Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Kesehatan Jiwa

Diskusi ke-3 UU Kesehatan

Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Kesehatan Jiwa

Rabu, 9 Agustus 2023  |   Pukul: 12:30 - 14:00 WIB

REPORTASE

Rangkaian webinar UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mulai berfokus pada topik yang lebih spesifik. Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar yang menitikberatkan pada pembahasan topik Kesehatan Jiwa dalam kaitannya dengan UU Kesehatan. Diskusi ini bertujuan untuk memberikan usulan untuk peraturan turunan dari UU Kesehatan terkait kesehatan jiwa serta memberikan gambaran mengenai penggunaan website tentang UU Kesehatan.

9ags1

Pengantar dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD mengenai UU Kesehatan dan keterkaitannya dengan reformasi kesehatan di Indonesia.

Reformasi kesehatan secara luas didefinisikan sebagai sebuah perubahan berkelanjutan dan terarah untuk meningkatkan efisiensi, pemerataan, dan efektivitas sektor kesehatan. Ditinjau dari metafora Health System Control Knobs, reformasi kesehatan yang sejati terjadi jika lebih dari satu knobsdikelola secara bersamaan melalui siklus reformasi. Di Indonesia, belum pernah ada Reformasi Kesehatan secara menyeluruh sebelum pandemi Covid-19.Meski demikian, dengan pengalaman Covid-19, Transformasi Sistem Kesehatan dicanangkan sebagai langkah awal percepatan Reformasi Sistem Kesehatan di Indonesia.

Undang-Undang Kesehatan sebagai dasar hukum dari Transformasi Sistem Kesehatan terdiri dari 20 Bab dimana setiap bab dan pasalnya saling terkait sesuai dengan prinsip reformasi. Dengan masuk ke UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, kesehatan jiwa diharapkan dapat dikelola dengan lebih baik termasuk dalam hal pendanaan, SDM Kesehatan, teknologi, obat-obatan, dan berbagai pendukung lainnya yang tercantum dalam UU Omnibus Law (OBL) Kesehatan. Meski demikian, harapan ini bergantung pada kualitas penulisan regulasi turunan UU Kesehatan yang diharapkan dapat lebih aplikatif dan dapat meningkatkan status kesehatan masyarakat khususnya kesehatan jiwa.

video   materi

9ags2

Pembicara Utama: Diana Setyawati, S.Psi., MHSc., Ph.D., Psikolog, Direktur Centre for Public Mental Health, Fakultas Psikologi UGM.

Pemaparan diawali dengan definisi kesehatan menurut WHO yang tidak hanya bermakna sehat fisik melainkan juga sehat mental yang berkaitan dengan produktivitas dan kualitas generasi di masa depan. Berbagai upaya kesehatan jiwa di Indonesia saat ini masih mengalami berbagai hambatan dan tantangan, antara lain terkait dengan disparitas upaya kesehatan jiwa di berbagai daerah, keterbatasan akses, fasilitas, tenaga kesehatan jiwa, dan program kesehatan, faktor sosial seperti stigma masyarakat, hingga faktor ekonomi. Disebutkan oleh Diana bahwa Indonesia merupakan negara dengan persentase mental health policy sebesar 25%. Kemudian Diana memaparkan bagaimana kondisi pelayanan keswa pada rezim Undang-Undang No. 18 Tahun 2014. Selama ini, program kesehatan jiwa lebih berfokus pada penanganan dan manajemen ODGJ, sementara kegiatan promosi dan prevensi masih terbatas pada deteksi dini dan belum ada perspektif komprehensif maupun pendekatan sepanjang rentang kehidupan terhadap sistem kesehatan jiwa. Energi dan potensi dinas kesehatan tersita untuk menangani masalah terkait keterbatasan obat, SDM kesehatan jiwa, secara tidak langsung ini mengakibatkan rendahnya literasi dan edukasi dalam kesehatan jiwa. Dengan demikian, perspektif positif yang perlu dibangun adalah menjadikan UU Kesehatan sebagai reformasi sistem kesehatan jiwa.

Secara umum, UU Kesehatan banyak membahas mengenai kesehatan jiwa, tidak hanya dalam Pasal 74-85 secara spesifik, melainkan juga secara integrasi dengan upaya kesehatan lainnya. Undang-Undang Kesehatan telah menggarisbawahi konsep bahwa kesehatan jiwa tidak hanya mengenai absent of mental illness melainkan juga bagaimana seseorang dapat hidup produktif. Dalam UU ini juga disebutkan bahwa upaya kesehatan jiwa harus sepanjang siklus kehidupan manusia, dan bukan hanya untuk ODGJ melainkan untuk seluruh masyarakat. Upaya kesehatan jiwa diatur untuk dilaksanakan di fasilitas pelayanan di luar sektor kesehatan, yang mana diharapkan termasuk di sekolah dan tempat kerja.

Indonesia sebelumnya termasuk negara yang memiliki stand-alone mental health policy, meski demikian setelah UU Kesehatan OBL ini diharapkan Indonesia tetap memiliki regulasi turunan terkait kesehatan jiwa yang kuat. Oleh karena itu, diharapkan good mental health system dapat tertuang dalam regulasi turunan UU Kesehatan, antara lain: governance and leadership, financing and payment, facilities and infrastructure, human resources, mentah health services and programs, mental health information systems, serta research, monitoring, and evaluation. Narasumber menyampaikan berbagai rekomendasi terhadap turunan UU Kesehatan terkait upaya kesehatan jiwa, antara lain: penguatan kelembagaan dan pendekatan sistem dan multisector untuk penanganan kesehatan jiwa yang komprehensif; pengembangan sistem pelayanan kesehatan jiwa yang komprehensif, terintegrasi, dan berkesinambungan; menjaga kesehatan jiwa masyarakat dengan strategi edukasi, promosi, dan prevensi lintas disiplin dan lintas sektor; pengembangan standar dan pemenuhan sarana prasarana dan SDM kesehatan jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan; optimalisasi berbagai skema pembiayaan dalam penyediaan layanan kesehatan jiwa berkesinambungan; serta pengembangan sistem informasi kesehatan jiwa yang terintegrasi dan peningkatan penelitian dan pengembangan kesehatan jiwa.

video   materi

Sesi Diskusi:

