BPOM Musnahkan Barang Ilegal Senilai Rp 30 Miliar

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memusnahkan barang sitaan produk ilegal senilai Rp30 miliar dari Komplek Pergudangan Surya Balaraja, Tangerang, Banten, pada akhir pekan lalu.

"Produk tersebut adalah obat keras yang diedarkan ilegal. Dikonsumsi dan dipergunakan di luar peruntukannya," kata Kepala BPOM, Penny Kusumastuti Lukito dalam keterangan persnya, di Jakarta, Senin (10/10).

Dijelaskan, pemusnahan produk ilegal oleh BPOM itu antara lain berupa 42 juta tablet produk jadi obat, obat tradisional dan produk rumah obat, dan 76 tong bahan baku obat serta bahan kemas obat.

"Sebanyak 60 truk barang bukti yang dimusnahkan tersebut memiliki nilai keekonomian yang besar, yakni sekitar Rp 30 miliar," ujar Penny.

Kegiatan pemusnahan tersebut merupakan tindak lanjut BPOM bekerja sama dengan sejumlah pihak. Kasus produksi dan penyimpanan produk ilegal di Komplek Pergudangan Surya Balaraja terungkap sejak 2 September 2016.

"Barang bukti berupa mesin produksi obat ilegal dibawa dan disimpan di Kantor BPOM, Jakarta Pusat," tutur Kepala BPOM menegaskan.

Dikemukakan, temuan obat ilegal di Balaraja didominasi oleh golongan Obat-Obat Tertentu (OOT) antara lain Trihexyphenydyl, Tramadol, Karisoprodol dan Dekstrometorfan yang sering disalahgunakan karena dapat menimbulkan efek halusinasi, rileks dan ketergantungan seperti efek narkoba.

Selain itu, petugas juga menemukan obat tradisional tanpa izin edar atau mencantumkan nomor izin edar fiktif dan telah masuk dalam daftar peringatan publik BPOM. Sebab, obat tradisional atau jamu tersebut mengandung bahan kimia obat jenis sildenafil sitrat yang disalahgunakan sebagai penambah stamina pria/obat kuat.

"Peredaran produk ilegal itu sangat membahayakan kesehatan masyarakat. Selain juga kejahatan kemanusiaan yang dapat meracuni generasi muda bangsa Indonesia," ucapnya.

Hingga saat ini, kata Penny, kasus temuan produk ilegal di Balaraja akan diproses secara pro-justitia dan sedang dalam proses pemanggilan saksi serta pengumpulan bukti oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) BPOM bekerja sama dengan Kepolisian RI.

"Dari hasil pemeriksaan telah ditetapkan satu orang tersangka dengan inisial IW alias K. Petugas PPNS Badan POM akan terus melakukan pengembangan guna menemukan pihak lain yang diduga terlibat dalam kejahatan ini," kata Penny menandaskan. (TW)

 

 

Menteri Kesehatan: Tingkat Kebutaan Nasional Tinggi

Menteri Kesehatan Nila Djuwita F. Moeloek menyebutkan tingkat kebutaan di Indonesia cenderung meningkat. Peningkatan itu terjadi sejak 1996 hingga 2015. Pada 1996, tingkat kebutaan tercatat 1,5 persen. Namun, pada 2015, tingkat kebutaan rata-rata 2,4 persen. Bahkan, di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat, angkanya mencapai 4,5 persen.

Menurut Nila, faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat kebutaan mayoritas adalah katarak. Selain itu, faktor geografis Indonesia sebagai negara tropis. "Ultraviolet kita tinggi. Lapisan ozon yang bolong membuat ultraviolet mudah masuk ke bumi," kata dia di kantornya, Jumat, 7 Oktober 2016.

Nila menambahkan, faktor konsumsi obat juga berpengaruh pada potensi seseorang menderita gangguan mata. Ia mendorong masyarakat mengkonsumsi obat sesuai dengan indikasi dan anjuran dokter.

Bukan hanya itu, faktor bentuk rongga mata juga berpotensi mengganggu penglihatan. Rongga mata yang sempit membuat mata cenderung tumbuh memanjang sehingga menyebabkan mata minus. "Itu kalau mata tambah panjang diameternya tambah. Kalau diameternya kecil justru plus, bukan minus," tuturnya.

