Kemendagri Ingatkan Pemda Segera Terapkan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok

JAKARTA--- Kementerian Dalam Negeri mengingatkan pemerintah daerah supaya segera menyusun dan mempercepat penerbitan kebijakan tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan aturan KTR di sekolah.

Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah Muhammad Hudori menyatakan kewajiban Pemda menerapkan Kawasan Tanpa Rokok diatur dalam Undang-Undang No.36/2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah No.109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Tembakau Bagi Kesehatan dan Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 188/Menkes/Pb/I2011 Nomor 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok.

Hudori menjelaskan konsumsi tembakau di Indonesia juga masih cenderung tinggi. Menurut data yang dilansir Tobbaco Control Support Center pada 2015, konsumsi rokok rata-rata per orang per hari sebanyak 12,3 batang atau 369 batang per bulan pada 2013.

“Konsumsi tembakau ini tidak dapat dipisahkan dari perilaku merokok. Perilaku merokok berkaitan dengan kemiskinan lantaran karena untuk membeli rokok, seorang individu maupun keluarga harus mengurangi penggunaan sumber daya yang terbatas untuk keperluan lain yang lebih penting seperti pendidikan, makanan berkualitas, dan pelayanan kesehatan,” kata Hudori seperti dikutip dari keterangan tertulis yang dirilis di laman Sekretariat Kabinet, Jumat (12/7/2019).

Lebih lanjut, Hudori menilai beban biaya yang berkaitan dengan penyakit akibat rokok akan lebih mahal dibandingkan dengan uang yang sudah dibelanjakan untuk rokok. Tidak hanya biaya pengobatan melainkan juga biaya hilangnya hari atau waktu produktivitas untuk bekerja bagi usia pekerja.

Berkaitan dengan penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), Hudori mengingatkan Pemerintah Daerah empat hal antara lain supaya Pemda menyusun dan mempercepat penerbitan kebijakan tentang KTR baik berupa Peraturan Daerah maupun Peraturan Kepala Daerah serta menerapkan aturan KTR di sekolah.

Di samping itu, Hudori juga mengingatkan supaya Pemda memperkuat upaya promotif dan preventif melalui kegiatan penyuluhan dan edukasi secara berkelanjutan bagi anak-anak dan remaja usia sekolah berkaitan dengan dampak negatif akibat bahaya rokok. Pemda juga diharapkan melibatkan peran tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh adat setempat dalam mengkampanyekan kebijakan tentang KTR.

Pemda juga diharapkan menyediakan tempat khusus untuk merokok berupa ruang terbuka yang berhubungan langsung dengan udara luar.

https://kabar24.bisnis.com/read/20190712/15/1123627/kemendagri-ingatkan-pemda-segera-terapkan-kebijakan-kawasan-tanpa-rokok

 

Kebijakan Tembakau Alternatif Diharap Pertimbangkan Hasil Penelitian

Jakarta: Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) meneliti produk tembakau alternatif, Risk Assessment of E-Liquid dan Oral Health Findings. Penelitian ini diharap dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan mengenai produk tembakau alternatif.

Peneliti YPKP Amaliya berdasarkan sejumlah kajian ilmiah, produk dari hasil pengembangan inovasi teknologi tersebut tidak memiliki kandungan zat berbahaya seperti TAR. Dia menjelaskan masyarakat belum mengetahui adanya perbedaaan mendasar secara ilmiah antara produk tembakau alternatif dan rokok.

Menurutnya pada produk tembakau aternatif tidak ada proses pembakaran tembakau. Hal ini tentunya, berbanding terbalik dengan rokok, yang pada pembakarannya menghasilkan TAR.

"Produk tembakau alternatif dapat dikonsumsi dengan berbagai cara, seperti dikunyah, ditempel, dan dipanaskan. Proses yang tidak melewati pembakaran ini mengeliminasi kandungan senyawa kimia berbahaya seperti TAR, yang terbentuk dari hasil pembakaran," kata Amaliya di Jakarta, Rabu, 10 Juli 2019.

Berdasarkan data National Cancer Institute Amerika Serikat, TAR mengandung berbagai senyawa karsinogenik yang dapat menyebabkan kanker. Hampir dari 7.000 bahan kimia yang ada di dalam rokok, 2.000 di antaranya terdapat pada TAR. Amaliya menjelaskan ketika asap rokok dihirup TAR dapat membentuk lapisan lengket di bagian dalam paru-paru.

