Reportase Hari Kedua (24 April 2014) - Bhutan

Advancing Universal Health Coverage
in South East Asia

Paro, Bhutan (23 - 25 April 2014)


Keynote Speech

Accelerating UHC: How can the financing function improve system equity and efficiency?

Pembicara: Anne Mills of LSHTM ( http://www.lshtm.ac.uk/aboutus/people/mills.anne )

Tujuan dari presentasi adalah membahas pentingnya dan pengaruh dari fungsi pembiayaan, menggambarkan efek pembiayaan pada equity dan efisiensi, serta mengidentifikasi isu fungsi pembiayaan di negara-negara SEAR. Telah terjadi health financing transition yang memiliki implikasi luas pada kesehatan masyarakat, equity, dan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan sumber daya dan peningkatan pembiayaan kesehatan untuk masyarakat luas akan meningkatkan status kesehatan secara umum. Health financing transition ditandai dengan semakin besarnya pembiayaan pelayanan kesehatan di negara-negara kaya dan meningkatnya kesehatan masyarakat di negara-negara tersebut. Secara nyata, HFT ditandai dengan peningkatan belanja kesehatan per orang dan menurunnya angka out-of-pocket spending (OOP). HFT menggambarkan terjadinya perubahan pola pembiayaan kesehatan di suatu negara ( www.who.int/nha/atlas.pdf )

Di banyak negara telah terjadi perubahan Government Health Expenditure, Financing sources and pooling, dimana pada saat yang sama private-share juga menurun jumlahnya. Namun apakah HFT juga telah meningkatkan equity? Equity dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu Horizontal Equity, dimana semua orang pada kelompok penghasilan yang sama membayar pelayanan kesehatan dengan proporsi yang sama dari penghasilannya. Lalu, Vertical Equity, yaitu kelompok dengan penghasilan berbeda membayar pelayanan kesehatan dengan proporsi yang berbeda.

Sedangkan sumber pembiayaan dapat berupa:

  1. Pembiayaan regresif: dimana kelompok miskin membayar (relative) pelayanan kesehatan dengan proporsi yang lebih besar dari penghasilan disbanding kelompok kaya
  2. Netral: kelompok penghasilan yang berbeda membayar dengan proporsi penghasilan yang sama
  3. Progressive: dimana kelompok kaya membayar (relative) pelayanan kesehatan dengan proporsi yang lebih besar dari penghasilan disbanding kelompok miskin

Ternyata HFT tidak selalu meningkatkan equity. Bagaimana jika UHC diterapkan? HFT dapat meningkatkan equity dan efisiensi jika ditopang dengan konsep pembiayaan, yaitu: Sumber pembiayaan, Pengumpulan dana (pooling), dan metode pembayaran, yang sesuai dengan konteks lingkungan, sistem kesehatan, serta pemilihan metode yang jelas.

Keuntungan menjadi negara yang kaya adalah dapat memilih dan mengembangkan konsep pembiayaan campuran. Semakin tepat metode yang dipilih maka semakin kecil terjadi inequity. Bagaimana memilih metode pembiayaan yang tepat? Diperlukan 2 asesmen, yaitu technical assessment dan institutional assessment. Technical assessment adalah evaluasi fungsi pembiayaan pada aspek equity dan efisiensi, serta mengukur kinerja sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan. Institutional assessment adalah sejauh mana politik, ekonomi, dan sosial budaya mempengaruhi kelayakan pembiayaan penerapan UHC.

Kunci untuk meningkatkan keadilan dan efisiensi melalui fungsi pembiayaan adalah dengan memperkuat daya tawar agensi yang mewakili kelompok marjinal dalam perdebatan dan pengambilan keputusan, agar semakin didengar dan diperhatikan, mengembangkan solidaritas nasional, memperkuat etika pelayanan kesehatan, membentuk organisasi yang dapat mengelola pooling secara efektif. Reformasi pembiayaan adalah langkah pertama untuk, mencapai UHC.

Plenary 2: Improving Social Protection for better quality in health (health care financing in Asia )

Prof. Soonman Kwoon, SPH Seoul National University

Negara LMIC (low and middle income) memiliki konteks: pertumbuhan ekonomi yang lambat, terjadinya subsidi silang, dan rendahnya kinerja provider. Data menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Asia mencapai 7,2% (1999-2008), namun ini hanya didorong oleh beberapa negara. Pada sisi lain, 105 juta orang mengalami kesulitan untuk membiayai pelayanan kesehatan dan 70 juta orang jatuh miskin oleh karena menderita peyakit katastropik. Dalam situasi seperti ini, banyak negara mengejar tercapainya status UHC. Saat ini, UHC status di China dan Mongolia mencapai 80% dan Indonesia, Vietnam, Philipina mencapai 60%

Pendekatan yang dilakukan banyak negara Asia saat ini adalah pendekatan top-down, dimana target grup prioritas adalah sektor formal kemudian baru menyasar grup informal dan grup yang tidak bekerja. Implikasinya adalah beratnya beban pembiayaan kesehatan dan rendahnya mutu pelayanan kesehatan yang diberikan. Hal ini bertentangan dengan prinsip dari UHC, dimana salah satunya adalah kualitas pelayanan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan perbaikan pada upaya peningkatan sumber pembiayaan kesehatan, model pengumpulan dana, serta metode pembayaran. Pada sisi supply, perlu dilakukan perbaikan pada public health delivery system. Sedangkan pada sisi demand perlu diberikan insentif hidup sehat. Pada kenyataannya, kelompok miskin adalah kelompok yang rentan sakit dan seharusnya kelompok kaya membayar lebih besar. Namun demikian,d ata menunjukkan bahwa situasi tersebut hanya terjadi setengahnya, yaitu: kelompok miskin yang sering jatuh sakit tetapi kelompok kaya tidak membayar lebih besar. UHC seharusnya mendorong optimalisasi pembiayaan kesehatan berbasis asuransi social, The goal: to maximize the role of social expenditure.

Pengalaman Thailand dengan UHC

Sektor formal dan informal telah dijamin oleh tiga pembayar yang berbeda. Benefit package dikemas secara efisien dan tidak memberikan ruang bagi pelayanan kesehatan kosmetik serta pelayanan keehatan yang tidak berbasis bukti ilmiah. Provider dikontrak secara jelas, baik pemerintah maupun swasta, serta diatur dengan regulasi yang jelas. Pemangku kepentingan selalu berkomunikasi untuk memperbaiki masalah, baik pada tingkat sistem maupun tingkat operasional.

Pengalaman Ghana

Social insurance dimulai dengan community social insurance dan terus berkembang hingga saat ini. Desentralisasi pada awalnya memberikan efek negative, tetapi saat ini telah membaik dan memberikan dukungan pada pelakasanaan UHC. Reformasi pembiayaan kesehatan telah mendorong perbaikan pada sistem pelayanan kesehatan, terutama di tingkat primer dan sekunder.

Pengalaman Cambodia

Donor memiliki konsep UHC yang berbeda dengan pemerintah dan masing-masing donor tidak saling berkomunikasi. Sehingga penerapan UHC di Cambodia terfragmentasi. Pemerintah berupaya untuk memperbaiki institusi dan ketersediaan HRH kemudian menerapkan UHC, namun demikian, upaya ini tidak didukung sepenuhnya oleh donor. Tantanag besar Cambodia saat ini adalah bagaimana mengharmoniskan Pemerintah dengan donor dan donor dengan donor lainnya.