Faktor teknologi pun mempengaruhi kesehatan mata. Menurut Nila, jarak mata harus ideal dan penerangan harus cukup saat menggunakan gawai. Setelah menggunakan gawai, Menteri mengimbau masyarakat melihat ke area yang lapang. "Pokoknya lihat jauh, buka jendela."

https://nasional.tempo.co/

 

 

Indonesia Masuk Daftar CDC Terkait Kasus Virus Zika

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention/CDC) Amerika Serikat, memperingatkan wanita hamil untuk tidak mengunjungi 11 negara Asia Tenggara tempat penyebaran virus Zika.

Sebelas negara Asia Tenggara tersebut yakni Brunei, Burma (Myanmar), Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Maldives, Filipina, Thailand, Timor Leste, Vietnam. Thailand dimasukkan setelah pejabat kesehatan setempat melaporkan adanya kasus pertama cacat lahir akibat virus Zika.

Sementara itu, Thailand sedang mempertimbangkan untuk menguji semua wanita hamil apakah terkena virus Zika atau tidak. Hal ini menyusul konfirmasi dari pejabat kesehatan setempat bahwa ada kasus ibu melahirkan anak dengan penyakit microcephaly atau cacat lahir ditandai dengan ukuran kepala kecil.

"Menteri Kesehatan telah meminta kami untuk mempelajari apakah ini diperlukan dan hemat biaya (untuk tes kesehatan bagi wanita hamil)," kata Sekretaris Tetap Kementerian Kesehatan Sophon Mekton kepada Reuters, mengacu pada tes gratis untuk semua wanita hamil.

Untuk sekali tes Zika dibutuhkan biaya sekitar 2.000 baht atau US$ 58.

"Saat ini, kami memeriksa wanita hamil di daerah Zika yang terkena dampak, tapi tidak semua wanita hamil. Sejauh ini, kami telah menguji sekitar 1.000 wanita hamil," ujarnya.

Infeksi Zika pada wanita hamil telah terbukti menyebabkan microcephaly, atau cacat lahir parah pada kepala dan otak, serta kelainan otak lainnya.

Hubungan antara virus Zika dengan microcephaly pertama kali muncul di Brazil, sejak dikonfirmasi lebih dari 1.800 kasus microcephaly.

Thailand telah mengkonfirmasi 392 kasus Zika sejak Januari, termasuk 39 wanita hamil dan Singapura telah mencatat 393 kasus Zika, termasuk 16 wanita hamil.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat mengatakan orang harus mempertimbangkan untuk menunda perjalanan ke Brunei, Myanmar, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Maldives, Filipina, Thailand, Timor Lester dan Vietnam. CDC telah mengeluarkan Singapura dari negara yang wajib dihindari karena kasus Zika.

Beberapa ahli kesehatan di Thailand menganggap risiko Thailand sebagai negara pariwisata juga mendorong penyebaran infeksi nyamuk. Namun pejabat kementrian kesehatan setempat mengatakan negara-negara lain di Asia Tenggara mungkin juga memiliki kasus microcephaly akibat virus Zika namun tidak diungkapkan.

Otoritas kesehatan di wilayah tersebut mengatakan, mereka sedang meningkatkan pengawasan dan para pejabat mengatakan jumlah sebenarnya dari kasus ini pasti akan lebih tinggi dari angka yang sudah dikonfirmasi. Filipina, Malaysia, Vietnam dan Indonesia melaporkan setidaknya ada satu kasus dikonfirmasi terkena virus Zika.

Sejauh ini belum ada vaksin untuk pengobatan virus Zika. Diperkirakan 80 peren orang yang terinfeksi tidak memiliki gejala, sehingga sulit bagi wanita hamil untuk mengetahui apakah mereka telah terinfeksi.

Pada orang dewasa, infeksi Zika juga telah dikaitkan dengan sindrom neurologis langka yang dikenal sebagai Guillain-Barre, serta gangguan neurologis lainnya.

http://www.netralnews.com/

 

Program Dokter Layanan Primer Dianggap Hambat Program Indonesia Sehat

Anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani meminta pemerintah meninjau kembali program Dokter Layanan Primer.

Alasannya, program tersebut dinilai kontra produktif terhadap program Kementerian Kesehatan yaitu program Nusantara Sehat. Dari 9.815 puskesmas di Indonesia, masih terdapat 938 puskesmas yang tidak memiliki dokter umum.

"Umumnya puskesmas tersebut berada di daerah-daerah terpencil. Akses yang sulit biasanya menjadi alasan para dokter enggan praktek di sana," ujar Irma di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (29/9/2016).

Selain tidak memiliki dokter umum, menurut Irma, sebanyak 4.121 puskesmas juga tidak memiliki dokter gigi, 255 puskesmas tidak memiliki perawat, dan 364 puskesmas tidak memiliki bidan.