"Kondisi tersebut dapat merusak paru-paru, menyebabkan kanker, emfisema, atau masalah paru-paru lainnya. Menghirup asap tembakau yang dibakar juga menyebabkan jenis kanker lain, termasuk kanker mulut dan tenggorokan," ujarnya.

Dengan tidak menghasilkan TAR, produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok. Hal ini, kata Amaliya, diperkuat dengan kajian ilmiah yang dilakukan Public Health England, divisi dalam Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial di Inggris 2018 lalu yang berjudul "Evidence Review of E-Cigarettes and Heated Tobacco Product 2018".

"Produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan hingga 95 persen lebih rendah daripada rokok yang dibakar," kata dia.

Pada tahun yang sama, Institut Federal Jerman untuk Penilaian Risiko (German Federal Institute for Risk Assessment) juga mempublikasikan hasil penelitian terkait produk tembakau alternatif, yaitu produk tembakau yang dipanaskan, yang menghasilkan uap bukan asap karena tidak melalui proses pembakaran. Hasil penelitian menyatakan produk tembakau alternatif memiliki tingkat toksisitas (tingkat merusak suatu sel) yang lebih rendah hingga 80-99 persen dibandingkan rokok.

Dengan manfaat yang diberikan dari produk tembakau alternatif, Inggris, Jepang, Kanada, dan Selandia Baru kini menggunakannya sebagai salah satu alternatif untuk menekan angka prevalensi perokok. Amaliya mengajak pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk melakukan kajian terhadap produk tembakau alternatif.

Oleh karena itu pemerintah juga harus menyosialisasikan hasil kajian ilmiah tersebut kepada masyarakat. Sehingga nantinya, masyarakat mengetahui secara jelas perbedaan antara produk tembakau alternatif dan rokok. Dengan begitu, perokok dewasa diharapkan beralih ke produk tembakau alternatif karena lebih minim risiko kesehatan dibandingkan rokok.

"Pemerintah diharapkan untuk merumuskan kerangka peraturan berdasarkan bukti ilmiah yang spesifik dan sesuai dengan proporsi risiko untuk produk tembakau alternatif dan mendorong perokok yang tidak dapat atau tidak ingin berhenti merokok untuk beralih ke produk tembakau alternatif," tutupnya.

sumber: https://www.medcom.id/ekonomi/mikro/GNlYJd2b-kebijakan-tembakau-alternatif-diharap-pertimbangkan-hasil-penelitian

 

Dukung JKN-KIS, Pemda Diminta Terlibat Petakan Kelas RS

JAKARTA -- Pemerintah daerah (Pemda) diminta terlibat dalam mendukung keberlangsungan program jaminan kesehatan nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Peran Pemda antara lain ikut memetakan kelas Rumah Sakit (RS), khususnya yang bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan, pemetaan kelas RS menjadi bagian dari delapan bauran kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam menjaga keberlangsungan program JKN-KIS. Pembenahan kelas RS diperlukan untuk menghindari overpaid dalam pengeluaraan pembiayaan kesehatan.

"Jadi kelas RS harus pas," katanya saat ditemui usai rapat koordinasi tingkat menteri mengenai BPJS Kesehatan di Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) di Jakarta, Senin (8/7) lalu.

Sebab, dia melanjutkan, adanya perbedaan kelas rumah sakit membuat adanya selisih harga dan efeknya BPJS Kesehatan harus mengganti klaim lebih besar. Dia mengakui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah melakukan penataan kelas RS. Sebab pihak yang berwenang menurunkan dan menaikkan kelas RS ialah Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah melalui dinas kesehatan.

"Sedangkan Pemda bisa bersama dengan Kemenkes ikut menata kelas RS ini karena daerah yang memiliki wewenang bekerja sama dengan rumah sakit di daerah. Oleh karena itu, perlu koordinasi antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan," ujarnya.

Di tempat yang sama, menteri kesehatan Nila F Moeloek menambahkan, pihaknya telah menyusun pemetaan kelas RS. Kebijakan ini merupakan bagian dari bauran kebijakan.