Pengalaman China (Prof Zin Ma)

UHC dimulai dengan social community insurance bersamaan dengan reformasi pembiayaan yang didorong oleh Bank Dunia. Fokus utama adalah memberikan pelayanan kesehatan esensial untuk masyarakat di daerah urban dan rural. Political-will pemerintah adalah kunci keberhasilan penerapan UHC dan ini tercermin pada besarnya government health expenditure yang dipergunakan untuk membiayai UHC. Pertumbuhan ekonomi di China memungkina sumber pembiayaan kombinasi dan saat ini sudah memasuki fase untuk mencakup sektor informal.

Pengalaman Argentina

Situasi di Amerika Latin ditandai dengan rendahnya tekanan fiscal (low fiscal pressure), dimana sumber pembiayaan untuk menjalankan UHC sangat lemah. Pemerintah berupaya untuk meningkatkan pajak (dari 17% menjadi 39%) tetapi tidak diikuti dengan inovasi pada struktur pembiayaan kesehatan. Saat ini juga telah dilakukan desentralisasi pembiayaan pelayanan kesehatan da nada koordinasi antara pusat dengan regional. Diupayakan juga segmentasi melalui integrasi social security dengan pelayanan public. Peran asuransi swasta dikombinasikan dan diatur dengan regulasi yang ketat.

Plenary 3: Improving service delivery for UHC

Strategic decision on using payment method to improve health service

Prof Arash Rashidian, Tehran Medical University

Pertanyaan terbesar dalam memilih metode pambayaran adalah: pelayanan/intervensi kesehatan seperti apa yang harus dibeli (penilaian dilakukan pada 2 aspek yaitu: efek financial protection dan cost-effectiveness), Bagaimana cara membeli pelayanan kesehatan tersebut (penilaian dilakukan dengan melihat model kerjasama hirarki atau kontrak, tingkat pengambilan keputusan, dan metode pembayaran), dan dari mana pelayanan kesehatan tersebut dibeli (penilaian dilakukan dengan melihat status organisasi: public, private not for profit, atau private for profit). Pengambilan keputusan pada penetapan benefit package selalu menjadi tantangan oleh karena banyaknya faktor teknis yang perlu dipertimbangkan, diantaranya: cost effectiveness (biaya dengan QALY), ketersediaan sumber daya, dan dana yang tersedia.

Oleh sebab itu perlu dilakukan penguatan pada primary care (terutama pada penyakit yang umum ditemukan di lapangan dan penyakit kronis yang telah terkontrol), mengurangi "keinginan" untuk mengadakan pelayanan kesehatan yang malah dan tidak esensial, pendirian rumah sakit wajib memperhatikan skala ekonomi daerah dan volume yang layak untuk dilayani.

Pengambilan keputusan untuk memilih provider dilakukan dengan menilai tingkat kompetensi provider yang diperlukan untuk melayani peserta social insurance (apakah perawat, dokter atau dokter sepsialis). Penting untuk menggunakan bukti dalam upaya menunjukkan efektifitas pelayanan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan pada tingkat tertentu.

Pengambilan keputusan untuk menentukan status organisasi provider perlu memperhatikan bahwa di banyak negara tidak ada perbedaan kinerja antara provider swasta dan pemerintah (public). Keputusan diambil berdasarkan tujuan dari sistem kesehatan (affordability, accessibility, effectiveness, atau ketiganya). Model outsourcing bisa menjadi pilihan jika pemerintah dapat meminta sektor swasta berlaku sebagai agen pemerintah untuk melayani public. Namun perlu diingat, bahwa cost dari sektor swasta selalu meningkat seiring dengan berjalannya waktu.

 

Reporter:

dr. Andreasta Meliala, DPH., MKes, MAS

 

Pengantar reportase Advancing Universal Health Coverage in South East Asia

Advancing Universal Health Coverage
in South East Asia

Paro, Bhutan (23 - 25 April 2014)

Universal Health Coverage (UHC) saat ini menjadi topik diskusi yang paling hangat dibicarakan. Mulai dari konsep sampai dengan implikasi penerapan UHC di berbagai negara ramai dibahas pada berbagai forum internasional. Para pembahas datang dari berbagai latar belakang, yaitu akademisi, praktisi, sampai dengan penyusun kebijakan.

WHO-SEARO mengadakan konferensi dengan tema: Advancing Universal Health Coverage in South East Asia, dengan tujuan untuk mengambarkan pencapaian UHC dan tantangan pada aspek konsep serta aspek praktis dalam penerapan UHC di kawasan ini. Konferensi diadakan di Paro, Bhutan, mulai 23 April 2014 sampai dengan 25 April 2014.

REP1

Reformasi Pengorganisasian Tenaga Kesehatan

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menyelenggarakan

Diskusi Kebijakan Kesehatan

Reformasi Pengorganisasian Tenaga Kesehatan

Selasa, 29 April 2014
Gedung Granadi Kuningan Jakarta

 

  PENGANTAR

Ketidakmerataan distribusi tenaga kesehatan masih menjadi permasalahan penting di Indonesia. Adanya sistem desentralisasi tidak memperbaiki kondisi ini dan mungkin malah semakin memperburuk kondisi. Sebelum desentralisasi, ada penugasan wajib oleh Departemen Kesehatan pada setiap lulusan baru dokter, dokter gigi, apoteker, dan tenaga medis lain untuk bekerja di daerah miskin dan terpencil. Sekarang, dengan adanya penerapan system desentralisasi, Pemerintahan Daerah harus lebih kreatif untuk bisa memperkerjakan tenaga medis secara mandiri tanpa bantuan pemerintahan pusat. Hal ini menjadi sulit karena kurangnya kemampuan Pemda untuk menyediakan insentif tinggi dan/ atau terkait masalah di daerah terpencil.

Diskusi ini diusahaan akan menjawab pertanyaan berikut:

  1. Apa hasil dari penataan tenaga kesehatan, khususnya dokter pasca desentralisasi?
  2. Bagaimana ideologi dalam proses pendidikan tinggi kedokteran berusaha diubah melalui UU Pendidikan Kedokteran?
  3. Bagaimana sistem pendidikan tenaga kedokteran dapat menjamin ketersediaan di daerah sulit dan juga di front internasional?

