Perguruan Tinggi di Indonesia Kekurangan 38.000 Dosen Kesehatan

Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengatakan perguruan tinggi kekurangan 38.000 dosen kesehatan.

"Saat ini perguruan tinggi kekurangan 38.000 dosen di bidang kesehatan baik itu di program studi perawatan, kebidanan maupun gizi," ujar Nasir usai pertemuan dengan Asosiasi perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) di Jakarta, Senin (23/1/2017).

Dia mengatakan masalah kekurangan dosen ini disebabkan bertambahnya jumlah mahasiswa. Saat ini, jumlah rasio dosen untuk perguruan tinggi swasta masih 1:100. Padahal idealnya 1:40.

Selain itu juga, jumlah penyelenggaraan pendidikan program pascasarjana tumbuhnya tidak sesuai dengan jumlah permintaan.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, lanjut dia, pihaknya akan memberikan mandat ke beberapa perguruan tinggi untuk menyelenggarakan pendidikan program pascasarjana.

"Ke depan, kami akan bantu untuk peningkatan kompetensi dosen," ujar Nasir.

Untuk mengatasi persoalan itu, Nasir mengatakan, kementerian akan merekrut dosen dari industri.

"Jadi nanti dosennya bisa diambil dari industri, yang selama ini belum pernah masuk ke perguruan tinggi. Selain itu permintaan dari Aptisi ada 15 PTS yang akan menyelenggarakan pendidikan program S2," lanjut dia.

Sementara itu Ketua Aptisi, Budi Djatmiko, meminta Kemristekdikti untuk tidak membedakan antara perguruan tinggi swasta dan negeri.

"Agar perguruan tinggi swasta juga bisa membuka kelas pascasarjana. Kami meminta dosen di perguruan tinggi negeri diperbantukan di perguruan tinggi swasta juga," kata Budi.

http://regional.kompas.com/

 

Kepala Daerah Terancam Dinon-aktifkan, Jika Tak Integrasikan Jamkesda ke JKN

13jan2Pemerintah saat ini tengah menyiapkan regulasi guna menekan pemerintah daerah (pemda) agar mengintegrasikan program jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) ke dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Kepala daerah yang "ngeyel" akan dapat teguran.

"Jika 2 kali teguran tak dijalankan, kepala daerah itu akan dapat sanksi administratif. Kalau masih "ngeyel" akan dikenakan sanksi pemberhentian tetap," kata Direktur Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan dan Kerjasama, Ditjen Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Rizari dalam diskusi media seputar program JKN-KIS, di Jakarta, Senin (9/1).

Pembicara lain dalam diskusi itu, Andi Zainal Abidin Dulung, anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Timboel Siregar, koordinator BPJS Watch dan Bayu Wahyudi, Direktur Komunikasi Publik dan Hubungan Antar Lembaga, BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan.

Rizari menambahkan, sanksi terhadap kepala daerah tersebut nantinya termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang Sanksi, sebagai amanat dari Undang-Undang (UU) No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

"Sanksi itu tak hanya terkait masalah Jamkesda, tetapi mengatur kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah secara keseluruhan yang berhubungan dengan pelaksananan program strategis nasional. Dan program JKN-KIS masuk didalamnya," ucap Rizari menegaskan.

Ditambahkan Andi Zainal Abidin Dulung, pengintegrasian program Jamkesda ke JKN-KIS menjadi penting, guna memberi kepastian pada seluruh masyarakat Indonesia atas jaminan kesehatannya. Apalagi, pemerintah telah menargetkan cakupan semesta (universal health coverage) tercapai pada 2019.

"Kami berharap proses integrasi Jamkesda ke JKN-KIS bisa diselesaikan dalam dua tahun kedepan. Sehingga target cakupan semesta 2019 bisa tercapai," ucapnya.

Bayu Wahyudi menyebut hingga saat ini masih ada 81 kabupaten/kota yang belum mengintegrasikan program Jamkesdanya. Diperkirakan jumlah pesertanya mencapai 2,7 juta orang.

"Dari 512 kabupaten/kota di Indonesia, sebenarnya sudah ada 433 kabupaten/kota yang sudah mengintegrasikan program Jamkesdanya," tutur Bayu Wahyudi.

