Program DLP Boleh Dibuka Di PTN BH Tanpa Izin Menristekdikti

1desKementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi tetap akan menerapkan program Dokter Layanan Primer (DLP), meski hal itu masih menjadi kontroversi di masyarakat. Karena program itu merupakan amanat Undang-Undang (UU).

"Program DLP sudah dibuka tahun ini di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Padjajaran (Unpad)," kata Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI di Gedung DPR Senayan Jakarta, Selasa (29/11) malam.

Ditambahkan, FK Unpad diperbolehkan membuka program DLP karena statusnya sebagai perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN BH). Karena statusnya tersebut, program DLP bisa dibuka tanpa perlu menunggu persetujuan Menristekdikti.

"Untuk 6 FK di PTN BH lainnya, keputusan untuk membuka program DLP diserahkan sepenuhnya pada masing-masing kampus," ucap Nasir menegaskan.

Untuk 10 FK di perguruan tinggi negeri non badan hukum, dikatakan Menristekdikti, hal itu masih menunggu rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang Program DLP yang saat ini masih dibuat draft-nya.

Program DLP beberapa waktu lalu mendapat kecaman dari organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Mengingat istilah DLP selama ini tidak pernah dikenal dalam dunia kedokteran, baik di dalam maupun luar negeri.

Ketidaksetujuan serupa disampaikan anggota Komisi X, Sri Rahayu Ningsih. Ia meminta pemerintah menangguhkan program DLP, sambil menunggu kajian ilmiah atas program tersebut.

"Kami khawatir dokter umum diluar program DLP akan mendapat diskriminasi. Kebijakan tentang program DLP sebaiknya ditunda dulu," ujar perempuan yang akrab dipanggil Yayuk tersebut.

Ia menilai jika program DLP dilaksanakan, maka hal itu akan membebani anggaran belanja dan pendapatan negara (APBN). Karena untuk mencetak 300 DLP saja dibutuhkan anggaran sekitar Rp10triliun.

"Lebih baik anggaran yang ada untuk membiayai mahasiswa kedokteran yang ada melalui program pendidikan berkelanjutan yang tidak memakan waktu lama, seperti halnya program DLP. Ada 900 ribu dokter yang bisa diefektifkan untuk kegiatan preventif," ujarnya.

Hal senada dikemukakan Wiryanti Sukamdani. Ia menilai program DLP terlalu dipaksakan. Untuk meningkatkan kompetensi, seharusnya dokter diberi banyak praktik di layanan kesehatan, bukannya belajar teori lagi di kampus.

"Masalah kita sekarang ini adalah kekurangan dokter. Bukan membuka program studi baru," tutur Wiryanti. (TW)

LIPI Kenalkan Pengobatan Malaria Berbasis Nano

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Pusat Penelitian Kimia mengembangkan bahan baku obat malaria berbasis Artemisin Based Combination Therapy (ACT) dengan teknologi nano. Pengobatan ini sebelumnya sudah banyak digunakan, namun belum maksimal karena beberapa lokasi bukan daerah endemik malaria sehingga banyak pasien tidak segera terdiagnosis pasien malaria.

"Kasus malaria yang datang dari daerah endemis justru sering terabaikan, sehingga pasien tidak segera terdiagnosis sebagai pasien malaria," kata Peneliti Pusat Penelitian Kimia LIPI, Yenni Meliana, Selasa (29/11).

Yenni mengatakan obat malaria berbasis ACT lebih murah dan lebih efektif diserap tubuh penderita. Caranya dengan memperkecil ukuran kristal artemisinin ke dalam cakupan ukuran nanocrystal sehingga mudah larut dalam air.

Obat malaria selama ini dikonsumsi dengan cara dimakan, namun sesungguhnya lebih efektif jika dilarutkan dalam air. Peningkatan kelarutan artemisinin dapat dilakukan dengan mendispersikan bahan obat itu dengan bahan pendispersi. Ini bertujuan untuk meningkatkan kelarutannya di dalam air atau nanodispersi.

Hasil penelitian LIPI ini telah mendapat penghargaan di bidang ilmu sains, teknologi dan matematika dari L'Oréal-UNESCO For Women In Science National Fellowship Awards for Woman 2016. Malaria masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di tingkat global, termasuk di Indonesia.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan ada sekitar 214 juta kasus baru malaria dengan kematian sekitar 438 ribu orang di seluruh dunia. Kementerian Kesehatan mendata erdapat 209.413 kasus malaria di Indonesia pada 2015.

