Kemenkes Targetkan 5.600 Puskesmas Dapat Tenaga Kesehatan di 2019

Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Kemenkes Usman Sumantri, menargetkan 5.600 puskesmas memiliki minimal lima jenis tenaga kesehatan pada 2019.

Lima tenaga kesehatan tersebut antara lain: tenaga kesehatan lingkungan, tenaga kefarmasian, tenaga gizi, tenaga kesehatan masyarakat dan tenaga ahli teknologi laboratorium medik.

"Pada tahun 2018 sudah tercapai 95,93 persen artinya terdapat 4.029 puskesmas yang sesuai standar," ujarnya di Jakarta Selatan, Jumat (5/4/2019). Usman mengatakan, target tersebut akan dicapai melalui program unggulan pemerintah bernama Nusantara Sehat untuk pemerataan distribusi di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

Kendati demikian, Usman mengatakan, angka 5.600 itu memang belum target yang optimal sebab ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Semisal, perekrutan tenaga kesehatan Nusantara Sehat yang tidak bisa sembarangan.

"Menempatkan nakes [tenaga kesehatan] perlu waktu dan pelatihan, kualitasnya tidak bisa sembarangan. Kami juga melibatkan psikolog untuk menguji orang itu bisa dan mampu atau tidak," ujarnya.

Oleh karena para tenaga kesehatan itu akan ditempatkan di daerah 3T, menurut Usman, Kemenkes akan bekerja sama dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk melatih mental mereka "Supaya mereka siap, survive, menghadapi lingkungan kerja yang berat," ujarnya.

Program Nusantara Sehat digelar Kemenkes untuk menyelesaikan persoalan ketidakmerataan tenaga medis di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Nantinya para tenaga kesehatan tersebut akan berada dalam satu tim untuk melayani masyarakat di wilayah tersebut, dengan upah bervariatif antara lain: Rp14 juta untuk daerah sangat terpencil, Rp11 juta untuk daerah terpencil dan untuk daerah biasa sebesar Rp8 juta.

 sumber: https://tirto.id/kemenkes-targetkan-5600-puskesmas-dapat-tenaga-kesehatan-di-2019-dlgq

 

Sistem Air di 5 Pelayanan Kesehatan Buruk, 2 Miliar Manusia Taruhannya

Satu dari empat fasilitas pelayanan kesehatan di dunia sistem air yang buruk. Laporan terbaru kerja sama Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) dan UNICEF menyatakan bahwa hal tersebut berdampak pada lebih dari 2 miliar manusia.

Laporan ini juga menemukan bahwa satu dari lima pelayanan kesehatan di dunia tidak memiliki layanan sanitasi. Kondisi tersebut berpengaruh pada 1,5 miliar penduduk dunia. Tidak hanya itu, mereka menemukan banyaknya pusat kesehatan kekurangan fasilitas dasar seperti kebersihan tangan dan pemisahan serta pembuangan limbah kesehatan.

"Layanan air, sanitasi, dan kebersihan di fasilitas kesehatan merupakan persyaratan paling mendasar dari pencegahan dan pengendalian infeksi dan perawatan yang berkualitas," kata Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa (United Nations/UN) Antonio Guterres.

"Mereka sangatlah mendasar untuk menghormati martabat dan hak asasi manusia setiap orang yang mencari perawatan kesehatan dan tenaga kesehatan," tambah Guterres seperti dikutip dari laman who.int pada Kamis (4/4/2019).

1 Juta Kematian Akibat Kelahiran di Lingkungan Tidak Higienis

Temuan di WHO/UNICEF Joint Monitoring Programme for Water Supply, Sanitation and Hygiene (JMP) menyatakan bahwa hanya setengah (55 persen) pelayanan kesehatan di negara-negara tertinggal (Least Developed Countries/LDCs) yang memiliki layanan air dasar.

Diperkirakan 1 dari 5 kelahiran di dunia terjadi di wilayah negara tersebut. 17 juta perempuan terpaksa melahirkan di pusat kesehatan yang sistem air, sanitasi, dan kebersihannya tidak memadai. Ini meningkatkan risiko infeksi dan kematian baik pada bayi maupun sang ibu.

"Setiap kelahiran harus didukung dengan sepasang tangan yang aman, dicuci dengan sabun dan air, menggunakan peralatan steril, serta di lingkungan yang bersih," kata Direktur Eksekutif UNICEF Henrietta Fore.

Peneliti dari WHO dan UNICEF juga mencatatt bahwa ada lebih dari 1 juta kematian setiap tahun akibat kelahiran di tempat yang tidak bersih. Infeksi menyumbang 26 persen kematian bayi neonatal dan 11 persen kematian pada ibu.