Webinar dilanjutkan dengan diskusi terhadap berbagai pertanyaan dan masukan yang disampaikan oleh peserta dari Ikatan Psikolog Klinik Indonesia, puskesmas, dinas kesehatan, dan mahasiswa. Diskusi banyak membahas mengenai hambatan dan tantangan yang selama ini terjadi dalam upaya kesehatan jiwa, terutama terkait dengan keterbatasan tenaga kesehatan jiwa, kompetensi yang harus dimiliki, upaya strategis untuk lebih berfokus pada promotif dan preventif, hingga telemedisin dan telekonsultasi terkait dengan kesehatan jiwa. Dalam diskusi ini digarisbawahi bahwa melalui UU Kesehatan ini, pemerintah daerah dan pemerintah pusat perlu memastikan ketersediaan SDM kesehatan yang tertulis dalam pasal UU Kesehatan adalah termasuk tenaga kesehatan jiwa, salah satunya psikolog klinik. Anda dapat menemukan sesi diskusi pada video berikut

video

Sesi Penutup:

Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD menutup diskusi dengan menyampaikan bahwa masuknya kesehatan jiwa dalam UU Kesehatan OBL merupakan kesempatan emas yang membuka pintu bagi inovasi-inovasi baru dalam upaya kesehatan jiwa. Namun demikian, tantangan besar saat ini adalah untuk lebih proaktif untuk menyampaikan rekomendasi terhadap regulasi turunan UU Kesehatan yang terkait kesehatan jiwa kepada Kementerian Kesehatan. Diharapkan diskusi tidak berakhir dalam webinar ini melainkan terus dilanjutkan, termasuk di dalam web www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan, sehingga produk regulasi turunan UU dapat menjawab kebutuhan kesehatan jiwa di Indonesia.

video

Reporter: Valentina L Prabandari, Nila Munana

 

 

Diskusi ke-4 Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Sistem Informasi Kesehatan dan Teknologi Kesehatan

Diskusi ke-4 UU Kesehatan

Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Sistem Informasi Kesehatan dan Teknologi Kesehatan

Kamis, 10 Agustus 2023  |   Pukul: 12:30 - 14:00 WIB

REPORTASE

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar yang UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang berfokus pada pembahasan topik Sistem Informasi Kesehatan dan Teknologi Kesehatan. Sesi ini akan dimoderatori oleh dr. Guardian Yoki Sanjaya, MHlthInfo. Melalui diskusi ini diharapkan dapat muncul rekomendasi-rekomendasi untuk peraturan turunan dari UU Kesehatan terkait Sistem Informasi Kesehatan dan Teknologi Kesehatan serta memberikan gambaran mengenai penggunaan websitetentang UU Kesehatan.

10ags5

Pengantar dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. mengenai UU Kesehatan dan kaitannya dengan reformasi Kesehatan di Indonesia

Webinar dibuka dengan pemaparan dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD mengenai Undang-Undang Kesehatan sebagai dasar dari reformasi kesehatan di Indonesia. Reformasi kesehatan secara luas didefinisikan sebagai sebuah perubahan berkelanjutan dan terarah untuk meningkatkan efisiensi, pemerataan, dan efektivitas sektor kesehatan. Ditinjau dari metafora Health System Control Knobs, reformasi kesehatan yang sejati terjadi jika lebih dari satu knobs dikelola secara bersamaan melalui siklus reformasi yang dimulai dengan mengidentifikasi masalah, mendiagnosa masalah, membentuk rencana, mendapatkan persetujuan politik, kemudian dilaksanakan dengan diikuti langkah-langkah monitoring dan evaluasi. Secara historis, belum pernah ada Reformasi Kesehatan secara menyeluruh di Indonesia yang mengelola berbagai control knobs secara bersamaan sebelum pandemi Covid-19. Undang-Undang Kesehatan Omnibus Law ini merupakan dasar hukum dari Transformasi Sistem Kesehatan yang merupakan sebagai langkah awal percepatan Reformasi Sistem Kesehatan di Indonesia. Undang-Undang Kesehatan terdiri dari 20 Bab dimana setiap bab dan pasalnya saling terkait sesuai dengan prinsip reformasi, salah satunya terkait dengan Sistem Informasi dan Teknologi Kesehatan. Meski demikian, pertanyaan-pertanyaan berikut perlu didiskusikan sehingga muncul rekomendasi kebijakan terhadap peraturan turunan UU Kesehatan: apakah IT ada di semua pasal? Apa kesimpulan yang dapat ditarik? Bagaimana agar bisa efektif?

Video   materi

10ags6

Pembicara Utama: Anis Fuad, S.Ked., DEA., Peneliti dan Kepala Divisi e-Health PKMK FK-KMK UGM

Sesi pembahasan disampaikan oleh pembicara utama yaitu Anis Fuad, S.Ked., DEA (Peneliti PKMK Bidang e-Health). UU Kesehatan No 17 Tahun 2023 memuat 20 Bab mulai dari Ketentuan Umum hingga Ketentuan Penutup. Sistem Informasi dan Teknologi Kesehatan secara spesifik dibahas dalam Bab X dan XI. Tetapi jika dipelajari, komponen sistem informasi dapat ditemukan dalam Ketentuan Umum, Tanggungjawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Upaya Kesehatan, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Sumber Daya Manusia Kesehatan, Perbekalan Kesehatan, Kejadian Luar Biasa, Pendanaan Kesehatan. Namun mengapa tidak semua komponen bagian itu memuat sistem informasi dan teknologi kesehatan? Jika mengacu pada 10 Essential Public Health Services, sistem informasi dan teknologi kesehatan semestinya terkait erat dengan seluruh layanan mulai dari proses assessment, policy development, hingga assurance. Di samping itu, mengacu pada Data Use Partnership: Theory of Change, dalam mendukung siklus pemanfaatan data diperlukan komponen-komponen berikut: strategy and investment, standards and interoperability, infrastructure, workforce, legislation, policy, and compliance, services and applications, serta leadership and governance. Sebagian besar komponen ini termuat dalam Bab XI UU Kesehatan dan sebagian lainnya mungkin termuat dalam Bab-Bab lainnya.

Sistem informasi kesehatan dan teknologi kesehatan dalam UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 termuat sebagai salah satu komponen dari sumber daya kesehatan, sehingga aturan-aturan yang berkaitan dengan sumber daya kesehatan mestinya juga berkaitan dengan Sistem Informasi Kesehatan (SIK) jika tidak ada pengecualian. Beberapa substansi SIK dalam UU Kesehatan berkaitan dengan 6 komponen besar, yaitu: tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah; penyelenggaraan kesehatan; upaya kesehatan; fasilitas pelayanan kesehatan (Puskesmas dan RS); SDM Kesehatan dalam hal peraturan pendukung bagi tenaga kesehatan yang terkait dengan digitalisasi; dan SDM Kesehatan dalam hal yang spesifik pada aspek perencanaan, pendayagunaan tenaga medis dan tenaga kerja, serta penyelenggaraan praktik. Substansi sistem informasi kesehatan diatur sebagai salah satu bagian di UU Kesehatan pasal 345-351 yang memuat prinsip fundamental dalam penyelenggaraan SIK. Sementara, substansi teknologi kesehatan diatur sebagai salah satu bagian di UU Kesehatan pasal 334-344. Kesemuanya ini memerlukan regulasi turunan.