Sementara, dari sekira 2.184 rumah sakit di Indonesia, 29 persennya tidak memiliki dokter spesialis anak, dan 27 persennya tidak ada dokter spesialis obstetri dan ginekologi (kandungan dan kebidanan).

"Ada 32 persen rumah sakit yang tidak memiliki spesialis bedah. Sementara, 33 persennya tanpa spesialis penyakit dalam. Ini karena 52,8 persen dokter spesialis lebih memilih praktek atau bekerja di Jakarta," paparnya.

Berdasarkan data tersebut, Wakil Ketua Fraksi NasDem DPR ini mengatakan, program Dokter Layanan Primer akan berdampak pada penambahan waktu kuliah sebanyak 3 tahun bagi dokter yang akan ditempatkan pada FKTP, dan akan menghambat pemenuhan kebutuhan dokter di fasilitas kesehatan satu.

Kondisi tersebut akan menghambat target yang hendak dicapai Menkes dalam program Nusantara Sehat.

Terkait program Nusantara Sehat, Irma mengatakan, "Untuk memenuhi kebutuhan dokter umum pada faskes satu saja kita masih belum mampu, sehingga jika pemerintah tetap ngotot memaksakan program Dokter Layanan Primer untuk FKTP, itu berarti langkah mundur bagi program Indonesia Sehat dalam mencapai target Nusantara Sehat.

"Jika pemerintah keukeuh paksakan program Dokter Layanan Primer, berarti langkah mundur pemerintah dalam mewujudkan program Indonesia Sehat," ujar Irma.

http://news.metrotvnews.com/

 

BPJS Kesehatan: Verifikasi Data Kini Bisa Dilakukan Pascaklaim

29septBadan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kini menerapkan kebijakan verifikasi pascaklaim. Hal itu dilakukan guna menimalisir hambatan proses pencairan dana klaim, sehingga cashflow rumah sakit tetap terjaga.

"Kendala proses pencairan dana klaim oleh rumah sakit, salah satunya akibat proses verifikasi yang panjang. Kondisi itu pada sebagian rumah sakit menimbulkan masalah arus uang atau cashflow di rumah sakit," kata Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris dalam pertemuan nasional dengan sejumlah rumah sakit mitra BPJS Kesehatan, di Jakarta, Rabu (28/9) malam.

Hadir dalam kesempatan itu Dirjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Bambang Wibowo.

Ditambahkan, proses verifikasi pascaklaim hanya dilakukan jika belakangan ditemukan adanya ketidaksesuaian data. Prosesnya dilihat dari kasus per kasus. "Sehingga tidak mengganggu proses verifikasi rutin," ujarnya.

Ditanya siapa pihak yang berhak melakukan verifikasi pascaklaim, Fachmi Idris mengatakan, verifikator dari BPJS Kesehatan sendiri, auditor dari Inspektorat Jenderal Kemenkes maupun pihak lain yang memiliki kewenangan untuk itu.

Fachmi mengakui, jumlah verifikator yang dimiliki BPJS Kesehatan hingga saat ini belum berjalan linier dengan pertumbuhan rumah sakit yang menjadi mitra BPJS Kesehatan. Sehingga proses verifikasi pada sebagian rumah sakit berjalan lambat.

Untuk itu, Fachmi menambahkan, pihaknya juga mengembang sistem verifikasi dalam kantor. Sehingga prosesnya bisa lebih cepat. Karena peraturannya, BPJS Kesehatan harus membayar klaim ke rumah sakit dalam 15 hari kedepan setelah berkas diterima.

"Jika rumah sakit bekerja cepat dan tepat, maka pekerjaan verifikator makin mudah. Sehingga berkas bisa segera masuk dan dibayarkan," kata Fachmi menegaskan.

Tentang pertemuan dengan rumah sakit, Fachmi menjelaskan, hal itu dilakukan untuk mencari masukan guna memperkuat sistem pelayanan online untuk peserta Pekerja Penerima Upah (PPU), implementasi Coordination of Benefit (CoB), perluasan dan peningkatan kualitas fasilitas kesehatan (tingkat pertama dan lanjutan).

Pada kesempatan yang sama, Dirjen Pelayanan Kesehatan Bambang Wibowo memberi penghargaan pada 12 rumah sakit paling dinilai palong berkomitmen dalam pelayanan kesehatan.