Beberapa wilayah di Indonesia bahkan telah dikategorikan sebagai daerah zona merah penderita malaria seperti Papua, Papua Barat Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, dan Maluku Utara. Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5/MENKES/PMK/I/2013 tanggal 7 Januari 2013 tentang Pedoman Tatalaksana Malaria menggunakan Artemisin Based Combination Therapy (ACT).

http://www.republika.co.id/

 

Kesehatan Modal Kemajuan Bangsa

Kesehatan menjadi salah faktor yang paling penting dalam membangun peradaban bangsa dan memajukan ekonomi negara. Tanpa kesehatan yang memenuhi standar, manusia tidak akan bisa menjadi sumber daya yang berkualitas dan produktif.

Wakil Gubenur Jawa Barat Deddy Mizwar mengatakan, penting bagi Indonesia untuk memperhatikan dan mengutamakan kesehatan warganya menjelang bonus demografi yang secara data BPS akan dimulai sejak tahun 2020-2035 nanti.

Deddy menjelaskan, tantangan kesehatan pada saat ini bukanlah penyakit-penyakit menular seperti zaman dahulu. Melainkan penyakit tidak menular yang banyak diidap masyarakat seperti kolesterol, jantung, dan sebagainya.

"Maka dari itu penting bagi warga untuk menjaga kesehatannya," kata Deddy dalam perayaan Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-52 Tingkat Provinsi Jabar di jalan parkir Gedung Sate, Bandung, Minggu (27/11/2016).

Deddy melanjutkan, sebagai wilayah yang masuk dalam sembilan provinsi prioritas kesehatan, Jawa Barat memiliki tugas dan kewajiban untuk memberikan berbagai pelayanan kesehatan dasar kepada warganya yaitu program Keluarga Berencana (KB), mengikutsertakan ibu mendapatkan pelayanan persalinan di fasilitas kesehatan, imunisasi dasar lengkap kepada bayi, dan bayi mendapatkan ASI eksklusif.

Selain itu, balita juga berhak mendapatkan pemantauan pertumbuhan, pengertian standar terhadap tuberculosis paru, pengertian hipertensi mendapatkan pengobatan secara teratur, penderita gangguan jiwa mendapatkan pengobatan dan tidak ditelantarkan, tidak ada anggota keluarga yang merokok, keluarga mendapatkan jaminan kesehatan nasional, dan sarana Ari bersih bagi keluarga.

Berdasarkan ketetapan itu, Deddy mengajak kepada seluruh masyarakat untuk membiasakan diri berperilaku hidup sehat sehingga menjadi gaya hidup baik di lingkungan masyarakat, anggota keluarga, lingkungan kerja dan sekolah, komunitas dan lain-lainya.

Jika lingkungan kesehatan sudah terbangun dengan baik maka diyakini derajat hidup sehat masyarakat akan semakin meningkat dari sebelumnya. Ini akan menjadi modal yang penting bagi Indonesia dalam menghadapi tantangan bonus demografi.

"Apabila ini dijalankan, dengan bonus demografi yang kita miliki, maka diperkirakan pada tahun 2030 Indonesia akan masuk ke dalam jajaran lima negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia," kata Deddy.

"Tapi syaratnya warganya harus sehat. Salah satu kunci agar menjadi negara dengan tingkat ekonomi yang besar adalah menjaga kesehatan. Mari kita terapkan hidup sehat dari sekarang," pungkas Deddy.

Ditemui di tempat yang sama, pelaksana tugas (Plt.) Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat Ahmad Hadadi mengatakan, ada banyak hal yang sederhana yang bisa dilakukan masyarakat untuk mewujudkan gaya hidup sehat.

Melalui metode yang sederhana ini maka paradigma gaya hidup sehat yang identik dengan biaya mahal akan sirna. Sehingga seluruh masyarakat bisa melakukannya setiap hari demi terhindar dari tantangan penyakit tidak menular yang menjadi penghalang saat ini.

"Salah satunya bisa dengan melakukan gerakan minimal selama tiga puluh menit. Selain itu juga bisa dengan mengonsumsi yang sehat seperti sayuran dan tidak lupa rutin mengecek kesehatan secara berkala," kata Hadadi. [jek]

http://www.inilahkoran.com/

 

 

Fasilitas Kesehatan di Indonesia Belum Ramah Disabilitas

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berjanji akan memperluas akses bagi penyandang disabilitas di fasilitas kesehatan seluruh Indonesia. Hal ini mengingat masih banyak kaum difabel yang masih tergantung pada orang lain akibat fasilitas bagi orang dengan kebutuhan khusus tersebut yang terbatas.