"Pemetaan kelas RS ini akan dilanjutkan," ujarnya. N Rr Laeny Sulistyawati

 sumber: https://nasional.republika.co.id/berita/pucgya423/dukung-jknkis-pemda-diminta-terlibat-petakan-kelas-rs

 

Gizi Buruk dan Kekerdilan Jadi PR Pemerintahan Baru

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengatakan masalah gizi buruk hingga kekerdilan (stunting) masih menjadi pekerjaan rumah ke depan bagi kepemimpinan baru. Pemerintah ke depan perlu fokus dan lebih gencar melakukan program promotif dan preventif di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dan posyandu.

"Pekerjaan rumah (PR) berat tentang masalah gizi yaitu gizi buruk, gizi kurang dan kekerdilan serta membengkaknya kasus penyakit tidak menular seperti diabetes, stroke, jantung dan sebagainya. PR lama juga masih jadi beban yaitu penyakit infeksi seperti TBC dan AIDS," kata Ketua IDI Daeng Mohammad Faqih, Kamis (4/7).

Daeng menuturkan yang penting segera ditangani juga adalah pembenahan sistem pelayanan dengan Jaminan Kesehatan Nasional. "Jangan sampai BPJS Kesehatan gagal bayar atau kesulitan pembayaran ke fasilitas pelayanan, karena akan menyebabkan rentetan panjang pada kualitas pelayanan, keamanan pasien (patient safety), kualitas dan penghargaan kepada SDM kesehatan, dan masalah industri pendukung lainnya terutama sektor industri turunan industri obat dan alat kesehatan yang rentan terpukul," tuturnya.

Untuk itu, Daeng mengatakan harus segera ada kebijakan agar aliran pembayaran ke fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, klinik dan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) tidak terganggu atau tertunda. "Kalaupun ada kebijakan utang untuk menutup defisit, maka baiknya buat kebijakan yang berhutang adalah BPJSKesehatan bukan fasilitas kesehatannya," ujarnya.

Lebih lanjut Daeng mengatakan perlu segera evaluasi dan koreksi kecukupan dana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sesuai prinsip-prinsip rasional dan keekonomian untuk menjamin JKN yang baik dan berkelanjutan.

sumber: https://nasional.republika.co.id/berita/pu3r56328/gizi-buruk-dan-kekerdilan-jadi-pr-pemerintahan-baru

 

Kominfo Usul Iklan di Media Online Tak Menampilkan Aktivitas Merokok

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengusulkan agar pembatasan iklan rokok di media online diselaraskan dengan di media konvensional. Dengan begitu, iklan rokok di media online tidak boleh mempertontonkan aktivitas merokok.

Hal itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Produk Tembakau. Aturan ini sudah diterapkan di media konvensional seperti televisi. “Saya rasa di media online seharusnya sama,” kata Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika (Aptika) Kominfo Semuel Abrijani di kantornya, Jakarta, Selasa (2/7).

Kebijakan terkait pembatasan iklan rokok di media online ini masih dibahas di Kementerian Kominfo dan Kementerian Kesehatan. Semuel usul agar industri seperti produsen rokok, pemilik media, dan penyedia layanan iklan turut berdiskusi terkait aturan ini.

Untuk sementara, kementeriannya usul agar pembatasan iklan rokok di media online disesuaikan dengan media konvensional. “Misalnya, waktu penayangan iklan rokok di media online sama seperti di televisi, pukul 21.30 sampai 05.00. Intinya, harus mengikuti PP tentang rokok," katanya.

Usulan tersebut berlaku untuk semua kategori media online termasuk yang berupa video streaming, seperti di YouTube. Semuel pun menegaskan, kementeriannya siap memblokir konten di internet yang melanggar peraturan terkait iklan rokok, sesuai rekomendasi Kementerian Kesehatan.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Ferdinandus Setu menambahkan, ada 114 kanal di Facebook, Instagram, dan YouTube yang diblokir karena memuat iklan rokok. Iklan tersebut dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 46 ayat 3 butir c. Kementeriannya sudah dua kali bertemu dengan Kementerian Kesehatan guna mengkaji regulasi terkait pembatasan iklan rokok di media online. Selain itu, pertemuan ini membahas pemblokiran iklan rokok.

sumber: https://katadata.co.id/berita/2019/07/02/kominfo-usul-aturan-iklan-rokok-di-media-online-dan-konvensional-sama 

 

 

Ini Tugas yang Diberikan Menteri Kesehatan Kepada Kepala BKKBN yang Baru

Setelah enam bulan kosong, akhirnya jabatan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) diisi.

Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek melantik mantan Bupati Kulon Progo, Hasto Wardoyo sebagai kepala lembaga tersebut di kantor pusat BKKBN, Jalan Permata Nomer 1, Jakarta Timur, Senin (1/7/2019).

Nila berharap, Hasto Wardoyo bisa mengerjakan tugas-tugas BKKBN secara baik.

Tugas-tugas tersebut di antaranya, menurunkan angka kenaikan jumlah penduduk secara signifikan.

"Seperti kita ketahui, jabatan kepala BKKBN mengalami kekosongan selama enam bulan. Dan pada hari ini kita bersyukur bahwa kepala BKKBN, Hasto Wardoyo dapat saya Lantik. Dengan adanya kepala BKKBN, saya berharap agar pelaksanaan program kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga dapat berjalan lebih maju. Dan dapat dilakukan inovasi, sehingga laju pertumbuhan penduduk saat ini yang masih tinggi, dapat menurun sesuai dengan sasaran RPJMN," kata Nila F. Moeloek dalam sambutannya.

Nila juga berpesan agar penggunaan kontrasepsi secara konsisten yang terbukti berhasil mengurangi angka kelahiran, terus dikembangkan melalui inovasi teknologi.

Nila memberikan tugas ke Hasto agar mempopulerkan kembali program kependudukan, program keluarga berencana, dan pembangunan keluarga (KKBK) sehingga para pemerintah daerah memberikan dukungan maksimal untuk keberhasilan program tersebut.

"Dalam kurun sepuluh tahun terakhir, capaian program kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga atau KKBK dianggap kurang populer hingga saat ini dan kurang mendapat dukungan sumber daya yang memadai dari pemerintah daerah," tambah Nila.

Menanggapi hal tersebut, Hasto menyatakan akan segera berkoordinasi dengan kepala daerah untuk suksesnya program tersebut.

"Pertama yang saya akan lakukan ke daerah-daerah tapi tidak berasumsi dulu, kita lihat dulu. Tiap daerah-daerah itu kan beda-beda. Kalau kita dengan kepala daerah telah sepakat mengenai data kependudukan, berapa angka kelahiran, berapa angka kematian, baru lah kita mulai cari teknis yang cocok untuk suksesnya program KKBK," kata Hasto Wardoyo.

Selain itu, hal yang akan dilakukan pada saat awal menjabat yaitu penataan anggaran.

Dia mengatakan, selama ini anggaran hanya diratakan di tiap sektor dan ujungnya tak banyak menghasilkan produk kebijakan yang baik untuk masyarakat. Karena itu dia akan segera menata anggaran dengan cara membuat prioritas.

"Selanjutnya menata anggaran. Selama ini kan anggaran rata tapi tak menghasilkan apa-apa toh. Nah nanti saya akan buat prioritas, kalau nanti ternyata prioritasnya untuk pengembangan kontrasepsi nah pasti sektor itu yang paling besar. Tapi kita lihat nanti lah apa yang jadi prioritas, ini kan saya baru dilantik," kata Hasto Wardoyo.

sumber: http://www.tribunnews.com/kesehatan/2019/07/02/ini-tugas-yang-diberikan-menteri-kesehatan-kepada-kepala-bkkbn-yang-baru

 

 

100 Duta Sehat Urai Permasalahan Kesehatan Negeri

PTTEP perusahaan migas milik pemerintah Thailand bersama Dompet Dhuafa memilih 100 Duta Sehat yang siap mengabdi untuk menuntaskan permasalahan kesehatan di Indonesia. Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat, masih ada beberapa penyakit yang menjadi masalah kesehatan Indonesia di sepanjang 2018 seperti gizi buruk, penyakit menular, dan kesehatan mental.

"Penghargaan 100 Duta Sehat Indonesia ini diharapkan mampu mendorong masyarakat terus berkontribusi untuk negeri terutama di bidang kesehatan,” tutur Direktur CSR Dompet Dhuafa Social Enterprise, Herdiansah saat memberikan keterangan pers di Fakultas Kedokteran Trisaksi, Jakarta, Jumat (28/6/2019).

Herdiansah menjelaskan, 100 Duta Sehat yang terpilih adalah dari kalangan mahasiswa dengan latar belakang pendidikan kedokteran, kesehatan masyarakat, dan ilmu gizi. Para calon Duta Sehat dipilih dari berbagai universitas, antara lain Universitas Indonesia, Universitas Trisakti, Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Islam Negeri (UIN), dan Universitas pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta.