Ke-12 rumah sakit itu adalah RS Royal Prima (Medan), RSUP Dr Kariadi (Semarang), RSU William Booth (Surabaya), RS Islam Arafah (Jambi), RS Siti Khadijah (Palembang), RS Sari Asih Karawaci (Tangerang), RSUD Majalaya (Soreang).

Selain itu ada RSUD Muara Teweh (Barito Utara), RS Tingkat II Pelamonia Kesdam VII (Makassar), RSUD Undata (Palu), RSUD Kota Mataram (Mataram) dan RSU Mardo Waluyo (Metro). (TW)

Pendidikan Dokter Layanan Primer, Pemborosan Anggaran Negara

Rencana pemerintah membuka program pendidikan dokter layanan primer (DLP), guna menguatkan pemberian layanan kesehatan dasar, dinilai organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai tindakan pemborosan uang negara. Pasalnya, kompetensi DLP tak ada bedanya dengan dokter umum.

"Buat apa sekolah lagi selama 3 tahun untuk menjadi DLP, jika kompetensinya sama dengan dokter umum. Rencana pemerintah itu tidak realistis, efisien dan pemborosan anggaran negara," kata wakil Ketua Umum PB IDI, Daeng M Fakih saat menghadap Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Toto Dariyanto, di Gedung DPR Senayan, Jakarta, Selasa (27/9).

Daeng M Fakih menjelaskan, istilah DLP sendiri telah menimbulkan kontroversi di kalangan dokter di Indonedia. Mengingat istilah tersebut selama ini tidak pernah digunakan oleh otoritas kesehatan di negara mana pun.

"Layanan primer adalah wilayah pelayanan. Karena itu, tidak ada satu pun negara yang menyebut dokter yang bekerja di layanan primer dengan gelar profesi khusus DLP, seperti halnya di Indonesia," ujarnya.

Dokter layanan primer adalah komunitas dokter yang memberi layanan kesehatan dasar di masyarakat yang terdiri dari berbagai bidang ilmu seperti dokter umum, dokter keluarga, dokter spesialis, dokter anak, dokter penyakit dalam dan dokter gigi.

"Penggunaan istilah DLP juga akan menimbulkan konflik horizontal antar dokter di layanan primer dan berpotensi mengkriminalisasikan dokter umum yang menangani pasien program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)," tuturnya.

Untuk itu, Daeng menilai, upaya pertama yang harus dilakukan adalah menghapus istilah DLP sebagai satu jenis profesi baru kedokteran seperti termaktub dalam Undang-Undang (UU) No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.

Menurut Daeang, keberadaan UU No 20 tahun 2013 ini sebenarnya tumpang tindih dengan 3 UU lainnya seperti UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan UU No 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan," ujarnya.

"UU No 20 Tahun 2013 menyebabkan tumpang tindihnya peran dan kewenangan kelembagaan antara Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Kesehatan, organisasi profesi mulai dari IDI, kolegium dan Konsil Kedokteran Indonesia," ucapnya.

Hal lain yang tak kalah penting, menurut Daeng M Fakih, tidak ada perbedaan signifikan antara kompetensi DLP dengan kompetensi dokter umum sebagaimana termuat dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) tahun 2013 yang disahkan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).

"Kurikulum, standar pendidikan dan gelar DLP belum memiliki kejelasan dan landasan formal, baik pada Peraturan Pemerintah (PP)-nya, pengesahan kurikulum oleh KKI, peraturan menteri serta belum ada kolegium DLP yang disahkan oleh IDI," tuturnya.

Ditambahkan, simulasi pelaksanaan program DLP memerlukan waktu 30-50 tahun untuk men-DLP-kan dokter ukum yang akan bekerja di layanan primer. Jumlah itu belum termasuk 8.000 lulusan dokter baru yang terus dihasilkan setiap tahunnya.

"Dengan demikian, program pendidikan DLP yang digagas pemerintah menjadi tidak realistik, tidak efisien dan hanya memboroskan uang negara. Karena program ini bakal sulit dan lama diterapkan," ujarnya.

Ditambahkan, UU No 20 tahun 2013 juga mengabaikan program pendidikan kedokteran berkelanjutan (P2KB) yang penting untuk meningkatkan kompetensi dokter, sebagaimana diamanatkan dalam UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Dalam pertemuan itu, PB IDI mengusulkan sekaligus menyerahkan RUU Perubahan atas UU No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Diharapkan, RUU tersebut masuk dalam pembahasan Prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016. (TW)

 

Nusantara Sehat: 41 Bupati Sepakati Penempatan Peserta Baru

27septKementerian Kesehatan (Kemenkes) bersama 41 kepala daerah tingkat kabupaten menandatangani nota kesepahaman (MOU) untuk penempatan peserta baru program Nusantara Sehat (NS).