"Bayangkan melahirkan atau membawa anak yang sakit ke pusat kesehatan tanpa air bersih, toilet, atau tempat cuci tangan," kata Direktur Jenderal WHO Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus.

"Itu kenyataan bagi jutaan orang setiap hari," tambahnya. Tedros mengatakan, memastikan bahwa fasilita perawatan kesehatan memiliki sistem air mendasar, sanitasi, dan layanan kebersihan sangat penting untuk membuat dunia yang lebih sehat, aman, dan adil.

sumber: https://www.liputan6.com/health/read/3933246/sistem-air-di-5-pelayanan-kesehatan-buruk-2-miliar-manusia-taruhannya

 

Dokter Menumpuk di Samarinda, Mahakam Ulu Tak Ada Dokter Spesialis

Dokter spesialis lebih suka bertugas di daerah perkotaan. Pasalnya, mereka bisa mendapatkan pemasukan berlipat. Beda halnya bila bertugas di daerah pinggiran. Selebihnya menumpuk di Samarinda dengan 565 dokter umum dan 207 dokter spesialis. Sedangkan Balikpapan memiliki 341 dokter umum dan 202 dokter spesialis.

Selain minim insentif, juga bukan “lahan basah” untuk membuka praktik. Ditambah sarana dan prasarana yang kurang memadai. Menjadi faktor lain, dokter enggan ke daerah terpencil.

Seperti dikatakan dokter spesialis dermatologi dan venereologi dr Daulat Sinambela, SpDV. Dia menyebut, ada beberapa faktor yang membuat dokter spesialis masih berberat hati bekerja di daerah pinggiran. Pertama, karena infrastruktur ke daerah yang belum merata.Kedua, karena kurangnya informasi untuk dokter spesialis lulusan baru di mana lokasi dokter spesialis yang masih kosong.
“Kelengkapan peralatan medis yang belum memadai untuk beberapa dokter spesialis yang memerlukan teknologi (juga pertimbangan),” jelas dia kepada Kaltim Post (Jawa Pos Group).

Diketahui, dari data Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kaltim menyebutkan, di provinsi ini terdapat 1.657 dokter umum dan 579 dokter spesialis. Tapi sayang, penyebaran masih menumpuk di perkotaan. Bahkan Mahakam Ulu belum memiliki dokter spesialis dan hanya terdapat 17 dokter umum. Di Penajam Paser Utara hanya berjumlah sembilan dokter spesialis dan 54 dokter umum.

Lebih jauh dikatakan Daulat, di sisi lain, minimnya reward atau penghargaan yang diterima setiap dokter spesialis juga dapat dikatakan menjadi alasan dokter enggan ke daerah. Pendidikan dokter bukan layaknya pendidikan reguler lainnya. Selain biaya yang mahal. Tenaga dan pikiran juga cukup tersita banyak demi mendapatkan gelar dokter spesialis.

“Itu tidak dapat dimungkiri. Bagaimana pun biaya pendidikan dokter, apalagi dokter spesialis cukup tinggi dan cukup menguras tenaga serta pikiran. Tapi masalah itu (penghargaan atau insentif) tetap menjadi poin terakhir untuk alasan ke daerah pelosok,” tuturnya.

Menurutnya, ada banyak risiko yang diterima setiap dokter bila memaksakan bekerja tidak disertai peralatan medis yang memadai. Selain karena dapat berakibat pengobatan pasien yang tidak baik, nyawa seorang pasien juga menjadi taruhannya.

“Masalahnya (dokter spesialis menumpuk di kota) karena infrastruktur dan peralatan rumah sakit,” jelasnya.

Terpisah, dokter spesialis forensik di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie (RSUD AWS) Samarinda dr Daniel Umar, SpF mengakui, sebaran dokter di Kaltim masih banyak terpusat di perkotaan seperti di Samarinda, Balikpapan, dan Bontang.

Dia memberikan catatan bahwa keterbatasan infrastruktur di daerah jadi pertimbangan banyak dokter. Selain itu, rendahnya tingkat kesejahteraan yang diterima dokter spesialis menjadi kendala tersendiri di balik belum terdistribusinya dokter di setiap daerah.

“Kalau di kota mereka bisa membuka praktik. Pertimbangannya juga, kalau hidup di kota tentu jauh lebih sejahtera dibandingkan harus bekerja di daerah pedalaman,” sebut dia.

Dikatakan, pemerataan dokter di seluruh Indonesia sebenarnya sudah diprogramkan pemerintah pusat. Namun, belum berjalan di semua daerah termasuk Kaltim.