Substansi UU Kesehatan No 17 Tahun 2023 yang berkaitan dengan SIK dan Teknologi Kesehatan terdiri dari 3 topik besar: (1) pemanfaatan teknologi kesehatan, termasuk teknologi biomedis untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan serta precision medicine; (2) penguatan sistem informasi kesehatan, termasuk kewenangan pemerintah dalam memanfaatkan data kesehatan melalui integrasi berbagai sistem informasi kesehatan ke dalam Sistem Informasi Kesehatan Nasional; dan (3) penguatan pendanaan kesehatan terkait penyelenggaraan sistem informasi pendanaan kesehatan dan menjamin pelayanan kesehatan yang berkeadilan. Sehingga, semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan JKN juga semestinya akan diperkuat dengan sistem informasi.

Terdapat suatu kemajuan yang luar biasa pada Undang-Undang Kesehatan, dimana UU Kesehatan menempatkan terminologi khusus yaitu telemedisin yang dibedakan dari telekesehatan. Hal ini perlu dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan turunan UU Kesehatan, bagaimana penyelenggaraan telekesehatan maupun telemedisin, dan bagaimana peraturan tersebut dapat mengelaborasi komponen-komponen yang sebelumnya tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/4829/2021 Tentang Pedoman Pelayanan Kesehatan Melalui Telemedicine Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2020. Muatan dalam Bab X tentang Teknologi Kesehatan sangat canggih dan detail dari sisi kemajuan teknologi. Akan tetapi terkait dengan isu pemanfaatan teknologi kesehatan, ketentuan mengenai pemeliharaan, kalibrasi, dan upaya menjaga kualitas teknologi yang telah masuk ke fasilitas pelayanan kesehatan perlu diperkuat dalam peraturan turunan UU Kesehatan.

Isu menarik lainnya adalah terkait dengan Sumber Daya Manusia Kesehatan dalam pasal 197 yang terdiri dari tenaga medis, tenaga kesehatan, dan tenaga pendukung kesehatan. Dalam Pasal 199, untuk tenaga kesehatan telah mencakup tenaga keteknisian medis, tenaga teknik biomedika, bahkan termasuk tenaga kesehatan tradisional. Namun, tenaga IT maupun data scientist tidak muncul pada pasal ini. Pasal 200 menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tenaga pendukung kesehatan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu, hal ini perlu dikawal dengan kuat sehingga tenaga IT dapat memperoleh tempat di sektor kesehatan.

video   materi

10ags7

Diskusi:

Webinar dilanjutkan dengan diskusi yang banyak membahas mengenai tantangan terkait pengelolaan tenaga sistem informasi kesehatan dan teknologi kesehatan, baik dalam hal rekrutmen maupun capacity building, yang mana terkait pula dengan sumber daya finansial yang memadai. Terlebih, target lulusan IT cenderung lebih mengarah pada sektor swasta maupun konsultan IT dibandingkan pada sektor pemerintah. Isu tenaga IT ini merupakan isu lintas sektor sehingga pembahasan ini memerlukan pembahasan lintas kementerian sehingga secara regulasi dapat difasilitasi. Meski demikian, sektor kesehatan sendiri sebaiknya telah memiliki kerangka konsep yang jelas mengenai tenaga sistem informasi kesehatan dan teknologi kesehatan yang dituangkan dalam peraturan turunan Undang-Undang Kesehatan ini. Anda dapat menemukan sesi diskusi pada link video berikut

video

Penutup:

Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD menutup diskusi dengan menyampaikan bahwa saat ini memang merupakan sebuah awal dari suatu pengembangan. Oleh karena itu, diharapkan teman-teman pakar IT fokus dalam membantu pemerintah untuk penyusunan peraturan turunan UU Kesehatan ini. PKMK berupaya memfasilitasi hal ini melalui website UU kesehatan www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan sebagai wadah untuk diskusi serta menyelenggarakan rangkaian webinar yang pada akhirnya diharapkan dapat memberikan rekomendasi terhadap peraturan turunan UU Kesehatan ini sehingga produk regulasi turunan UU dapat menjawab berbagai tantangan Sistem Informasi dan Teknologi Kesehatan di Indonesia.

Reporter:
dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM. & Nila Munana, S.HG., MHPM.

 

 

 

 

Diskusi ke-5 Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Industri Obat dan Alat Kesehatan

Diskusi ke-5 UU Kesehatan

Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Industri Obat dan Alat Kesehatan

Jumat, 11 Agustus 2023  |   Pukul: 08:30 - 10:00 WIB

REPORTASE

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang berfokus pada pembahasan topik Industri Obat dan Alat Kesehatan. Diskusi ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi untuk peraturan turunan UU Kesehatan terkait Industri Obat dan Alat Kesehatanserta memberikan gambaran mengenai penggunaan website UU Kesehatan.

11ags 1

Pengantar dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD mengenai UU Kesehatan dan keterkaitannya dengan reformasi Kesehatan di Indonesia

Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD membuka webinar dengan memberikan pengantar untuk memahami UU Kesehatan sebagai dasar hukum reformasi kesehatan. Reformasi kesehatan yang sejati dilakukan dengan mengelola tombol-tombol kebijakan dalam sistem kesehatan secara bersama-sama. Secara historis, belum pernah ada reformasi kesehatan secara menyeluruh sebelum pandemi COVID-19. Setelah pandemi COVID-19, Kementerian Kesehatan melakukan transformasi sebagai percepatan reformasi kesehatan dengan mengaktifkan banyak tombol kebijakan yang diatur dalam UU Kesehatan. Hal inilah yang mendasari mengapa UU Kesehatan Omnibus Law ini disebut sebagai UU Kesehatan yang reformis. Didasarkan pada UU ini, Kementerian Kesehatan berkomitmen untuk melakukan transformasi sistem kesehatan dimana salah satu pilarnya adalah terkait industri obat dan alat kesehatan. Lalu bagaimana muatan UU Kesehatan ini dengan industri obat dan alkes? Apakah ada pasal-pasalnya? Apa kesimpulan yang dapat ditarik? Bagaimana agar bisa efektif? Pertanyaan ini perlu didiskusikan sehingga muncul rekomendasi terhadap regulasi turunan UU Kesehatan.

video   materi

Pembicara pertama: Prof. Apt. Dr. Zullies Ikawati, Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada

11ags 2Sesi pembahasan pertama oleh Prof. Apt. Dr. Zullies Ikawati diawali dengan mapping unsur kefarmasian yang membutuhkan regulasi turunan UU Kesehatan dengan total 121 regulasi. Diantaranya terdapat 8 RPP yang dibutuhkan di bidang farmasi tentang: (1) pengamanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan PKRT; (2) praktik kefarmasian; (3) ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan; (4) penggolongan obat, obat dengan resep, dan obat tanpa resep; (5) penggolongan obat bahan alam; (6) pelaksanaan penelitian, pengembangan, pemanfaatan, dan pemeliharaan obat bahan alam; (7) percepatan pengembangan dan ketahanan industry sediaan farmasi dan alat kesehatan; dan (8) standar, sistem dan tata kelola sediaan farmasi, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan lainnya pada kondisi darurat, bencana, KLB, atau wabah. Pada webinar ini Prof. Zullies berfokus pada praktik kefarmasian dan penggolongan obat, obat dengan resep, dan obat tanpa resep.