Ditambahkan, dukungan pemda itu meliputi penganggaran APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), kepesertaan, Peraturan Daerah (Perda), maupun pembangunan infrastruktur pelayanan kesehatan. Karena UU 36 Nomor 2009 tentang Kesehatan mewajibkan pemda mengalokasikan 10 persen dari APBD untuk sektor kesehatan, sedangkan APBN sebanyak 5 persen.

"Besaran anggaran tersebut di antaranya untuk promosi kesehatan masyarakat, pemenuhan fasilitas layanan kesehatan beserta kelengkapannya termasuk dokter," ucapnya.

Jika dana APBD tak mencukupi, maka Pemda dapat menyesuaikan jumlah kepesertaan yang didaftarkan atau menyesuaikan jumlah kepesertaan yang diusulkan sebagian ke dalam Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang ditanggung APBN. (TW)

Dinilai Berhasil, Pendaftaran Program Nusantara Sehat 2017 Kembali Digelar

Program Nusantara Sehat (NS) yang digulirkan Kementerian Kesehatan (Kemkes) sejak 2015 akan terus dilanjutkan. Pasalnya, dalam 2 tahun terakhir terjadi peningkatan derajat kesehatan masyarakat, terutama daerah pinggiran Indonesia.

"Pendaftaran program NS 2017 masih terbuka hingga 19 Januari. Infonya bisa dilihat di website Kemkes," kata Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Kemkes, Usman Sumantri, di Jakarta, Rabu (11/1).

Pada kesempatan itu ia didampingi Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kemkes, Siswanto dan Staf Khusus Menkes bidang Peningkatan Kemitraan dan SDG's, Kemkes, Diah S Saminarsih.

Menurut Usman, keberhasilan NS karena program tersebut menggunakan pendekatan yang berbeda dengan program dokter pegawai tidak tetap (PTT). Program NS lebih komprehensif karena dalam 1 tim terdiri dari 5-9 orang tenaga kesehatan dari berbagai latar belakang.

"Ada tenaga dokternya, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga kesehatan masyarakat, lingkungan, laboratorium medik, gizi hingga tenaga kefarmasian. Mereka bersatu padu melakukan penguatan pada layanan kesehatan primer," tutur Usman.

Disebutkan, masalah kesehatan yang terjadi di daerah pinggiran, umumnya berhubungan dengan kekurangan gizi, penyakit menular, pola hidup tak sehat serta minimnya pelayanan medis di tingkat primer.

"Intervensi yang dilakukan tim NS adalah melakukan penguatan tenaga kesehatan di Puskesmas setempat sehingga bisa penanganan kesehatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat," ujarnya.

Upaya itu, antara lain berupa pembinaan pengolahan limbah medis, manajemen pelayanan kesehatan yang lebih terstruktur dan pelatihan medis pada sebagian besar kader Posyandu di wilayah tersebut.

Usman mengemukakan, jumlah tenaga kesehatan yang terlibat dalam program NS sepanjang 2015-2016 ada 1.421 orang yang tersebar di 251 Puskesmas seluruh Indonesia. Masing-masing tim bertugas di Puskesmas selama 2 tahun guba melakukan intervensi terhadap pelayanan kesehatan primer di daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan terluar (DTPK).

"Hasil capaian tim NS menunjukkan terjadinya peningkatan pada kesehatan masyarakat di masing-masing daerah. Misalkan, kasus diare di Puskesmas Empanang, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat yang turun hingga 80 persen.

"Sementara di Puskesmas Morotai, Maluku Utara, hasil laporan menunjukkan terjadinya peningkatan kepatuhan meminum obat pada penderita kusta hingga 89,47 persen," kata Usman menandaskan. (TW)

IDI Desak Pemerintah Revisi UU Pendidikan Kedokteran

13janKetua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Prof Marsis Oetama mendesak pemerintah untuk segera merevisi Undang-Undang (UU) Pendidikan Kedokteran. Karena UU tersebut kurang mengakomodir percepatan produksi dokter spesialis dan subspesialis.

"Saat ini kita butuh banyak sekali dokter spesialis dan subspesialis. Jika tidak peluang itu akan diisi dokter-dokter asing," kata Prof Marsis dalam dialog awal tahun seputar pendidikan kedokteran Indonesia, di Jakarta, Rabu (11/1).

Pembicara lain adalag Wakil Ketua Badan Legislasi DPR-RI, Arif Wibowo, Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Prof Bambang Supriyatno dan Ketua IDI bidang Pendidikan Kedokteran Masa Kini dan Mendatang.