“Tapi buat dokter-dokter spesialis yang baru, memang sebaiknya ke daerah saja dulu. Kalau sudah bertugas 5 sampai 10 tahun di daerah, kemudian baru ke kota. Kalau pun mereka langsung masuk ke kota besar, tentu mereka akan bersaing dengan dokter spesialis lain yang sudah lebih dulu bertugas,” sarannya.

Namun demikian, Umar menyebut, masih ada beberapa daerah yang menyetarakan pemberian insentif dokter umum dan khususnya dokter spesialis dengan profesi lain. Sementara dokter memiliki tanggung jawab yang terbilang cukup besar di bidangnya.

“Dokter itu bekerja 24 jam. Kalau dokter sebagai PNS kerjanya dari pagi sampai sore. Tapi setelah itu, dokter tetap memiliki tanggung jawab pelayanan kesehatan. Apalagi kalau ada pasien dengan kondisi darurat, ya mau enggak mau harus mereka layani,” sebut dia.

Selain itu, dari sisi perlindungan hukum dan kesehatan juga perlu dipertimbangkan pemerintah daerah. Profesi dokter sangat rawan dituntut. Meski sudah melakukan pemeriksaan sesuai prosedural, namun terkadang ada pasien yang melayangkan tuntutan karena merasa hasil pemeriksaan yang dia dapat tidak sesuai keinginannya.

“Kalau untuk insentif, sekarang sudah ada daerah yang menawarkan gaji sampai Rp 40 juta – Rp 50 juta per bulan. Kalau itu jalan, saya kira penyebaran dokter spesialis sudah bisa merata,” imbuhnya.

Adapun seorang dokter spesialis di RSUD AWS Samarinda menyebut, solusi terbaik yang bisa diambil pemerintah yakni memfasilitasi putra dan putri daerah untuk mendapatkan pendidikan kedokteran. Salah satunya dengan menyiapkan beasiswa khusus kedokteran.

“Sehingga saat mereka selesai sekolah kedokteran, maka mereka bisa kembali ke daerah. Saya kira ini pilihan yang cukup baik dan tepat supaya distribusi dokter di Kaltim bisa terpenuhi dan merata,” kata dokter yang enggan disebutkan namanya itu.

“Mungkin juga karena masih kekurangan dokter. Khususnya dokter spesialis itu masih sangat kurang. Sehingga masih ada daerah yang belum punya dokter spesialis,” tuturnya.

Di Indonesia dan bahkan di Kaltim diakuinya sudah banyak daerah yang menawarkan insentif tinggi bagi dokter spesialis. Namun kebanyakan dari lulusan dokter spesialis tersentral di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Jogjakarta, dan Makassar.

Bagaimanapun, setiap orang pasti memiliki sifat primordial. Sifat ingin pulang ke kampung halaman atau daerah asal. Apalagi setelah menyelesaikan pendidikan. Tinggal bagaimana pemerintah melihat peluang itu.

“Kalau itu bukan home atau tempat asal, menurut saya, di era sekarang agak susah bagi seseorang untuk memilih bekerja di tempat lain. Harus ada sesuatu yang disiapkan pemerintah yang membuat dokter mau bekerja di daerah mereka,” tuturnya.

Pada prinsipnya uang atau insentif yang diterima setiap dokter terbilang relatif. Namun ketika dokter merasa mendapatkan kenyamanan di tempat dia bekerja. Maka mereka pasti mau bekerja dan mengabdikan diri mereka di tempat itu.

Karena dari pemerintah pusat, sejatinya sudah menyiapkan program wajib kerja dokter spesialis (WKDS) untuk membantu penyebaran dokter di Indonesia. Dari sisi gaji dan insentif, pemerintah pusat sudah memberikan anggaran yang cukup besar. “Tinggal dari pemerintah daerah mau enggak menyambut itu,” tandasnya. (*/drh/rom/k18)

sumber: http://kaltim.prokal.co/read/news/353258-dokter-menumpuk-di-samarinda-mahakam-ulu-tak-ada-dokter-spesialis.html

 

Tak Hanya Rokok, Gula Juga Perlu Dikenai Cukai

Kementerian Kesehatan menilai gula juga perlu dikenai cukai. Adanya cukai terhadap gula maupun produk-produk makanan yang mengandung gula berlebih mungkin bisa mencegah diabetes.

"Kami berharap cukai rokok dinaikkan, tapi (cukai) gula juga harus dikenakan. Penyakit karena gula, seperti diabetes juga banyak dialami masyarakat," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan Cut Putri Arianie saat ditemui di Hotel JS Luwansa, Jakarta, ditulis Minggu (17/3/2019).

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2019 Kementerian Kesehatan menunjukkan, prevalensi diabetes melitus naik dari 6,9 persen (Riskesdas 2013) menjadi 8,5 persen. Hasil tersebut dari pemeriksaan gula darah.

