laporan hari II (HOGSI)

Laporan Hari I  Laporan Hari II  Laporan Hari III

LAPORAN PIT V HOGSI

(PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN KE V HIMPUNAN OBSTETRI GINEKOLOGI SOSIAL INDONESIA)
DI HOTEL ROYAL AMBARUKMO YOGYAKARTA, 30 APRIL-2 MEI 2012

Laporan Hari II

Pelapor: dr.Sitti Noor Zaenab, M.Kes

Berbeda dengan acara hari pertama yang sempat tertunda 1 jam menunggu pembukaan resmi, pada hari kedua ini SIMPOSIUM 1 dengan topik " Bugar di Usia Senja" langsung dimulai tepat pukul 08.00 WIB. Tampil 4 pakar kesehatan sebagai pembicara yaitu:

  1. Prof. dr. Ariawan Soejoenoes, SpOG(K), dengan judul: Bugar di Usia Senja
  2. DR. Dr. Tono Juwantono, SpOG(K), dengan judul: Kesehatan Tulang Pasca Menopause
  3. dr. Grace Tumbelaka, dengan judul: Olahraga dan Gaya Hidup
  4. Prof. DR.Wimpie Pangkahila, SpAnd, dengan judul: Aktifitas Seksual Wanita Pasca Menopause

Sesi ini cukup menarik karena yang ditampilkan adalah merupakan masalah yang dihadapi kebanyakan peserta yang rata-rata sudah berumur diatas 45 tahun, apalagi disertakan pula gambar-gambar yang sedikit saru tetapi tetap ilmiah. Saat ini jumlah lansia makin bertambah, hal ini membawa dampak pada masalah ekonomi, sistem kesehatan yang menjamin mutu kehidupan, kemandirian, dan keseimbangan peran keluarga. Dibutuhkan pelayanan publik dan infrastruktur yang ramah lansia. Definisi tua tidaklah sama tergantung dari sudut pandang, dapat dilihat dari 3 sudut pandang yaitu: Chronical age; Biological age; dan Psychological age . Meski menu, yang dibutuhkan adalah kualitas hidup yang meliputi 4 ranah yaitu: Fisik; Psikososial; Hubungan Sosial; dan Lingkungan. Tujuan menua yang sehat adalah: mempertahankan kesehatan fisik dan mental; menghindari kelainan; dan tetap aktif dan mandiri. Untuk mencapai itu perlu melakukan kebiasaan sehat yaitu: mengatur pola makan yang bergizi seimbang; olahraga teratur; dan aktif secara mental. Meskipun sangat dibutuhkan olahraga tetapi tidak semua boleh dilakukan. Yang tidak boleh yaitu: lompat, flexi, aktifitas berpotensi jatuh, abduksi dan adduksi dengan beban berat.

Salah satu masalah di usia tua adalah kesehatan tulang, terutama pada wanita pasca menopause dapat terjadi osteoporosis , yang disebabkan kekurangan hormon eostrogen. Berkurangnya hormon oestrogen menyebabkan ketidakseimbangan antara respon tulang dan formasi tulang, respon tulang menjadi lebih cepat dibanding formasi tulang, akhirnya masa tulang menjadi rendah dan mudah rapuh. Kalau tidak hati-hati dan jatuh dapat menyebabkan patah tulang. Pengobatan osteoporosis ini ada 2 macam yaitu dengan terapi hormonal (Estrogen Replacement Therapy) dan non hormonal. Yang lebih penting lagi adalah pencegahan yaitu dengan cukup asupan Kalsium dan Vitamin D, olahraga teratur, dan cukup gerak. Efek lain dari kekurangan hormon karena usia tua adalah terganggunya kehidupan seksual, sehingga kalau tidak diobati maka gejala akan berjalan terus, kualitas hidup menurun, dan dapat terjadi disharmoni seksual dengan pasangan.

Waktu untuk diskusi sangat singkat sehingga menimbulkan penasaran, dan acara dilanjutkan ke SIMPOSIUM 2 dengan topik "Medikolegal dan Malpraktek", tampil 4 penbicara:

  1. dr.Hani Susiarno, SpOG(K), dengan judul: Malparaktik atau Resiko Tindakan Medis?
  2. dr.Nurdadi Saleh, SpOG, dengan judul: Pengalaman Penanganan Dugaan malpraktik dalam Pelayanan Obstetrik
  3. Prof.DR.Siti Ismijati Jenie, SH, CN, dengan judul: Antisipasi Dugaan Malpraktik
  4. dr.Siswanto Sastrowiyoto, SpTHT, MH, dengan judul: Penanganan Kasus-Kasus Medikolegal, Pengalaman di RS Sardjito

Ketiga pembicara pada sesi ini dari kalangan medis, sehingga sangat menarik ketika tampil seorang proffessor yang murni ahli hukum. Malpraktik dan resiko tindakan medik adalah 2 hal yang berbeda. Malpraktik adalah melakukan kesalahan/kelalaian yang melanggar ukuran kemampuan rata-rata seorang profesional, yang menyebabkan kerugian /kematian pasien. Malpraktik dapat dituntut pidana atau dituntut ganti rugi secara perdata. Sedang resiko tindakan medik adalah bukan kesalahan/kelalaian karena sekecil apapun tindakan medik selalu ada resiko. Resiko tindakan medik tidak boleh ada penuntutan apapun. Oleh sebab itu beberapa hal ini perlu diperhatikan sebelum melakukan tindakan: Tidak menjamin kesembuhan tapi inspanning verbintenis ; Hati-hati pada kasus yang berpotensi menimbulkan medicolegal trouble ; Tidak melakukan pengobatan dibawah standar/tidak sesuai dengan standar profesi; dan Semua prosedur dilakukan dengan informed consent.

Di dalam sebuah organisasi profesi seyogyanya ada Dewan Pertimbangan yang bertugas: Membahas dan menganalis kasus; Memutuskan kasus bisa digolongkan sebagai : putih, abu – abu, atau hitam ;Memberi nasihat untuk melanjutkan kasus tersebut ke proses hukum selanjutnya atau di tempuh mediasi antara para pihak; dan Menentukan saksi ahli. Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya gugatan malpraktik maka semua pihak yang mungkin menjadi sasaran gugatan malpraktik itu melaksanakan tugasnya sesuai standar profesinya, sesuai pula dengan standar pelayanan rumah sakit, senantiasa mematuhi ketentuan perundang‐undangan di bidang kesehatan, serta memperhatikan code etik masing‐masing profesi. Kalaupun harus menghadapi tuntutan malpraktik maka harus dihadapi bersama-sama (dalam sebuah RS) karena ada yang disebut tanggung gugat dan tanggung renteng.

Kemudian dilanjutkan dengan kuliah umum dari Prof.DR.dr.Nila Djuwita F.Moeloek, SpM(K) dari Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs, dengan judul: Meningkatkan Kemitraan yang berkelanjutan untuk Menunjang PencapaianTarget MDGs 2015. Disampaikan bahwa obyektif 8 goals dari MDGs adalah meningkatkan kualitas ekonomi dan sosial masyarakat miskin. Ada beberapa target yang sudah dicapai saat ini, ada yang bisa dicapai pada tahun 2015, tetapi ada yang sulit dicapai yaitu Penurunan AKI; Jumlah penduduk dengan HIV/AIDS; dan Tingkat emisi gas rumah kaca, air bersih dan sanitasi. Masalah kematian ibu ditunjang oleh perilaku sex remaja yang tidak sehat, usia perkawinan pertama dibawah 20 tahun yang tinggi, kehamilan yang tidak diinginkan, yang akan berakibat putus sekolah, aborsi tidak aman, meningkatnya resiko kematian ibu, dan resiko mortalitas dan morbiditas. Untuk itu dibutuhkan kerja keras semua pihak yaitu masyarakat, pemerintah, dan swasta. Kerja keras saja tidak cukup tetapi harus bekerja dalam jaringan untuk saling mendukung. Dimulai dari hal-hal kecil dari masing-masing orang dengan menggunakan teknologi informasi yang makin berkembang, misalnya mengirim SMS/BBM yang berisi pesan-pesan Kesehatan Reproduksi (Kespro). Kalau semua mau berperan sesuai kemampuan dan posisi masing-masing tanpa harus saling menunggu atau saling menyalahkan maka target MDGs ini akan tercapai.

Waktu berjalan begitu cepat, masuk ke SIMPOSIUM 3 dengan topik "Peningkatan Pelayanan di RS dalam Upaya Peningkatan Pelayanan Kesehatan Ibu", dipaparkan oleh 4 pembicara:

  1. dr.HR. Dedi Kuswenda, SpOG (Direktur Bina Upaya Kesehatan Dasar Kemenkes RI), dengan judul: Peningkatan Kinerja Puskesmas PONED sebagai Jejaring RS PONEK
  2. dr. Diar Wahyu Indriati, MARS (Direktorat Bina Upaya Kesehatan Rujukan Kemenkes RI), dengan judul: Penyiapan RS PONEK 24 jam
  3. dr.Omo Abdul Majid, SpOG(K), (Direktur Umum dan Operasional RSCM), dengan judul: Peran Manajemen RS dalam Upaya Peningkatan Pelayanan Kesehatan Ibu
  4. dr.R. Soerjo Hadijono, DTRM&B(Ch)., SpOG(K), (Kepala Departemen Obstetri Ginekologi FK UNDIP) dengan judul: On The Job Training (OJT) PONEK dan Peran Jaringan Nasional Pelatihan Kesehatan (JNPK) dalam meningkatkan Kompetensi Tenaga Kesehatan

Pelayanan Obstetri Emergensi yang adekuat merupakan upaya terakhir mencegah kematian ibu. Puskesmas PONED berperan sebagai tempat Rujukan atau Rujukan Antara dalam Penanganan Komplikasi Obstetri & Neonatal;. Puskesmas PONED dan RS PONEK merupakan suatu kesatuan Sistem Rujukan Emergensi Obstetri & Neonatal. Sehingga diperlukan dukungan berbagai pihak untuk pengembangan Sistem Rujukan, dan diperlukan Komitmen Daerah dan Seluruh Stakeholders . Peningkatan sistem rujukan juga untuk mendukung jejaring pelayanan terpadu dalam mewujudkan universal coverage 2014.

Pelatihan adalah intervensi untuk masalah kompetensi dan peralatan adalah syarat untuk melaksanakan prosedur klinik sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Pelatihan dilakukan untuk standardisasi pelayanan, peralatan diberikan untuk menyelenggarakan pelayanan, dan supervisi fasilitatif dilakukan untuk membantu pihak rumah sakit dapat menerapkan hasil pelatihan dan menyelenggarakan pelayanan berkualitas. Investasi pelatihan dan penyediaan sarana-prasarana, baru dapat menggerakkan sebagian mesin produksi PONEK, karena program pemerintah pusat, tidak akan memberikan hasil yang memuaskan apabila tidak didukung sepenuhnya oleh pemilik rumah sakit/pemerintah daerah.

Setelah ishoma dilaksanakan sidang paralel yang terbagi pada 3 kelompok, yaitu:

  1. Workshop 5 dengan topik "Kerjasama Lintas Sektoral dalam Upaya Percepatan MDGs 2015"
  2. Sesi Bidan dengan topik " Kontrasepsi, kaitannya dengan Infeksi panggul dan kanker"
  3. Makalah Bebas, yang terbagi 2 yaitu Makalah Bebas 1a dan 1b

Penulis mengikuti WORKSHOP 5 yang diadakan di Ballroom, disini tampil 5 pemakalah yaitu:

  1. dr.Muljo Hadi Sungkono, SpOG(K), dengan judul: Peran, Sumbangan, dan Kendala RS Mitra dalam Program Sister Hospital di NTT
  2. dr.Yuanda Nova , MARS (Ditjen BUK Kemenkes RI), dengan judul: Improvement Collaborative Approach dalam Penanganan Kasus Emergency Maternal dan Neonatal
  3. dr.Rukmono Siswishanto, M.Kes, SpOG(K), dengan judul: Peran dan Dukungan Pemda Setempat dalam Menjaga Keberhasilan dan Kelangsungan Program Sister Hospital di NTT
  4. dr.Diar Wahyu Indriati, MARS (Direktorat BUKR), dengan judul: Peran dan dukungan Kemenkes dalam Keberlangsungan & Keberhasilan Program Sister hospital di NTT
  5. dr.Rosilawati Anggaraeni (UNFPA), dengan judul: Kesehatan Reproduksi dalam Situasi Pasca Bencana

Pencapaian MDGs bukan sekedar penurunan AKI/AKB tetapi peningkatan KESEHATAN IBU dan ANAK secara komprehensif. Demikian juga terkait dengan penanganan masalah sampai "HULU" bukan hanya penanganan masalah secara instan di "HILIR". Untuk itu diperlukan upaya pencegahan mulai dari hulu sampai hilir yaitu berupa PRIMARY PREVENTION yang meliputi: Mencegah kesakitan maternal dan perinatal, Perubahan Perilaku, Perbaikan Sistem yang berkesinambungan, Pemberdayaan Masyarakat, dan Kemandirian Daerah; SECONDARY PREVENTION yang meliputi: Menurunkan jumlah kematian ibu dan bayi, dan Penyediaan PONEK 24 jam; dan TERTIARY PREVENTION yang meliputi: Menurunkan komplikasi , Menurunkan Keparahan, dan Menurunkan intensitas penyakit.