Prof Marsis menyebut jumlah dokter spesialis di Indonesia saat ini ada sebanyak 26.896 orang. Maka rasio dokter spesialis dengan jumlah penduduk adalah 1 dokter berbanding 10 ribu orang.

"Sebenarnya rasio ini masih terbilang ideal. Namun, masalahnya sekarang adalah kebanyakan dokter spesalis itu praktik di kota-kota besar. Untuk itu, hal yang harus dibenahi pemerintah adalah soal distribusi dokternya," ucap dokter spesialis kandungan tersebut.

Prof Marsis menyayangkan kekurangan dokter spesialis di daerah justru ditanggapi pemerintah dengan membuat program studi dokter layanan primer (DLP). Mengingat kompetensi yang ditawarkan pada prodi DLP tak jauh berbeda dengan dokter umum.

"Sekarang ini sudah eranya dokter subspesialis, tak lagi spesialis. Kompetensinya lebih detil. Karena itu disayangkan anggaran yang mencapai Rp10 triliun itu justru untuk penyelenggaraan DLP yang kompetensinya mirip dengan dokter umum," ujar Prof Marsis.

Hal senada dikemukakan Ketua IDI bidang Pendidikan kedokteran Masa kini dan Mendatang, Muhamad Akbar. Menurutnya,
DLP harus berbeda dengan dokter keluarga dan dokter umum yang ada saat ini.

"Jika DLP mengambil 80 persen kompetensi Dokter Keluarga maka hal itu adalah pelanggaran terhadap amanat putusan MK," ucap Akbar menegaskan.

Sementara itu, Arif Wibowo mengungkapkan adanya tumpang tindih regulasi pendidikan kedokteran antara Undang- Undang (UU) No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran dengan 3 UU lainnya.

"Tiga UU lainnya itu adalah UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi," ucap anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan itu.

Menurutnya, tumpang tindih itu terkait dengan pengaturan jenis profesi kedokteran, kewenangan profesi, organisasi profesi dan standar pendidikan kedokteran.

Wakil Ketua Badan Legislasi DPR-RI, Arif Wibowo memaparkan politik legislasi terkait dengan usulan perubahan UU No 20 tahun 2013. Karena perubahan UU tak semata proses prosedural penyusunan suatu rancangan Undang-Undang, melainkan suatu proses pertarungan ideologi dan politik, bahkan kepentingan fragmatis.

"Apalagi UU No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran adalah salah satu peraturan yang bersifat fragmentatif, sektoral dan pragmatis. Selain menimbulkan potensi konflik hukum maupun konflik sosial dunia kedokteran.

Kendati demikian, Arif menambahkan, perubahan UU No 20 Tahun 2013 itu telah masuk dalam daftar program legilasi nasional (proglenas) 2015-2019.

Proglenas 2017ada 50 RUU disertai 12 RUU daftar antrian termasuk salah satunya RUU Perubahan Atas UU No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.

Untuk itu, Arif meminta pada IDI agar menyiapkan bahan masukan yang dapat difahami para pengambil keputusan. Selain memetakan dan mengkomunikasikan bahan masukan tersebut kepada fraksi-fraksi di DPR dan pemerintah.

"Dan yang tak kalah penting adalah IDI perlu bekerja sama dengan para pihak yang memiliki kekuatan strategis agar revisi UU No 20 tahu 2013 bisa tercapai," kata Arif menandaskan. (tri wahyuni)

Menkes Sebut Pemerataan Kesehatan Jadi Tantangan Pemerintah

Menteri Kesehatan (Menkes), Nila F Moeloek, mengatakan, pemerataan kesehatan di seluruh Indonesia merupakan tantangan pemerintah. Program Nusantara Sehat (NS) diharapkan dapat menjadi salah satu upaya mengurangi kesenjangan kesehatan di daerah.

"Dahulu ada Inpres yang mewajibkan tenaga kesehatan ke daerah. Namun, belakangan Inpres tersebut sudah tidak ada. Maka, betapa sulitnya kita melakukan pemerataan tapi bagaimanapun pemerataan terus kita upayakan," kata Nila dalam diskusi "Membangun Kesehatan Indonesia dari Pinggiran" di Jakarta, Kamis (12/1).