Terkait praktik kefarmasian, disebutkan bahwa praktek kefarmasian harus dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang meliputi apoteker spesialis, apoteker dan tenaga vokasi farmasi dengan pembagian kewenangan disesuaikan dengan lingkup dan tingkat kompetensi dan kualifikasi tertinggi. Melihat hal ini, perlu ditetapkan regulasi untuk menjawab pertanyaan berikut: bagaimana kualifikasi pendidikannya? Bagaimana level KKNI-nya? Bagaimana karakteristik, kewenangan dan kompetensi profesionalnya? Terkait dengan penggolongan obat, obat dengan resep, dan obat tanpa resep, Pasal 320 menyebutkan bahwa selain obat bebas dan obat bebas terbatas, obat keras tertentu dapat diberikan oleh apoteker. Ketentuan ini memberikan ruang pada apoteker untuk bergerak pada daerah yang selama ini “abu-abu”, namun pemerintah perlu menetapkan indikasi dan ketentuan yang lebih jelas dan mendetail. Penjelasan tentang perbedaan konsep pelayanan menggunakan obat (pengobatan berdasarkan resep, pengobatan tanpa resep, dan swamedikasi) juga dibutuhkan dalam regulasi turunan UU Kesehatan ini.

Video   materi

Pembicara kedua: Dr. Apt. Hilda Ismail, Msi, Kepala Pusat Studi Industri Farmasi dan Teknologi Kesehatan

11ags 3Sesi pembahasan berikutnya disampaikan oleh Dr. Hilda Ismail, Msi, Apt yang lebih berfokus pada Bab IX UU Kesehatan mengenai ketahanan kefarmasian dan alat kesehatan yang berisi 11 pasal yaitu pasal 322-333. Indonesia masih mengalami masalah ketergantungan pada impor bahan baku obat (BBO) dan alat kesehatan, dimana impor BBO mencapai lebih dari 90% pada 2020. Selain itu, Indonesia menghadapi tantangan utama pengembangan produksi obat tradisional yaitu memproduksi obat tradisional yang memenuhi standar, baik dari sisi keamanan, mutu dan efikasi, dengan kualitas dan kuantitas yang memenuhi kebutuhan. Indonesia juga masih melakukan impor alat kesehatan mencapai 91.5% pada 2020.

Menilik masalah dan tantangan tersebut, usulan untuk regulasi turunan UU Kesehatan terkait produksi BBO dan alkes adalah perlunya penjelasan dan penegasan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan: (1) standar efikasi, keamanan, dan kualitas produk sediaan farmasi maupun alkes yang dikembangkan, diproduksi hingga digunakan dalam pengobatan; (2) penguatan kerjasama antar komponen pendukung dalam sistem ABG untuk kemandirian sediaan farmasi dan alkes; (3) penguatan dan fasilitasi pemanfaatan teknologi baru dalam proses produksi sediaan farmasi dan alkes; dan (4) penekanan pemanfaatan teknologi informasi dalam upaya peningkatan ketahanan sediaan farmasi maupun alkes.

video   materi

 

Sesi Diskusi:
Dalam sesi diskusi, diungkapkan bahwa UU Kesehatan ini memberi tempat bagi ketahanan farmasi pada level Undang-Undang, yang mana sebelumnya hanya pada level Inpres. Selain itu, terkait keorganisasian, terdapat ruang untuk menata kembali bagaimana organisasi profesi, kolegium atau cabang ilmu di bidang farmasi yang sesuai dengan kebutuhan di masa mendatang. Diskusi juga membahas mengenai tanggung jawab riset di pemerintah pusat maupun daerah, yang mana baik dari pemerintah pusat maupun daerah dapat ambil bagian pada upaya penelitian dan pengembangan BBO bersumber alam. Dengan demikian, suatu kerja serius perlu dilakukan untuk membuat regulasi turunan UU Kesehatan ini. Berbagai pihak yang terdampak oleh UU ini perlu berpartisipasi karena regulasi turunan akan bersifat lebih praktis.

video

Sesi Penutup:

Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD menutup diskusi dengan menyampaikan bahwa saat ini adalah fase awal dan diharapkan para pakar dapat mencermati UU Kesehatan ini. Sebab, undang-undang ini adalah UU OBL, yang mana akan bisa berjalan dengan baik jika kita memahami tidak hanya UU yang terkait bidang tertentu saja melainkan juga terkait dengan pendanaan, SDM, dan aspek lainnya. PKMK berupaya mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan sebagai wadah untuk diskusi serta menyelenggarakan rangkaian webinar untuk memantik diskusi berkelanjutan dan menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM & Nila Munana, S.HG., MHPM.

 

 

 

Diskusi ke-6 Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Kesehatan Mata

Diskusi ke-6 UU Kesehatan

Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Kesehatan Mata

Jumat, 11 Agustus 2023  |   Pukul: 13:00 - 14:00 WIB

REPORTASE

Webinar UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan #6 berfokus pada topik pembahasan topik Kesehatan Mata dalam kaitannya dengan UU Kesehatan. Melalui diskusi ini, diharapkan dapat menginisiasi berbagai rekomendasi untuk peraturan turunan dari UU Kesehatan terkait kesehatan mata serta memberikan gambaran mengenai penggunaan website tentang UU Kesehatan.

Pengantar dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD mengenai UU Kesehatan dan keterkaitannya dengan reformasi kesehatan di Indonesia.