Kolaborasi Perbaikan merupakan pendekatan yang paling sesuai untuk menyelesaikan masalah kesehatan yang persisten. Kunci dari kolaborasi adalah kesamaan visi dan tujuan untuk melakukan perbaikan diantara pengampu atau pelaku program kesehatan.Bimbingan teknis dan dukungan dari seluruh pengampu/mitra akan sangat menentukan upaya perbaikan yang dijalankan

Isu Exit Strategy untuk Sister Hospital adalah: Kemandirian Rumah Sakit, Pemanfaatan teknologi untuk akselerasi pencapaian kemandirian, Penguatan budaya kerja & partisipasi, misalnya Spirit kearifan local di RSUD Bajawa Su'u papa suru, Sa'a papa laka.

Kemenkes mendukung program Sister Hospital melalui: Pemenuhan anggaran Prog.Pembinaan Upaya Kesehatan yang diarahkan pada pemenuhan TT (kelas 3), PONEK, IGD, UTD RS dan gedung RS yang bermuara pada peningkatan mutu pelayanan (hardware); Peningkatan mutu brainware / software RS yaitu peningkatan kapasitas SDM, manajemen dan pelayanan medik; Diharapkan mampu mempercepat kemandirian RS bergerak &RS Pratama . Untuk itu perlu dukungan Dinkes, FK dan sektor swasta.

Masalah Kespro sering dilupakan dalam kondisi bencana, padahal hal tersebut tidak dapat ditunda. UNFPA yang merupakan bagian WHO mengenalkan Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) Kespro dalam keadaan bencana. Adapun tujuan PPAM adalah: Identifikasi coordinator, Mencegah & menangani konsekuensi kekerasan seksual, Mengurangi penularan IMS/HIV, Mencegah peningkatan kesakitan dan kematian maternal dan neonatal, Merencanakan layanan Kesehatan Reproduksi komprehensif terintegrasi pada layanan kesehatan primer, sesegera mungkin. Sehingga kerjasama lintas sektoral menjadi hal yang wajib dalam mencapai target MDGs 2015.

Selesai sidang paralel para peserta kembali ke Ballroom untuk mengikuti SEMINAR 1 dengan topik "Best Practices in Obstetrics care". Para pemapar dalam seminar ini:

  1. dr.Moh.Hakimi, PhD, SpOG(K), dengan judul: Postpartum Hemorrhage
  2. dr.R.Soerjo Hadijono, DTRM&B(Ch), SpOG(K), dengan judul: Delayed Cord Clamping

SEMINAR 2 dengan topik "Trend and Controversies of Obstetric Care in the Aspect of Medicolegal". Tampil para praktisi sebagai pembicara:

  1. dr.Ova Emilia, M.Med.Ed, PhD, SpOG(K),dengan judul: Water Birth
  2. dr.Zainal Arifin, SpOG, dengan judul: Hypnobirthing

Pada 2 topik seminar ini membahas prmasalahan klinis sebagai tambahan pengetahuan bagi para peserta, yang kebanyakan adalah dokter spesialis obsgyn, dokter umum, dan bidan.

Meskipun pertemuan hari ke dua berlangsung sampai sore, tetapi para peserta tetap antusias mengikuti sampai selesai karena topik-topik yang diangkat cukup up to date dan menarik.

Khusus anggota HOGSI masih melanjutkan Focus Group Discussion pada malam hari, dengan topik "Pelaksanaan dan Hambatan Jampersal di Lapangan". Tentu saja penulis tidak ikut karena bukan anggota HOGSI.

Pertemuan secara umum akan berlanjut besok hari terakhir dengan topik-topik yang makin menarik. Penulis berusaha untuk melaporkan secara keseluruhan, baru akan membahas lesson learnt dari acara PIT V HOGSI baik proses maupun materinya. Mungkin ada sesuatu yang bisa diambil sebagai bagian dari proses pembelajaran di organisasi PMPK FK UGM.

Laporan hari pertama

Laporan Hari I  Laporan Hari II  Laporan Hari III

LAPORAN PIT V HOGSI

(PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN KE V HIMPUNAN OBSTETRI GINEKOLOGI SOSIAL INDONESIA)
DI HOTEL ROYAL AMBARUKMO YOGYAKARTA, 30 APRIL-2 MEI 2012

 

Laporan Hari I

Pelapor: dr.Sitti Noor Zaenab, M.Kes

Suasana Hotel Ambarukmo yang sekarang bernama Royal Ambarukmo Yogyakarta memang berbeda setelah renovasi. Saat masuk melewati pos pemeriksa kendaraan tamu, Satpam langsung berdiri memberi hormat dengan menangkupkan ke dua tangan di depan dada dan menganggukkan kepala dengan melempar senyum yang cukup wajar, demikian juga ketika bertemu dengan petugas-petugas berikutnya. Ruang pertemuan ada di lantai VIII yaitu di The Karaton Ballroom Ambarukmo, dan telah tersedia sekitar 400 buah kursi yang terisi penuh para peserta yang terdiri dari dokter spesialis obsgyn, bidan, dokter umum, dll. Tema PIT V ini adalah Percepatan Pencapaian MDGs melalui kerjasama Lintas Sektoral dan Peningkatan Kualitas SDM

Tepat pukul 09.00 WIB acara pembukaan dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan persembahan tarian daerah untuk menyambut para tamu yang berasal dari seluruh Indonesia. Beberapa pemangku kepentingan memberikan sambutan yaitu Ketua Panitya PIT V, Ketua PB POGI, dan Wakil Gubernur DIY. Acara dibuka secara resmi oleh Wakil Menteri Kesehatan RI mewakili Menteri Kesehatan RI. Beliau meminta kepada para hadirin untuk mendoakan Menteri Kesehatan dr.Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH,DR.PH semoga diberi mukjijat untuk segera sembuh. Juga menghimbau para dokter dan tenaga kesehatan untuk selalu menjaga kesehatan diri sendiri, selain melayani kebutuhan kesehatan orang lain. Jangan sampai sakit atau meninggal disebabkan terlalu kecapekan. Upacara pembukaan diakhiri dengan menyanyikan Mars HOGSI dan lagu-lagu daerah persembahan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) UGM, yang disambut meriah para hadirin. Yang menarik adalah bahwa Mars HOGSI baru pertama kali dikumandangkan , dimana syairnya adalah gubahan dr.H. Risanto Siswosudarmo, SpOG (K) dan diaransemen oleh dr.Danudoro, Sp.S (K).

Selanjutnya diisi kuliah umum dari Menteri Kesehatan RI yang disampaikan oleh Prof. dr.Ali Ghufron Mukti, MSc, Ph.D. dengan judul: Trend dan Status Pencapaian Target 4 dan 5 MDGs 2015 pada tahun 2011 serta Prediksinya pada tahun 2014. Beliau memaparkan berbagai indikator yang harus dicapai, diprediksi banyak yang bisa dicapai kecuali Angka Kematian Ibu (AKI). Dengan melihat trend AKI dimana pada tahun 2007 sebesar 228 dan kecenderungan tahun-tahun berikutnya, diperkirakan sulit mencapai 102 pada tahun 2015 kalau tenaga kesehatan hanya bekerja biasa-biasa saja, sehingga diperlukan kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas dari seluruh yang terlibat.

Setelah kuliah umum Menkes, acara berikutnya adalah WORKSHOP 1 dengan topik: Peran Pendidikan dalam Upaya Peningkatan Pelayanan Kesehatan Ibu. Disini tampil 4 pembicara cukup ternama yaitu:

  1. dr.Ribka Tjiptaning Proletariati (Ketua Komisi IX DPR RI), dengan judul: Legislasi dan Anggaran Pendidikan Tenaga Kesehatan dalam Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu
  2. DR. Illah Sailah (Direktur Akademik Dirjen Dikti Kemendikbud RI) dengan judul: Kebijakan Kemendikbud dalam Proses Pembelajaran dan Produksi Tenaga Kesehatan dalam Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu
  3. Laurentina Lawintono, MSc, dengan judul: Materi Kognitif dan Pencapaian Kompetensi bagi Bidan Pelaksana Program KIA
  4. Dr.dr. Dwiana Octiyanti, SpOG (K), dengan judul: Sumberdaya untuk Pendidikan Dokter Umum , Spesialis, dan Spesialis Konsultan dalam Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu

Sebenarnya topik ini cukup penting, tetapi alokasi waktu untuk masing-masing pembicara hanya sekitar 5-8 menit, demikian juga waktu untuk diskusi sangat terbatas, apalagi tidak didukung oleh ketersedian makalah/bahan tertulis bagi para peserta. Semoga di akhir kegiatan pihak panitya dapat memberikan soft copy atau dalam bentuk apapun dari materi-materi tersebut sehingga para peserta dapat memahami dengan lebih baik dan jelas.

Berikutnya memasuki WORKSHOP 2 dengan topik: Upaya Peningkatan Cakupan dan Kualitas Pencegahan Kanker Leher Rahim di Indonesia. Disini tampil 4 pakar yaitu:

  1. Prof.Dr.dr. M.Farid Aziz, SpOG (K) dari HOGSI, dengan judul: Upaya Preventif, Deteksi Dini, dan Pengelolaan IVA positif di Level Fasilitas Kesehatan Primer dan Rujukan
  2. Prof.dr.Endy M.Moegni, SpOG (K) dari HOGSI, dengan judul: Strategi jangka Panjang Pencegahan Kanker Leher Rahim di Indonesia
  3. Dr.Martin Luber dari WHO-GAVI dengan judul: Peran WHO-GAVI (Global Alliance Vaccines and Immunisations) dalam Membantu Vaccinasi HPV di Indonesia
  4. Dr.Fatun Basalamah dari Kemenkes RI, dengan judul: Peran Kemenkes dalam Membantu Vaksinasi di Indonesia

Inti dari pemaparan para pakar ini adalah masalah kanker pada wanita masih didominasi oleh Ca Mamma dan Ca Cervic, diperlukan upaya pencegahan primer dan pencegahan sekunder yang efektif untuk menanggulangi masalah tersebut. Penggunaan Metode Pap Smears untuk deteksi dini masih cukup kompleks dalam pelaksanaannya, direkomendasikan pemakaian metode IVA yang cukup mudah dan cost effectiffeness. Vaksinasi HPV sangat membantu untuk mencegah Ca Cervix, makin muda usia wanita yang mendapatkan vaksinasi tersebut akan makin baik hasilnya. Diperkirakan biaya vaksinasi HPV Rp.1.000.000,- perorang, sehingga dibutuhkan biaya yang cukup besar seandainya akan diprogramkan secara nasional.

Setelah Ishoma acara dilanjutkan lagi dengan Kuliah umum dari Kepala BKKBN , DR.dr. Sugiri Syarief, MPH, dengan judul: Keluarga dan Pelayanan KB yang Berkualitas sebagai Upaya Promotif dan Preventif dalam Mencapai Target MDGs 2015. Beliau menyampaikan ada 3 masalah penting yang harus diperhatikan yaitu: Kuantitas penduduk, Kualitas Penduduk, dan Perkembangan Penduduk. Penduduk Indonesia cukup banyak, tetapi 60% tingkat pendidikannya baru tamat SD, pada tahun 2011 HDI Indonesia berada pada posisi 124 dari 187 negara. Diberikan data tentang gambaran median umur perkawinan pertama yaitu pada usia 19 tahun (sasaran umur 21 tahun), dan pada SP 2010 umur ini menurun lagi. TFR tahun 2007 sebesar 2,6 dan pada tahun 2010 sebesar 2,1, dipredeksi pada tahun 2060 baru terjadi penduduk tanpa pertumbuhan. Pada sesi ini tidak ada tanya jawab.

Secara marathon acara dilanjutkan dengan WORKSHOP 3, dengan topik: Jaminan Pembiayaan Pelayanan Kesehatan dan Dampaknya terhadap Penurunan AKI dan AKB. Disini tampil 4 praktisi sebagai pembicara yaitu:

  1. dr.Supriyantoro, SpP, MARS (Dirjen Bina Upaya Kesehatan Kemenkes RI), dengan judul: Strategi Aplikasi dan Kesiapan Administratif RS dalam Pengelolaan Jaminan Pembiayaan Pelayanan Kesehatan
  2. dr.Ribka Tjiptaning Proletaria (Ketua Komisi IX DPR RI) dengan judul: Latar Belakang Legislasi Jaminan Pembiayaan Pelayanan Kesehatan terkait MDG 2015
  3. dr.Bayu Wahyudi , MPHM, SpOG (Direktur RSUP Hasan Sadikin), dengan judul: Pelaksanaan dan Masalah Pengelolaan Jamkesmas/Jamkesda
  4. dr.Andi Wahyuningsih Attas, SpAn (Direktur RSUP Fatmawati), dengan judul: Pengalaman dan Rekomendasi dalam Menjalani Uji Coba Jamkesmas/Jamkesda

Inti dari sesi ini adalah bahwa setiap penduduk idealnya memiliki jaminan kesehatan, dalam pelayanan kesehatan harus ada kendali biaya dan kendali mutu. Jamkes yang dikembangkan pemerintah adalah jaminan sosial sehingga tarifnya memang bukan tarif penuh. Dokter seharusnya tidak meminta bayaran tinggi karena profesi dokter adalah pengabdian dan merupakan pilihan. Memang diakui sekarang biaya untuk sekolah dokter atau spesialis mahal, sehingga perlu dicarikan solusi ke depan bagaimana supaya pendidikannya gratis, tetapi setelah lulus betul-betul mengabdi untuk kepentingan rakyat.