 

 TUJUAN ACARA

  1. Mengetahui manajemen disitribusi dokter paska sistem desentralisasi.
  2. Mencari cara untuk penerapan UU Pendidikan Kedokteran dalam proses pendidikan kedokteran.
  3. Membuat rekomendasi untuk menjami ketersediaan dokter di daerah sulit melalui perbaikan sistem pendidikan tenaga kedokteran.\

 

  JADWAL KEGIATAN

Selasa, 29 April 2014

Waktu

Acara

Pembicara

08.00 – 08.30

Registrasi Peserta

 

08.30 – 09.00

Pembukaan dan Pengantar

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

09.00 – 10.30

(90 Menit)

SESI I: Reformasi dalam Pendidikan Tenaga Kesehatan

  1. Distribusi dokter dan tenaga spesialis
  2. Dampak ketidak merataan Dokter pada Jaminan Kesehatan Nasional, apakah menghambat reformasi pembiayaan kesehatan?
  3. Tantangan kebijakan penyebaran tenga kesehatan

Moderator : dr. Mustofa 

Pembicara:

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

Dengan Pembahasan sebagai berikut:

Dr. Puti Marzoeki dari World Bank Jakarta

Konsultan WHO, Haroen Hartiah

Badan PPSDM - dr Untung Suseno Sutarjo

 

10.30 – 10.45

Coffee Break

10.45 – 12.15

(90 Menit)

Sesi II

  1. Ideologi UU Pendidikan Kedokteran dan reformasi apa yang ingin dicapai
  2. Diskusi : tantangan kurikulum dan reformasinya

Pembicara :

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D

Pembahas :

Ketua AIPKI, Prof. Dr. Med Tri Hanggono Achmad

Dr. Arsita - Ditjen Dikti

 

 

 

 

 

13.15 – 14.30

(75 Menit)

SESI III:

Kesiapan Dosen-dosen Fakultas Kedokteran untuk Reformasi

  1. Siapa mereka? Apa saja kelompoknya menurut UU Pendidikan Kedokteran?
  2. Apakah cukup jumlahnya?
  3. Bagaimana penanganannya?

Pembahas:

  1. Dr. Hendro Wartatmo Sp.B-KBD dari FK UGM
  2. Dr. Purwadi Sp.B-KBA dari FK Unair 

14.30 – 15.00

Diskusi Penutup

Tim PKMK FK UGM

 

  PESERTA

Peserta yang diharapkan menghadiri seminar ini adalah para Dekan Fakultas Kedokteran, Ditjen Dikti, AIPKI, Anggota IDI, dan Badan PPSDMK, dan setiap pihak yang berkecimpung regulasi dalam SDM kesehatan. Seminar ini bersifat bebas biaya dan limited seat sehingga sangat diharapkan untuk mendaftar terlebih dahulu kepada pengelola. Kami juga tidak menanggung transport dan akomadasi para peserta.

 

  PENDAFTARAN DAN INFORMASI

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM
Sdri. Intan Farida Yasmin/ Hendriana Anggi
Gdg. IKM Sayap UtaraLt. 2, Jl. Farmako Sekip Utara Yogyakarta 55281
Telp.: +62274 – 549425
Mobile: (Intan Farida Yasmin: +628129017065),
(Hendriana Anggi: +6281227938882)
Email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.; This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Web: www.kebijakankesehatanindonesia.net 

Forum Nasional V Bandung

JARINGAN KEBIJAKAN KESEHATAN INDONESIA

Bekerja sama dengan

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJAJARAN BANDUNG

Menyelenggarakan

FORUM NASIONAL V :
JARINGAN KEBIJAKAN KESEHATAN INDONESIA

dengan tema :

MONITORING PELAKSANAAN KEBIJAKAN JKN DI TAHUN 2014
KENDALA, MANFAAT, DAN HARAPANNYA

Sub Tema

Tantangan Kebijakan Kesehatan dalam Pemerataan Kesehatan
di Era Sistem Jaminan Kesehatan Nasional dan Masih Tingginya Hambatan
dalam Pencapaian MDG 4, 5 dan 6.

Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran dan
Hotel Trans Luxury Bandung, 24 – 26 September 2014

 

Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia adalah suatu jembatan penyambung berbagai pemangku kepentingan dalam kebijakan kesehatan di Indonesia. Mereka yang bergabung : para peneliti, akademisi, pemerhati, praktisi kebijakan, kelompok masyarakat, wakil rakyat, birokrat, pengamat dari berbagai profesi dan lembaga.

Forum ini telah 4 kali digelar, setiap tahun berturut-turut di Jakarta (UGM), Makasar (Unhas), Surabaya (Unair) dan Kupang (Universitas Nusa Cendana). Pada tahun 2014 ini kota Bandung mendapat giliran dengan Fakultas Kedokteran Unpad sebagai tuan rumah.

Tahun 2014 merupakan tahun stratejik karena bertepatan dengan perubahan politik yang terjadi di negara ini. Para wakil rakyat baru, pemimpin baru akan segera hadir dengan visi, misi dan strateginya. Sejauhmanakah rencana dan kebijakan mereka selaras dengan kebutuhan dan harapan masyarakat?

Tema tahun ini adalah "MONITORING PELAKSANAAN KEBIJAKAN JKN DI TAHUN 2014 : KENDALA, MANFAAT DAN HARAPANNYA". Dengan sub tema :"Tantangan Kebijakan Kesehatan dalam Pemerataan Kesehatan di Era Sistem Jaminan Kesehatan Nasional dan Masih Tingginya Hambatan dalam Pencapaian MDG 4, 5 dan 6".

Kelompok-kelompok kebijakan kesehatan yang akan berkumpul merupakan kelompok yang sudah lebih dahulu berkembang dalam forum sebelumnya serta kajian baru tahun ini :

pokja-PKMK 01
pokja-2 01

 

26septpolicyb


List Abstrak Forum Nasional V JKKI

    Free Paper Pokja Gizi     Free Paper Pokja HIV / AIDS
Free Paper Pokja Kesehatan Jiwa Masyarakat Free Paper Pokja Kebijakan Kesehatan Ibu & Anak
Free Paper Pokja Kebijakan Pembiayaan     Free Paper Pokja Pelayanan Kesehatan  

Panduan Presentasi

    Panduan Presentasi Oral     Panduan Presentasi Poster
    E-Poster Format  

 

INFORMASI LEBIH LANJUT :

Fakultas Kedokteran Unpad, Jl. Eyckman 38 Bandung; Lantai 4 Wing Utara
An. Sheila Mariana/ Nanang Sudrajat/ Dian Anggraeni
pada no tlp/ fax: 022 203 8030 atau email tersebut di atas
Web : www.kebijakankesehatanindonesia.net  dan www.fk.unpad.ac.id 

 

INFORMASI LAINNYA

Hotel di Bandung :

1.

Aerowisata (Grand Hotel Preanger)

Jl. Asia Afrika No. 81 Bandung

Rp. 700.000,-

2.

Arion Swiss Bel Hotel

Jl. Oto Iskandardinata No. 16

Rp. 750.000,-

3.

Aston Primera Pasteur

Jl. Djundjunan No. 96 Bandung

Rp. 800.000,-

4.

BTC Hotel

Jl. Djundjunan No. 143 – 149

Rp. 500.000,-

5.

Gino Feruci Hotel

Jl. Braga No. 67 Bandung

Rp. 600.000,-

6.

Cassadua

Jl. Cassa No. 2 Bandung

Rp. 200.000,-

7.

Galeri Ciumbuleuit Hotel

Jl. Ciumbuleuit No. 42 A

Rp. 600.000,-

8.

Grand Serela Setiabudi

Jl. Hegarmanah No. 9 – 15

Rp. 700.000,-

9.

Holiday Inn

Jl. Ir. H. Djuanda No. 31 – 33

Rp. 1.000.000,-

10.

Luxton Hotel

Jl. Ir. H. Djuanda No. 18

Rp. 750.000,-

11.

Horison

Jl. Pelajar Pejuang 45 No 121

Rp. 600.000,-

12.