Sebelum terpilih menjadi duta sehat Indonesia, kata Herdiansah, kandidat wajib mengikuti serangkaian seleksi proposal, presentasi, dan penjurian yang dilakukan para dokter dari perbagai universitas. Selanjutnya, 100 Duta sehat akan mendapatkan bantuan program guna mendukung kegiatan pengabdian masyarakat. Laporan hasil pengabdian masyarakat ini akan dibuat menjadi satu buku report bertema dedikasi untuk negari.

Program pemilihan 100 Duta Sehat ini dilakukan melalui Gerai Sehat Rorotan yang didirikan PTTEP dan Dompet Dhuafa sejak 2014 lalu, sekaligus sebagai puncak peringatan HUT ke-4 gerai sehat tersebut. Gerai Sehat Rorotan merupakan fasilitas kesehatan untuk masyarakat umum dan dhuafa yang mengusung visi dan misi ikut mensukseskan program-program kesehatan Kemkes.

Pada kesempatan yang sama, Public Relation and Affairs Officer PTTEP Irwan Mardelis menambahkan bahwa kegiatan ini merupakan lanjutan dari program pejuang kesehatan yang berhasil dilakukan 2 tahun terakhir. "Pembeda kegiatan kali ini dengan tahun sebelumnya yakni adanya penghargaan kepada para tokoh nasional, aktivis, dan public figure yang telah berkontribusi di bidang kesehatan,” ujar Irwan Mardelis.

Irwan Mardelis menjelaskan selain memilih 100 Duta Sehat, Gerai Sehat Rorotan PTTEP -Dompet Dhuafa juga memberikan penghargaan kepada tokoh-tokoh nasional, aktivis, yang berkontribusi di bidang kesehatan. Proses seleksi dan penilaian dilakukan bersama oleh Gerai Sehat Rorotan PTTEP-Dompet Dhuafa dan Forum lkatan Alumni Kedokteran Seluruh Indonesia (FIAKSI).

Ada tiga kategori dalam penghargaan ini yaitu Kategori Pemimpin Publik Berdedikasi dalam mendukung kebijakan kesehatan masyarakat dengan terpilih sebagai pemenag yaitu Prof. dr Ali Ghufron Mukti M.Sc., PhD. (Wakil Menteri Kesehatan 2011 2014 dan Rektor Universitas Trisakti), Ir. H. Mohammad Ramdhan Pomanto (Wali Kota Makassar periode 2014 2019, dan dr. Hj. Faida, MMR (Bupati Jember Periode 2016 2021).

Kategori Aktivis Kesehatan lnspiratif terpilih yaitu dr. Gamal Albinsaid (dokter, wirausahawan sosial, CEO Indonesia Medika), Dr. dr. Damayanti R. Sjarif, Sp.A(K) (Pakar Penyakit Nutrisi Metabolik Anak) dan Prof. dr. Sri Suparyati,Sp.A.(K),Ph.D. (Peneliti Ahli anyakit Diare pada Anak). Sedangkan untuk Kategori Artis/Tokoh Publik yang Berkomitmen Dalam Menjaga dan Mengedukasi Pola Hidup Sehat terplih dr. Lula Kamal, dan Titiek Puspa.

sumber: https://www.beritasatu.com/kesehatan/561690/100-duta-sehat-urai-permasalahan-kesehatan-negeri

 

PR Jokowi-Ma’ruf Terkait JKN-KIS, PTM, dan Kekerdilan ini Harus Diselesaikan

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan Joko Widodo dan K.H. Ma'ruf Amin sebagai pasangan calon presiden terpilih dan calon wakil presiden terpilih yang akan menjabat untuk masa pemerintahan 2019-2024.

Menyusul rapat pleno yang dilaksanakan Minggu sore (30/6/2019), usai kontestasi pemilihan presiden (Pilpres) 2019 yang panjang lantaran hasil penghitungan suara KPU digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh pasangan calon (paslon) Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno.

Calon presiden terpilih yang juga petahana Joko Widodo berulang kali mengajak masyarakat Indonesia untuk kembali bersatu untuk membangun negeri bersama-sama demi kepentingan bangsa, tidak ada lagi perselisihan, tidak ada 01 dan 02.