Banyak sekali masalah yang dihadapi RS dalam pelayanan pasien Jamkesmas dan Jampersal, kalau tidak segera ditata dengan baik maka yang timbul adalah saling menyalahkan. Untuk itu perlu ada pertemuan rutin berbentuk Round Table Discussion bagi para pemangku kepentingan. Kalau saat ini Jampersal belum berefek pada penurunan AKI dan AKB, salah satu penyebabnya adalah sistim rujukan yang belum memiliki pola yang jelas sehingga memberi beban yang tidak perlu pada RS rujukan tertier. Sehingga perlu pemberdayaan pada fasilitas pelayanan kesehatan primer dan sekunder, dan penataan sistem rujukan dan pembiayaan yang baik. Kalau hal ini tidak dilakukan maka berapapun anggaran yang disediakan, tidak akan menyelesaikan masalah. Tidak ada pemateri yang mewakili RSUD, sehingga suara mereka tidak terdengar pada acara ini

Meskipun waktu semakin sore, para peserta mulai capek dan juga ada yang nampak kesal karena tidak ada makalah/materi sebagai pegangan dan waktu diskusi yang sangat terbatas, acara dilanjutkan ke WORKSHOP 4. Disini tampil 4 pembicara yaitu:

  1. DR.Harni Koesno, MKM (Ketua PB IBI) dengan judul: Kesiapan Bidan dalam Pelayanan KB Pascasalin
  2. dr.H.Risanto Siswosudarmo, SpOG (K) dengan judul: Strategi Penyiapan Tenaga Medis dan Fasilitas untuk Pelaksanaan KB Pascasalin
  3. dr.Christina Manurung (Subdit Bina Keluarga Berencana Kemenkes RI) dengan judul: Upaya Akselerasi KB Pascasalin pada Pasien Jampersal
  4. dr.Wicaksono, M.Kes (Direktur Pelayanan KB Jalur Pemerintah BKKBN) dengan judul: Strategi Penyediaan sarana dan Prasarana KB Pascasalin

Pada workshop terakhir pada PIT hari pertama ini, intinya adalah bahwa Bidan Delima siap untuk melaksanan KB pasca salin sesuai semboyan "Ada KB ada Bidan, ada Bidan ada KB", dan juga siap sebagai pemberi informasi kepada masyarakat di lini depan. Dalam pendidikan dokter dan dokter spesialis, mereka dilatih untuk memasang IUD pascasalin dengan methode/alat khusus. BKKBN siap untuk pengadaan sarana dan prasarana pendukung . Diharapkan para pelaksana di lapangan dapat mendorong masyarakat pengguna Jampersal untuk mengikuti KB pascasalin. Ke depan pembayaran Jampersal akan dikaitkan dengan kualitas ANC (?)

Selesai acara para peserta pulang, dan panitya mengumumkan bahwa malamnya akan diadakan Malam Keakraban di Pelataran Candi Prambanan. Supir saya menunggu sekitar 30 menit di halaman Royal Ambarukmo, dan begitu keluar dikenakan biaya parkir sebesar Rp.4000,- Ambarukmo memang telah berubah setelah renovasi. Mohon maaf laporan ini belum sempurna karena disusun tanpa didukung referensi tertulis. Sekian .

day III

 

TOR HCF Laporan Hari I  Laporan Hari II  Laporan Hari III 

 

Pembiayaan untuk Non Communicable Diseases: Kasus Cambodia

hcf3Dalam konteks Cambodia yang kekurangan sumberdaya, upaya kesehatan diarahkan pada upaya perubahan perilaku/gaya hidup yang berhubungan dengan penyakit tidak menular, baik pada para penderita, tetapi juga ditargetkan kepada kelompok masyarakat yang masih sehat. Upaya kesehatan ini dilakukan di distrik pada level primary care. Hal ini dilakukan dengan cara melibatkan pasien untuk melakukan pengelolaan mandiri sekaligus memberi mereka reward dengan menjadikan mereka sebagai petugas kesehatan 'amatir' (atau lebih tepatnya: peer educator) untuk mereka yang mungkin tidak/belum sadar bahwa mereka termasuk kelompok resiko tinggi. Mekanisme pembayaran bagi mereka dikaitkan dengan re-assessment dari random sample pasien untuk memperhitungkan besarnya reward untuk para peer educator ini dan juga untuk menilai besarnya reward untuk upaya sebagai tim.

Beberapa elemen kunci dalam program ini adalah:

  • Meningkatkan awareness dan mengupayakan edukasi untuk masyarakat
  • Akses terhadap screening dan early diagnosis
  • Dukungan untuk melakukan pengelolaan mandiri
  • Koordinasi dan kolaborasi antara sector public dan sector swasta
  • Sistem monitoring and surveillance

Upaya untuk menghitung cost-effectiveness-nya bisa diukur dengan cara membandingkan antara primary care yang melakukan kegiatan ini dengan primary care yang tidak melakukan kegiatan ini, dan mempertimbangkan benefit dari intervensi ini. Namun diperlukan semacam threshold untuk mengukurnya dan ini membutuhkan judgement dan tentu saja terkait dengan pertanyaan apakah hal ini ethical untuk dilakukan atau tidak (harus mempertimbangkan factor contextual dan juga budaya setempat).

Penghitungan cost-nya lebih mudah dilakukan dan di Cambodia sudah dilakukan penelitian untuk memperhitungkan intervensi pada level komunitas untuk penyakit kronis misalnya diabetes dan tekanan darah tinggi. Intervensi ini sudah dilakukan sejak 2005 (dimulai dengan intervensi terhadap diabetes) tetapi kemudian diperluas untuk mencakup pula early diagnosis dan risk factor control melalui upaya pengelolaan mandiri dan perubahan gaya hidup (terdapat 14 service outputs untuk ini). Penghitungan ini sudah dikaitkan dengan long term improved outcomes dan telah menghasilkan bukan hanya total cost tetapi juga annual cost per service output dan per pasien. Setelah investasi awal dibuat, biaya untuk tahun-tahun berikutnya ternyata cukup stabil dan affordable (untuk operational district) tetapi tetap tidak affordable untuk pasien miskin.

Oleh karena itu dilakukan pembiayaan supplementer dengan menggunakan vouchers (dengan dana Health Equity Fund) khusus untuk pasien diabetes, tekanan darah tinggi dan disorder yg terkait dengan itu (misalnya dyslipidemia, penyakit ginjal, dll). Penggunaan voucher (voucher ini dibagikan by name, dan disebutkan nilai uangnya) diharapkan dapat mengurangi resiko impoverishment masyarakat miskin, membiayai kehadiran secara regular dalam pertemuan dengan peer educator (voucher untuk ini khusus memiliki batas waktu expiry, untuk memastikan kehadiran mereka paling tidak tiga kali dalam sebulan).

Catatan:

hcf3aHal yang khas dalam Regional Forum ini adalah dimana para peserta dibagi ke dalam kelompok, dan setiap sesi sore hari dilakukan diskusi di dalam kelompok. Masing-masing kelompok diberi tugas/pertanyaan yang spesifik untuk dibahas yang terkait dengan presentasi dalam sesi pagi, dan kemudian dilaporkan kembali (oleh perwakilan kelompok) kepada seluruh hadirin.

Selain itu pada hari terakhir ini juga diinformasikan mengenai dibuatnya semacam platform untuk orang per orangan yang tertarik untuk menjadi pemerhati dan berkontribusi dalam diskusi dalam topic pembiayaan kesehatan melalui media Health Space: http://HCF.HealthSpaceAsia. Tujuan dari grup ini adalah untuk berbagi ide, berbagi dokumen, mencari saran atau rekomendasi atau pengalaman dari Negara lain, memiliki data (karena masing-masing anggota harus membuat profil mereka sendiri) untuk mencari/menemukan ahli dalam bidang-bidang tertentu. Tantangannya adalah grup ini menggunakan bahasa Inggris (karena sulit menemukan bahasa yang digunakan oleh semua anggota dalam region Asia yang sangat multi-language)

Materi-materi Presentasi :

Day I

TOR HCF Laporan Hari I Laporan Hari II Laporan Hari III

Regional Forum on Health Care Financing

Oleh : Shita Listyadewi

Regional Forum on Health Financing yang diselenggarakan pada 2-4 Mei di Phnom Penh bertujuan untuk mempertemukan para pemangku kepentingan (stakeholders), untuk bertukar pengalaman pada scheme design, pelaksanaan, evaluasi, dan scaling up terutama pada kebijakan pembiayaan kesehatan. Selain itu, Forum ini diselenggarakan sebagai wadah untuk berbagi pengetahuan dalam memfasilitasi dasar-dasar dalam pembuatan kebijakan serta menetapkan komunitas para praktisi.

Presentasi yang dipaparkan pada hari pertama dapat diikuti melalui twitter yang dibuat khusus untuk Regional Forum ini yaitu dengan mem-follow #RFHCF.

Hari pertama pembukaan Regional Forum on Health Financing ini dibuka dengan Keynote Speech oleh Joe Kutzin yang merupakan Health Financing Policy WHO Jenewa. Topik dalam Keynote ini disampaikan mengenai International and Regional challenges for health care financing and universal coverage. Dalam pesannya, terdapat beberapa point yang utama yaitu :

  • OOP tetap merupakan masalah di Negara-negara Asia Tenggara dan Asia Selatan
  • Perspektif untuk melihat belanja pemerintah dalam adalah fungsi dari konteks fiscal (THE/GDP) dan konteks kebijakan public (THE/total government spending)
    • Konteks fiscal: Negara di Asia mengalami tantangan dalam mengumpulkan pajak untuk pembiayaan tax-based karena kebanyakan pekerjanya adalah sector informal dan sector public.
    • Konteks kebijakan public: data menunjukkan prioritas pemerintah di Negara-negara Asia Tenggara/Selatan masih rendah dalam hal belanja untuk kesehatan.
  • Variasi di antara Negara-negara Asia Tenggara/Selatan menunjukkan bahwa terkadang bukan hanya seberapa banyak uang yang bisa dikumpulkan untuk pembiayaan kesehatan, tetapi juga bagaimana pelayanan diorganisir sehingga penggunaannya efisien dan efektif. Contohnya adalah negara Thailand yang mempunyai contoh baik dalam menurunkan ketergantungan terhadap OOP
  • WHO berkomitmen untuk membantu Negara-negara dalam mencapai Universal Coverage walaupun tidak committed untuk suatu metode tertentu. Koordinasi dalam instrument yang akan dipakai sangat penting untuk memastikan manifestasi dari strategi. Roadmap untuk mencapai Universal Coverage harus "home-grown".
  • Karena akan selalu ada kelompok yang tidak bisa berkontribusi, Negara-negara akan banyak bergantung kepada general revenues (tetapi sumbernya dari mana tidaklah menentukan) .
  • Ke depannya perlu juga dipikirkan tentang strategic purchasing: linking provider payment to information on their performance or population health needs.
  • Sistem yang fragmented akan menjadi penghalang bagi pemerintah daerah dan pemerintah pusat dan juga antar pemerintah daerah. Mengkoordinasikan ini menjadi tantangan dan akan menyulitkan redistribution of prepaid funds and redistribution of pooling. Fragmentasi terjadi sebagai konsekuensi dari kebijakan politik, kebijakan public atau bahkan alasan historis. Di Thailand sendiri : tiga skema digabung menjadi satu dan didanai oleh pendapatan umum, namun belum sepenuhnya mengatasi kerusakan yang dilakukan oleh "mulai degan sektor formal" . Pada saat ini, yang terjadi adalah agenda menyamakan manfaatnya.
  • Pelajaran dari Negara maju menunjukkan bahwa ada kecenderungan :
    • Starting insurance with the formal sector (contoh: Eropa Barat dan Jepang) ternyata mempertajam inequalities, fragmentasi sisten and sulit untuk di-undo.
    • CBHI biasanya bermasalah dalam low coverage (hanya sekitar 5% dari populasi) tetapi biasanya kegagalannya bukan karena adverse selection tetapi lebih karena orang tidak enrolled

Beberapa key lesson learned dalam moving towards Universal Coverage antara lain:

  • Komplementaritas yang eksplisit untuk sumber dana yang berbeda
  • Berfokus pada mengurangi fragmentasi dan memperluas kolam ukuran
  • Peran pendapatan umum yang eksplisit
  • Strategi pembelian untuk mengatasi inefisiensi bahasa dari sistem
  • Tujuan yang terukur dengan menghubungkan pembayaran manfaat inti

 

Selanjutnya, dalam sesi panel dibahas mengenai : Country reports on HCF and UC (low income countries). Sesi ini diisi oleh Dr. Sok Kanha (DPHI/MOH) dari Kamboja, Dr. Bouaphat Phonvisay dari Laos, Dr. Nguyen Thi Thuy Nga dari Vietnam, dan pembicara dari Myanmar.