"Perlu bagi kami untuk meningkatkan akses pelayanan bagi sebagian besar penyandang disabilitas yang tidak mampu mengakses pelayanan kesehatan. Ke depan perlu kami tingkatkan aksesnya," kata Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes HM Subuh di kantornya Jakarta, Kamis (24/11/2016).

Dia mengatakan banyak infrastruktur di fasilitas kesehatan belum ramah penyandang disabilitas seperti tidak adanya jalur khusus bagi pengguna kursi roda atau penyandang tunanetra. Peta jalan sudah ada yaitu lewat struktur yang dibentuk pada Januari 2016 di Kemenkes yang fokus untuk disabilitas.

"Hingga 2017, target kami melakukan sosialisasi advokasi penyandang disabilitas ke seluruh komponen pemerintah dan swasta sampai kota/kabupaten. Unit masih relatif baru maka harus terus didorong," kata dia.

Sosialisasi, kata dia, juga ditujukan bagi para petugas kesehatan agar tidak ada dari mereka yang tidak dapat melayani penyandang disabilitas.

Pemerintah, lanjut Subuh, juga berusaha memastikan pelayanan kesehatan terjangkau oleh penyandang disabilitas. Beberapa cara yang ditempuh adalah dengan menghilangkan setiap hambatan masyarakat untuk menjangkau fasilitas kesehatan, melatih tenaga kesehatan agar mereka memahami masalah disabilitas termasuk hak penyandang disabilitas dan melakukan investasi pada pelayanan spesifik seperti rehabilitasi.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2010 menyebutkan lebih dari satu miliar anggota masyarakat dunia adalah penyandang disabilitas dan diperkirakan 50 persen dari mereka tidak mampu membiayai pelayanan kesehatannya sendiri.

Sementara, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi disabilitas pada penduduk Indonesia yang berusia kurang lebih atau sama dengan 15 tahun mencapai 11 persen. "Maka kami bertekad mewujudkan peningkatan akses penyandang disabilitas pada pelayanan kesehatan yang komprehensif dan bermutu serta mewujudkan ketersediaan pelayanan publik lainnya," kata dia.

http://www.harianterbit.com/

 

Demi Keberlangsungan Program JKN, BPJS Kesehatan Jalankan Skema Endowment Fund

24novBadan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menggandeng 3 manajer investasi untuk menjalankan skema endowment fund. Hal itu dilakukan untuk menjaga keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)-KIS.

"Lewat skema endowment fund diharapkan BPJS Kesehatan bisa lebih mandiri di masa depan," kata Direktur Keuangan dan Investasi BPJS Kesehatan, Kemal Imam Santoso usai penandatangan kontrak dengan 3 manajer investasi tersebut di Jakarta, Kamis (24/11).

Ketiga manajer investasi itu adalah PT Mandiri Manajemen Investasi, PT Bahana TCW Investment Management dan PT Danareksa Investment Management.

"Ketiga manajer investasi itu telah mendapat pernyataan efektif pendaftaran Reksa Dana Pendapatan Tetap Indonesia Sehat dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan fitur/skema endowment fund," ujar Kemal.

Menurut Kemal, skema endowment fund yang dijalankan BPJS Kesehatan selaras dengan peraturan OJK Nomor 1 Tahun 2016. Dengan demikian, BPJS Kesehatan wajib menempatkan investasi pada Surat Berharga Negara (SBN) paling rendah 30 persen dari seluruh jumlah investasi.

"Adapun penempatan investasi pada SBN tersebut melalui reksadana," katanya.

Dijelaskan, endowment fund atau dana abadi adalah reksadana yang diterbitkan oleh manajer investasi melalui kerja sama dengan pihak tertentu. Hasilnya bisa digunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan sosial dan bersifat non-profit.

"BPJS Kesehatan selaku badan hukum publik yang memiliki prinsip nirbala, bekerja sama dengan manajer investasi untuk menjalankan konsep endowment fund ini dalam Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK)," kata Kemal menegaskan.

Ditambahkan, endowment fund bertujuan sebagai wadah penghimpun dana jangka panjang yang diharapkan dapat memberikan dukungan finansial terhadap program-program sosial yang dijalankan investor. Para investor dapat memilih jenis partisipasi dalam skema endowment fund ini.