"Pada periode kedua tahun 2016 ini, jumlah peserta baru yang dikirim dalam program NS ada 297 orang yang akan ditempatkan di 46 Puskesmas yang tersebar di 25 kabupaten dan 16 Provinsi," kata Sekjen Kemenkes, Untung Suseno usai penandatanganan di Jakarta, Senin (26/9).

Dijelaskan, program NS yang diluncurkan sejak 2015 lalu itu telah mengirim sebanyak 694 tenaga kesehatan yang tersebar di 25 kabupaten yang termasuk Daerah Tertinggal, Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK) dan Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK) di 16 provinsi.

"Karena itu, sebelum berangkat, para tenaga kesehatan akan mendapat pembekalan di Pusat Pendidikan Kesehatan TNI Angkatan Darat selama hampir 1 bulan agar siap dengan kondisi yang baru," ujar Untung Suseno.

Program NS dibuat, kata Untung Suseno, sebagai bagian dari upaya penguatan pelayanan kesehatan primer yang mencakup 3 hal yaitu pembenahan infrastruktur, pembenahan fasilitas dan penguatan tenaga kesehatan selain dokter.

"Tidak bisa dipungkiri, pelayanan kesehatan di Indonesia hingga kini belum dapat dinikmati secara adil dan merata oleh seluruh masyarakat, terutama mereka yang tinggal di Daerah Tertinggal, Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK) dan Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK)," tuturnya.

Melalui program NS, Untung Suseno berharap, pemerintah pusat bersama daerah mampu meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan yang berkualitas secara terintegrasi, terpadu dan komprehensif di DTPK dan DBK.

Tim NS adalah tenaga profesional kesehatan dengan berbagai latar belakang kesehatan seperti dokter, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, ahli teknologi laboratorium medik, tenaga gizi, dan kefarmasian.

"Mereka akan terjun langsung dengan memberi layanan kesehatan kepada masyarakat selama 2 tahun," katanya.

Peserta tim NS melalui proses seleksi yang ketat, mengingat kondisi penempatan kerjanya terbilang minim fasilitas. Selain harus lolos tes administrasi dan psikologi, peserta juga okut pembekalan tim di Pusat Pendidikan Kesehatan TNI AD, penempatan tim, serta monitoring dan evaluasi. (TW)

 

Apotek Rakyat Tak Boleh Beroperasi Tanpa Pengawasan Apoteker

Menteri Kesehatan (Menkes) Nila FA Moeloek menegaskan, apotek rakyat tak boleh membuka gerainya tanpa didukung keberadaan apoteker. Karena setiap pengelolaan obat harus ada tanggungjawab dari apoteker.

"Obat itu sifatnya racun, jadi tidak boleh sembarangan orang yang memberikan. Jika tidak ada pengawasan apoteker, maka praktik apotek tidak diperkenankan," kata Nila Moeloek usai penandatanganan pembentuk Komite Bersama Kemenristekdikti, di Jakarta, Jumat (16/9).

Nila mencontohkan, pemberian antibiotik yang tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Tanpa apoteker, dikhawatirkan isi dan jumlah antibiotik itu tak sesuai dengan dosis yang sesuai.

"Jika pasien sudah resisten terhadap antibiotika yang ada, hal itu berbahaya. Nyawa taruhannya," ujar Menkes menegaskan.

Untuk itu, lanjut Nila Moeloek, pihaknya berencana akan mencabut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 284 Tahun 2007 tentang Operasional Apotek Rakyat. Karena dalam pelaksanaannya, operasional apotek rakyat tidak disertai dengan pengawasan apoteker.

"Kami saat ini tengah melakukan kajian untuk pencabutan permenkes tersebut. Jika apotek rakyat tidak melengkapi syarat untuk pembentukan apotek, maka pelaksanaannya menjadi ilegal," kata Menkes.

Sebelumnya, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mendukung usulan pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 284/MENKES/SK/III/2007 tentang Apotek Rakyat yang menjadi dasar apotek rakyat beroperasi.

Tulus menyebut apotek rakyat sebagai apotek "abal-abal" karena tidak memiliki kriteria dan standar yang jelas. Mayoritas apotek rakyat juga tidak memiliki apoteker sebagaimana diatur dalam Permenkes Apotek Rakyat. Selain itu, berdasarkan temuan BPOM, di beberapa apotek rakyat justru beredar obat-obatan ilegal. (TW)