Webinar dibuka dengan pemaparan dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD yang mengulas tentang UU Kesehatan sebagai sebuah reformasi. Reformasi kesehatan secara luas didefinisikan sebagai sebuah perubahan berkelanjutan dan terarah untuk meningkatkan efisiensi, pemerataan, dan efektivitas sektor kesehatan. Reformasi kesehatan terjadi jika lebih dari satu tombol kebijakan dikelola secara bersamaan melalui siklus reformasi. Di Indonesia, belum pernah ada Reformasi Kesehatan secara menyeluruh sebelum pandemi Covid-19. Setelah pandemi COVID-19, Kementerian Kesehatan berupaya mempercepat reformasi kesehatan melalui proses Transformasi Sistem Kesehatan yang mengelola banyak tombol kebijakan dalam bentuk pilar-pilar transformasi. Undang-Undang Kesehatan sebagai dasar hukum dari Transformasi Sistem Kesehatan terdiri dari 20 Bab dimana setiap bab dan pasalnya saling terkait sesuai dengan prinsip reformasi. Upaya kesehatan pendengaran dan penglihatan termuat dalam UU Kesehatan ini pada Bab V Bagian 10 pasal 71-73, namun dalam memahaminya perlu untuk menelaah pula bagian lain yang terkait dengan pembiayaan, SDM, teknologi kesehatan, dan sebagainya. Selanjutnya berbagai ketentuan dalam UU ini akan diturunkan dalam regulasi turunan yang diharapkan dapat lebih aplikatif dan dapat mencapai tujuan reformasi kesehatan terkait kesehatan mata.

VIDEO

Pembicara Utama: dr. Muhammad Bayu Sasongko, Sp.M(K)., M.Epi., Ph.D (Kepala Departemen Ophtalmology FK-KMK UGM, Ahli Vitreo-retina bedah dan medis)

11ags 4Sesi pembahasan disampaikan oleh dr. Muhammad Bayu Sasongko, Sp.M(K)., M.Epi., Ph.D yang menjelaskan bahwa UU Kesehatan yang mengatur tentang pelayanan kesehatan mata hanya termuat dalam 3 pasal dan bersifat sangat generic. Namun, dalam UU Kesehatan ini terdapat kata kunci yang menarik di Pasal 72 ayat (1) bahwa upaya kesehatan penglihatan dan pendengaran diselenggarakan secara terpadu, komprehensif, efektif, efisien dan berkelanjutan. Kata kunci ini menggarisbawahi pentingnya sistem surveillance yang selama ini masih belum optimal. Sebelumnya sistem surveillance ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan 82 tahun 2020 dan masih banyak area abu-abu yang belum jelas sehingga belum optimal. Hal ini juga terkait pada pasal 72 ayat (2) dimana pemerintah pemerintah pusat dan daerah dapat menetapkan gangguan penglihatan atau pendengaran tertentu sebagai prioritas nasional atau daerah. Dari pasal tersebut bisa membuat aturan turunan terkait pendanaan, pendayagunaan dan infrastruktur. Sehingga di aturan turunan perlu diperjelas supaya kita bisa memetakan secara lebih akurat daerah mana terkait gangguan penglihatan dan pendengaran sehingga bisa mendukung strategi nasional kesehatan mata yang efektif dan tepat sasaran.

video


Sesi Diskusi:
Webinar dilanjutkan dengan diskusi yang membahas tentang telemedisin untuk upaya kesehatan mata, yang mana telemedisin telah diatur dalam UU Kesehatan ini. Aturan turunan UU Kesehatan perlu memberikan rambu-rambu yang jelas untuk pelaksanaannya sehingga upaya kesehatan mata dengan konsep “rumah sakit tanpa dinding” dapat memperoleh payung regulasi yang jelas. Diskusi juga membahas task-shifting dalam upaya kesehatan mata. Task-shifting untuk kesehatan mata saat ini masih jauh dari pemikiran karena dibutuhkan waktu, infrastruktur dan effort yang cukup besar untuk melatih dokter umum dalam tindakan medis penanganan kasus mata, berbeda dengan melatih dokter umum untuk tindakan bedah minor. Sehingga, strategi saat ini masih mengarah pada afirmasi pendidikan spesialis mata untuk dokter umum yang akan ditempatkan di daerah terpencil. UU Kesehatan memiliki sisi inovasi pada isu ini dimana terdapat pendekatan baru yang memungkinkan daerah untuk membangun kerjasama sister hospital kaitannya dengan pendidikan spesialis hospital-based. Potensi segmen pasar non-BPJS untuk pelayanan kesehatan menjadi isu menarik untuk didiskusikan yang mana juga terkait dengan muatan UU Kesehatan pada aspek pendanaan.

video

11ags 5

Sesi Penutup:

Dalam sesi penutup, Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD menyampaikan bahwa para pakar kesehatan mata, spesialis mata, kesehatan masyarakat dan sebagainya harus aktif dalam menyusun dan memberikan masukan untuk regulasi turunan UU Kesehatan ini. Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD juga mengarahkan bahwa diskusi dapat dilanjutkan di website yang telah dikembangkan oleh PKMK: https://kebijakankesehatanindonesia.net

video

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

 

 

Webinar “Analisis Usulan Daftar Perencanaan Program Penyusunan Judul dan Pokok Materi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Berdasarkan Hasil Inventarisasi Pendelegasian UU NO. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan”

Term of Reference

Webinar “Analisis Usulan Daftar Perencanaan Program Penyusunan Judul dan Pokok Materi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Berdasarkan Hasil Inventarisasi Pendelegasian UU NO. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan”

Senin, 14 Agustus 2023  |   Pukul: 13:00 - 14:00 WIB

REPORTASE

Diskusi ini membahas inventarisasi aturan pelaksana pendelegasian UU Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan menggunakan dua perspektif yaitu perspektif hukum dan perspektif pemerhati kebijakan kesehatan.

Pengantar dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD mengenai UU Kesehatan dan keterkaitannya dengan reformasi kesehatan di Indonesia.

14ags 1Webinar dibuka dengan pemaparan dari Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD mengenai penyusunan turunan UU Kesehatan dengan perspektif reformasi dan terkoordinir dengan UU lain yang tidak masuk dalam UU Omnibus Law kesehatan. UU Kesehatan merupakan landasan untuk transformasi sistem kesehatan yang disusun untuk dilaksanakan dengan berbagai aturan turunan. Enam pilar transformasi kesehatan termuat dalam UU Kesehatan yang terdiri dari 20 bab yang terkait pendahuluan, pilar kesehatan, fondasi dan aspek hukum. Setiap bab dan pasal saling terkait sesuai dengan prinsip reformasi, sehingga setiap topik sebaiknya tidak dilihat secara terpisah-pisah. Sebagai contoh, pasal penglihatan dan pendengaran hanya termuat dalam 3 pasal UU Kesehatan, yaitu pasal 71, 72 dan 73. Namun perlu ditelaah pada pasal lainnya, bagaimana pelayanan penglihatan dan pendengaran didanai? Akankah ditopang oleh regulasi pasal 401 – 412? Bagaimana SDM diatur? Apakah ditopang oleh regulasi bab VII pasal 197 – 311? Dengan demikian, dalam aturan turunan terdapat berbagai pasal yang dipakai bersama oleh pasal-pasal upaya kesehatan. Pasal-pasal itu cenderung berada di pilar-pilar yang berfungsi seperti pondasi dalam metafora transformasi kesehatan yang terkait pendanaan, SDM, teknologi, perbekalan kesehatan, dan sebagainya. Oleh karena itu, perlu diinventarisasi pasal yang dipakai bersama dan merupakan pilar dasar, di sisi lain, terdapat berbagai pasal yang dipakai bersama masih diatur oleh UU lain di luar UU Nomor 17 Tahun 2023 seperti UU SJSN dan UU BPJS, UU Pendidikan Tinggi, UU IT dan sebagainya, sehingga akan ada banyak aturan turunan yang penulisannya sangat kompleks. Oleh karena itu, tantangan saat ini adalah bagaimana memberikan masukan untuk turunannya. Pasal demi pasal dalam UU Kesehatan dapat dipelajari dan turunan UU akan dapat dipelajari melalui website: https://kebijakankesehatanindonesia.net/4735-uu-kesehatan-omnibus-law-2023  yang didalamnya membahas berbagai isu dalam bentuk webinar, diskusi per-bab UU Kesehatan, serta referensi dalam berbagai kategori. Dengan demikian, website ini diharapkan menjadi tempat untuk mempelajari dan membahas UU Kesehatan secara interaktif.