"BPJS Kesehatan sendiri telah menandatangani Nota Kesepahaman sebagai komitmen menjadi sponsor atau investor awal dalam endowment fund Reksa Dana Pendapatan Tetap Indonesia Sehat," ucapnya.

Sebagai informasi, hingga 18 November 2016, tercatat ada sebanyak 170.954.111 jiwa penduduk Indonesia terdaftar sebagai peserta JKN-KIS. Untuk sarana pendukung ada 20.593 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang bermitra dengan BPJS Kesehatan.

Mereka terdiri atas 9.814 Puskesmas, 4.589 Dokter Praktik Perorangan, 1.157 Dokter Praktik Gigi Perorangan, 568 Klinik Polri, 710 Klinik TNI, 3.741 Klinik Pratama, dan 14 RS tipe D Pratama.

Selain itu, BPJS Kesehatan juga telah bekerja sama dengan 5.020 Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) yang terdiri atas 1.999 Rumah Sakit (termasuk di dalamnya 135 Klinik Utama), 2.063 Apotek, serta 958 Optik. (TW)

136 Kabupaten/Kota Diminta Segera Integrasikan Jamkesda ke JKN-KIS

23novAndayani Budi LestariHingga saat ini tercatat masih ada 136 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia yang belum mengintegrasikan program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) ke program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)-KIS. Proses integrasi menjadi penting agar seluruh rakyat Indonesia terjamin kesehatannya.

"Diharapkan proses integrasi itu bisa dilakukan secepatnya. Sehingga pada 1 Januari 2019 seluruh masyarakat Indonesia bisa terjamin kesehatannya," kata Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo dalam acara Bincang JKN-KIS bertema "Menuju Rakyat Sehat dan Sejahtera Melalui Program JKN-KIS" di Jakarta, Senin (21/11).

Menurut Tjahjo Kumolo, pengintegrasian program Jamkesda ke dalam program JKN-KIS merupakan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 pasal 67. Hal itu sebagai bagian dari pelaksanaan program strategis nasional.

Sejak diluncurkan program JKN pada 1 Januari 2014 lalu tercatat baru ada 378 kabupaten/kota yang mengintegrasikan program Jamkesdanya ke JKN-KIS. Padahal hampir seluruh kampanye politik kepala daerah menawarkan program jaminan kesehatan.

"Hampir 91 persen janji kampanye politik calon kepala daerah, bupati, dan wali kota salah satunya memberi pengobatan gratis pada warganya. Jika sebelumnya dana kesehatan dikelola sendiri, sekarang saatnya diserahkan ke program JKN-KIS," tutur Tjahjo.

Tjahjo menambahkan, dirinya sudah memberikan instruksi kepada kepala daerah untuk mengalokasikan 10 persen dari APBD untuk menunjang suksesnya JKN-KIS. Selain, upaya peningkatan akses kesehatan di berbagai daerah. Sehingga masyarakat bisa mendapat layanan kesehatan yang memadai.

Sementara itu, Direktur Kepesertaan dan Pemasaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Andayani Budi Lestari pada kesempatan yang sama menyatakan dukungan pemda sangat menentukan optimalisasi program JKN-KIS.

"Tiga peran penting pemda dalam program JKN-KIS adalah memperluas cakupan kepesertaan, meningkatkan kualitas pelayanan dan menguatkan tingkat kepatuhan," ujar Andayani Budi.

Selain itu, ditambahkan Andayani, pelaksanaan sistem kendali mutu dan biaya serta sistem pembinaan dan pengawasan merupakan sejumlah isu yang tidak kalah pentingnya untuk ditangani Pemda.

Jumlah peserta integrasi Jamkesda sampai dengan November 2016 adalah 15.151.350 jiwa. Dari 34 provinsi sudah 32 provinsi telah mengintegrasikan sebagian atau seluruh Jamkesda Kabupaten/Kota di wilayahnya.

"Terdapat 15 provinsi yang berkontribusi melalui sharing iuran/peserta dalam pembiayaan integrasi Jamkesda dengan pola yang bervariasi, misalkan 40 persen iuran dibayar oleh pemerintah provinsi atau 60 persen oleh Pemkab/kota," katanya.

Disebutkan 15 provinsi itu adalah Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Bangka Belitung, Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Tengah, NTB, Sulawesi Barat, Gorontalo, Sulawesi Selatan.