Santika Hotel

Jl. Sumatera No. 52 – 54

Rp. 800.000,-

13.

The Majesty Hotel

Jl. Surya Sumantri No. 91

Rp. 600.000,-

ADVANCING UNIVERSAL HEALTH COVERAGE IN SOUTH EAST ASIA - Day I

REPORTASE

ADVANCING UNIVERSAL HEALTH COVERAGE IN SOUTH EAST ASIA

BHUTAN 23-25 APRIL 2014
 

d1bhutanPEMBUKAAN: Universal Health Coverage (UHC) saat ini menjadi topik diskusi yang paling hangat dibicarakan. Mulai dari konsep sampai dengan implikasi penerapan UHC di berbagai negara ramai dibahas pada berbagai forum internasional. Para pembahas datang dari berbagai latar belakang, yaitu akademisi, praktisi, sampai dengan pembuat kebijakan.

Pertanyaan yang sering muncul adalah: "sejauh mana UHC telah diterapkan?" Beberapa negara menyatakan telah mencapai target UHC sesuai dengan yang telah direncanakan. Pencapaian ini dilihat dari dimensi pengukuran UHC dan program pelayanan kesehatan. Banyak pula negara yang masih bergelut dengan persiapan penerapan UHC dan banyak negara yang sudah memulai perjalanan menuju UHC. Namun demikian masih banyak pertanyaan yang perlu dijawab sehubungan dengan pengembangan dan pencapaian UHC, khususnya di negara-negara South East Asia Region (SEAR).

WHO-SEARO mengadakan konferensi dengan Tema: Advancing Universal Health Coverage in South East Asia, dengan tujuan untuk mengambarkan pencapain UHC dan tantangan pada aspek konsep serta aspek praktis dalam penerapan UHC di kawasan ini. Konferensi diadakan di Paro, Bhutan, mulai 23 April 2014 sampai dengan 25 April 2014.

Opening Speech oleh Minister of Health Royal Government of Bhutan, Prime Minister of Royal Government of Bhutan, dan Regional Director WHO-SEAR, Dr Poonam Khetrapal Singh http://www.searo.who.int/regional_director/drd/drd_singh/en/ ). Pesan yang disampaikan adalah:

  1. UHC telah dilaksanakan di Bhutan ( www.who.int/country/btn/en ) sejak 2008 dan saat ini terus dikembangkan. Bhutan mulai menambahkan "happiness index" untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat dan pencapaian sistem kesehatan. Indikator ekonomi akan membaik jika rakyat sehat. Rakyat akan sehat jika pelayanan kesehatan berjalan dengan baik dan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Rakyat yang sehat dan produktif akan merasa berguna, bahagia, dan sejahtera. Oleh sebab itu, perlu diukur "happiness index" sebagai pengukur kesejahteraan rakyat dan kemajuan negara, disamping index ekonomi yang umum dipergunakan. (Untuk lebih memahami "happiness index": http://www.grossnationalhappiness.com/gnh-policy-and-project-screening-tools/ )
  2. Tantangan penerapan UHC saat ini adalah bagaimana menyatukan UHC dengan agenda Post-2015. Apakah UHC menjadi alat menuju pencapaian target Post 2015 atau UHC menjadi tujuannya? Di samping itu, isu keadilan (equity) yang menjadi jantung dari UHC juga menjadi agenda penting untuk dibahas. Bagi negara yang telah menerapkan UHC, perlu dilakukan monitoring dan evaluasi pada aspek keadilan. Sedangkan negara yang baru merencanakan UHC perlu menimbang cara untuk meningkatkan keadilan.
  3. Konferensi ini diharapkan dapat menelurkan kejelasan konsep UHC, fokus dan arah pengembangan UHC, terutama di negara-negara SEAR.

pooman


PRE PLENARY 1

  1. Toward Universal Health Coverage 2030 (WHO-World Bank Spring Meeting 2014)
    Diskusi dimulai dengan adanya report dari Lancet Commissions tentang global health 2035 ( http://globalhealth2035.org/sites/default/files/report/global-health-2035.pdf ). Investasi dalam bidang kesehatan adalah suatu keharusan. Investasi pada pembiayaan pelayanan kesehatan menjadi sangat penting untuk menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan untuk semua lapisan masyarakat. Selain itu, riset untuk mendukung kebijakan kesehatan juga menjadi sangat penting, agar kebijakan yang diambil semakin efektif dan berada dalam jalur yang benar. Kesemuanya adalah investasi yang membawa manfaat tidak hanya bagi individu yang sakit tetapi juga untuk seluruh rakyat. Investasi di bidang kesehatan juga akan meningkatkan kapasitas ekonomi dan kesejahteraan suatu negara.

    Pidato Dr Margareth Chan, Direktur Jendral WHO, ( http://www.who.int/dg/speeches/2014/uhc/en ) mendorong diterapkannya UHC di seluruh negara. Namun demikian diperlukan framework untuk monitoring dan evaluasi kemajuan penerapan UHC. WHO dan World Bank telah mengembangkan framework untuk keperluan tersebut ( http://www.who.int/healthinfo/country_monitoring_evaluation/UHC_WBG_DiscussionPaper_Dec2013.pdf ). Framework ini perlu diujicoba dan dilaporkan hasilnya untuk kemajuan pelaksanaan UHC pada tingkat global.

    Pidato Jim Yong Kim, President World Bank Group berjudul UHC in emerging economies ( http://www.worldbank.org/en/news/speech/2014/01/14/speech-world-bank-group-president-jim-yong-kim-health-emerging-economies ) mendorong riset untuk menepis keraguan terhadap penerapan UHC yang accountable dan measurable di suatu negara.

PRE PLENARY 2

  1. Opportunities for implementation research (Dr Abdul Ghaffar: Alliance for Health Policy and System Research).
    AHPSR menawarkan pengembangan embedded research untuk mendukung penerapan UHC. Manajer kesehatan di lapangan perlu ditingkatkan kapasitasnya untuk menerapkan program-program yang telah direncanakan. Peningkatan kapasitas yang dimaksud adalah kemampuan menjalankan dan menerapkan hasil penelitian. Disediakan dana sekitar USD 15,000-20,000 bagi manajer program untuk melakukan kegiatan ini. Mengenai embedded research dan Dr Abdul Ghaffar (This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.) dapat dilihat di http://meeting.tropika.net/gshsr2012/2012/11/03/qa-abdul-ghaffar-executive-director-alliance-for-health-policy-and-systems-research-geneva/  
    Riset lain tentang UHC dapat dilihat di http://www.searo.who.int/thailand/publications/2013/9789240690837_eng.pdf?ua=1 