  1. Cambodia : Dr. Sok Kanha (DPHI/MOH) menyampaikan mengenai Health Equity Fund, yang digunakan di Kamboja untuk mempromosikan kegunaan prioritas dari Pelayanan Kesehatan Publik. Health Equity Fund dilakukan dalam tiga bentuk yang berbeda :

    1. Model 1: National hospitals  
      Beroperasi dengan subsidi pemerintah tanpa pembayar pihak ketiga, menggunakan direct medical benefit, tanpa tambahan tunjangan apa pun, dilakukan untuk pihak yang sudah diidentifikasi sebelumnya, dan bertanggungjawab terhadap MoH dalam hal penggunaan dana.
    2. Model 2: Sama dengan di atas, hanya perbedaannya pada operatornya yang local.
    3. Model 3: Dibiayai oleh donor, dioperasionalkan oleh HEF implementers dan operatornya local NGOs (HEFoperators), tidak hanya mencakup medical benefit tetapi juga tunjangan transport dan pemakaman
  2. Laos : Dr. Bouaphat Phonvisay, membahas mengenai prespektif kesiapan institutional. Saat ini, Laos memiliki 4 schemes yaitu :

    1. Informal population : CBHI, BEF
    2. Formal population: SSO (private sector), SASS (public sector)
      Di Laos, sedang mengupayakan adanya National SHI Authority dan secara progresif menyatukan ke-4 scheme ini. Prasyaratnya adalah:

      1. Menetapkan tujuan dan peran yg helas dari National SHI Authority
      2. Mendefinisikan pengaturan institutional
      3. Membuat tools dan SOP yang diperlukan
      4. Investasi pada SDM
      5. Investasi pada technical and managerial capacity
      6. Finalize adequate institutional and legislative setting
      7. Melakukan pilot atas the merged SHI di beberapa propinsi
      8. Kerjasama yg erat antara MoH and MoSocial Welfare
  3. Vietnam : Dr. Nguyen Thi Thuy Nga

    Pengalaman di Vietnam memberikan arah pada strategi mereka ke depan berupa :

    1. Merubah system kepersertaan individual menjadi kepersertaan secara rumah tangga
    2. Meningkatkan kepersertaan dari sector formal (private)
    3. Untuk Informal sector: harus diputuskan apakah akan contributory or tax-based
    4. Mendefinisikan ulang benefit package (depth)
    5. Reformasi metode provider payment : capitation, case based
    6. Revise co-payment policy (height)
    7. Improve capacity and quality of health care service (untuk menghindari inefisiensi dalam system pelayanan)
  4. Myanmar, membahas mengenai situasi yang ada saat ini yaitu menjadi pilot study pada 2012 yang antara lain berisi :
    1. MCH voucher scheme
    2. Township based (CBHI)

Beberapa komentar yang muncul dari para peserta antara lain :

  1. Pertanyaan kritis yang muncul adalah bahwa kita tidak bisa meng-cover semua orang pada saat yang sama. Kita harus melakukannya pada satu tempat sebagai permulaan.
  2. Sistem pembiayaan dengan kapitasi tidak harus sama bagi setiap orang, melainkan berdasarkan kebutuhan kesehatan
  3. Kontribusi yang diharapkan juga tidak harus sama untuk setiap orang, melainkan beberapa akan membutuhkan subsidi lebih dari yang lain
  4. Tidak ada peluru ajaib

Sistem platform yang diterapkan merupakan sistem informasi terpadu di seluruh skema yang ada. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi penerima manfaat. Walaupun nantinya akan sangat mahal dalam hal biaya administrasi bagi penyedia untuk menangani sistem informasi beberapa yang berbeda dari setiap pembayar yang tentunya berbeda juga.

Perlunya diadakan prioritas untuk setiap hal yang berbeda. Oleh karena itu, perlu diidentifikasi "buah mana yang tergantung paling rendah". Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan adalah (selain dari masalah uang) :

  1. Peningkatan kapasitas pada SDM yaitu meningkatkan ketrampilan orang-orang
  2. Penciptaan permintaan dari pembuat kebijakan: beberapa keterbukaan dalam menghasilkan pengetahuan
  3. Kelembagaan platform: kemampuan dari luar pemerintah untuk memberikan umpan balik ke dalam pembuatan kebijakan

Pada sesi selanjutnya, masih dalam bentuk panel, membahas mengenai Country reports on HCF and UC (middle-income countries)

  1. Thailand: Dr. Phusit Prakongsai. Di sini disampaikan mengenai keberhasilan Thailand dalam beberapa hal yaitu :
    1. Peningkatan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan kebutuhan yang tak terpenuhi sangat rendah.
    2. Perawatan sistem kesehatan lebih pro kepada yang miskin dan distribusi subsidi pemerintah untuk kesehatan setela mencapai universal coverage pada tahun 2002.
    3. Perlindungan terhadap kemiskinan kesehatan dengan turunnya OOP.

    Faktor yang menjadi kunci keberhasilan adalah :

    1. Pajak yang berbasis pada pajak progresif.
    2. Paket komprehensif manfaat

    Hal ini tak luput dari tantangan yang di hadapi pemerintah Thailand, yaitu :

    1. Subsidi pemerintah yang tidak merata antara tiga skema asuransi kesehatan masyarakat
    2. Harmonisasi paket manfaat dan metode penyedia pembayaran antara tiga skema
    3. Ketidakcocokan antara beban meningkatnya penyakit dengan rendahnya promosi kesehatan serta pencegahan penyakit pada investasi NCD.

    Mengaktifkan faktor-faktor tersebut berfokus pada ekuitas dan efisiensi antara lain :

    1. Memperkuat kapasitas sisi penawaran
    2. Kepemimpinan yang kuat dan komitmen berkelanjutan
    3. Kapasitas individu dan kelembagaan yang kuat
  2. Indonesia: Dr. Yulita Hendrartini

    Tantangan yang dihadapi oleh Indonesia adalah :

    1. Sistem informasi yang belum sempurna
    2. Butuh kapasitas yang lebih: 100.000 + tempat tidur
    3. Roadmap dari pembayar multi untuk pembayar tunggal
    4. Roadmap untuk memenuhi sisi penawaran: partisipasi swasta, dokter keluarga, dll
  3. Philippines: Eduardo Banzon menyampaikan mengenai komitmen politik yaitu : risiko perlindungan keuangan, fasilitas kesehatan dan peningkatan pencapaian yang berhubungan dengan MDGs di sektor kesehatan. Artinya, upaya untuk memperluas paket bantuan berupa :

    1. Memperluas kasus-skema pembayaran
    2. Anggaran pembayaran global
    3. Manfaat perawatan primer dengan rawat jalan dan obat-obatan untuk hipertensi dan diabetes
    4. Kasus ketik Z, yaitu paket untuk penyakit yang parah
    5. PhilHealth Plus yaitu tambahan asuransi kesehatan
    6. Paket pengobatan untuk gigitan hewan
    7. Ditiadakannya penagihan keseimbangan kebijakan (nol pembayaran bersama) untuk anggota sponsor (pajak dialihkan ke SHI)

    Namun, untuk mewujudkan hal tersebut, beberapa tantangan ditemukan sebagai berikut :

    1. Kesehatan penyedia dimana mereka membentuk perilaku pasar. Terjadi pergeseran sehingga PhilHealth dari akreditasi untuk kontraktor (penyedia komitmen kinerja) akan mendominasi pasar (dasar dari PhilHealth: "Anda menurunkan harga, kami akan membawa Anda pada volume")
    2. penguatan kapasitas organisasi meningkat untuk memberikan manfaat yang lebih baik dan layanan dengan merombak sistem teknologi informasi
    3. individu membayar program untuk sektor informal

    Hal yang dipelajari:

    1. Buat rencana permainan dengan memberikan campuran yang tepat pada konteks reformasi sendiri
    2. Bertujuan untuk menyenangkan pelangganPenyedia
    3. Pembuat kebijakan dan pelaksana harus belajar lebih cepat
    4. Kemitraan adalah kunci dimana komitmen politik dibutuhkan antara sipil dan LSM untuk memberikan umpan balik.

Pada intinya, yang dapat disimpulkan pada hari pertama Regional Forum on Health Financing hari pertama ini adalah : "Setiap kali kita berkeinginan untuk memindahkan gunung, kita membutuhkan sebuah segitiga sebagai tuas". Segitiga ini adalah :

  1. Dukungan politik
  2. Akademik/dukungan teknis
  3. Masyarakat sipil

Materi-materi Presentasi :

hcf1a

hcf1b

Day I

TOR HCF Laporan Hari I Laporan Hari II Laporan Hari III

Regional Forum on Health Care Financing

Oleh : Shita Listyadewi

Regional Forum on Health Financing yang diselenggarakan pada 2-4 Mei di Phnom Penh bertujuan untuk mempertemukan para pemangku kepentingan (stakeholders), untuk bertukar pengalaman pada scheme design, pelaksanaan, evaluasi, dan scaling up terutama pada kebijakan pembiayaan kesehatan. Selain itu, Forum ini diselenggarakan sebagai wadah untuk berbagi pengetahuan dalam memfasilitasi dasar-dasar dalam pembuatan kebijakan serta menetapkan komunitas para praktisi.

Presentasi yang dipaparkan pada hari pertama dapat diikuti melalui twitter yang dibuat khusus untuk Regional Forum ini yaitu dengan mem-follow #RFHCF.

Hari pertama pembukaan Regional Forum on Health Financing ini dibuka dengan Keynote Speech oleh Joe Kutzin yang merupakan Health Financing Policy WHO Jenewa. Topik dalam Keynote ini disampaikan mengenai International and Regional challenges for health care financing and universal coverage. Dalam pesannya, terdapat beberapa point yang utama yaitu :

  • OOP tetap merupakan masalah di Negara-negara Asia Tenggara dan Asia Selatan
  • Perspektif untuk melihat belanja pemerintah dalam adalah fungsi dari konteks fiscal (THE/GDP) dan konteks kebijakan public (THE/total government spending)
    • Konteks fiscal: Negara di Asia mengalami tantangan dalam mengumpulkan pajak untuk pembiayaan tax-based karena kebanyakan pekerjanya adalah sector informal dan sector public.
    • Konteks kebijakan public: data menunjukkan prioritas pemerintah di Negara-negara Asia Tenggara/Selatan masih rendah dalam hal belanja untuk kesehatan.
  • Variasi di antara Negara-negara Asia Tenggara/Selatan menunjukkan bahwa terkadang bukan hanya seberapa banyak uang yang bisa dikumpulkan untuk pembiayaan kesehatan, tetapi juga bagaimana pelayanan diorganisir sehingga penggunaannya efisien dan efektif. Contohnya adalah negara Thailand yang mempunyai contoh baik dalam menurunkan ketergantungan terhadap OOP
  • WHO berkomitmen untuk membantu Negara-negara dalam mencapai Universal Coverage walaupun tidak committed untuk suatu metode tertentu. Koordinasi dalam instrument yang akan dipakai sangat penting untuk memastikan manifestasi dari strategi. Roadmap untuk mencapai Universal Coverage harus "home-grown".
  • Karena akan selalu ada kelompok yang tidak bisa berkontribusi, Negara-negara akan banyak bergantung kepada general revenues (tetapi sumbernya dari mana tidaklah menentukan) .
  • Ke depannya perlu juga dipikirkan tentang strategic purchasing: linking provider payment to information on their performance or population health needs.
  • Sistem yang fragmented akan menjadi penghalang bagi pemerintah daerah dan pemerintah pusat dan juga antar pemerintah daerah. Mengkoordinasikan ini menjadi tantangan dan akan menyulitkan redistribution of prepaid funds and redistribution of pooling. Fragmentasi terjadi sebagai konsekuensi dari kebijakan politik, kebijakan public atau bahkan alasan historis. Di Thailand sendiri : tiga skema digabung menjadi satu dan didanai oleh pendapatan umum, namun belum sepenuhnya mengatasi kerusakan yang dilakukan oleh "mulai degan sektor formal" . Pada saat ini, yang terjadi adalah agenda menyamakan manfaatnya.
  • Pelajaran dari Negara maju menunjukkan bahwa ada kecenderungan :
    • Starting insurance with the formal sector (contoh: Eropa Barat dan Jepang) ternyata mempertajam inequalities, fragmentasi sisten and sulit untuk di-undo.
    • CBHI biasanya bermasalah dalam low coverage (hanya sekitar 5% dari populasi) tetapi biasanya kegagalannya bukan karena adverse selection tetapi lebih karena orang tidak enrolled

Beberapa key lesson learned dalam moving towards Universal Coverage antara lain:

  • Komplementaritas yang eksplisit untuk sumber dana yang berbeda
  • Berfokus pada mengurangi fragmentasi dan memperluas kolam ukuran
  • Peran pendapatan umum yang eksplisit
  • Strategi pembelian untuk mengatasi inefisiensi bahasa dari sistem
  • Tujuan yang terukur dengan menghubungkan pembayaran manfaat inti

 

Selanjutnya, dalam sesi panel dibahas mengenai : Country reports on HCF and UC (low income countries). Sesi ini diisi oleh Dr. Sok Kanha (DPHI/MOH) dari Kamboja, Dr. Bouaphat Phonvisay dari Laos, Dr. Nguyen Thi Thuy Nga dari Vietnam, dan pembicara dari Myanmar.