materi   video

Pembicara Utama: Dr. Rimawati, S.H., M.Hum (Dosen Fakultas Hukum UGM)

14ags 2Rimawati memberikan penjelasan mengenai upaya inventarisasi aturan pelaksana yang diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Mengingat cukup banyak peraturan turunan yang timbul sejak diundangkannya regulasi tentang kesehatan ini. Rimawati juga menjelaskan, terdapat prinsip utama yang tidak boleh dilanggar dalam penyusunan peraturan turunan seperti Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. Mengadopsi dari teori Piramida Hukum (Hans Kelsen), sebuah peraturan baru dapat diakui secara legal jika tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku pada suatu jenjang yang lebih tinggi. Kemudian juga terdapat asas-asas yang melandasi sebuah peraturan baru diciptakan, asas pertama adalah lex superiori derogate legi inferiori yang berarti peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah (sehingga peraturan yang lebih tinggi kedudukannya akan didahulukan). Asas kedua, lex specialis derogate legi generali yang bermakna peraturan yang bersifat khusus mengesampingkan peraturan yang bersifat umum. Kemudian asas ketiga, lex posteriori derogate legi lex priori bermakna peraturan yang baru mengesampingkan peraturan yang lama.

Selain memperhatikan prinsip dasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, pemerintah juga perlu menyusun rencana penyusunan Peraturan Pemerintah yang memuat hasil inventarisasi pendelegasian Undang-Undang. Pemerintah yang dimaksud dalam hal ini adalah Kementerian yang terkait dengan perintah pendelegasian yang terdapat di Undang-Undang.

Unsur berikutnya yang juga patut diberi perhatian, adalah mengenai partisipasi masyarakat. Ada beberapa metode yang bisa digunakan pemerintah untuk mengikutsertakan masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu lisan dan tertulis. Kondisi yang dapat digunakan untuk menyampaikannya adalah melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, dan/ata seminar, lokakarya dan/atau diskusi. Media untuk mengumumkan terbukanya kesempatan untuk partisipasi publik biasanya diberikan oleh Pemerintah melalui media elektronik, media cetak maupun forum tatap muka atau dialog langsung.

Pada bagian akhir, Rimawati menjelaskan tentang hasil identifikasi delegasi peraturan yang harus dibentuk oleh Pemerintah, untuk lebih lengkapnya silahkan untuk menyimak materi berikut ini

materi   video

Sesi Diskusi

Pertanyaan dari peserta cukup banyak dan beragam. Salah satunya adalah pertanyaan mengenai kepastian hukum dari peraturan turunan yang sudah berlaku sebelumnya, apakah tiba-tiba tidak berlaku begitu saja atau akan tetap berlaku?. Terdapat kekhawatiran tentang kekosongan hukum. Salah satu peserta juga menanyakan terkait dengan kedudukan dokter residen dan dokter spesialis, terutama kaitannya dengan jobdesc dan insentif yang diberikan. Seperti apa jawabannya?
Silakan klik di sini untuk menonton videonya.

video

Closing Remarks

Peraturan turunan yang didelegasikan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 begitu banyak, dan perlu perhatian tinggi untuk fokus dalam mengawalnya. Kemungkinan yang dapat terjadi dalam pembuatan peraturan turunan ini, waktu pelaksanaannya akan cukup cepat. Selain itu Laksono mendorong untuk berdiskusi lebih jauh sesuai dengan topik-topik yang tersedia dan mendorong untuk membuat policy brief untuk usulan yang akan diberikan pada Pemerintah terkait.
Reporter: Tim asisten topik UU Kesehatan PKMK

video

 

 

Diskusi ke-7 Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Mutu Pelayanan Kesehatan

Diskusi ke-7 UU Kesehatan

Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Mutu Pelayanan Kesehatan

Selasa, 15 Agustus 2023  |   Pukul: 15:00 - 16:00 WIB

REPORTASE

Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian webinar UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang berfokus pada pembahasan topik Mutu Pelayanan Kesehatan. Diskusi ini diharapkan dapat memberikan masukan terhadap peraturan turunan UU Kesehatan terkait Mutu Pelayanan Kesehatan dan gambaran penggunaan website UU Kesehatan.

Pengantar disampaikan oleh Shita Listyadewi

30ags3Pengantar terkait implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) disampaikan oleh Shita Listya Dewi, Ph.D yang memaparkan tentnag UU Kesehatan sebagai dasar reformasui yang terkait dengan perspektif mutu pelayanan kesehatan. Mengacu pada metafora tentang control knobs untuk reformasi sektor kesehatan, reformasi kesehatan terjadi jika lebih dari satu knob diaktifkan secara bersama-sama untuk mencapai tujuan, yaitu efisiensi, equity, dan efektifitas yang mengarah ke status kesehatan yang lebih baik. Pengalaman reformasi kesehatan di Indonesia seperti reformasi pendanaan selama ini belum mencapai tujuan-tujuan tersebut dengan optimal, sebab masih ada isu terkait dengan akses dan cakupan.