Menkes mengatakan, sejak 2015 Kemkes mulai menyebar tenaga kesehatan yang bersedia mengabdi di daerah tepi lewat program NS. Indonesia, kata dia, memiliki permasalahan maldistribusi tenaga kesehatan sehingga dibutuhkan terobosan dalam bidang penguatan layanan kesehatan salah satunya dengan mengirimkan tenaga kesehatan melalui program Nusantara Sehat ke daerah perbatasan, tertinggal dan kepulauan (DPTK) dan daerah bermasalah kesehatan (DBK).

Beberapa inovasi, lanjut dia, dilakukan lewat NS dengan melibatkan kaum muda untuk pembangunan secara umum, khususnya dalam pembangunan kesehatan. Nusantara Sehat diharapkan dapat mengisi kekurangan-kekurangan terkait kesehatan di DPTK dan DBK.

Menkes menilai, jiwa muda para anggota tim Nusantara Sehat tidak hanya memberikan alternatif solusi masalah kesehatan tapi juga membawa inovasi pengembangan masyarakat di wilayah tempat mereka berkarya.

http://www.beritasatu.com/

 

Pengendalian Tembakau Perlu Keterlibatan Semua Pihak

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil tembakau di dunia, sekaligus pasar produk rokok yang terbesar. Banyaknya kasus kematian akibat rokok mendorong berbagai pihak mendesak pemerintah untuk melakukan pengendalian tembakau, melalui aksesi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendorong pemerintah Indonesia segera meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control), sebagai instrumen hukum yang komprehensif untuk mengendalikan tembakau. Dina Kania, selaku National Profesional Officer for Tobacco Free Initiative, WHO, mengatakan, aksesi FCTC diperlukan untuk memperkuat aturan yang telah ada mengenai pengendalian tembakau di Indonesia.

Menurut Dina Kania, FCTC memungkinkan perlindungan bagi kesehatan masyarakat, melalui pengendalian permintaan, harga dan cukai, kemasan dan pelabelan, iklan atau promosi dan sponsor rokok, serta perlindungan dari asap. Selain pengendalian permintaan, perlu juga dilakukan pengendalian penawaran, termasuk upaya melarang penjualan rokok pada anak dibawah umur.

“Beberapa komponen memang sudah ada tapi masih ada juga hal-hal yang belum terakomodir dalam regulasi domestik seperti larangan iklan promosi dan sponsor rokok. Dalam Undang-undang Penyiaran kita kan iklan rokok masih dibolehkan, dalam Undang-undang Pers juga masih dibolehkan. Kemudian cukai rokok kita juga, kita punya batas maksimal 57 persen di Undang-undang Cukai, sementara memang WHO mendorong agar efektif pengendalian tembakaunya, dia minimal kan 2 per 3 dari harga (rokok),” jelas Dina.

Masalah kesehatan dan kematian akibat rokok, menjadi perhatian serius aktivis anti rokok di Indonesia. Hal ini dipengaruhi tingginya angka kematian akibat rokok, yaitu 6 juta orang di dunia setiap tahunnya, yang pada tahun 2030 diperkirakan mencapai 8 juta orang atau 1 kematian setiap 6 detik. Sementara di Indonesia, terdapat 600.000 kematian prematur setiap tahun akibat terpapar asap rokok, 430.000 menimpa orang dewasa, dimana 64 persen adalah perempuan dan 28 persen adalah anak-anak.

Ketua Badan Khusus Pengendalian Tembakau, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Widyastuti Soerojo mengatakan, pengendalian tembakau khususnya rokok perlu disikapi serius oleh pemerintah, agar tidak semakin banyak anak usia remaja dan yang lebih muda lagi yang menjadi korban dari rokok.

“Semakin muda dia merokok semakin panjang dia akan merokok, dan semakin panjang waktunya bagi dia itu komulasi zat-zatnya lebih banyak daripada dia mulai merokok misalnya umur 30, dia umur lebih muda maka dia lebih panjang, lebih panjang lebih menguntungkan buat industri rokok,” kata Widyastuti.

Produksi tembakau indonesia pada tahun 2015 menurut data Kementerian Pertanian sebanyak 363.000 ton dengan produk rokok yang dihasilkan sebanyak 360 milyar batang per tahun 2014. Pengendalian tembakau menurut Widyastuti Soerojo, dipastikan tidak akan mempengaruhi petani tembakau, karena di negara produsen tembakau yang telah meratifikasi FCTC produksi tembakaunya malah meningkat.