"Ada 4 provinsi yang sudah masuk kategori Universal Health Coverage (UHC) atau kepesertaan JKN-KIS dari penduduknya diatas 95 persen yaitu DKI Jakarta, Aceh, Papua Barat dan Gorontalo," ucapnya.

"Peran Pemda yang tak kalah penting adalah mengadvokasi masyarakat dan badan usaha untuk menjadi peserta JKN-KIS di Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP)," kata Andayani menandaskan. (TW)

Alokasi APBD untuk Kesehatan di RI Capai Rp 126,89 Triliun di 2016

Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di setiap daerah di Indonesia untuk bidang kesehatan mencapai Rp 126,89 triliun. Alokasi dana tersebut sekitar 15,1% dari total belanja APBD secara nasional sebesar Rp 1.073 triliun.

Hal ini disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dalam acara Bincang JKN-KIS bertema "Menuju Rakyat Sehat dan Sejahtera Melalui Program JKN-KIS" di Hotel Grand Mercure Kemayoran, Jakarta, Senin (21/11/2016).

"Total belanja APBD nasional Rp 1.073 triliun untuk tahun anggaran sekarang. Kesehatan mencapai 15,1% atau Rp 126,89 triliun. Terbesar di Jawa Barat karena sangat padat," kata Tjahjo.

Selanjutnya, total belanja Pemerintah Kabupaten di seluruh Indonesia untuk belanja kesehatan mencapai Rp 79,1 triliun dari total anggaran Rp 629,3 triliun. Sedangkan untuk Pemerintah Kota dalam hal belanja kesehatan mencapai Rp 19,2 triliun.

"Kedua total belanja untuk Pemerintah Kabupaten di seluruh Indonesia sudah mencapai Rp 629,3 triliun dan kesehatan saja 16,84% Rp 79,1 triliun termasuk juga kota seluruh Indonesia 17,21% rata-rata Rp 19,2 triliun khusus untuk belanja di urusan kesehatan," kata Tjahjo.

Dana yang dialokasikan untuk belanja kesehatan tersebut digunakan untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan. Selain itu, kemudahan akses fasilitas kesehatan oleh masyarakat juga menjadi tantangan yang terus dikejar.

"Memperbaiki kualitas layanan kesehatan masyarakat yang mudah dijangkau, nyaman, dan mudah diterima," tutup Tjahjo. (dna/dna)

https://finance.detik.com/

 

Menkes Minta Rumah Sakit Kurangi Ketergantungan Alkes Impor

18novMenteri Kesehatan (Menkes) Nila FA Moeloek meminta rumah sakit untuk mengurangi ketergantunhan pada alat kesehatan (alkes) impor. Mengingat saat ini, Indonesia memiliki 211 industri alat kesehatan dalam negeri yang mampu menghasilkan berbagai jenis produk.

"Minat rumah sakit menggunakan alat kesehatan produk lokal masih rendah, baru sekitar 10 persen. Sisanya masih menggunakan produk impor," kata Nila FA Moeloek saat membuka "Pameran Pembangunan Kesehatan dan Produksi Alat Kesehatan Dalam Negeri" di Kemayoran, Jakarta, Jumat (18/11).

Menkes menambahkan, produksi alkes dalam negeri sebenarnya telah mampu memenuhi 46 persen kebutuhan rumah sakit tipe A. Namun sayang minat penggunaannya masih rendah.

"Saya berharap ketergantungan kita pada produk impor segera diganyi dengan produk dalam negeri," ucapnya menegaskan.

Begitupun pada penggunaan obat dan produk farmasi. Salah satu produk lokal seperti garam farmasi buatan Kimia Farma diharapkan mampu menurunkan ketergantungan impor produk tersebut.

"Kalau produksi kan menggunakan rupiah, sehingga kita tak tergantung nilai tukar dolar yang turun naik," kata Nila.

Guna mendorong kebutuhan industri farmasi dan alkes dalam negeri, Kemkes menggelar Pameran Pembangunan Kesehatan dan Produksi Alat Kesehatan Dalam Negeri pada 18-20 November 2016 di JI Expo Kemayoran.

"Pameran tersebut sekaligus menunjukkan kemampuan Indonesia dalam memproduksi alat kesehatan di dalam negeri," tutur Menkes.

Ia berharap pameran semacam ini dapat dilaksanakan tahunan dan diperluas cakupannya agar bisa dimanfaatkan berbagai pihak, terutama untuk tujuan kemandirian farmasi dan alat kesehatan. (TW)