UU Kesehatan yang baru ini merupakan upaya reformasi sektor kesehatan pasca Covid-19 dengan mengaktifkan beberapa knobs reformasi sekaligus melalui transformasi sistem kesehatan. Meski demikian, apakah kebijakan transformasi ini dapat berjalan? UU Kesehatan Omnibus Law ini terdiri atas 20 Bab yang selanjutnya akan diturunkan dalam regulasi turunan. Hal ini akan berimplikasi terhadap mutu pelayanan kesehatan sehingga penting untuk mendiskusikan bersama mengenai masukan terhadap regulasi turunan UU Kesehatan ini dan akan dibagikan di web www.kebijakankesehatanindonesia.net secara berkala.

video   materi

Narasumber Utama: Dr. dr. Hanevi Djasri, MARS, FISQua

Dr. dr. Hanevi Djasri, MARS, FISQua dalam sesi pembahasan menjelaskan tentang aspek mutu pelayanan kesehatan dalam UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023. Istilah mutu pelayanan kesehatan disebutkan sebanyak 28 kali dalam UU Kesehatan, yaitu pada bagian pertimbangan, tanggungjawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah; di dalam turunan terkait kompetensi tenaga medis; di dalam pasal kesehatan ibu, kesehatan remaja, kesehatan dewasa, kesehatan lanjut usia, penyandang disabilitas, kesehatan reproduksi, keluarga berencana, gizi, kesehatan jiwa; pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan PKRT; farmasi; dan fasilitas pelayanan kesehatan (pasal 173 dan 178). Seluruh dimensi mutu WHO telah termuat dalam UU Kesehtan, dengan beberapa dimensi yang sering muncul adalah aman, akses, berkeadilan, efisien dan efektif. Meski demikian, belum ada prioritas dimensi mutu yang akan dipastikan tercapai lebih dahulu dalam 5 sampai 10 tahun mendatang.

Mutu pelayanan kesehatan tidak dibahas dalam satu bab tersendiri, melainkan tersebar dan terintegrasi di seluruh bab yang ada. Dengan demikian, apabila menggunakan health system framework, mutu pelayanan kesehatan sudah terbagi rata pada seluruh health system building blocks sehingga UU Kesehatan ini tidak bisa dibahas per bab namun secara keseluruhan. Kerangka kerja mutu yang jelas dalam UU Kesehatan ini adalah bahwa pemerintah bertanggung jawab dan mengatur serta perlu ditetapkan kebijakan dan strategi nasional. Jika menilik kerangka kerja menggunakan struktur, proses, output, dan outcome mutu pelayanan kesehatan kepada pasien, outcome WHO adalah berupa peningkatan kesehatan pasien, proteksi resiko sosial dan finansial, serta peningkatan efisiensi dan responsiveness. Dalam hal kebijakan dan strategi, secara eksplisit belum terdapat kebijakan dan strategi yang dipilih untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dalam UU Kesehatan. Dengan demikian, diperlukan pengembangan PP khusus yang mengatur tentang mutu pelayanan kesehatan dan program kesehatan sebab setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau.

video   materi

Sesi Penutup

Webinar dilanjutkan dengan penjelasan muatan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan mulai dari proses perumusan UU Kesehatan, knowledge management, file dokumen UU Kesehatan, hingga kolom komentar yang disediakan untuk memfasilitasi diskusi. PKMK berupaya mengembangkan website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan sebagai wadah untuk diskusi serta menyelenggarakan rangkaian webinar untuk memantik diskusi berkelanjutan dan menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan UU Kesehatan.
Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

 

 

 

Diskusi ke-10 Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Kesehatan Keluarga

Diskusi ke-10 UU Kesehatan

Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Kesehatan Keluarga

kamis, 24 Agustus 2023  |   Pukul: 09:00 - 10:30 WIB

REPORTASE

26ags

Topik pembahasan dalam seri Webinar UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan #10 berfokus pada Kesehatan Keluarga dalam kaitannya dengan UU Kesehatan. Melalui diskusi ini, diharapkan dapat menginisiasi berbagai rekomendasi untuk peraturan turunan dari UU Kesehatan terkait kesehatan mata serta memberikan gambaran mengenai penggunaan website tentang UU Kesehatan.

Pengantar oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D

Webinar dibuka dengan pemaparan dari Prof. dr Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D yang membahas peluang dan persiapan dalam menyongsong reformasi sistem kesehatan pasca UU Kesehatan 2023. Saat terjadi pandemi COVID-19, presiden memberikan perintah kepada Menteri Kesehatan untuk memperbaiki sistem kesehatan yang terdampak pandemi COVID-19. Melalui pengalaman pandemi COVID-19 ini diharapkan terjadi percepatan reformasi sehingga Kementerian Kesehatan berkomitmen untuk melakukan transformasi sistem kesehatan yang terdiri dari 6 pilar transformasi. Transformasi sistem kesehatan merupakan bentuk reformasi sejati yang melibatkan banyak tombol kebijakan sesuai dengan metafora health system control knobs. Kebijakan transformasi kesehatan ini perlu didukung oleh dasar hukum yang kuat yaitu UU Kesehatan Omnibus Law. Metode omnibus law digunakan karena banyak UU di masa lalu tentang kesehatan yang sulit dipadukan dan berpotensi menjadi penghambat reformasi. Setiap bab dan pasal dalam UU ini saling terkait sesuai dengan prinsip reformasi. Diskusi dan event terkait isu UU Kesehatan dapat diakses melalui www.kebijakankesehatanindonesia.net 

video

Narasumber utama: dr. RA Arida Oetami, M.Kes

dr. RA Arida Oetami, M.Kes. (Ketua Dewan Penelitian dan Pengembangan DIY) yang mengawali pembahasan dengan tujuan dari kesehatan keluarga yaitu agar tercapai kesejahteraan mental dan sosial. Kesehatan keluarga dilihat dari 4 aspek, yaitu aspek sosial dan emosional, aspek kebiasaan hidup sehat, aspek sumber daya keluarga, dan aspek dukungan sosial eksternal. Kesehatan keluarga termuat dalam UU Kesehatan yang mana terkait pembangunan keluarga dan ketahanan keluarga dimana hubungan sosial mencakup dari sisi agama, cinta kasih, perlindungan, sosial budaya, reproduksi, ekonomi, lingkungan dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan keluarga tidak hanya dibangun dari sisi kesehatan saja karena sektor lain perlu mendukung fungsi keluarga. Dalam melaksanakan UU Kesehatan ini. perlu pendekatan pengasuhan positif dan kebiasaan hidup sehat termasuk kesehatan lingkungan. Oleh karena itu, peraturan turunan perlu dibuat secara detail untuk menjelaskan siapa saja yang berwenang (leading sector) dalam hal kesehatan keluarga karena dikhawatirkan sering terjadi ketidakjelasan dalam pelaksanaannya. Penyusunan aturan turunan ini perlu melibatkan kementerian lain yang terkait dengan pendidikan, agama, sosial, budaya, BKKBN, PUPR, transportasi, perempuan dan perlindungan anak dan sebagainya. Sebab, keluarga tidak hanya berkaitan dengan kesehatan reproduksi saja sehingga tidak hanya sektor kesehatan saja. Sektor kesehatan perlu berkolaborasi dengan sektor lain untuk meningkatkan kesejahteraan, sebab Ketahanan keluarga menjadi kunci dalam kesejahteraan.