Gula yang harus kita konsumsi per hari setara dengan empat sendok makan.

"Jadi, gula sebanyak empat sendok makan itu dalam semua makanan yang kita makan. Bukan sekali takaran sendok makan," lanjut Arianie.

Selama ini, pemerintah belum mengenakan cukai pada gula. Namun, rencana kebijakan pengenaan cukap untuk gula sudah dibahas di tingkat negara-negara di dunia.

"Gula itu harus (kena) cukai karena sudah menyebabkan penyakit (diabetes). Soal cukai pada gula ini juga sudah dibahas Kementerian Keuangan di hadapan IMF," Arianie menambahkan.

Pembahasan pengenaan cukai pada gula di tingkat dunia juga atas inisiasi World Bank, lembaga donor dan kementerian terkait. Terlebih lagi terkait pembatasan kadar gula, garam, dan lemak yang diserukan Kementerian Kesehatan.

Peraturan Menteri Kesehatan nomor 30 tahun 2013 menegaskan, industri makanan melakukan pencantuman informasi mengenai kadar gula, garam dan lemak, terutama pada makanan siap saji, dan olahan.

Diharapkan adanya cukai pada gula dapat meningkatkan pembangunan negaran berdasarkan kesehatan. Masyarakat pun sehat.

sumber: https://www.liputan6.com/health/read/3918829/tak-hanya-rokok-gula-juga-perlu-dikenai-cukai

 

Mahalnya Biaya Obat Terapi Kanker di Indonesia

Kementerian Kesehatan (Kemkes) menunda sementara pelaksanaan kebijakan mengenai dua obat terapi target kanker kolorektal (usus besar), yaitu Bevaxizumab dan Cetuxumab, yang dikeluarkan dari paket manfaat program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).

Penundaan ini dikarenakan masih ada perdebatan antara Kemkes dengan organisasi dokter bedah digestif mengenai benefit dari dua obat tersebut.

Namun ada yang menarik dari polemik dua obat ini, yaitu mahalnya biaya pengobatan kanker di Indonesia dan membengkaknya pembiayaan JKN-KIS yang diduga karena peresepan secara tidak tepat di fasilitas kesehatan (faskes).

Data BPJS Kesehatan (BPJSK) 2018 menunjukkan, delapan penyakit katastropik termasuk kanker menyerap anggaran terbesar dalam pembiayaan JKN-KIS.

Penyakit katastropik menyerap 25,77% dari total pengeluaran untuk membayar klaim manfaat di rumah sakit.

Penyakit kanker menempati posisi kedua terbesar setelah jantung dengan biaya sebesar Rp3,4 triliun atau 17% dari seluruh biaya katastropik selama 2018 itu sebesar Rp20,4 triliun.

BPJSK juga mencatat obat Bevaxizumab dan Cetuximab masuk dalam daftar 10 obat yang menyerap anggaran terbesar. Pada 2014, obat Bevaxizumab digunakan untuk terapi target pada 867 kasus dengan biaya sebesar Rp14,2 miliar. Sedangkan obat Cetuximbab digunakan untuk terapi pada 580 kasus dengan biaya mencapai Rp9,2 miliar.

Angka ini meningkat di 2017, di mana Bevaxizumab menelan anggaran Rp39,2 miliar untuk 3.386 kasus, dan Cetuximab sebesar Rp28,6 miliar untuk 2.216 kasus.

Dalam layanan JKN-KIS, dua obat ini digunakan sebagai terapi target untuk pasien kanker kolorektal metastatik, yaitu pasien stadium lanjut dengan kondisi kanker yang sudah menyebar ke organ tubuh lain dan sudah tidak mempan dengan terapi lain.

Dengan perkembangan teknologi, dua obat ini diciptakan dengan cara kerja yang sama sekali berbeda untuk memperlambat atau mematikan pertumbuhan sel kanker. Obat ini bekerja menghalangi suplai darah kanker atau memblokir protein yang dibuat oleh kanker untuk meningkatkan pertumbuhan.

Ketua Komite Penilaian Teknologi Kesehatan (KPTK), Sudigdo Sastroasmoro, belum lama ini mengungkapkan, dari kajian yang mereka lakukan terhadap benefit obat Bevaxizumab dan Cetuxizumab ditemukan pemberian obat-obat terapi mahal ini kepada pasien dilakukan secara tidak tepat di sejumlah rumah sakit (RS). Ini dikarenakan RS tersebut tidak memiliki fasilitas penunjang, misalnya untuk pemeriksaan biomarker.

Dihubungi terpisah, Sabtu (16/3/2019) pagi, Sekjen Perhimpunan Ahli Bedah Digestif Indonesia (IKABDI), Abdul Hamid Rochman, mengatakan, untuk memberikan terapi target kepada pasien kanker kolorektal metastatik harus didahului pemeriksaan molekular genetik yang dilakukan oleh dokter bedah digestif dan dokter hematologi onkologi.