  1. Cambodia : Dr. Sok Kanha (DPHI/MOH) menyampaikan mengenai Health Equity Fund, yang digunakan di Kamboja untuk mempromosikan kegunaan prioritas dari Pelayanan Kesehatan Publik. Health Equity Fund dilakukan dalam tiga bentuk yang berbeda :

    1. Model 1: National hospitals  
      Beroperasi dengan subsidi pemerintah tanpa pembayar pihak ketiga, menggunakan direct medical benefit, tanpa tambahan tunjangan apa pun, dilakukan untuk pihak yang sudah diidentifikasi sebelumnya, dan bertanggungjawab terhadap MoH dalam hal penggunaan dana.
    2. Model 2: Sama dengan di atas, hanya perbedaannya pada operatornya yang local.
    3. Model 3: Dibiayai oleh donor, dioperasionalkan oleh HEF implementers dan operatornya local NGOs (HEFoperators), tidak hanya mencakup medical benefit tetapi juga tunjangan transport dan pemakaman
  2. Laos : Dr. Bouaphat Phonvisay, membahas mengenai prespektif kesiapan institutional. Saat ini, Laos memiliki 4 schemes yaitu :

    1. Informal population : CBHI, BEF
    2. Formal population: SSO (private sector), SASS (public sector)
      Di Laos, sedang mengupayakan adanya National SHI Authority dan secara progresif menyatukan ke-4 scheme ini. Prasyaratnya adalah:

      1. Menetapkan tujuan dan peran yg helas dari National SHI Authority
      2. Mendefinisikan pengaturan institutional
      3. Membuat tools dan SOP yang diperlukan
      4. Investasi pada SDM
      5. Investasi pada technical and managerial capacity
      6. Finalize adequate institutional and legislative setting
      7. Melakukan pilot atas the merged SHI di beberapa propinsi
      8. Kerjasama yg erat antara MoH and MoSocial Welfare
  3. Vietnam : Dr. Nguyen Thi Thuy Nga

    Pengalaman di Vietnam memberikan arah pada strategi mereka ke depan berupa :

    1. Merubah system kepersertaan individual menjadi kepersertaan secara rumah tangga
    2. Meningkatkan kepersertaan dari sector formal (private)
    3. Untuk Informal sector: harus diputuskan apakah akan contributory or tax-based
    4. Mendefinisikan ulang benefit package (depth)
    5. Reformasi metode provider payment : capitation, case based
    6. Revise co-payment policy (height)
    7. Improve capacity and quality of health care service (untuk menghindari inefisiensi dalam system pelayanan)
  4. Myanmar, membahas mengenai situasi yang ada saat ini yaitu menjadi pilot study pada 2012 yang antara lain berisi :
    1. MCH voucher scheme
    2. Township based (CBHI)

Beberapa komentar yang muncul dari para peserta antara lain :

  1. Pertanyaan kritis yang muncul adalah bahwa kita tidak bisa meng-cover semua orang pada saat yang sama. Kita harus melakukannya pada satu tempat sebagai permulaan.
  2. Sistem pembiayaan dengan kapitasi tidak harus sama bagi setiap orang, melainkan berdasarkan kebutuhan kesehatan
  3. Kontribusi yang diharapkan juga tidak harus sama untuk setiap orang, melainkan beberapa akan membutuhkan subsidi lebih dari yang lain
  4. Tidak ada peluru ajaib

Sistem platform yang diterapkan merupakan sistem informasi terpadu di seluruh skema yang ada. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi penerima manfaat. Walaupun nantinya akan sangat mahal dalam hal biaya administrasi bagi penyedia untuk menangani sistem informasi beberapa yang berbeda dari setiap pembayar yang tentunya berbeda juga.

Perlunya diadakan prioritas untuk setiap hal yang berbeda. Oleh karena itu, perlu diidentifikasi "buah mana yang tergantung paling rendah". Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan adalah (selain dari masalah uang) :

  1. Peningkatan kapasitas pada SDM yaitu meningkatkan ketrampilan orang-orang
  2. Penciptaan permintaan dari pembuat kebijakan: beberapa keterbukaan dalam menghasilkan pengetahuan
  3. Kelembagaan platform: kemampuan dari luar pemerintah untuk memberikan umpan balik ke dalam pembuatan kebijakan

Pada sesi selanjutnya, masih dalam bentuk panel, membahas mengenai Country reports on HCF and UC (middle-income countries)

  1. Thailand: Dr. Phusit Prakongsai. Di sini disampaikan mengenai keberhasilan Thailand dalam beberapa hal yaitu :
    1. Peningkatan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan kebutuhan yang tak terpenuhi sangat rendah.
    2. Perawatan sistem kesehatan lebih pro kepada yang miskin dan distribusi subsidi pemerintah untuk kesehatan setela mencapai universal coverage pada tahun 2002.
    3. Perlindungan terhadap kemiskinan kesehatan dengan turunnya OOP.

    Faktor yang menjadi kunci keberhasilan adalah :

    1. Pajak yang berbasis pada pajak progresif.
    2. Paket komprehensif manfaat

    Hal ini tak luput dari tantangan yang di hadapi pemerintah Thailand, yaitu :

    1. Subsidi pemerintah yang tidak merata antara tiga skema asuransi kesehatan masyarakat
    2. Harmonisasi paket manfaat dan metode penyedia pembayaran antara tiga skema
    3. Ketidakcocokan antara beban meningkatnya penyakit dengan rendahnya promosi kesehatan serta pencegahan penyakit pada investasi NCD.

    Mengaktifkan faktor-faktor tersebut berfokus pada ekuitas dan efisiensi antara lain :

    1. Memperkuat kapasitas sisi penawaran
    2. Kepemimpinan yang kuat dan komitmen berkelanjutan
    3. Kapasitas individu dan kelembagaan yang kuat
  2. Indonesia: Dr. Yulita Hendrartini

    Tantangan yang dihadapi oleh Indonesia adalah :

    1. Sistem informasi yang belum sempurna
    2. Butuh kapasitas yang lebih: 100.000 + tempat tidur
    3. Roadmap dari pembayar multi untuk pembayar tunggal
    4. Roadmap untuk memenuhi sisi penawaran: partisipasi swasta, dokter keluarga, dll
  3. Philippines: Eduardo Banzon menyampaikan mengenai komitmen politik yaitu : risiko perlindungan keuangan, fasilitas kesehatan dan peningkatan pencapaian yang berhubungan dengan MDGs di sektor kesehatan. Artinya, upaya untuk memperluas paket bantuan berupa :

    1. Memperluas kasus-skema pembayaran
    2. Anggaran pembayaran global
    3. Manfaat perawatan primer dengan rawat jalan dan obat-obatan untuk hipertensi dan diabetes
    4. Kasus ketik Z, yaitu paket untuk penyakit yang parah
    5. PhilHealth Plus yaitu tambahan asuransi kesehatan
    6. Paket pengobatan untuk gigitan hewan
    7. Ditiadakannya penagihan keseimbangan kebijakan (nol pembayaran bersama) untuk anggota sponsor (pajak dialihkan ke SHI)

    Namun, untuk mewujudkan hal tersebut, beberapa tantangan ditemukan sebagai berikut :

    1. Kesehatan penyedia dimana mereka membentuk perilaku pasar. Terjadi pergeseran sehingga PhilHealth dari akreditasi untuk kontraktor (penyedia komitmen kinerja) akan mendominasi pasar (dasar dari PhilHealth: "Anda menurunkan harga, kami akan membawa Anda pada volume")
    2. penguatan kapasitas organisasi meningkat untuk memberikan manfaat yang lebih baik dan layanan dengan merombak sistem teknologi informasi
    3. individu membayar program untuk sektor informal

    Hal yang dipelajari:

    1. Buat rencana permainan dengan memberikan campuran yang tepat pada konteks reformasi sendiri
    2. Bertujuan untuk menyenangkan pelangganPenyedia
    3. Pembuat kebijakan dan pelaksana harus belajar lebih cepat
    4. Kemitraan adalah kunci dimana komitmen politik dibutuhkan antara sipil dan LSM untuk memberikan umpan balik.

Pada intinya, yang dapat disimpulkan pada hari pertama Regional Forum on Health Financing hari pertama ini adalah : "Setiap kali kita berkeinginan untuk memindahkan gunung, kita membutuhkan sebuah segitiga sebagai tuas". Segitiga ini adalah :

  1. Dukungan politik
  2. Akademik/dukungan teknis
  3. Masyarakat sipil
 
Materi-materi Presentasi :

hcf1a

hcf1b

Laporan Hari III

 

Laporan Hari I  Laporan Hari II  Laporan Hari III 

 

Laporan hari 3 (hari terakhir, jalur budaya organisasi dan kepemimpinan)

paris3Pada hari ketiga ini pendekatan Budaya Organisasi dalam safety dan quality menjadi tema pokok konferensi. Keynote speaker pertama adalah David R. Wiliams yang merupakan astronot (3 kali spacewalks) sekaligus sebagai dokter emergency, dan saat ini menjabat sebagai Presiden and CEO Southlake Regional Health Center and Assistant Professor of Surgery, University of Toronto.

Mengamati pembicara ini, terlihat bahwa pengelola Forum mencoba untuk menarik perhatian lebih ke aspek budaya dan membawa pembicara tidak hanya dari dunia penerbangan biasa, namun juga dari astronot yang juga menjadi dokter. Ini mencerminkan keinginan Forum untuk lebih menekankan mengenai budaya mutu. Pembicara menekankan mengenai sifat aerospace yang sangat riskan jika mempunyai kesalahan. Dan sifat ini secara penuh masuk ke budaya organisasi NASA sebagai lembaga yang mengurusi perjalanan angkasa luar. Tantangan pribadi bagi dia adalah bagaimana membawa budaya ini ke lingkungan rumahsakit setelah menjalani misi ulang-alik.

Selanjutnya pembicara menerangkan mengenai bagaimana karyawan Nasa bangga menggunakan badge. Dimana mana dipakai. Merayakan budaya organisasi merupakan hal yang sangat kuat di NASA. Shared value dan ada fokus pada culture safety. Pertanyaan kritisnya adalah mengapa pada tanggal 28 Januari 1986 terjadi failure pada peluncurannya Challenger. Ini adalah kesalahan sangat fatal, dan mereka pelajari.

NASA melakukan analisis pada saat decision making peluncuran. Ada sebuah hal menarik yang ditemukan yaitu: "Normalization of Deviance". Mereka melihat bahwa ada suatu situasi dimana yang menyimpang dianggap normal. Situasi ini ternyata fatal.

Sebagian pihak di NASA percaya bahwa sulit ada kelainan di permesinan. Mesin tidak pernah gagal. Sayangnya sebagian di NASA tidak menggunakan data dari tes, namun lebih banyak eksperience. Normalization of Deviation juga terjadi saat Columbia terbakar habis pada saat re-entry ke bumi. Tapi NASA tidak menyerah dan terus melakukan perbaikan sampai penerbangan ulang-alik dihentikan.

Apakah Normalization of deviance ada di kesehatan? Ya ada dan banyak menurut pembicara. Hal ini yang perlu diperbaiki.

Kembali ke NASA. Dalam pengembangan SDM termasuk pelatihan astronot, ada yang menarik bahwa ada training untuk menjadi leader, namun juga ada training menjadi follower yang baik. Disamping itu ada penekanan luar biasa mengenai bekerja dalam satu team dan secara interprofesi. Hal-hal ini dibawanya ke kehidupan di rumahsakit dimana dilakukan pengembangan clinical leadership. Kultur yang dikembangkan adalah: Work in a team and Build Team Emotional Intelligence. Ini menyangkut kepercayaan terhadap anggota, mempunyai identitas kelompok yang kuat, mempunyai sense of group efficacy,mempunyai komitmen ke kelompok, dan mempunyai ketrampilan untuk interaksi antar perorangan yang baik.

Refleksi ke Indonesia. Pada pertemuan ini Forum berusaha merefleksikan budaya safety dan mutu tidak hanya dari penerbangan biasa, tapi sampai ke aerospace dan juga balapan formula 1. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa mereka ingin benchmark yang lebih tinggi, yang oleh sebagian pihak mungkin dianggap berlebihan. Indonesia bagaimana? Hal ini menarik karena ternyata budaya organisasi belum banyak dipahami di rumahsakit. Masih banyak fragmentasi yang terjadi atau bahkan tidak menyadari bahwa ada satu faktor kunci besar dalam mutu dan safety yaitu budaya yang terkait erat dengan perilaku tenaga kesehatan, manajer rumahsakit, dan pemilik.

Sesi Creating a Culture of Excellence

Sesi in diselenggarakan di Amphiteater Utama. Hal ini membuktikan bahwa budaya organisasi memang menjadi isu utama dalam peningkatan mutu dan safety di pelayanan kesehatan. Pembicaranya adalah James Anderson, Michael Dowling, Gary Kaplan, dan Andrea Kabcenell RN

Sebagai fasilitator, Andrea menyatakan bahwa budaya adalah alat strategi untuk pengembangan diri. Strategi tanpa dilandasi budaya organisasi yang kuat akan sulit berjalan. Konsep Budaya organisasi disini banyak mensitasi dari bukunya Schein. Disadari bahwa budaya organisasi tidak banyak dipakai di kesehatan. Namun sudah mulai diterapkan dengan menggunakan beberapa step kunci untuk perubahan budaya, antara lain: Menetapkan Tujuan, melakukan identifikasi perilaku yang mencerminkan budaya. Memberikan dukungan untuk perilaku yang baik dalam sistem informasi, kebijakan SDM, pelatihan, kepemimpinan, dan insentives serta peran para pemimpin yang terus mempromosikan perilaku dan pesan-pesan.