PLENARY 1: Overview on Universal Health Coverage

  1. Presentasi oleh David Heymaan ( http://www.who.int/dg/adg/heymann/en/ )
  2. Data menunjukkan bahwa ketersediaan dana, yang merupakan bentuk nyata komitmen pemerintah terhadap pemberantasan penyakit, menjadi faktor utama kesinambungan program-program kesehatan. Investasi di bidang kesehatan akan membawa dampak positif terhadap kesejahteraan rakyat. Namun demikian, burden of disease secara global semakin meningkat dan dana yang diperlukan juga semakin besar. Banyak donor-donor yang dulu membantu pendanaan pemberantasan penyakit, saat ini sudah tidak lagi aktif. Pertanyaan besar: apakah pemerintah sudah siap untuk menggantikan peran donor untuk menyediakan dana pemberantasan penyakit yang semakin besar ini? Data menunjukkan bahwa ketika donor-donor menghentikan bantuan, banyak negara tidak siap untuk menyediakan dana pengganti dan akibatnya program berhenti. Ketika UHC diterapkan, maka kewajiban pemerintah untuk menyediakan dana menjadi tanggungjawab yang besar. Situasi ini akan memberatkan pemerintah dan mengancam kesinambungan UHC dan program-program pemberantasan penyakit yang selama ini telah dilakukan.
  3. Diskusi:
    1. Definisi dari UHC dan bagaimana mengukur achievement adalah tantangan terbesar UHC saat ini.
    2. UHC belum menjadi komitmen dunia dan sering dikalahkan oleh isu lain seperti: climate change, keamanan dan kedamaian, good governance, dan sebagainya.
    3. Mengintegrasikan UHC dengan agenda Post 2015 adalah tanggungjawab bersama
    4. Pemerintah banyak mengandalkan dana dari donor dan mengalokasikan anggaran negara untuk program non kesehatan. Situasi ini masih terjadi sampai saat ini.
    5. Investasi untuk meningkatkan aspek keadilan pada penerapan UHC adalah investasi yang sangat besar, namun pemerintah wajib bertanggungjawab atas invetasi tersebut.

TECHNICAL SESSION 1: Mengukur UHC: Pengalaman di Bhutan dan India (Haryana State)

  1. Presentasi oleh Jayendra Sharma (This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.) menunjukkan bahwa Bhutan telah berhasil mengukur achievement dari UHC melalui composit index yang dikembangkan sejak beberapa tahun yang lalu. Indikator yang dinilai adalah: Effective Coverage, Service Availability, dan Financial Protection. Hasilnya Bhutan telah mencapai angka 97%.
  2. Presentasi oleh Shankar Prinja ( http://pgimer.edu.in/PGIMER_PORTAL/PGIMERPORTAL/home.jsp ) menggambarkan framework yang dipergunakan untk mengukur pencapaian UHC di Haryana State India. Langkah yang dilakukan adalah: Memilih Indikator Kunci, Membuat estimasi coverage, melakukan adjustment untuk inequality, dan menetapkan composite UHC index. Hasilnya composite UHC index dapat dipergunakan untuk mengukur kemajuan UHC di suatu wilayah.


  LESSON LEARNED UNTUK INDONESIA

  1. Konsistensi dalam penerapan JKN perlu dijaga untuk menjamin kesinambungan JKN sehingga target untuk mencapai UHC tahun 2019 dapat diperoleh. Pandangan para pengambil kebijakan perlu disatukan untuk meningkatkan konsistensi sikap terhadap penerapan JKN di Indonesia. Pergantian pemerintahan seharusnya tidak menganggu kesinambungan JKN.
  2. Investasi pemerintah di bidang kesehatan adalah tantangan terbesar terhadap keberlangsungan JKN.
  3. Debat mengenai efektifitas UHC seharusnya dilandasi oleh ukuran yang jelas mengenai affordability, acceptability, accessibility, dan availability. Ahli-ahli ekonomi kesehatan di Indonesia perlu segera menyusun framework untuk mengukur kemajuan dan manfaat UHC secara obyektif dan sistematis

 

 

Reportase diskusi bulanan - Februari

Diskusi Bulanan Februari 2014: Tujuan dan Cara

Diskusi kali ini disampaikan oleh dr. Mubasysyr Hasanbasri, MA dan dimoderatori oleh Rossi Sanusi. Diskusi dilakukan pada Kamis (20/2/2014), pukul 14.00-15.30 WIB di Ruang S3 FK UGM. Judul yang disampaikan ialah Knowledge Management, Tujuan dan Cara. Kegagalan sistematik yang sering terjadi. Kegagalan bisa sangat sering terjadi, karena pola pikir yang berbeda antara negara maju dan negara berkembang.

Teori -> praktek.

Knowledge Management (KM) lebih kepada bagaimana membuat praktek menjadi teori. Praktek di lapangan yang kemudian diuji menjadi teori. Praktek yang dilakukan harus dibangun menjadi sebuah teori, dan konteksnya berbeda. Hal ini yang disebut dengan knowledge building/knowledge management, pengalaman lapangan diubah menjadi pengetahuan. Pengetahuan itu apa yang bisa kita pelajari dari pengalaman itu. Apa yang salah dengan sistem? Sehingga sulit untuk melakukan knowledge management?

Kegagalan KM dipicu antara lain oleh:

  1. Mengambil pelajaran/pengalaman, bekerja tidak sesuai bidangnya
  2. Seharusnya bisa mengajarkan ke orang lain. Jadi, bisa memperbaiki yang salah tadi.
  3. Jika bisa dengan publikasi, maka akan tersebar lebih luas.

Tujuan KM, membangun tugas organisasi, berbagi melalui publikasi. KM: bagaimana mengemas yang sudah kita miliki untuk publikasi. Bentuk KM diantaranya support system-simposium, seminar dan lain-lain. Sementara, aspek yang kurang mendukung dalam KM bahasa, waktu, mentor, orang yang salah di tempat yang salah, dan dari dunia yang tidak berkebudayaan (misalnya: plagiarisme).

Mubasysyr menyampaikan, mengapa tidak mau berbagi? Karena tidak memiliki sumber daya lain. Di dunia akademis Indonesia, ketrampilan belajar tidak memuat: personal reflecting-tidak ada mekanisme refleksi dan jika tidak di-monitoring, mahasiswa cenderung menulis yang salah. Dalam paper yang menjadi contoh, ada istilah mapping yaitu kerangka konsep yang akan dikembangkan dan perlu kerangka berpikir untuk membangun comittee of practices (COP).

Penanya:

Bagaimana membudayakan hasil di lapangan menjadi teori? Publikasi hasil penelitian-misalnya jurnal internasional. Hasil itu bisa ditulis sederhana untuk dipublikasikan di media. Mubasysyr menanggapi dengan melontarkan orang yang memiliki kompeten dan bekerja di bidang yang sesuai untuk membudayakan penulisan hasil penelitian. Rossi Sanusi menyampaikan yang membuat teori harus yang ahli dan paham kenyataan di luar, di PT tidak dilatih mengkaji teori.

Umumnya, teori dinamai penggagas/fenomena yang diteliti. Mubasysyr menanggapi COP merupakan komunitas yang mendalami suatu hal sesuai arahan pembimbingnya. Level S1 harusnya menguji kerangka teori dengan hipotesis yang besar, COP yang harus dibangun. Terkait kesalahan pengelolaan sampah, apakah terkait KM?

Mubasysyr menyampaikan peneliti harus mendokumentasikan apa yang salah dalam suatu praktek di lapangan? Pengetahuan yang dikelola harus didokumentasikan. Rossi Sanusi menambahkan apa yang salah jika belajar tidak linier?. Mubasysyr menyampaikan sebenarnya yang dikejar ialah kedalaman ilmunya bukan luasnya. Susilowati mempertanyakan banyak masalah di kesehatan yang bisa diselesaikan secara transdisiplin. Kenapa kita tidak bisa belajar? Kita tidak punya database expertise, orang yang salah di posisi yang salah. Mungkin problemnya: kita tidak mau belajar.

