah dibahas dalam artikel ini memiliki potensi besar untuk memberikan manfaat signifikan bagi masyarakat yang tinggal di daerah terpencil. Kolaborasi yang kuat antara sektor kesehatan swasta, komunitas lokal, dan pemerintah adalah kunci keberhasilan dalam pelaksanaan program-program KIA di lingkungan yang beragam dan seringkali sulit dijangkau.

Integrasi pelayanan kesehatan dan peran sektor swasta dapat berperan penting dalam meningkatkan akses kesehatan di daerah remote Indonesia. Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat setempat membantu mengatasi tantangan yang dihadapi oleh daerah-daerah terpencil dalam mendapatkan layanan kesehatan.

Ke depan, terus mengembangkan langkah-langkah konkrit seperti program kolaboratif adalah kunci untuk terus meningkatkan akses kesehatan di daerah-daerah terpencil di Indonesia dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat di daerah-daerah terpencil tersebut. Dengan komitmen yang kuat terhadap kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta, serta dukungan masyarakat lokal, dapat mencapai tujuan untuk memberikan kesehatan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat Indonesia. Rekomendasi utamanya adalah mendorong lebih banyak inisiatif sektor swasta yang fokus pada daerah terpencil, memanfaatkan teknologi dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan layanan kesehatan ibu dan anak.

Sumber Referensi:

  1. https://www.kanalkalimantan.com/peduli-kesehatan-masyarakat-pedalaman-kalimanta n-diaspora-indonesia-di-as-sumbang-alat-medis/
  2. https://www.alamsehatlestari.org/project-detail/klinik-asri-di-sukadana
  3. https://theconversation.com/dokter-menumpuk-di-jawa-dan-kota-akar-masalahnya-pa da-sistem-rekrutmen-dan-pendidikan-kedokteran-122391
  4. https://www.antaranews.com/berita/2755229/mewujudkan-pemerataan-sumber-daya-l ewat-transformasi-kesehatan
  5. https://kanalpengetahuan.fk.ugm.ac.id/progam-intervensi-komunitas-dalam-kesehatan
    -ibu-dan-anak/
  6. http://kebijakankesehatanindonesia.net/images/2013/9/Laksono-Kebijakan-KIA-Kupa ng-Hari1.pdf
  7. https://www.kominfo.go.id/content/detail/7788/telemedicine-solusi-untuk-peningkata n-pelayanan-kesehatan-di-daerah-terpencil/0/sorotan_media
  8. Vora, K.S., Mavalankar, D.V., Ramani, K.V., Upadhyaya, M., Sharma, B., Iyengar, S., Gupta, V. and Iyengar, K. (2009). Maternal health situation in India: a case study. Journal of health, population, and nutrition, 27(2), p.184.
  9. Maroju, R.G., Choudhari, S.G., Shaikh, M.K., Borkar, S.K., Mendhe, H., Maroju Jr,
    R.G. and Borkar, S. (2023). Role of telemedicine and digital technology in public health in India: a narrative review. Cureus, 15(3).

 

 

 

  • angka jitu
  • togel 4d
  • agen togel
  • slot 4d
  • bandar toto 4d
  • togel 4d
  • togel online
  • rajabandot
  • slot gacor
  • toto macau
  • toto macau
  • toto macau
  • toto macau
  • situs toto
  • situs slot
  • rtp live slot
  • toto slot
  • bandar slot
  • toto macau
  • bandar togel online
  • togel online
  • togel sdy
  • togel online
  • toto macau
  • hongkong lotto
  • hongkong lotto
  • situs slot
  • slot gacor
  • bandar slot 4d
  • bandar slot
  • bandar slot gacor
  • bandar slot gacor
  • slot dana
  • toto macau
  • bandar togel 4d
  • wengtoto
  • toto hk
  • slot dana
  • hk lotto
  • toto sdy
  • slot gacor
  • slot 5000
  • toto slot
  • toto togel 4D
  • toto macau
  • slot thailand
  • slot gacor
  • togel sidney
  • live draw sgp
  • Bandar Slot
  • bandar slot gacor
  • toto togel
  • toto slot
  • slot qris
  • slot toto 4d
  • Toto Togel 4D
  • rajabandot
  • sdy lotto
  • bola gacor
  • toto slot
  • slot 5000
  • slot 5000
  • toto togel
  • toto hongkong
  • toto slot
  • BATASRAJABANDOT
  • slot 777
  • slot gacor
  • slot gacor
  • Bandar Slot
  • Situs Slot
  • Bandar Slot
  • Slot gacor
  • Slot Gacor
  • Slot Gacor
  • Slot Gacor
  • situs slot
  • bandar slot gacor
  • Situs slot gacor
  • Situs slot
  • Agen slot
  • slot online
  • bokep
  • toto slot
  • Slot Demo
  • situs togel
  • bola slot
  • hitam slot
  • permainan slot
  • https://ahujaresidences.com/
  • agent slot
  • slot toto
  • situs bola
  • slot gacor
  • slot gacor
  • toto slot
  • akun demo slot
  • toto slot
  • slot gacor
  • slot gacor
  • https://naturmercado.com/home/