Dalam menciptakan kultur menuju ke prestasi cemerlang diperlukan katalis yang terkait dengan: Tujuan, identifikasi perilaku, struktur dan metode dalam governanc, training, incentives, rules, dan sistem mengkontrak tenaga dan peralatan. Diharapkan ada perubahan perilaku, perubahan sikap dan akhirnya perubahan iklim organisasi dan perubahan budaya. Konsep ini dijalankan oleh beberapa rumahsakit yang dibahas pada sesi ini:

James M. Anderson yang mengarahkan perubahan di RS Anak anak Cincinnati sebagai Presiden dan CEO tahun 1996 sampai 2009. Prinsip dasar yang dipergunakan adalah: RS merupakan lembaga yang sangat kompleks dan mempunyai sistem yang saling tergantung.Hanya dapt berjalan baik jika semua komponen berjalan mendekati semua.

Sebelum tahun 1996 dilakukan sebuah pembaharuan: To be the leader in improving Child Health. Dalam penyusunan visi ini ada terkandung pertanyaan: Mengapa tidak semua pelayanan, Apa hasil yang akan kita berikan dalam pelayanan? Dan bagaimana kita akan mengukur hasil kita?

Kemudian di tahun 1999 ada perubahan kepemimpinan: CEO dan kepala Board yang baru yang tidak mempunyai pengalaman di kesehatan namun mempunyai komitmen kuat. Saat itu yang terjadi adalah Cultur of No. Bekerja terpisah pisah seperti dalam silo silo. Tidak ada ukuran mengenai keberhasilan lembaga. Pencapaian melalui usaha individu bukan usaha kelembagaan. Struktur Organisasi tidak ccock untuk perubahan transformasional. Oleh CEO yang baru dilakukan perubahan budaya melalui Menciptakan unit usaha yang partisipatif. Dilakukan dalam pelayanan klinik seperti jantung, psikiatri, dll. Unit usaha ini:

  1. Dipimpin oleh dokter dan perawat serta business leaders
  2. Punya akses ke tim pemimpin senior
  3. Merombak sistem kerja yang terfragmentasi dalam silo-silo

Dalam pelaksanaannya menggunakan banyak pertemuan yang terukur dan rutin terprediksi; menggunakan laporan yang berbasis temp-plate untuk aspek Keuangan dan Non Keuangan. Menggunakan alat lainnya seperti penggunaan data real time, menyusun rencana strategis yang baik, transparansi, sistem yang reliabel, dan belajar dari industri lain yang juga high risk. Terakhir struktur organisasi harus merefleksikan prioritas dan mekanisme yang akan dilakukan, dan mendukung semangat Risk taking serta pencapaian share vision dan high aspiration.

Michael Dowling menggunakan nilai-nilai Sistem- Excellence dan Customer Focus dalam pengembangan budaya organisasi untuk peningkatan mutu pelayanan. Ciri-ciri organisasi yang besar menurut Dowling adalah selalu ingin berkembang, mempunyai semangat belajar terus menerus termasuk belajar ke industri lain, mempunyai budaya yang excellence. Dasar perubahan antara lain: pemimpin harus dapat menerangkan mengenai landscape perubahan. Landscape ini harus dipahami oleh semua karyawan, lengkap dengan tahapan proses perubahannya. Jelas mengenai tujuan perubahan; Menciptakan lingkungan yang selalu belajar. Disamping itu perubahan perlu pada SDM dengan fokus pada leadership dan kaitannya dengan pasien sebagai pengguna, mengharapkan SDM selalu saling komunikasi. Dalam pengembangan SDM perlu memperhatikan secara seksama rekrutmen, pengembangan karyawan yang berbakat, mencari pemimpin-pemimpin masa depan yang potensial, dan merencanakan suksesi kepemimpinan. Berbagai pengembangan tersebut didukung dengan perubahan struktur organisasi yang semula tidak tepat menjadi lebih mendukung. Dalam konteks pelayanan perubahan menggunakan simulasi simulasi untuk peningkatan pengalaman, agar mendapat masukan dan input.

Gary Kaplan dari Virgina Masin Medical Center USA merubah budaya dengan pendekatan Strategic Plan yang disusun dengan baik. Dalam strategic plan pasien ditempatkan di posisi yang sangat penting untuk pelayanan. Pasien sebagai pengguna. Penyusunan rencana strategis dilakukan dengan semangat perubahan yang dapat dilihat dari pernyataan visinya. Namun ternyata mengalami kesulitan dalam melakukan perubaha. Mengapa sulit sekali merubah? Ada banyak faktor, antara lain budaya organisasi yang enggarn berubah, kekurangan shared vision, harapan yang tidak sampai, merasa tidak penting dan adanya kepemimpinan yang tidak efektif.

Dari titik ini diperlukan perubahan berbagai asumsi, termasuk pemikiran lama adalah sikap dokter yang mewarisi pemikiran yang sulit diubah karena mempunyai otonomi dan ada priviledge. Perlu penekanan mengenai peningkatan keselamatan dan mutu pelayanan yang memberikan pengalaman pelayanan yang baik. Oleh karena itu dalam rencana strategis diperlukan Strategic Vision yang dapat dipahami dokter dan lembaga.

Dalam proses perubahan yang dialami memang diperlukan kepemimpinan yang menetapkan arah. Pemimpin ini memberikan tanda-tanda yang mampu mengurangi ketidakpastian dan kebimbangan mengenai apa yang penting dan bagaimana cara rumahsakit bertindak. Para pemimpin di rumahsakit juga harus mampu mengangkat mereka yang distress dan menjadi sponsor perubahan.

Lebih lanjut Kaplan menyatakan bahwa pengalaman menunjukkan para pemimpin perlu menguraikan visi keberhasilan, menetapkan tujuan dengan jelas, menyediakan resources, menghilangkan penghalang-penghalang dan merayakan keberhasilan-keberhasilan yang diraih. Jika ada yang harus diberikan, para pemimpin harus mengucapkan terimakasih. Dalam menangani masalah para pemimpin dirumahsakit harus mengatasi sendiri, mengenal dan memahami seluruh SDM serta mampu menghubungkan berbagai titik dalam jaringan kerja. Disamping itu pemimpin harus mempunyai rasa, hati yang baik dan pandangan jernih. Pengalaman menunjukkan perlu keberanian dalam mengelola dan memimpin perubahan. Pengalaman yang dapat dilihat adalah merubah staf yang skeptis pada perubahan menjadi champion.

Refleksi untuk Indonesia:

Model perubahan budaya ini menarik karena membutuhkan waktu yang cukup lama dan proses perubahan detil yang membutuhkan leadership kuat. Tidak gampang untuk mencari RS di Indonesia yang berhasil melakuan perubahan. Ada dua yang saya ketahui adalah RSD Banyumas dan RSD Tabanan. Namun perubahan budaya ini sudah lama dilakukan. Dalam konteks RS yang berada dalam situasi BLU dan Jamkesmas saat ini belum ada riset operasional mendalam mengenai perubahan budaya di RS pemerintah. Untuk RS pendidikan belum pernah dilakukan dan mungkin sangat membutuhkan perubahan budaya. Pertanyaan pentingnya adalah apakah para manajer dan konsultan manajemen rumahsakit dan mutu memperhatikan aspek budaya organisasi? Forum di negara maju sangat memperhatikan budaya organisasi. Logikanya Indonesia sebagai negara sedang berkembang mempunyai tantangan lebih besar dalam menata budaya organisasi agar dapat mendukung pelayanan yang bermutu dan aman .

Pengembangan Kepemimpinan untuk mutu

Sesi setelah makan siang membahas mengenai pengembangan kepemimpinan untuk peningkatan mutu. Sesi ini difasilitasi oleh Robert Varnam, Martin Vogel, David Labby, dan Richard Grol. Inti pembicaraan pada sesi adalah bagaimana mengawinkan antara manusia dengan teknologi. Secara praktis dapat dilihat bahwa perkembangan teknologi menghasilkan sistem pelayanan kesehatan yang semakin kompleks. Di dalam sistem yang semakin kompleks ini ada SDM yang perlu dipimpin. Tantangan ini yg dikerjakan oleh NHS Inggris selama bertahun tahun. Salahsatu toolnya adalah PDSA (Plan, Do, Study, Action). Pengkawinan antara perbaikan sistem dan leadership menjadi hal menarik karena sistem yang kompleks perlu didukung oleh leadership yang mungkin mempunyai tingkat kecanggihan yang lebih kompleks.

Dalam konteks pengembangan sistem ini, bagaimana karyawan merespon terhadap change? Yang menarik salahsatu pembicara menyataka bhawa sebagian besar orang punya pengalaman menyenangkan tentang perubahan. Perubahan yang baikpun mungkin tidak dapat dilakukan.

Sebagai gambaran, ada kemungkian sebuah ide brilian disampaikan ke karyawan. Tapi ternyata tidak menarik bagi sebagian besar orang. Akibatnya perubahan gagal. Intinya proses perubahan tidak dapat menghasilkan hasil kalau tidak ada dukungan dari seluruh pihak. Jadi perubahan perlu ada dukungan, penerimaan, dan partisipasi dari banyak pihak. Situasi ini yg akan membawa hasil. Dalam hal ini kultur organisasi berpengaruh.

Bagaimana hubungan perubahan sistem denan karyawan dan pemimpinnnya. Ada banyak contoh. Orang ingin ke berubah ke suatu tujuan lebih lanjut. Tapi mereka lebih kawatir tentang bagaimana perjalanan sampai ke sana.

Pertanyaan lebih detil mengapa ada proses perubahan yang gagal? Hal ini perlu dilihat dalam konteks proses. Tahap 1 dalam perubahan adalah melakukan diagnosis situasi kelembagaan yang ada saat ini. Apa yang terjadi? Bagaimana hubungan sistem dengan orang. Pada tahap ini munkin sudah ada kegagalan.

Tahap 2 adalah bagaimana merancang design yang disengaja. Dalam hal ini menyusun visi dalam rencana strategis haruslah mendalam. Visi harus disusun dari hati. Tantangannya bagaimana mencari visi yang memberikan ilham bagi banyak pihak. Hal ini dapat dicari dari pergi ke konferensi, diskusi dengan banyak karyawan dll. Inti dari memulai disain perubahan adalah bagaimana mengajak berbagai pihak untuk melihat ke depan. Perlu menggunakan ceritera, diagram, dan gambaran. Kemudian rancangan ini dijalankan dan dipimpin dengan komitmen yang kuat. Tanpa ada desian dan visi jelas, maka perubahan dapat gagal.

Hambatan Politik dalam Peningkatan Mutu

Sesi berikutnya adalah mengenai bagaimana politik dapat menghambat pengembangan mutu. Namun sebaliknya, tekanan politik dan keterbukaan dapat meningkatkan mutu. Tema ini dipilih dalam diskusi dengan bahasan sebuah masa ketika terjadi kematian yang tinggi pada bedah jantung anak di RS Bristol Inggirs. Ternyata ada masalaah didalam pelaporan safety. Pelaporan sebelumnya berlangsung tertutup, dan menjadi hal yang terkait politik. Namun kemudian ada tekanan publik untuk membuka mengapa kematian meningkat. Dengan tekanan publik ini kemudian dilakukan penyelidikan dan ternyata hasilnya menarik. Setelah penyelidikan data menunjukkan kematian menurun.

Dalam laporan kasus ini disebutkan bahwa ada masalah yang sangat besar yaitu adanya culture of denial (budaya menyangkal) walaupun sebagian besar staf merasakan adanya masalah dan memikirkannya. Berdasarkan pengalaman ini, selama bertahun-tahun dilakukan pengembangan untuk mengurangi kultur ini. Salahsatu kuncinya adata keterbukaan data. Pada tahun 2010 NHS mengeluarkan kebijakan nasional mengenai monitoring. Hal ini penting untuk memantau hasil. Penilaian didasarkan pada Hospital Standardized Mortality Ratios yg disusun oleh Imperial College. Di dalam transparansi ini banyak pihak yang terlihat, termasuk pressure group dari kelompok masyarakat dan Independent inquiry juga ada.

Di dalam proses ini gejala Normalization of Deviance juga ditemukan (Lihat laporan sebelumnya). Gelaja ini pada intinya ada situasi yang membiarkan dan menganggap biasa penyimpangan; mengapa kita membiarkan hal hal yang buruk, kenapa tidak diatasi. Contohnya antara lain: tidak cuci tangan dengan benar, tidak mengikuti protokol, dokumentasi buruk, menggunakan pakaian rumahsakit di rumah, dan lain sebagainya.

Normalization of deviance bisa menjadi awal dari merosotnya kelembagaan yang akhirnya menjadi gejala organizational deviance.Terjadi penyimpangan oleh lembaga dari hal-hal yang benar. Sebuah data menarik menunjukkan bahwa pasien yang dioperasi pada hari Jumat mempunyai risiko kematian lebih tinggi dibanding pasien yang dioperasi hari Senin sampai Rabu. Penanganan oleh residen baru juga lebih berbahaya dibanding yang senior. Sebagai catatan: Columbia crash (kembali) berasal pada kultur buruk yang mengacuhkan adanya penyimpangan dan membiarkan.