Mubasysyr menyampaikan merampas hak orang lain, unethical untuk plagiarisme. Problem solving: dalam keilmuan, generalist sudah tidak ada lagi. Banyak teori yang diadopsi dari luar, sehingga ahli kesehatan tidak menciptakan sendiri. Apa yang diadopsi, bertentangan dengan ideologi bangsa. Knowledge itu teori yang duji orang sebelumnya. COP bisa diartikan menjadi masyarakat seminar- klaster. Posmo- yang benar kita, bukan barat.

Mubasysyr menambahkan ideologi merupakan kepentingan yang dicita-citakan bangsa ini. China mmampu membuat fokus perhatian daripada yang digunakan luar negri, approve bottom up. Learning by doing, dan dikembangkan sebuah usable knowledge (UK). UK ini digunakan untuk mengembangkan SDM. Jika kita bisa mengembangkan pajak, teknologi tumbuh secara kompetitif. Sejauh mana kita lebih unggul dari yang seharusnya, Mubasysyr menambahkan. COP seharusnya orang yang khusus bidangnya. Misal apakah butuh RS khusus?

Kita harus mengidentifikasi orang khusus yang tergabung dalam COP. Harus ada manager of knowledge. Sistem pendidikan berpengaruh pada sistem KM. KM bagus saat teori yang digunakan dapat diaplikasikan di lapangan. School of management, asal bisa membaca banyak itu sudah cukup. Putu mempertanyakan, policy maker dan decision maker jarang membaca jurnal, ada bahasa ilmiah yang dianggap teori dan tidak bisa diaplikasikan. Mubasysyr menyampaikan jurnal untuk publikasi sudah dibatasi agar tidak terlalu melebar. Peneliti boleh meneliti atas request policy maker, dengan independensi tinggi.

Reportase Diskusi Series HIT Ketiga Reformasi Pengorganisasian RS

Diskusi Series HIT Ketiga
Reformasi Pengorganisasian RS

23 April 2014

23aprfoto

HIT merupakan penelitian overview system kesehatan negara dan menjadi benchmarking antar negara. Penelitian jenis ini telah dilakukan Fiji, Filipina, dan negara lain. UGM dalam hal ini menginisiasi penelitian dan seminar untuk menulis reformasi kebijakan dan reformasi kesehatan Indonesia. Series HIT sudah memasuki minggu ketiga dan kali ini mengangkat 'Reformasi Pengorganisasian RS'. Sesi pertama yaitu Pemaparan Hasil Penelitian PKMK oleh Prof. Laksono Trisnantoro yang membahas Otonomi RSD di Indonesia. Dalam BLUD tidak ada pemisahan aset, tidak ada pembagian SHU, non profit, serta RS harus menyusun rencana bisnis anggaran. BLUD merupakan korporatisasi, serta mempunyai misi sosial. Setelah menyimak bentuk BLUD seperti hal tersebut, maka Dinkes harus melakukan banyak pengawasan baik RSD dan RS swasta. Rekomendasi dari Prof. Laksono ialah renumerasi Dinkes yang lebih baik dan peningkatan kapasitas Dinkes yang maksimal. Lalu, perlu pengawasan dirjen BUK sebagai pembinaan dan regulasi. Serta, harus banyak yang diawasi dengan ketat, termasuk pelayanan standar. Kemudian, perlu diadakan pelatihan Kadinkes terkait pengawasan RS.

Evaluasi Pelaksanaan BLUD: Studi Kasus di Lima RSUD oleh Putu Eka Andayani, M. Kes. Institusi yang menerapkan BLUD merupakan bagian dari Pemda, produktivitas dan akuntabilitas jelas. Kemudian, institusi itu harus menyusun rencana bisnis: target keuangan dan non keuangan, lalu apa yang akan dikembangakan. Menurut penelitian yang dilakukan tim dari PKMK di tiga RSD DIY, satu RSD di Magelang dan satu RSD di Aceh, hasilnya bisa membiayai investasi dari pendapatan BLUD.

Kesimpulan penelitian tersebut, yaitu mengubah governance, SDM yaitu segi perekrutan dan renumerasi, pengadaan, akuntabilitas terkait mutu layanan. BLUD perubahan mindset yaitu RS sebagai lembaga usaha yang efektif, responsif dalam menghadapi perubahan. Tantangan yang masih dihadapi, isu kesehatan menjadi alat politik serta RS memerlukan dukungan pemerintah/subsidi. Saran yang diberikan peneliti ialah Direktur RS harus memiliki komunikasi politik, Direktur RS perlu memonitor kinerja RS dalam berbagai perspektif. Lalu, sistem manajemen operasional perlu dikembangkan.

Prof. Laksono menambahkan reformasi birokrasi pemerintah sudah berjalan lama, maka harus ada mutu pelayanan yang diperbaiki. Namun, hal ini masih mendapat tantangan yaitu tidak ada badan yang berfungsi sebagai pengaewas (dulu Kanwil/Kandep). Bagaimana regulasi RS sebagai pelayan utama untuk masyarakat? Bagaimana peran Dinkes sebagai regulator/pengawas? Ada peran rangkap Dinkes regulator dan operator?

Pembahasan

Pembahasan sesi 1 disampaikan pengurus Arsada Pusat, yaitu dr. Slamet Riyadi Yuwono yang memaparkan 'Peran ARSADA dalam mengawal Proses Otonomi RSD dalam era JKN'. Dinkes berperan dalam regulasi dan perijinan atau sebagai regulator (makro). RS sebagai badan dan BLUD (mikro) harus memperkuat kemampuan sebagai operator. Pengalaman menarik dari Australia yaitu rasio perawat dan pasien diusahakan tetap sama, jika perawat cuti, maka RS akan meng-hire orang yaitu melalui nurse bank. Ada kualifikasi standar tertentu yang menjadi core business RS, analoginya orangnya bisa ganti namun standar mutu pelayanannya sama.

Diskusi. dr. Heru (ARSADA) menyampaikan bahwa kemampuan Dinkes harus diperkuat. dr. Kuntjoro (ARSADA) menyatakan pelayanan kesehatan harus baik, bermutu, berkesinambungan. Kadinkes harus merupakan strong leader yang berpengaruh dan mau melakukan transformasi budaya, mampu memberi reward dan konsekuensi. Prof. Laksono menegaskan Dinkes melindungi kesehatan masyarakat. BLUD bisa dijaga melalui budaya organisasi yang dipegang Dirut RS ungkap Putu Eka (PKMK). Jabatan fungsional Dinkes tidak menarik menurut dr. Kuntjoro. dr. Slamet Riyadi (ARSADA) menyatakan harapannya, kemampuan advokasi Dirut RS mampu mengubah mindset pejabat RS, uang merupakan bagian dari unsur percepatan pelayanan. Nurul dari RSD Sragen menyatakan sebaiknya ada garis merah antara Pusat, Daerah dan RS. Kemudian, RSD dan RS swasta dilindungi Kadinkes. dr. Kuntjoro, menyatakan ini bagian dari sistem politik yang dipilih negara ini, akibatnya peraturan Kemkes banyak yang tidak bisa diaplikasikan daerah.