Berbagai PR menanti paslon terpilih Jokowi-Ma’ruf untuk pembangunan Indonesia di berbagai bidang selama lima tahun ke depan. Tak lepas berbagai persoalan bidang kesehatan yang harus diselesaikan dan diperbaiki guna meningkatkan kualitas pembangunan manusia Indonesia di masa datang.

Jika berbicara pada sektor kesehatan Indonesia saat ini, ada perkara yang harus segera diselesaikan oleh kepala negara agar tidak berlarut-larut dan membahayakan keuangan negara.

Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat yang digalakkan oleh Jokowi pada awal masa pemerintahaan 2014, saat ini sudah pada kondisi darurat. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai penyelenggara semakin tahun kian berdarah-darah menghadapi defisit yang kian membesar sejak 2014.

Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap laporan keuangan BPJS Kesehatan Tahun Anggaran 2018 mengungkapkan lembaga yang dahulunya bernama Askes tersebut, menderita defisit Rp9,1 triliun. Bahkan, defisit keuangan Tahun Anggaran 2018 tersebut dibebankan pada 2019.

BPPKP menyebutkan pembiayaan program Jaminan Kesehatan Nasional masih tekor atau tidak seimbang antara pendapatan dari iuran dan pengeluaran untuk pelayanan kesehatan. Tekornya BPJS Kesehatan tersebut membuat pemerintah melalui Kementerian Keuangan harus memberikan suntikan dana pada BPJS Kesehatan sejak 2015 sekitar Rp5 triliun, pada 2016 sekitar Rp6,82 triliun, pada 2017 sekitar Rp3,6 triliun, dan pada 2018 sekitar Rp10,1 triliun.

Jika kondisi BPJS Kesehatan dan regulasi program JKN-KIS tidak diubah, defisit diperkirakan semakin membengkak setiap tahun dan APBN semakin banyak dikeluarkan untuk menutupi kerugian penyelenggara program jaminan sosial.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyebutkan permasalahan utama kondisi keuangan lembaganya ialah besaran jumlah iuran peserta yang tidak sesuai dengan nilai aktuaria.

Bahkan, Fachmi mengatakan biar pun seluruh peserta JKN-KIS membayar iuran dan tak ada satu pun yang menunggak, BPJS Kesehatan akan tetap defisit lantaran besaran iuran yang terlampau kecil dari layanan yang diberikan.

Besaran iuran peserta BPJS Kesehatan saat ini Rp25.500 per bulan untuk kelas tiga, Rp51 ribu untuk kelas dua, dan Rp80 ribu untuk kelas satu. Dengan membayar iuran sejumlah tersebut tiap peserta bisa mendapatkan berbagai manfaat layanan kesehatan, seperti hemodialisa setiap pekan bagi penderita gagal ginjal, pemasangan ring jantung, dan berbagai tindakan operasi serta terapi untuk penderita kanker.

Kenaikan besaran iuran bagi peserta program JKN menjadi salah satu faktor penting untuk memperbaiki kondisi keuangan BPJS Kesehatan, kendati diperlukan banyak perbaikan lain di sana-sini agar program pembiayaan kesehatan ini bisa berkelanjutan.

BPJS Kesehatan hanyalah penyelenggara program jaminan sosial kesehatan, sementara yang mengatur berbagai regulasi dalam pelaksanaan program ialah pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan; Kementerian Keuangan; dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).

Kementerian dan lembaga sebagai regulator bertanggung jawab dalam pembahasan berbagai kebijakan program JKN, termasuk angka kenaikan iuran peserta. Namun, keputusan mengetok palu mengenai naik tidaknya iuran BPJS Kesehatan tetap berada di tangan presiden.

Alasan defisit BPJS Kesehatan dari tahun ke tahun pada pokoknya dikarenakan pengeluaran untuk pembiayaan layanan kesehatan yang sangat besar. Beban pembiayaan pelayanan kesehatan paling besar berasal dari penyakit tidak menular seperti jantung, gagal ginjal, kanker, dan lainnya yang mencapai Rp20,4 triliun atau 21,66 persen dari total seluruh pembiayaan layanan kesehatan pada 2018.

Biaya layanan kesehatan pada 2018 terbesar dari penyakit jantung Rp10,5 triliun, kanker Rp3,4 triliun, stroke Rp2,5 triliun, gagal ginjal Rp2,3 triliun, dan thalassemia Rp490 miliar. Membengkaknya biaya layanan kesehatan itu dikarenakan banyaknya masyarakat Indonesia yang menderita penyakit tersebut.