Widyastuti mendorong pemerintah dan semua elemen masyarakat melakukan gerakan pengendalian tembakau, melalui inovasi pemanfaatan tembakau selain untuk produk rokok. Pengalihan pemanfaatan produk tembakau dapat tetap mendatangkan pendapatan bagi petani tembakau, karena tembakau dapat dimanfaatkan untuk produk selain rokok yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

“Bisa saja untuk insectisida, pestisida organik, tapi itu sudah agak jarang karena dianggap memberikan polusi yang cukup besar untuk alam, tidak terlalu dianjurkan ke sana, industri rumah tangga oke tapi tidak untuk massal. Yang kedua untuk insulin, beberapa mengatakan untuk kosmetik, tapi yang pernah dicoba, diuji coba adalah untuk insulin. Kalau untuk membuat insulin tidak semudah yang kita perkirakan karena dia membutuhkan investasi biaya tinggi,” paparnya.

Warga Surabaya, Zamroni Fauzan, mendukung upaya pengendalian tembakau, khususnya untuk mencegah anak-anak dan remaja mengkonsumsi rokok. Menurutnya, kepedulian masyarakat pada isu kesehatan semakin rendah, karena banyak membiarkan anak usia sekolah membeli dan mengkonsumsi rokok secara bebas.

“Kita itu abai, kita itu tidak peduli dengan lingkungan sekitar, kita memposisikan diri kita sebagai orang tua misalnya, kita kurang kontrol dengan putra-putri kita atau dengan anak-anak kita sehingga ketika mereka berada di luar mereka melakukan aktivitas merokok bersama teman-temannya. Lalu yang kedua adalah masyarakat, masyarakat ini bahkan mungkin lebih tidak peduli lagi, kalau dulu melihat anak kecil itu saja merokok ditegur, meski pun itu bukan orang tuanya, nah kalau sekarang ini seakan-akan menjadi pembiaran," kata Zamroni.

http://www.voaindonesia.com/

 

BNN Tak Kuasa Melarang, Tembakau Gorila Marak Dijual Online

Masyarakat bisa memperoleh tembakau gorila melalui e-commerce atau jasa layanan jual beli online. Kepala Bagian Humas Badan Narkotika Nasional (BNN) Komisaris Besar Slamet Pribadi mengatakan tembakau gorila dijual dengan harga Rp 300.000,00 per 100 gram di salah satu lapak online.

"Penjualannya itu secara online, jadi kami susah untuk mendeteksi peredarannya di masyarakat", kata Slamet Pribadi saat dihubungi oleh CNNIndonesia.com, Selasa (3/1).

Slamet menyebutkan, BNN saat ini tidak memiliki kewenangan untuk bisa melakukan pencegahan terhadap peredaran narkotik sintetis tersebut. Hal ini karena jenis tembakau tersebut belum diatur ke dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Hingga saat ini, zat yang terkandung dalam tembakau gorila belum masuk ke dalam daftar lampiran UU Narkotik yang diperjelas dalam peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes).

Menurut Slamet, tembakau gorila sejauh ini sudah masuk dalam tahap finalisasi draft di Kementerian Kesehatan untuk masuk ke dalam narkotika golongan I.

"Makanya saat ini kami sedang mengupayakan untuk memasukkan 'tembakau gorila' ini ke dalam UU Narkotika," ujar Slamet.

Bahan baku pembuatan tembakau gorila berupa bubuk senyawa kimia yang dicampur dengan air kemudian disemprotkan ke daun tembakau. Bubuk tersebut mengandung zat kimia bernama AB-CHIMINACA. Zat tersebut merupakan salah satu jenis synthetic cannabinoid (SC).

SC akan memberikan efek halusinasi yang sama seperti pada ganja. Selain itu, penggunanaan tembakau gorila juga akan menimbulkan efek samping seperti psikosis, agitasi, agresi, cemas, ide bunuh diri, gejala putus zat, bahkan sindrom ketergantungan.

BNN menemukan efek lain penggunaan zat tersebut, seperti stroke iskmeik, hipertensi, takikardi, perubahan segmen ST, nyeri dada, gagal ginjal akut, bahkan infark miokardium.

Tembakau gorila sebenarnya sudah dikenal publik sejak pertengahan 2015 lalu. Namun, penggunaannya masih sangat terbatas di kalangan tertentu.