Namun, dalam prakteknya banyak dokter yang tidak punya keilmuan dan kompetensi di bidang ini memberikan persetujuan terhadap sebuah terapi target.

sumber: https://www.beritasatu.com/kesehatan/543267/mahalnya-biaya-obat-terapi-kanker-di-indonesia

 

Indonesia Masih Defisit Tenaga Kesehatan, Ini Data Kemenkes

Tenaga kesehatan memiliki peran penting dalam pemenuhan hak kesehatan masyarakat.

Karena itu, mulai tahun 2014 lalu Indonesia memberlakukan UU No. 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan.
UU tersebut mewajibkan pemerintah untuk melakukan perencanaan, pengadaan serta pendayagunaan tenaga kesehatan sesuai kebutuhan warga di berbagai wilayah Indonesia.

Namun, sampai sekarang amanat UU itu belum berhasil terlaksana sepenuhnya.

Menurut data lansiran Kepala Bagian Kepegawaian dan Umum Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian (Ditjen Farmalkes) Kementerian Kesehatan RI, sampai tahun 2019 ini Indonesia masih defisit berbagai jenis tenaga kesehatan. Berikut paparan singkatnya.

Defisit Dokter Gigi

Standar kebutuhan tenaga kesehatan Indonesia telah ditetapkan dalam Permenkes 75 Tahun 2014 dan Permenkes 9 Tahun 2014.

Menurut standar tersebut, Indonesia memiliki kebutuhan dokter gigi sebanyak 9.825 orang untuk Puskesmas Rawat Inap (Ranap) dan Non-Ranap.

Tapi menurut data Ditjen Farmalkes, Indonesia baru memiliki 7.127 dokter gigi untuk Puskesmas. Artinya, masih ada defisit sebanyak 2.698 orang.

Ditjen Farmalkes juga mencatat bahwa Indonesia membutuhkan 28.000 dokter gigi untuk klinik. Namun, sampai saat ini jumlah SDM riilnya belum diketahui.

Defisit Apoteker

Apoteker memiliki peran penting dalam penyelenggaraan layanan kesehatan.
Tugasnya meliputi distribusi obat, menjaga kualitas penyimpanan obat, sampai menyeleksi obat-obatan yang sudah kadaluarsa.
Tapi sayangnya, menurut data Ditjen Farmalkes, jumlah apoteker di Indonesia belum memenuhi standar.

Idealnya, Puskesmas Ranap dan Non-Ranap membutuhkan 13.279 orang apoteker. Namun, SDM riilnya hanya berjumlah 12.155 orang saja.

Artinya, Indonesia masih kekurangan apoteker sebanyak 1.124 orang.

Sementara itu, Indonesia juga membutuhkan 14.000 apoteker untuk klinik. Namun, Ditjen Farmalkes belum punya data soal jumlah SDM riil yang tersedia.

Defisit Tenaga Kesehatan Masyarakat

Menurut UU No. 36 Tahun 2014, Tenaga Kesehatan Masyarakat terdiri dari epidemiolog kesehatan, tenaga promosi kesehatan dan ilmu perilaku, pembimbing kesehatan kerja, tenaga administrasi dan kebijakan kesehatan, tenaga biostatistik dan kependudukan, serta tenaga kesehatan reproduksi dan keluarga.

Puskesmas dan klinik di Indonesia membutuhkan total 19.650 Tenaga Kesehatan Masyarakat. Namun menurut data Ditjen Farmalkes, SDM riilnya hanya mencapai 13.458 orang saja.

Dengan begitu, Indonesia masih defisit Tenaga Kesehatan Masyarakat sebanyak 6.192 orang.

Defisit Tenaga Gizi

UU No. 36 Tahun 2014 menyebut bahwa Tenaga Gizi adalah ahli di bidang nutrisionis dan dietisien.

Tenaga kesehatan jenis ini bisa menangani pengaturan standar gizi untuk individu, masyarakat umum, ataupun pasien rumah sakit.

Menurut standar yang diatur dalam Permenkes, seluruh Puskesmas Indonesia membutuhkan 13.279 Tenaga Gizi.
Tapi SDM riil yang ada hanya 10.697, sehingga Indonesia masih defisit Tenaga Gizi sebesar 2.582 orang.

Indonesia juga membutuhkan 14.000 Tenaga Gizi untuk klinik. Namun sampai sekarang jumlah SDM riilnya belum diketahui.

Defisit Teknisi Pelayanan Darah

Transfusi darah tergolong sebagai tindakan medis yang sangat beresiko dan bisa berakibat fatal.

Karena itu, layanan kesehatan Indonesia membutuhkan tenaga ahli yang disebut Teknisi Pelayanan Darah.

Menurut Ditjen Farmalkes, Puskesmas serta klinik di seluruh Indonesia membutuhkan 9.825 Teknisi Pelayanan Darah.
Namun SDM riilnya hanya berjumlah 8.124, sehingga Indonesia masih defisit Teknisi Pelayanan Darah sebanyak 1.701 orang.

(Sumber: Paparan Kabag Kepegawaian dan Umum Ditjen Farmalkes, Pemetaan Kebutuhan Tenaga Kefarmasian, Kemenkes RI, 2019; www.farmalkes.kemkes.go.id)

link: https://kbr.id/berita/03-2019/indonesia_masih_defisit_tenaga_kesehatan__ini_data_kemenkes/98931.html

 

Kemenkes Dorong Pembangunan SDM Era 4.0

Kementerian Kesehatan RI melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Hasilnya telah terjadi perbaikan baik sumber daya manusia (SDM) maupun fasilitas kesehatan dengan harapan mampu bersaing di era digital 4.0.

Perbaikan itu dilakukan pada tataran SDM, pemerataan fasilitas kesehatan, pemerataan tenaga kesehatan, dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hal itu diwujudkan dalam Program Indonesia Sehat.

Menkes RI Nila Moeloek mengatakan pemerintah mendorong pembangunan kesehatan melalui Program Indonesia Sehat. Program Indonesia Sehat terdapat 3 komponen yakni Mewujudkan Paradigma Sehat, Penguatan Pelayanan Kesehatan, dan Jaminan Kesehatan Nasional.

''Program tersebut dilaksanakan dengan Pendekatan Keluarga sehingga keluarga sehat dapat terwujud,'' kata Menkes Nila Moeloek pada diskusi media di Kantor Kemenkominfo, Jakarta, Selasa (12/3).

Terkait perbaikan SDM, Menkeals Nila mengatakan Program Indonesia Sehat telah menunjukkan perbaikan seperti pada kesehatan ibu dan anak. Angka Kematian Ibu (AKI) mengalami penurunan dari 390 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1990 (SDKI,1990) menjadi 305 per 100.000 per kelahiran hidup (SUPAS, 2015).

Data pelaporan rutin dari provinsi juga menunjukkan penurunan jumlah kematian ibu dan bayi

Menkes Nila mengaku adanya penurunan AKI dan AKB terjadi karena beberapa faktor, yakni hampir seluruh Puskesmas yaitu 9456 telah melaksanakan kelas ibu hamil, 96,1% ibu hamil pernah mendapatkan pelayanan antenatal sekali selama kehamilannya, 86% ibu hamil periksa sekali sewaktu trimester I, dan 74,1% ibu hamil periksa sesuai standar, serta persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan telah mencapai 86%.

Menkes Nila menjelaskan, saat ini status gizi masyarakat mengalami perbaikan. Berdasarkan Riskesdas, persentase Ibu Hamil Kurang Energi Kronis (KEK) di tahun 2013 sebesar 24,2% dan pada tahun 2018 mengalami penurunan yaitu sebesar 17,3%.

Persentase Balita stunting di tahun 2013 sebesar 37,2% dan menurun menjadi 30,8% di tahun 2018. Upaya pencegahan dan penanggulangan masalah gizi terutama stunting sudah mengalami peningkatan. Sedangkan untuk Balita wasting (kurus dan sangat kurus) di tahun 2013 sebesar 12,1% dan turun menjadi 10,2% pada tahun 2018.

Perbaikan juga dilaksanakan pada pengendalian penyakit menular seperti upaya pengendalian penyakit tuberculosis paru dapat dilihat dari angka keberhasilan pengobatan TB pada tahun 2018 mencapai 86% dan terdata 1.508.864 pasien telah diobati sejak 2015.

Terkait perbaikan di bidang fasilitas kesehatan, dalam rangka pemerataan fasilitas kesehatan seperti Puskesmas, Kemenkes telah melakukan upaya afirmatif melalui dana alokasi khusus.

''Kementerian Kesehatan melakukan upaya afirmatif dengan mengalokasikan dana alokasi khusus afirmasi bidang kesehatan tahun 2018 sehingga pemerintah daerah dapat membangun puskesmas daerah tertinggal dan perbatasan,'' ucap Menkes.

Adapun pembangunan Puskesmas daerah tertinggal dan perbatasan pada Tahun 2018 sebanyak 249 Puskesmas Perbatasan dan Daerah Tertinggal di 49 Kabupaten dibandingkan Pembangunan 110 Puskesmas Perbatasan di 48 Kab/Kota di Tahun 2017. Tahun ini, direncanakan pembangunan Puskesmas di daerah Perbatasan dan Tertinggal sebanyak 270 Puskesmas di 98 kabupaten/kota.

Selain Puskesmas, pembangunan RS Pratama juga merupakan salah satu program prioritas Kementerian Kesehatan RPJMN 2015 2019 dalam mendekatkan akses daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan atau sering disebut 3 T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Program ini untuk memenuhi kebutuhan akses pelayanan kesehatan yang masih minim di daerah-daerah pelosok.

Pembangunan RS Pratama dengan target indikator 64 RS Pratama dibangun dalam 5 tahun (kumulatif). Tahun 2015 telah terbangun 22 RS Pratama, tahun 2016 telah terbangun 12 RS Pratama, tahun 2017 telah terbangun 17 RS Pratama, tahun 2018 telah terbangun 10 RS Pratama, dan tahun 2019 direncanakan dibangun 3 RS Pratama.

Selanjutnya, dalam mengurangi ketimpangan pelayanan kesehatan dengan peningkatan akses terhadap pelayanan kesehatan, Kementerian Kesehatan sejak tahun 2015 hingga September 2018 melakukan pemerataan tenaga kesehatan. Kemenkes telah menempatkan tenaga kesehatan melalui Nusantara Sehat baik secara tim maupun individu.

Sebanyak 7.377 tenaga kesehatan yang tersebar di 1.661 Puskesmas Daerah Terpencil, Perbatasan, dan Kepulauan di 361 Kab/Kota di 29 Provinsi.
Selama 4 tahun telah memberikan beasiswa pada 3.601 dokter untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis.

Kementerian Kesehatan dari tahun 2016 sampai 2018 juga telah menempatkan Calon Dokter Spesialis (Residen) sebanyak 1.787 orang dan Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) sebanyak 2.039 orang yang tersebar di 631 Rumah Sakit.

Sebagai perwujudan pilar ketiga Program Indonesia Sehat, kepesertaan JKN KIS mengalami peningkatan setiap tahunnya sejak tahun 2014. Pada akhir 2014 tercatat kepesertaan sebanyak 133,4 juta jiwa dan terus meningkat tahun 2018 mencapai 207,8 juta jiwa dan pada bulan februari 2019 mencapai 217 juta jiwa.

Proporsi kepesertaan terbanyak berasal dari segmen PBI JKN sebesar 44% dari total kepesertaan JKN di akhir tahun 2018.

Jumlah PBI JKN terus mengalami peningkatan sejak tahun 2014. Pada akhir tahun 2018 jumlah PBI JKN mencapai 92,4 juta jiwa dengan realisasi pembayaran iuran PBI sebesar 25,49 Triliyun. Tahun 2019 ini Pemerintah telah mengalokasikan 26,7 Triliyun rupiah untuk pembayaran iuran 96,8 juta jiwa peserta PBI JKN setiap bulannya.

Sebagai gambaran bahwa program JKN sudah dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia, terlihat bahwa dari tahun ke tahun pemanfaatan program JKN meningkat terus. Untuk Tahun 2017 program JKN sudah dimanfaatkan sebanyak 223,4 juta kunjungan, sementara untuk tahun 2018 dimanfaatkan sebesar 233,8 juta kunjungan.

Industri 4.0

Dalam perkembangan era industri 4.0, Kementerian Kesehatan membuat aplikasi telemedicine berbasis web yang bermanfaat untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan khususnya untuk daerah-daerah yang sulit terjangkau.

Aplikasi telemedicine berbasis Web dimana menu aplikasi yang dikembangkan saat ini adalah:

  1. Tele radiologi : memberikan ekspertise pemeriksaan radiografi untuk mendukung hasil diagnosis.
  2. Tele USG : memberikan ekspertise pemeriksaan EKG untuk mendukung hasil diagnosis.
  3. Tele EKG : memberikan ekspertise pemeriksaan USG untuk mendukung hasil diagnosis.
  4. Tele Konsultasi : melakukan konsultasi online melalui video dari pasien kepada dokter spesialis.

Kementerian Kesehatan juga mengembangkan aplikasi yang dapat melayani masyarakat dalam memberikan informasi konsultasi seputar kesehatan maupun permasalahan kesehatan lainnya. Aplikasi yang bernama SehatPedia merupakan strategi inovasi dalam peningkatan akses pelayanan kesehatan kepada masyarakat melalui pemanfaatan teknologi dan informasi untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses pelayanan kesehatan.

SehatPedia memiliki 5 fitur utama, yaitu

  1. Konsultasi Interaktif (Live Chat) konsultasi interaksi masyarakat dengan dokter UPT yang sudah bergabung dengan SehatPedia.
  2. Fasilitas Pelayanan Kesehatan masyarakat dapat mengakses informasi rumah sakit serta dokter-dokter professional dan berpengalaman yang dapat memberikan konsultasi melalui aplikasi SehatPedia.
  3. Artikel Kesehatan Informasi kesehatan yang memberikan edukasi tentang upaya promotif, preventif dan kuratif di bidang kesehatan.
  4. Regulasi Bidang Kesehatan (ePolicy) masyarakat dan stakeholder bidang kesehatan dapat mengakses seluruh kebijakan bidang kesehatan yang terdiri dari Peraturan Perundang-undangan hingga Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK).
  5. Link Pendaftaran Online Rawat Jalan masyarakat dapat mendaftar secara online untuk pelayanan rawat jalan di rumah sakit hingga pendaftaran dapat berjalan lebih efektif dan efisien.

Selanjutnya Kementerian Kesehatan mengembangkan SISRUTE yang merupakan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal dimana seluruh proses rujukan dilakukan secara terintegrasi

''Di era global dan digital ini dibutuhkan kompetensi tenaga kesehatan yang lebih kompleks, selain kompetensi profesional, diperlukan kompetensi baru berupa literasi data, literasi teknologi dan literasi manusia dilengkapi dengan kompetensi interprofesional agar dapat membangun kultur pelayanan kesehatan secara interdisiplin,'' kata Menkes.

Upaya peningkatan kompetensi tenaga kesehatan dilakukan melalui program pengembangan pendidikan keprofesian yang merupakan peran utama organisasi profesi, pelatihan teknis bagi tenaga kesehatan dan pengangkatan dalam jabatan fungsional bagi tenaga kesehatan. Pembiayaan pelatihan teknis bagi tenaga keehatan dapat dilakukan secara mandiri, subsidi maupun pembiayaan dari pemerintah baik pusat maupun daerah.

sumber: http://www.depkes.go.id/article/print/19031200002/kemenkes-dorong-pembangunan-sdm-era-4-0.html

 

Ide Apoteker Nuklir Dipuji Kemenkes

Ikatan Apoteker Indonesia atau IAI merancang naskah akademik studi apoteker spesialis nuklir. Langkah ini bertujuan mematangkan kebutuhan penanganan kesehatan berbasis nuklir.

Ketua IAI, Nurul Falah Eddy Pariang mengatakan, penyediaan spesialis nuklir merupakan momentum pemanfaatan perkembangan ilmu kesehatan yang berkaca ke Amerika maupun Eropa. Nurul menuturkan, apoteker spesialis nuklir merupakan apoteker yang bergerak di bidang farmasi nuklir.

"Jadi di dalam ilmu kesehatan berkembang juga kedokteran nuklir yang menggunakan bahan yang memang kita bicara nuklir itu selalu bom atom, peledak. Padahal itu suatu zat yang bisa digunakan untuk kesehatan," ujarnya dalam Rakernas dan pertemuan ilmiah nasional 2019 dengan topik Enhancing Public Access to Pharmatcists In Digital Era di Bandung, Rabu 13 Maret 2019.

Menurut Nurul, spesialis nuklir nantinya akan menyediakan obat-obat dengan kualitas lebih unggul dibandingkan produk konvensional. “Dokternya melakukan diagnosis berdasarkan kedokteran nuklir, apoteker menyiapkan ketersediaan untuk farmasi nuklir yang biasanya waktunya sangat pendek. Seperti begitu disiapkan sekitar tiga jam sudah expired dan itu pengobatan yang efektif," katanya.

Nurul mengatakan, studi nuklir untuk bidang kesehatan baru ada untuk kedokteran, sedangkan untuk apoteker belum didirikan. “Tapi kebutuhannya apoteker nuklir ini ada. Sehingga kita berkolaborasi dengan teman-teman dari kedokteran nuklir untuk bersama-sama," ungkapnya.

Kampus yang dipersiapkan untuk apoteker spesialis nuklir yaitu Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung Jawa Barat. “Rencananya yang akan membuat prodi di Unpad," katanya.

Dirjen Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Engko Sosialine Magdalen mengatakan, lembaganya mengapresiasi rencana tersebut. Kemenkes menyadari, ilmu kesehatan di Indonesia terus berkembang seiring dengan kematangan penanganan medis dari segi obat maupun alat.

“Kalau ada kebutuhan, maka pemerintah wajib merealisasikan kebutuhan tersebut. Saya tahu kedokteran nuklir kan sudah lama berkembang, mesti ada obat-obatannya juga." (mus)

sumber: https://www.viva.co.id/digital/teknopedia/1129883-ide-apoteker-nuklir-dipuji-kemenkes