Bagaimana mencegah Normalization of deviance? Apakah bisa melindungi karyawan yang menjadi peniup peluit (whistler blower) mengenai sesuatu yang menyimpang? Apakah perlu tekanan publik dan media? Sebagai catatan RS Bristol berubah menjadi lebih baik lagi dalam waktu duapuluh empat bulan setelah penyelidikan dilakukan.

Kunci lain adalah budaya organisasi yang dapat menangkal gejala Normalization of Deviance. Budaya ini antara lain menyangkut semangat untuk menyadari bahwa pekerjaan di RS sangat renta pada error, menentang keras terjadinya normalisasi penyimpangan, dan kegiatan untuk keselamataan. Apa yg dibutuhkan? Berbagai hal dilakukan antara lain: Continous quality control, reguler audits, menjauhkan gerakan mutu dari pengaruh buruk politisi namun tetap menggunakan politik untuk perbaikan mutu, dan publikasi data penting untuk pasien and klinisi dalam konteks pengambilan keputusan yang transparan.

Sesi Penutupan

Sesi penutupan dilakukan dengan presentasi akhir oleh Professor Donald Berwick yang sangat terkenal dalam konsep mutunya. Judulnya adalan Towards an Ethics of Improvement. Pidato penutupan ini dilakukan dengan pemaparan mengenai pengalaman pribadinya melakukan error dan bagaimana perasaannnya.

paris3aProf Berwick menceriterakan: Pada awal tahun 70an saya menjadi dokter residen di sebuah RS di Boston.

Saya mengalami kejadian yang tdak pernah saya lupakan. Bayi yang seharusnya dapat ditolong tetapi menjadi bermasalah karena kesalahan saya. Pada awalnya saya tidak tahu mengapa salah. Mengapa ada yang salah...ternyata ada yang salah dalam melakukan transfusi....dan saya tidak memperhatikan. Saya mengakui betapa bodohnya saya...dan saya diam saja.

Senior saya yang tahu hanya menyatakan jangan sedih, banyak yang melakukan kesalahan. Waktu itu saya bingung apa yang harus saya lakukan. Saya kerjakan nothing...Dalam kasus tersebut saya merasakan ada sesuatu yang salah. Kenapa saya diam. Hal ini tidak etis. Merasakan sebuah kesalahan dan diam sebenarnya melanggar etika, tapi waktu itu saya tidak tahu harus bagaimana. Di sisi lain saya juga mengalami ketakutan tentang kesalahan ini.Dengan pengalaman ini saya mengusulkan dalam pengembangan mutu pelayanan perlu dimasukkan komponen etik. Juga pada apa yang disebut dengan waste (hal yang terbuang sia-sia) dalam pelayanan kesehatan. Banyak pemborosan saat ini yang terus akan berkembang. Tindakan medik yang tidak diperlukan atau terlalu banyak merupakan sumber pemborosan. Hal ini juga harus dikaitkan dengan etika. Kita tidak boleh membiarkan hal ini terjadi terus. Sebaiknya masuk sebagai etika.

Dalam penutup, Professor Berwick mengusulkan An Ethics Of Improvement yang tersusun atas:

  1. Professionals have a duty to help improve the systemes in which they work
  2. Leaders have duty to make no 1 logical, feasible, and supported
  3. No excuses for inaction of no 1 and no 2 are acceptable
  4. The duty to improve encompasses safety, effectiveness, patient centeredness, timeliness, efficiency, and equity. This requires the continual reducation of waste
  5. Those who educate professionals have a duty to prepare them for this improvement work.

Pidato penutupan tersebut sangat mengesankan sehingga ketika selesai peserta Forum melakukan standing ovation. Panitia Forum kemudian menutup acara dan mengumumkan bahwa pertemuan tahun depan (2013) akan diselenggarakan di London.

Refleksi akhir mengikuti Forum

Sebelum mengikuti Forum di Paris ini saya sudah menyadari bahwa ini adalah Froum untuk negara maju. Hal ini terbukti dari pembicara dan peserta yang sebagian besar berasal dari negara maju. Namun juga banyak poster yang mulai berasal dari negara-negara sedang berkembang, termasuk Thailand dan Indonesia (dari saya mengenai Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak dalam program Sister Hospital NTT). Pertanyaan menariknya adalah apakah mengikuti Forum ini berguna?

Saya pribadi melihat bahwa pengelola pelayanan kesehatan di Indonesia, Kementerian Kesehatan, juga para pimpinan RS Swasta dan pemerintah di Indonesia perlu untuk mengikuti Forum ini. Mengapa? Dengan mengikuti forum ini saya dapat melihat betapa semakin majunya pengembangan mutu dan keselamatan pelayanan kesehatan di negara maju. Selama mengikuti Forum ini saya selalu bertanya: Apakah pelayanan kesehatan di Indonesia akan mampu dan akan sampai ke level negara maju dalam safety and quality ini? Apa visi Indonesia dalam pelayanan kesehatan? Ataukah kita hanya sampai pada situasi yang tidak punya visi yang harus diwujudkan?

Hal ini tentu perlu kita sikapi dalam menentukan kebijakan nasional untuk pengembangan mutu. Sebagai gambaran ada pertanyaan yang sederhana; Bagaimana strategi nasional untuk peningkatan mutu dan safety di Indonesia. Kemudian bagaimana di level propinsi dan kabupaten? Apakah kita akan menyerahkan ke lembaga-lembaga independen dengan peran minimal negara? Atau bagaimana? Pengalaman di negara maju, saat ini NHS Inggris berperan sebagai leader dalam pengembangan mutu dan safety pelayanan kesehatan.

Ada baiknya refleksi ini dapat dibahas di Indonesia. Mutu dan keselamatan pasien ini menjadi semakin penting dalam era Jamkesmas dan SJSN. Apakah pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin akan lebih rendah mutunya dibanding bagi mereka yang mampu membayar dengan kantong sendiri? Hal ini menjadi tantangan tersendiri: bagaimana menjamin mutu bagi pasien SJSN dan Jamkesmas/Jamkesda. Apakah hal ini juga akan terkait dengan pengembangan residen sebagai tenaga kesehatan yang mempunyai kontrak dengan RS seperti yang digariskan dalam RUU Pendidikan Kedokteran? Banyak hal saling terkait yang perlu dibahas.

Dalam konteks pembahasan di Indonesia, diharapkan Jaringan Mutu Kesehatan Indonesia (Indonesian Health Quality Network) dapat terus berkembang untuk terus mempercepat peningkatan mutu. Kemudian untuk pertemuan di London, saya berharap bahwa ada peserta dengan jumlah cukup dari Indonesia. Pada tahun ini saya ikut dan mengambil jalur Transformational Change, Workforce and Culture, serta Leadership. Masih banyak jalur lain yang perlu dipelajari oleh kita, antara lain: Safe and reliable care, Better value and Lower Cost, Clinical Improvement, Patient engagement, Primary Care, sampai Technology for Improvement. Daftar acara dapat dilihat di website forum: http://internationalforum.bmj.com/. Secara keseluruhan Forum ini bagus untuk diikuti banyak pihak di Indonesia antara lain: Direktur RS, Direktur Pelayanan Medik, Ketua Komite Medik, Dokter Spesialis, Perawat Manajer, sampai ke pejabat Kementerian Kesehatan yang bertanggung-jawab pada mutu. Apabila banyak pihak yang berminat ikut, diharapkan berangkat dalam bentuk team.

Dengan mengirim peserta dalam bentuk team, diharapkan kita dapat mempelajari secara utuh (di berbagai jalur) perkembangan mutakhir tentang Mutu dan Safety dalam pelayanan kesehatan di dunia. Pengiriman team ini dapat disiapkan dengan cara ikut aktif menyusun paper atau poster untuk disajikan di Forum. Kemudian sebelum pergi ke Forum sudah menyiapkan diri dan pemahamannya. Selama mengikuti Forum diharapkan ada diskusi mendalam dengan peserta dari berbagai negara, dan dari juga sesama peserta dari Indonesia. Sementara itu pasca mengikuti Forum dapat membahas secara terpadu hasil dari berbagai jalur. Memang biaya mengikuti cukup mahal dan perlu kerjasama team. Saya menilai bahwa apabila kita yang bekerja dalam pengembangan mutu dan keselamatan pasien dapat mengikuti Forum di tahun 2013 secara team, maka kegiatan mendatang dapat disebut sebagai investasi bangsa.

Paris, 21 April 2012

Laksono Trisnantoro

laporan hari II

 

Laporan Hari I  Laporan Hari II  Laporan Hari III 

 

Forum Internasional mengenai Quality and Safety di Paris
Rabu sampai dengan Jumat, 17 – 20 April 2012.

Hari kedua dimulai dengan paparan keynote speaker. Dalam keynote ini isu yang masih relatif baru mengenai pathways dibahas dalam konteks pengalaman di Perancis. Hal ini menarik karena ternyata di negara majupun Pathways masih menjadi isu baru yang harus terus dimonitor pelaksanaannya
Pembicaranya adalah Jean-Luc Harausseau Chariman, French National Authority for Health, dengan judul: Apakah pathways perlu dalam masa sulit ini?

hari2Jean Luc mengawali presentasinya dengan menggunakan integrated care sebagai dasar pathways, prinsip-prinsip tentang kesinambungan pelayanan dan integrated care. Disebutkan bahwa banyak teori tentang Pathways namun jarang yang membahas bagaimana cara melakukan pathways ini.

Problem yang ditemui dalam pelaksanaan di sebuah daerah di Perancis adalah bahwa pathways ini ternyata sulit dipergunakan di daerah karena ada yang tidak cocok dengan local needs. Hal ini penting karena merupakan temuan penting dalam evaluasi pelaksanaan pathways yang disusun oleh para pakar.

Di Perancis pathways terutama dilakukan untuk proses penanganan masalah-masalah kronis. Pathways diberikan sampai ke dokter umum. Kegiatan evaluasi bertujuan menilai pelaksanaan dan diseminasi pathways di seluruh Perancis. Dalam evaluasi ini dinilai pula dampak klinik. Indikator yang dinilai antara lain keberhasilan mengurangi penundaan penanganan medik, rujukan ke unit neurovaskuler, penurunan tekanan darah, dan sebagainya.

Pelajaran yang didapat dari pengalaman sebuah daerah di Perancis menerapkan pathways adalah: harus ada dasar jelas, mempunyai visi yang tegas mengenai apa yang akan diperoleh, diperlukan adaptasi regional. Dan perlu ada indikator klinik. Sebagai catatan akhir adalah bahwa suksesnya pelaksanaan di sebuah daerah belum tentu seluruhnya baik di tingkat nasional.

Mengapa: Masih ada dokter yang enggan untuk berubah, cara pembayaran tidak jelas, bulti penghematan anggaran juga tidak jelas, belum adanya electronic medical record, masih kurang adaptasi lokal dan pathways belum dikelola sebagai ilmu yang dinamis. Kedepannya perlu banyak tool, advokasi di level nasional, dan perlunya keterlibatan spesialis dan kepemimpinannya.

Refleksi ke Indonesia adalah apakah perjalanan pathways yang ada saat ini sudah pernah dievaluasi oleh pihak yang independen. Apabila di Perancis sebagai negara maju masih banyak masalah, logikanya di Indonesia masalah penyusunan sampai pelaksanaan pathways lebih besar lagi. Atau mungkin logika ini tidak berlaku; dI Indonesia lebih baik. Namun diharapkan model evaluasi ini diPerancis dapat diterapkan di Indonesia sehingga dapat diketahui apakah pelaksanaannya berjalan baik atau tidak.

Setelah keynote speaker, saya memilih sesi dengan jalur Workforce and Culture serta Leadership. Pertemuan ini menarik dan sangat luas karena mempunyai 9 jalur yang dapat dipilih sesuai dengan keinginan. Pemilihan jalur ini dilakukan dengan cara mengirimkan email sebelumnya. Dengan demikian semua peserta sudah mempunyai semacam rencana pribadi. Sembilan jalur yang ada adalah:

  1. Safe and reliable care
  2. Better value and Lower Cost
  3. Clinical Improvement
  4. Transformational Change
  5. Workforce and Culture
  6. Patient engagement
  7. Leadership
  8. Primary Care
  9. Technology for Improvement.

Judul topik terpilih adalah Peningkatan Kapasitas Kelembagaan yang terkait dengan Regulasi sistem kesehatan dan Budaya Organisasi dalam hubungannya dengan mutu klinik.
Sesi ini membahas bagaimana sistem mutu dilakukan di Perancis dan di Swedia yang disampaikan oleh Phillipe Michel, Goran Henriks, dan Nicole Klein.