Sesi Kedua yaitu membahas Fungsi Regulasi dan Pengawasan. Paper pertama yaitu Apakah RS surplus di Era BPJS? yang disampaikan oleh Dr. dr. Anastasia Susty Ambarriani. SE, AK.

Muncul indikasi RS Pemerintah biasa memberi pelayanan premium, lalu pelayanannya menurun usai BPJS. Sementara indikasi lain yang muncul ialah surplus, RS bisa disebut surplus jika klaim bisa menutup semua biaya (full cost), klaim menutup biaya langsung, tarif yang sekarang lebih tinggi dari yang sebelumnya, terjadi rekayasa dan fraud. Sementara, tujuan BPJS Kesehatan yaitu pelayanan kesehatan yang efektif, efisien masuk akal dengan kendali mutu.

Materi ini dibahas oleh dr. Arida Oetami, Kadinkes DIY, RS memiliki 25% fungsi sosial dari keseluruhan pelayanannya. Sementraa, Dinkes berfungsi merangkul seluruh pihak yang terkait (masyarakat-RS dan BPJS). Dr. Arida menyatakan sosialisasi JKN tidak bagus, maka terjadi banyak keributan. Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) penting segera dibentuk untuk melakukan pengawasan. Badan ini yang akan akan menjadi jembatan antara RS-masyarakat dan penjaminan.

Diskusi. Robert dari NTT menyatakan, Puskesmas di perbatasan belum siap melaksanakan BLUD karena minus SDM dan minus pengetahuan pengelolaan keuangan. dr. Arida berbagi pengalaman bahwa sosilaisasi BLUD harus terus digalakkan, namun kemungkin besar berhasil tinggi jika adbokasi dilakukan secara lunak. Dr. Susty menambahkan, ada banyak kekhawatiran JKN hanya akan dinikmati atau dapat diakses masyarakat kota atau dekat dengan pemerintahan.

Perwakilan dari Balitbangkes: penelitian kami lakukan untuk memperoleh bukti dan bukti untuk menyusun kebijakan. Dinkes bukan hanya regulator namun juga sebagai sosialisasi peraturan/program baru untuk masyarakat. Transformasi: RS bisa memberi pelayanan rujukan yang berkualitas. Hal ini dapat berjalan jjika didukung kebijakan pusat dan lokal. Sayangnya, melalui otonomi daerah, kesehatan menjadi komoditas politik. Penelitian pasca pelaksanaan BPJS memperoleh hasil, diantaranya: sosialisasinya belum baik, terjadi benturan kebijakan antara Pemda dan pusat terkait insentif nakes di lapangan. Kemudian, jumlah pasien langsung RS melonjak. Disusul pemeriksaan diagnostik meningkat. Muncul keluhan terhadap jasa yang akan diterima, meski belum diterima. Komplain pasien terkait prosedur verifikasi di RS. Komplain pasien terhadap obat yang harus diambil. Kesimpulan paparan Balitbangkes ialah transformasi jamkes dan pengelolaan RS di era otonomi daerah belum memberikan solusi maksimal untuk penurunan AKI dan AKB. Peraturannya perlu dikaji, kemudian pelaksanaan dan penegakkannya sudah sesuai belum? Rekomendasi untuk layanan kesehatan ialah peningkatan hardware dan software, Dinkes lebih berperan dalam komunikasi layanan masyarakat antar RS, sosialisasi JKN harus dilakukan secara meluas, kontrol teknis pelayanan RS harus digalakkan.

Ada beberapa poin yang dapat ditarik menjadi kesimpulan, pertama, fungsi regulator dilakukan Kemkes dan Dinkes, RS sebagai operator. Kedua, RS merupakan lembaga yang birokratis dan melaksanakan BLUD. Ketiga, BLUD mampu meningkatkan kemampuan RS di bidang keuangan, pelayanan dan manfaat untuk masyarakat. Maka yang menjadi pertanyaan apa perlu RS dikembalikan menjadi UPT Dinas? Keempat, Dinkes sebagai regulator dan pengawas. Kelima, JKN harus segera didampingi dengan pengawasan dan dievaluasi. Seluruh hal ini harus dilakukan karena desentralisasi bertujuan untuk pemerataan kesehatan di Indonesia.

Reportase Pertemuan Kedua Seminar Series Hit "Reformasi Kebijakan Pembiayaan Kesehatan"

Reportase Pertemuan Kedua Seminar Series Hit
"Reformasi Kebijakan Pembiayaan Kesehatan"

17 April 2014

17apr-a

Seminar Series Hit 'Reformasi Kebijakan Pembiayaan Kesehatan' telah digelar di hotel Santika, Jakarta pada Kamis (17/4/2014). Pembukaan diberikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD yang menyampaikan bahwa perlu ada identifikasi permasalahan dari penerapan sistem desentralisasi kesehatan. Prof. Laksono berharap pertemuan ini dapat merumuskan suatu rekomendasi sehubungan dengan kebijakan publik mengingat akan ada pergantian pemerintahan dalam waktu dekat. Implikasi dari perlunya rekomendasi ini adalah pengadaan seminar tentang sistem desentralisasi terkait dengan pembiayaan kesehatan, SDM, otonomi rumah sakit, pendidikan tenaga kesehatan, dan terakhir adalah skenario masa depan untuk sistem kesehatan. Langkah utama dalam reformasi kebijakan kesehatan adalah menyelesaikan usulan ini melalui diskusi Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia untuk menyatukan visi dan misi dan menuangkan dalam sebuah usulan tertulis sebelum pelantikan anggota DPR pada Agustus nanti sehingga bisa mengusulkan reformasi kebijakan kesehatan untuk masa pemerintahan yang akan datang.

JKN yang menetapkan sistem klaim INA-CBG pada RS memiliki kekurangan karena dengan penerapan sistem klaim maka sistem alokasi penganggaran hanya berdasarkan kelengkapan pelayanan dan tenaga medis RS tersebut. Selain itu, pembiayaan kesehatan yang mengandalkan dana dari luar seperti dari Global Fund, juga tidak semudah membalik tangan karena adanya syarat tertentu sebelum dana dikeluarkan. Pemda juga hanya mengalokasikan sedikit biaya untuk asuransi kesehatan masyrakatnya. Bagaiamana aspek pemerataan model alokasi anggaran? Bagaimana alokasi anggaran untuk preventif dan promotif? Bagaimana dengan peran BPJS? Berikut ini tiga teori dasar pembiayaan untuk memaparkan hal tersebut,

  1. Revenue colletion, merupakan proses menggali dana secara berkelanjutan. Siapa sajakah yang bisa menjadi sumber pendanaan?
  2. Pooling, akan disimpan dan diatur dimana dana yg dikumpulkan tersebut?
  3. Purchasing payment, dari dana yang dikumpulkan akan dibayarkan kepada siapa saja?

Dengan sistem JKN, diharapkan masyarakat yang kaya membantu masyarakat miskin, namun demikian tenyata JKN memiliki risk pool yang buruk karena pembayaran premi untuk golongan kaya yang rendah per bulannya namun sudah dijamin dengan fasilitas yang maksimal tanpa ada batasan waktu jaminan itu berlaku.