Prevalensi penyakit tidak menular seperti disebutkan di atas terus meningkat dari tahun ke tahun. Padahal, penyakit-penyakit berbiaya mahal itu dapat dicegah dengan menerapkan pola hidup sehat.

Penyakit katastropik, seperti jantung, stroke, gagal ginjal dan lainnya, tidak datang begitu saja karena seseorang makan makanan tidak sehat atau tidak berolahraga selama satu tahun terakhir.

Akan tetapi, penyakit-penyakit itu merupakan penyakit kronis hasil dari akumulasi pola hidup yang tidak sehat sejak usia muda. Karena itu, kesadaran masyarakat akan pola hidup yang sehat seperti makan makanan gizi seimbang, biasa makan sayur dan buah, rajin beraktivitas fisik, tidak merokok, menjaga kebersihan diri dan lingkungan menjadi hal yang sangat penting.

Peran pemerintah dirasa perlu untuk membuat regulasi yang dapat mengubah pola hidup masyarakat jadi lebih sehat. Misalnya saja, penerapan regulasi batasan kadar gula, garam, dan lemak (GGL) pada makanan kemasan atau makanan cepat saji yang sering dikonsumsi oleh masyarakat.

Wacana batasan kadar GGL beberapa tahun belakangan hanya menjadi pembahasan seputar kementerian dan lembaga, sementara kebijakan seperti itu telah banyak diterapkan di negara-negara maju.

Masalah kekerdilan atau "stunting" pada anak ramai dibicarakan beberapa waktu belakangan karena pemerintah yang juga sedang gencar menyosialisasikan pencegahannya. Kekerdilan merupakan suatu kondisi seorang anak yang gagal tumbuh atau tumbuh kembang anak yang tidak sesuai dengan indikator pertumbuhan anak pada umumnya.

Penyebab kekerdilan, adalah kekurangan gizi kronis atau defisit gizi dalam waktu yang lama, yaitu sejak 1.000 hari pertama kehidupan si anak mulai dari sembilan bulan dalam kandungan hingga dua tahun setelah dilahirkan.

Jika ada ibu hamil yang tidak menjaga asupan gizinya selama mengandung, ditambah lagi dengan tidak memenuhi gizi anak dengan sempurna sejak dilahirkan hingga usia dua tahun maka anak tersebut memiliki kemungkinan mengalami kekerdilan.

Guru Besar Bidang Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Profesor Ali Khomsan menjabarkan dampak kekerdilan berupa fisik dan nonfisik. Dampak fisik ialah pertumbuhan tinggi badan anak yang terhambat sehingga tidak sesuai dengan anak-anak seusianya, membuatnya terlihat kerdil.

Namun, hal yang paling dikhawatirkan dampak nonfisik, berupa terhambatnya perkembangan otak anak yang menyebabkan kemampuan berpikirnya di bawah rata-rata anak normal, IQ yang rendah, dan paling parah menyebabkan keterbelakangan mental.

Ahli gizi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Dr dr Damayanti Rusli Sjarif, SpA(K) mengatakan anak yang kekerdilan tidak akan pernah bisa mengejar IQ anak yang tidak kekerdilan, meski bagaimana pun bagusnya tempat dia disekolahkan.

Walaupun upaya pemerintah sudah cukup baik menurunkan angka prevalensi kekerdilan dari 37,2 persen pada 2013 menjadi 30,8 persen pada 2018 persen, hal itu belumlah cukup karena Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan batas maksimal prevalensi kekerdilan pada angka 20 persen.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pernah mengalkulasi kerugian ekonomi Indonesia akibat kekerdilan bisa mencapai 2-3 persen dari Produk Domestik Bruto Indonesia.

Misal PDB Indonesia pada 2018 di kisaran Rp14 ribu triliun, kerugian ekonomi dari generasi balita kerdil itu mencapai Rp420 triliun per tahun. Jika Presiden Joko Widodo ingin melakukan pembangunan sumber daya manusia Indonesia berkualitas pada masa jabatan periode kedua, pencegahan kekerdilan menjadi fokus penting untuk menghindari masa depan sumber daya manusia Indonesia yang tidak berkualitas. (ant)

sumber: https://www.indopos.co.id/read/2019/06/30/179864/pr-jokowi-maruf-terkait-jkn-kis-ptm-dan-kekerdilan-ini-harus-diselesaikan