Di Perancis sebuah UU baru diterapkan di tahun 2009 yang mengatur adanya sebuah otoritas daerah yang mengawasi mengawasi mutu pelayanan kesehatan. UU ini diterapkan karena

Self-regulasi oleh asosiasi profesi saat itu dipandang tidak cukup. Hal ini memang merupakan masalah klasik di mana-mana dimana para doter tidak begitu suka diawasi pihak lain. UU baru di tahun 2009 ini mewajibkan bagaimana melakukan perubahan sistem jaga mutu di regional. Contoh adalah sistem laporan adverse event dan pengembangan edukasi untuk pasien

Ada 3 skenario berjalannya UU Ini : (1) Ada agensi untuk regulasi regional dengan model bekerja pengawasan oleh sendiri; (2) Mengembangkan berbagai lembaga pengembangan yang independen namun bekerjasama erat dengan otoritas daerah yang mencakup jaminan mutu, safety, infeksi rs, produk kesehatan, dan sistem informasi; (3) mengembangkan lembaga independen dengan semua kegiatan di atas menjadi satu pengelolaan.

Di Swedia juga dikembangkan tata kelola untuk Quality-safety di kesehatan. Ada berbagai kegiatan menarik yang dilakukan, antara lain: Ada perbandingan terbuka antar rumahsakit dengan menggunakan model benchmarking. Kegiatan ini bekerjasama dengan perguruan tinggi. Penggunaan Evidece Based Medicine sampai National-E Health. Tantangan model tata kelola di Swedia adalah bagaimana berbagai lembaga independent dapat bekerja bersama.

Refleksi untuk Indonesia. Menarik bahwa fungsi pengawasan rumahsakit berusaha di daerahkan. Kegiatan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah pusat. Masalah yang dihadapi di Indonesia adalah bagaimana kemampuan Dinas Kesehatan propinsi dan kabupaten untuk melakukan pengawasan mutu dan bagaimana lembaga-lembaga independen dapat dikembangkan di daerah. Tantangan ini tidak mudah dan membutuhkan kebijakan pusat dan daerah yang didukung oleh komitmen tinggi termasuk pendanaan. Jika tidak dilakukan maka dapat dikatakan bahwa di Indonesia balum ada sistem jaga mutu. Artinya adalah menjadi pasien di rumahsakit merupakan pilihan yang mempunyai risiko.

Setelah sesi pengawasan sistem dalam tingkat regional, pembicara beralih ke aspek manajemen RS yang terpengaruh oleh iklim dan budaya organisasi.

Pembicara di sesi ini adalah Matthieu SIBE
Dari Research Group of Economics and Management in Public Health ISPED-Bordeaux University. Pokok-pokok pembicaraan mengenai perilaku bekerja, Organization Culture. Dalam sesi ini dibahas hasil penelitian mengenai hubungan antara middle management dengan Quality of Care movement dengan berbagai faktor yang mempengaruhi antara lain: Individual,Patient, and Contextual factor.

Penelitian ini mempunyai dasar pemikiran bahwa situasi rumahsakit yang dipengaruhi oleh manajemen (Managerial Organizational Context , MOC) akan mempengaruhi Quality of Care. Penelitian ini melibatkan pemahaman arti

Budaya organisasi dari Schein yang mencakup Beliefs and value sebuah organisasi, serta Climate (the mood of organization). MOC diukur dari berbagai segi antara lain: Organizational Support, Decision making process, Autonomy, Nursing doctor relationship, Nursing-nursing relationship, Conflict mangamenet, Intention to leave, Job satisfation, Implication, sampai adanya Burnt out karyawan.

Situasi MOC ini dihubungkan dengan faktor individu dan kepatuhan pada guideline melalui penggambaran situasi klinik di beberapa sektor seperti manajemen cardiac failure, diabetes, dan nyeri. Sebagai kesimpulan disebutkan bahwa ada berbagai faktor penting yang mempengaruhi quality of care antara lain: faktor informatika, faktor manusida dan individu, dan kemampuan manajemen. DI dalam kemampuan manajemen ini mencakup support dari hirarki manajer dan adanya team-work yang baik.

Refleksi untuk Indonesia. Sesi ini menunjukkan eratnya hubungan antara pelayanan klinik dan ilmu-ilmu manajemen. Dalam hal ini mutu pelayanan merupakan pertemuan antara domain ilmu klinik dan ilmu kesehatan masyarakat khususnya kebijakan dan manajemen. Hal ini penting ditekankan karena banyak perguruan tinggi kedokteran-kesehatan di Indonesia yang tidak mempunyai kerjasama erat antara dosen/peneliti kedokteran klinis dengan kesehatan masyarakat. Diharapkan di masa mendatang semakin banyak kerjasama antara kesehatan masyarakat dengan klinik.

Sesi siang sampai sore diisi dengan workshhop kebijakan tentang Strategi Pengembangan Nasional dalam meningkatkan mutu pelayanan. Workshop ini dipimpin oleh M Rashad Massoud, Project Director, USAID Health Care Improvement Project. Workshop ini membahas mengenai pentingnya pengembangan mutu pelayanan dilakukan sejak di level nasional. Dalam workshop ditekankan mengenai kepemimpinan nasional untuk pengembanan mutu dimana Kementerian Kesehatan diharapkan ada unit yang menanggung-jawabi. Hal ini terlihat di Inggris dimana pengembangan mutu sangat kuat dikembangkan oleh NHS, Hal ini terjadi di Scotland, sementara di Amerika Serikat tidak terlalu terlihat. Dalam konteks refleksi untuk Indonesia, memang saat ini belum jelas unit mana di Kementerian Kesehatan yang mempunyai tugas untuk mengembangkan mutu pelayanan kesehatan di Indonesia. Hal ini perlu dikembangkan di Indonesia.

Refleksi keseluruhan hari ini:

Berbagai inovasi dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan tidak dapat dipisahkan dari kebijakan yang mendukung, manajemen yang baik, dan komitmen para pelaku. Dalam konteks komitmen pelaku, pengembangan mutu pelayanan kesehatan di Indonesia perlu untuk lebih memperhatikan cara pandang, budaya organisasi dan berbagai komponen yang sering terlupakan saat melakukan perubahan. Ada baiknya dilakukan studi sosiologis dan antropologis mengenai komitmen pelaku pelayanan kesehatan dan pengambilan kebijakan mengenai peningkatan mutu pelayanan kesehatan.

Forum Internasional mengenai Quality and Safety

 

Laporan Hari I  Laporan Hari II  Laporan Hari III 

 

Mengikuti Forum Internasional mengenai Quality and Safety di Paris
Rabu sampai dengan Jumat, 17 – 20 April 2012.

Pelapor: Laksono Trisnantoro

Pengantar
Laporan ini ditulis secara harian dengan menggunakan perspektif apa yang terjadi di Indonesia dalam konteks perkembangan ilmu di pertemuan tersebut. Metode penulisan melalui refleksi materi yang ada di pertemuan, dalam konteks keadaan di Indonesia. Refleksi ini bersifat subyektif.

Pada hari Rabu tanggal 18 April 2012, Pertemuan ke 17 International Forum on Quality and Safety in Healthcare dibuka di Paris. Peserta pertemuan ada 2700 org dari 76 negara.

hari1Dalam pertemuan ini dilakukan penggunaan model mengikuti seminar remote area di Jepang, Selandia Baru dan berbagai tempat lain. Topik besar pertemuan ini adalah Solutions for Tough Times. Mengapa tema ini dipakai? Hal ini disebabkan fakta bahwa di negara-negara maju, khususnya di Eropa saat ini sedang dilanda krisis moneter sehingga perlu penghematan di berbagai sektor. Kesehatan termasuk di dalamnya.

Pertemuan tahun ini dibuka dengan Keynote Speaker pertama oleh Maureen Bisognano, President dan CEO Institute for Health Care Improvement. Pada intinya Maureen menyatakan bahwa pelayanan kesehatan perlu memperbaiki diri dan merubah model bekerjanya. Jangan sampai pelayanan terkotak-kotak dan berada pada silo masing-masing. Pelayanan kesehatan perlu membuka diri dan berusaha mengurangi biaya tanpa menurunkan mutu.

Lebih lanjut dinyatakan bahwa pelayanan kesehatan harus melihat ke depan dari segi pasien yang harus diperhatikan apa kebutuhan dan apa yang diperlukan, organisasi pelayanan kesehatan yang perlu diberdayakan terus menerus, dan masyarakat yang harus mengelola sistem kesehatannya dengan lebih proaktif dan memperhatikan determinan sosial kesehatan. Khusus untuk pasien, perlu diperhatikan benar adalah apa saja yang mempengaruhi kesehatan pasien dan kebutuhannya. Disarankan agar para pasien lebih aktif untuk memperkuat diri-sendiri.

Dalam pengamatan sebagai peserta, memang isi Forum Internasional ini banyak membahas kasus-kasus di negara maju. Namun justru hal ini menarik karena sistem pelayanan kesehatan Indonesia dapat mengetahui perkembangan di negara maju sekaligus untuk meningkatan apa yang terjadi di dalam negeri.

Setelah Keynote adress 1, dilanjutkan dengan seminar paralel. Dalam rangka mengetahui lebih mendalam bagaimana manajemen perubahan dan budaya organisasi, saya memilih sesi-sesi yang terkait dengan manajemen perubahan dan budaya yang terkait dengan mutu pelayanan.

Dalam hal ini ada pembicara dari NHS Inggris yang menggambarkan bagaimana perjalanan merubah cara pandang dan peran kepemimpinan dalam pelayanan kesehatan. Perubahan di sektor kesehatan perlu menggunakan model perubahan yang terjadi di sektor lain, khususnya perubahan sosial. Tidak mungkin melakukanperubahan tanpa mengkampanyekan perlunya aksi, mengajak banyak pihak untuk melakukan perubahan, dan untuk merencanakan bagaimana cara bekerja perubahan sendiri.

Sesi ini menarik karena dilakukan oleh 3 wanita muda yang menjadi motor penggerak untuk perubahan di NHS Inggris. Kasus yang dipergunakan adalah masalah dementia yang semakin banyak terjadi diInggris. Dalam melakukan perubahan dalam pengelolaan dementia ini ditekankan perlunya memahami berbagai stakeholders dalam jaringan dementia. Susunan stakeholders tentunya banyak, dan tidak hanya dari sektor kesehatan saja. Para stakeholder ini yang akan menangani perubahan secara menyeluruh.

Ditekankan bahwa penggunaan model stakeholders dalam jaringan ini membutuhkan komitmen dari para pelaku. Komitmen ini akan memberikan passion dari para pelaku. Disamping itu perubahan perlu mempunyai kepemimpinan yang kuat dari nasional sampai ke dalam pelayanan sehari-hari.

Kasus dementia ini sangat menarik apabila konsep manajemen perubahannya diaplikasikan di Indonesia. Salahsatu hal yang saat ini sedang dikerjakan di Indonesia adalah bagaimana mengurangi kematian ibu dan bayi (indikator MDG) melalui perbaikan mutu pelayanan kesehatan ibu dan anak. Terlihat bahwa apa yang dikerjakan di Indonesia dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak ternyata mempunyai konsep yang sama dengan apa yang dilakukan di Inggris dengan kasus dementia. Pendekatannya sama dimana dimulai dari perubahan cara pandang stakeholders mengenai pelayanan kesehatan (Lihat policy paper untuk pelayanan kesehatan ibu dan anak) yang mengacu ke kegiatan kesehatan dan pelayanan di hulu (di masyarakat) dan di hilir (di puskesmas dan rumahsakit).

Jika dibandingkan terlihat ada prinsip-prinsip yang sama yaitu sasaran perubahan harus jelas, tidak abu abu dan dapat terukur. Perubahan ini perlu ada dukungan dari seluruh stakeholders, dan masing-masing mengembangkan komitmen sesuai tugas dan peran masing-masing. Ditegaskan bahwa program harus mengambil keuntungan dari anggota jaringan yang mempunyai kekuatan masing-masing.

Dalam sesi ini Helen Bevan dari BMJ menutup dengan pernyataan bahwa ada paradigma baru dalam manajemen perubahan di sektor kesehatan, yaitu:

  1. Harus melakukan mobilisasi sehingga mendapatkan orang-orang yang passion (semangat, mempunyai kenikmatan dalam bekerja, mempunyai kepemilikan) pada tugasnya
  2. Mempunyai isu yang harus diperhatikan segera
  3. Mengajak banyak pihak untuk berpatisispasi
  4. Perubahan tidak hanya dalam satu lembaga, tetapi seluruh sistem kesehatan termasuk yang ada di luar rumahsakit.

Paradigma baru tersebut sangat cocok untuk merubah pelayanan kesehatanibu dan anak di Indonesia agar tidak statis seperti yang ada pada saat ini.

Sesi-sesi berikutnya banyak membahas mengenai bagaimana perubahan mutu disertai dengan perubahan biaya yang masuk akal.

gbrparis

Sir Liam Donaldson memberikan keynote adress yang banyak membahas
masalah budaya dalam mutu

Sebagai pembicara kunci kedua adalah Sir Liam Donaldson dari WHO. Salahsatu inti pembicaraannya adalah bagaimana budaya mutu dapat ditingkatkan melalui berbagai kegiatan secara rinci, termasuk cara presentasi hasil laporan mutu.

Ditekankan bahwa laporan yang keliru atau kurang tepat penyampaiannya merupakan salahsatu penyebab terbakarnya pesawat ulang-alik Columbia waktu masuk kembali ke atmosfir bumi. Dalam hal ini memang disadari bahwa masalah terkait dengan budaya merupakan hal yang kompleks dan membutuhkan penanganan detil dan sistemik, bukan individual(Bersambung).