Materi dilanjutkan oleh Bapak Yani Haryanto, Subdit Harmonisasi Peraturan dan Penganggaran Kementrian Keuangan yang menyampaikan bahwa dalam sistem JKN sebenarnya PBI menggantikan fungsi Jamkesmas sehingga alokasi untuk warga miskin yang membutuhkan adalah tetap dari Kemenkes. Namun, meski total dana untuk pembiayaan kesehatan meningkat, keleluasan untuk mengelola dana tersebut menjadi terbatas.

Wahyu Nugrahaini dari Litbangkes menyampaikan bahwa prinsip dasar JKN adalah sistem gotong royong. Apakah JKN memiliki risk pool buruk? Ada perubahan besar dalam sistem kesehatan Indonesia yang beralih menjadi menganut sistem asuransi. Masa transisi ini memerlukan waktu, Adanya BOK dari APBN juga menjadikan penurunan anggaran kesehatan dan bukannya ditafsirkan sebagai dana pelengkap. Tahun ini juga ada dana bantuan desa yang berarti harus ada integrasi antara dana ini dengan dana Bok dan dana lainnya untuk implementasi di daerah tersebut

dr. Andi Afdal sebagai perwakilan Group MPKP BPJS Kesehatan, menyampaikan yang berbeda dariJjamkesmas dengan penerapan INA-CBG JKN adalah berkurangnya kesenjangan pembiayaan dokter spesialis antar tingkat RS sehingga tidak banyak dokter yang akan berkumpul di RS tipe yang lebih tinggi. Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD, menambahkan sebaiknya pool untuk yang kaya disendirikan dan tidak digabung dengan yang miskin untuk menjamin tidak terjadi adverse selection.

Dwijo Susilo dari UMJ mempertanyakan bagaimana menjamin kelanjutan para peserta untuk tetap membayar iuran meskipun sudah tidak sakit lagi. Lalu, BOK yang diberikan sebagian tidak melibatkan UKP, menurutnya akan lebih baik jika ada alokasi dana dari BPJS khusus untuk promotif dan preventif misal untuk screening hipertensi, thalasemi, dan Diabetes Melitus sehingga dapat mengurangi pengeluaran dana akibat komplikasi penyakit-penyakit tersebut.

Putu Eka Andayani, M.Kes dari PKMK UGM menyatakan bahwa yang menjadi masalah dari kurangnya dana APBD untuk kesehatan adalah pemekaran daerah karena menarik alokasi dana baru padahal bisa dialokasikan untuk pembanguan kesehatan. Sementara menurut Nyoman dari FK UNAIR, sifat JKN adalah sosial, sehingga diperlukan upaya agar dana yang berhasil dikumpulkan oleh BPJS tidak over utilisasi dengan cara penguatan sistem data informasi untuk mengevaluasi penggunaan biaya BPJS sehinga dapat mencegah kolapsnya BPJS.

Prof. Dr. dr. H. Alimin Maidin, MPH, Dekan IKM Unhas mempertanyakan mana yang benar, apakah 0,02 % atau 8,5% alokasi dana untuk promotif dan preventif. Meskipun demikian, tetap saja porsi ini terlalu sedikit karena diperlukan setidanya 20% dari alokasi untu upaya promotif dan preventif yang spesifik pada setiap penyakit. Transparansi harus dibuka sehingga setiap pemimpin dapat mengoreksi kesalahan atau kekurangani untuk pemerintahan mendatang.

Sebagai penutup, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD, menyampaikan tentang bagaimana strategi yang bisa dilakukan untuk memperjuangkan anggaran kesehatan yang lebih mementingkan upaya promotif dan preventif. Ada tiga langkah , yaitu

  1. Identifikasi sasaran peningkatan anggaran dana
    1. Kemenkes, Mungkin diperlukan pengkodean untuk anggaran khusus untuk promotif dan preventif. Usaha promotif dan preventif tidak hanya diberatkan pada unit promkes saja dan dilakukan dalam pelayanan kesehatan per individu.
    2. Lintas kementrian: seperti BKKBN, PU (Sanitasi, TB)
    3. Pemda : dinkes dan dinas-dinas lain, Diperlukan advokasi yang fasilitasi oleh universitas masing-masing.
    4. BPJS-Jamkesda, Diperlukan penguatan pelayanan primer, screening penyakit dan upaya preventif sekunder.
    5. Donor : Global Fund, Bill-Melinda Gates, CSR
    6. Masyarakat dan CSO
  2. Pengusahaan anggaran untuk program preventif dan promotif
    1. Dilakukan oleh orang ahli yang berpengaruh
    2. Menggunakan berbagai pendekatan
  3. Monev. Bagaimana evaluasi keberhasilan dari peningkatan anggaran ?

Perlu dikembangkan kemitraan antar kementerian dan juga dengan NGO dalam upaya promotif dan preventif. Perlu ada infiltrasi ahli promkes di setiap struktur pemerintahan Indonesia dari level desa hingga level di atasnya agar bisa menggunakan anggaran yang diterima dengan efesien dan efektif dalam merancang program untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.

 

  • angka jitu
  • togel 4d
  • agen togel
  • slot 4d
  • bandar toto 4d
  • togel 4d
  • togel online
  • rajabandot
  • slot gacor
  • toto macau
  • toto macau
  • toto macau
  • toto macau
  • situs toto
  • situs slot
  • rtp live slot
  • toto slot
  • bandar slot
  • toto macau
  • bandar togel online
  • togel online
  • togel sdy
  • togel online
  • toto macau
  • hongkong lotto
  • hongkong lotto
  • situs slot
  • slot gacor
  • bandar slot 4d
  • bandar slot
  • bandar slot gacor
  • bandar slot gacor
  • slot dana
  • toto macau
  • bandar togel 4d
  • wengtoto
  • toto hk
  • slot dana
  • hk lotto
  • toto sdy
  • slot gacor
  • slot 5000
  • toto slot
  • toto togel 4D
  • toto macau
  • slot thailand
  • slot gacor
  • togel sidney
  • live draw sgp
  • Bandar Slot
  • bandar slot gacor
  • togel macau
  • toto slot
  • slot qris
  • slot toto 4d
  • Toto Togel 4D
  • sdy lotto
  • bola gacor
  • slot 5000
  • toto hongkong
  • toto slot
  • slot 5000
  • slot 5000
  • toto togel
  • slot 5000
  • slot 5000
  • slot 5000
  • situs toto
  • toto macau
  • BATASRAJABANDOT
  • slot 777
  • slot gacor
  • slot gacor
  • Bandar Slot
  • Situs Slot
  • Bandar Slot
  • Slot Gacor
  • situs slot
  • situs slot
  • Bandar Situs Slot Gacor
  • slot online
  • bokep
  • toto slot
  • Slot Demo
  • situs togel
  • bola slot
  • slot gacor
  • hitam slot
  • permainan slot
  • dewa slot
  • agent slot
  • slot toto
  • slot gacor
  • slot gacor
  • toto slot
  • akun demo slot
  • toto slot
  • slot gacor
  • slot gacor
  • https://heylink.me/iblbettotoslot
  • toto slot
  • slot88
  • situs toto
  • slot 5000