Belakangan tembakau gorila menjadi populer setelah kasus kapten pilot Citilink, Tekad Purna, diduga dalam kondisi mabuk saat hendak menerbangkan pesawat Citilink QG800 rute penerbangan Surabaya-Jakarta, 28 Desember 2016.

Dalam sebuah rekaman suara yang beredar, sang pilot juga terdengar berbicara melantur. Sebagian netizen menduga Tekad menggunakan tembakau gorila.

Meski demikian, saat dites kesehatan di Klinik Graha Angkasa Pura I, Tekad dinyatakan tidak dalam kondisi mabuk. (rdk/yul)

http://www.cnnindonesia.com/

 

Mulai Tahun Depan, Program Imunisasi Dasar Cakup 11 Jenis Vaksin

30desMasyarakat kembali diingatkan untuk menjaga kebersihan lingkungan, mengingat sejumlah penyakit menular yang selama ini tergolong eliminasi, bahkan eradikasi di bumi Indonesia akan muncul kembali.

"Tahun 2017 diperkirakan akan penuh kejutan. Penyakit menular yang tergolong eliminasi, bahkan eradikasi di Indonesia, kemungkinan akan muncul kembali. Misalkan polio," kata Menteri Kesehatan (Menkes) Nila FA Moeloek dalam acara refleksi akhir tahun di Jakarta, Kamis (29/12).

Pada kesempatan Nila Moeloek didampingi seluruh jajaran eselon 1 di lingkungan Kementerian Kesehatan.

Untuk itu, lanjut Menkes, pemerintah akan menambah 3 jenis imunisasi baru dalam program imunisasi dasar guna melindungi kesehatan anak-anak Indonesia. Dengan demikian, jumlah vaksin yang masuk dalam program imunisasi dasar menjadi 11 jenis.

"Program ini akan dilakukan secara bertahap, mulai tahun depan. Nantinya pada 2019, anak Indonesia harus mendapat 11 vaksin sebagai bagian dari program imunisasi dasar," tutur Nila Moeloek.

Saat ini pemerintah telah menyediakan 8 vaksin untuk Imunisasi Dasar, yaitu vaksin BCG, Polio, Hepatitis B, DPT, Hib, dan Campak. Vaksin itu ada yang diberikan secara cuma-cuma pusat pelayanan yang disediakan pemerintah.

"Kalaupun harus membayar di layanan swasta, untuk vaksin untuk imunisasi dasar ini tidak mahal. Karena penyediaan vaksin itu mendapat subsidi dari pemerintah," ucap Menkes

Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemkes, Mohammad Subuh menyebutkan 3 vaksin baru yang akan diterapkan di sejumlah wilayah, yaitu kombinasi vaksin MMR (Measles, Mumps dan Rubella). Vaksin tersebut untuk perlindungan terhadap campak, gondongan dan rubella.

Selanjutnya adalah vaksin yang disebut Pneumokokus (PVC). Vaksin tersebut berguna untuk melindungi anak dari bakteri pnemukokus penyebab dari meningitis, pneumonia dan infeksi telinga.

"Ketiga adalah vaksin yang melindungi para perempuan dari virus Human Papiloma (HPV), penyebab kanker serviks. Vaksin tersebut untuk anak perempuan usia sekolah dasar," tutur Subuh.

Pemberian vaksin HPV, menurut Subuh menjadi penting karena angka penderita kanker serviks di Indonesia terus meningkat. Padahal, kanker serviks atau leher rahim bisa dicegah dengan mudah dengan vaksin.

"Tiga vaksin baru ini masih terbilang mahal. Karena itu, akomodatif terhadap program pemerintah ini. Agar dana yang sudah dikeluarkan dapat melindungi kesehatan anak-anak Indonesia," ucap Subuh menandaskan.

Jika merujuk pada standar program imunisasi dasar di Eropa dan Amerika, lanjut Subuh, vaksin yang harus diberikan pada anak ada 14 jenis. Tambahan 3 vaksin baru itu kemungkinan akan diterapkan di Indonesia pada 2025.

"Prioritas imunisasi dasar kita tahun depan adalah 11 vaksin. Sejumlah daerah akan dipilih untuk penerapan program. Ini bukan uji coba, karena penggunaan tiga vaksin baru itu telah diterapkan banyak negara," kata Subuh. (TW)