Shita Dewi (Konsultan PKMK FK-KMK UGM) selaku moderator turut memantik diskusi tentang dampak UU Kesehatan terhadap kesehatan keluarga. Kesehatan keluarga termuat dalam BAB V tentang upaya kesehatan. Banyak pertanyaan yang muncul jika mencermati kesehatan keluarga dalam UU ini. Bagaimana pelayanan kesehatan keluarga akan didanai? Bagaimana dengan pembiayaan untuk kunjungan keluarga? Bagaimana mengenai alat kesehatan dan IT untuk upaya kesehatan keluarga? Bagaimana data diperoleh dan dimanfaatkan? Oleh siapa? Dalam konteks pasal SDM Kesehatan, bagaimana SDM untuk kedokteran keluarga dididik, dilatih, ditempatkan dan dikembangkan karirnya? Siapa yang perlu mengawal UU No. 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan di Isu Upaya Kesehatan Keluarga? Oleh karena itu, perlu adanya aturan turunan untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut.


Materi Shita Listyadewi  download


materi dr. RA Arieda Oetami, M.Kes  download


video

Sesi Diskusi:

Webinar dilanjutkan dengan diskusi tentang siapa yang disebut dengan keluarga dan pendekatan siklus kehidupan yang digunakan dalam upaya kesehatan keluarga. Kesehatan perempuan disoroti karena perempuan memainkan peran penting dalam kesehatan keluarga, terlebih pada kondisi perempuan yang menjadi kepala keluarga. Dalam diskusi ini juga dibahas mengenai akses dan SDM untuk upaya kesehatan keluarga, serta berbagai stakeholders yang diharapkan ambil peran dalam upaya kesehatan keluarga ini.

video

Sesi Penutup:

Diskusi dalam webinar ini diharapkan dapat dilanjutkan melalui website www.kebijakankesehatanindonesia.net di laman UU Kesehatan yang dikembangkan sebagai wadah untuk diskusi serta menyelenggarakan rangkaian webinar untuk memantik diskusi berkelanjutan dan menghasilkan suatu rekomendasi terhadap peraturan turunan UU Kesehatan.

Reporter: dr. Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM; Nila Munana, S.HG, MHPM

 

 

Diskusi ke-9 Webinar Series Pembahasan Undang-Undang Kesehatan Topik Bencana Kesehatan

Diskusi ke-9 UU Kesehatan

Diskusi Urusan Bencana Kesehatan dalam Undang-Undang Kesehatan No.17 Tahun 2023

Senin, 21 Agustus 2023  |   Pukul: 08:00 - 09:00 WIB

REPORTASE

PKMK – Urusan bencana telah menjadi perhatian oleh sektor kesehatan sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 dan peraturan lain sebelumnya. Penanganan manajemen bencana kesehatan di Indonesia juga terus berkembang dan mengambil pembelajaran pada setiap penanganan bencana alam maupun non alam, termasuk situasi andemi COVID-19 lalu hingga saat ini. Kehadiran UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dalam ekosistem urusan bencana kesehatan menjadi menarik dan penting untuk dibahas. Kali ini, PKMK FK-KMK UGM mengadakan webinar seri #9 dengan topik utama “Keberadaan Urusan Bencana Kesehatan di UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023”.

21ags 1

Kegiatan ini dipandu oleh Ns Maryami Yuliana Kosim, S.Kep., M.Kep., Ph.D dan diisi oleh Madelina Ariani, MPH selaku Kepala Divisi Manajemen Bencana Kesehatan PKMK FK-KMK UGM. Dalam pembahasannya, Madelina menyampaikan bahwa perbedaan besar yang terlihat dari UU baru ini adalah keberadaan nomina bencana sebanyak 41 kata dan cantumannya yang tersebar di 8 bab berbeda. Hal ini berubah dari UU lama, yakni UU Nomor 36 Tahun 2009 yang mencantumkan nomina bencana hanya di bab 6 sebanyak 14 kata. Selain itu, di UU baru, juga terdapat nomina krisis kesehatan, di mana hal ini menjadi krusial karena akan mempengaruhi konsep bencana dan penanggulangannya. Pembahasan kemudian dilanjutkan dengan menunjukkan perbedaan-perbedaan dalam beberapa pasal yang tercantum dalam UU baru dan lama, serta kebaruan pasal.

video   materi

Sesi Diskusi

Forum dilanjutkan dengan sesi diskusi dimana salah satu peserta, Madahan Lalu selaku perwakilan Dinkes NTB menyebutkan bahwa UU baru ini membawa semangat baru dan menghidupkan optimisme dalam perbaikan sistem penanggulangan bencana di Indonesia. dr. Bella Donna, M.Kes melanjutkan dengan memberikan semangat kepada semua aktivis bencana kesehatan. Bella mengingatkan bahwa meski memberikan rasa optimis, forum juga harus mengawal lanjutan dari UU ini, yakni produk turunannya. Bella menambahkan bahwa selanjutnya forum dilaksanakan 2 pekan sekali untuk terus mengkritisi kebijakan ini.

Diskusi berjalan baik dengan antusiasme peserta yang tinggi, terutama yang mengkritisi soal nomina-nomina kebencanaan dalam peraturan baru dan definisinya. Selain itu, beberapa peserta yang terdiri dari birokrat dan praktisi lapangan juga menggarisbawahi persoalan seputar ambulans gratis, sistem pendanaan dalam penanggulangan bencana, dan kerahasiaan dalam hal rekam medis pasien bencana.

21ags 2dr. Hendro Wartatmo, Sp.B-KBD turut menyampaikan optimisme dalam ekosistem bencana kesehatan dalam UU baru. Meski sempat menuai kontroversi, terutama dalam hal organisasi profesi dan pendidikan spesialis, bencana kesehatan tidak terpengaruh dan justru mendapat peluang bagus dalam UU ini. Namun, beberapa hal tetap harus dikritisi. Terminologi dalam bencana kesehatan harus disamakan persepsinya. Bagaimana peran masyarakat dalam kondisi kebencanaan belum diatur khusus dalam UU, artinya turunannya harus ada yang mengatur. Bidang pendanaan juga harus diperjelas agar tidak saling tumpang tindih atau justru tidak ada yang menaungi. Webinar ini juga menjadi awal lahirnya Community of Practice atau Masyarakat Praktisi di bidang Bencana Kesehatan. Ke depan akan diadakan webinar seri lanjutan khusus membahas urusan bencana kesehatan beserta turunannya.

video

Reporter: dr Alif Indira (Divisi Manajemen Bencana Kesehatan PKMK UGM)

 

 

 

 

  • slot resmi
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot