Terbit Aturan Urun Biaya JKN, Begini Mekanismenya

Untuk pelayanan kesehatan yang menimbulkan penyalahgunaan pelayanan program JKN, peserta dapat dikenakan urun biaya. YLKI menilai kebijakan urun biaya dan selisih biaya ini cukup rasional untuk diberlakukan dalam program JKN.

Upaya pemerintah membenahi pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terus dilakukan BPJS Kesehatan. Dalam rangka menindaklanjuti Peraturan Presiden (Perpres) No.82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, Kementerian Kesehatan menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.51 Tahun 2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Biaya dalam Program Jaminan Kesehatan.

Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan Rujukan (JPKR) BPJS Kesehatan, Budi Mohamad Arief mengatakan Permenkes yang diundangkan 17 Desember 2018 itu mengatur 2 hal utama. Pertama, urun biaya yang merupakan tambahan biaya yang dibayar peserta saat memperoleh manfaat pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan. Pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan yaitu pelayanan yang dipengaruhi selera dan perilaku peserta.

Untuk menentukan jenis pelayanan apa saja yang dapat menimbulkan penyalahgunaan, kata Budi, akan ditetapkan Menteri Kesehatan (Menkes). Penetapan itu dilakukan setelah pemangku kepentingan yakni BPJS Kesehatan, organisasi profesi, dan/atau asosiasi fasilitas kesehatan menyampaikan usulan berdasarkan data dan analisa pendukung. Untuk menetapkan jenis pelayanan itu, Menkes membentuk tim dari unsur Kemenkes, BPJS Kesehatan, organisasi profesi, asosiasi fasilitas kesehatan, akademisi dan pihak lain yang terkait.

“Mekanisme yang pertama itu pemangku kepentingan menyampaikan usulan, tim yang dibentuk Menkes membahas usulan itu. Kemudian dilakukan uji publik dan diserahkan ke Menkes untuk ditetapkan,” kata Budi dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (18/1/2019).

Setelah Menteri Kesehatan menetapkan usulan yang telah melalui proses uji publik itu, Budi menekankan urun biaya tidak otomatis berlaku. Proses terakhir yang harus dilalui sebelum kebijakan ini diterapkan yakni melakukan sosialisasi. Jika Menteri Kesehatan menolak usulan itu, penolakan tersebut akan disampaikan kepada pengusul.

Fasilitas Kesehatan (faskes) berperan penting menginformasikan jenis pelayanan yang dikenai urun biaya serta besarannya kepada keluarga atau keluarga peserta sebelum pelayanan kesehatan diberikan. Budi menegaskan urun biaya sekaligus pelayanannya itu dikenakan setelah peserta atau keluarganya memberikan persetujuan. Urun biaya dibayar oleh peserta kepada faskes setelah mendapat pelayanan kesehatan.

Besaran urun biaya yang dibayar peserta Rp20 ribu untuk setiap kali kunjungan rawat jalan pada RS kelas A dan B. Untuk RS kelas C dan D serta klinik utama besarannya Rp10 ribu. Atau paling tinggi Rp350 ribu untuk maksimal 20 kali kunjungan dalam jangka waktu 3 bulan. Untuk rawat inap besarannya 10 persen dari total biaya pelayanan dihitung dari total tarif INA-CBGs setiap melakukan rawat inap atau paling tinggi (maksimal) Rp30 juta.

Kedua, selisih biaya yaitu tambahan biaya yang dibayar peserta saat mendapat manfaat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi daripada haknya. Misalnya, peserta minta dilayani di poliklinik eksekutif. Dalam kasus ini, peserta dikenakan selisih biaya antara biaya yang dijamin BPJS Kesehatan dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan pelayanan. Peningkatan pelayanan rawat jalan ini tidak berlaku untuk peserta penerima bantuan iuran (PBI) dan pekerja penerima upah (PPU) yang mengalami PHK.

Budi mengingatkan peningkatan kelas pelayanan untuk rawat inap hanya boleh naik satu tingkat di atas kelas pelayanan yang menjadi haknya. Misalnya, dari rawat inap kelas 3 ke kelas 2, dan kelas 2 ke kelas 1. Untuk peningkatan pelayanan ini peserta harus membayar selisih biaya antara tarif INA-CBGs pada kelas rawat inap lebih tinggi yang dipilih dengan tarif INA-CBGs pada kelas rawat inap sesuai hak peserta.

Untuk peningkatan kelas rawat inap di atas kelas 1, Budi menjelaskan pembayaran selisih paling banyak 75 persen dari tarif INA-CBGs kelas 1. Pembayaran selisih biaya pelayanan rawat jalan eksekutif paling banyak Rp400 ribu untuk setiap episode rawat jalan. Selaras itu, Budi menegaskan kebijakan ini tidak ditujukan untuk mengatasi defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) BPJS Kesehatan, tapi mengedukasi peserta agar mengetahui pelayanan apa saja yang tidak diperlukan.

Cukup rasional

Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, berpendapat kebijakan urun biaya dan selisih biaya ini cukup rasional untuk diberlakukan dalam program JKN. Dari informasi yang diperolehnya, Tulus melihat sering terjadi persoalan di lapangan, misalnya peserta mendapat hak perawatan kelas 3, tapi ketika membutuhkan pelayanan kesehatan peserta ini melakukan peningkatan kelas perawatan ke VIP.

“Ini celah regulasi. Mengingat program JKN itu asuransi sosial, celah itu layak untuk diantisipasi,” ujarnya.

Tulus menekankan kepada pemangku kepentingan untuk menetapkan secara baik dan benar pelayanan kesehatan apa saja yang dapat berpotensi menimbulkan penyalahgunaan pelayanan. Jangan sampai aturan ini membuat pasien dieksploitasi, misalnya peserta bisa melahirkan secara normal, tapi dokter menyarankan untuk operasi caesar. Tindakan pelayanan kesehatan seperti ini menurut Tulus justru membebani program JKN.

“Tapi kalau konsumen (peserta) itu menginginkan pelayanan kesehatan yang sebenarnya tidak perlu, maka kebijakan urun biaya cukup rasional diterapkan,” katanya.

sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c41a9fc64a5a/terbit-aturan-urun-biaya-jkn--begini-mekanismenya

 

BPJS putus kerja sama dengan puluhan RS, satu juta pasien terdampak

Lebih dari satu juta pasien terancam tidak dapat mengakses layanan BPJS secara maksimal terkait konflik akreditasi dan rekredensialing rumah sakit, kata kepala bidang advokasi lembaga swadaya masyarakat BPJS Watch, Timboel Siregar.

BPJS Kesehatan mengakhiri kerja sama dengan 65 rumah sakit swasta di berbagai daerah di Indonesia terhitung mulai 1 Januari 2019.

Pemutusan itu dilakukan karena puluhan rumah sakit tersebut belum mendapatkan sertifikat akreditasi, menurut keterangan Kepala Humas BPJS Kesehatan, M. Iqbal Anas Ma'ruf.

Sementara itu 15 rumah sakit lain putus kerja sama karena tidak memenuhi syarat rekredensialing atau uji kelayakan ulang.

Timboel mengatakan langkah BPJS untuk mengakhiri kerja sama dengan puluhan rumah sakit swasta dapat berdampak buruk pada pelayanan masyarakat yang diterima masyarakat.

Saat ini saja, ujarnya, banyak pasien yang harus menunggu lama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit-rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS.

Timboel mengasumsikan satu rumah sakit memiliki 50 kamar perawatan, sehingga setidaknya 65 rumah sakit yang gagal akreditasi memiliki 3.250 kamar rawat. Jika satu kamar berisi tiga orang, secara hitung-hitungan kasar, akan ada 9.750 orang yang terdampak konflik ini.

Dengan asumsi masa perawatan satu orang sekitar tiga hari dan kamar-kamar hanya terisi 80% saja, kata Timboel, selama satu tahun sebanyak 949.000 orang akan terdampak kebijakan ini.

Jika satu rumah sakit memiliki 100 kamar dan angka pasien rawat jalan dimasukkan dalam hitungan, jumlah orang yang terdampak bisa mencapai sekitar satu juta orang. Angka ini masih belum termasuk jumlah rumah sakit yang tidak memenuhi syarat kredensialing, katanya.

"Kalau saya sih menghitung secara kasar satu jutaan pasien bisa (terdampak) satu tahun," ujarnya kepada wartawan BBC News Indonesia, Callistasia Wijaya.

Konflik akreditasi dan kredensialing rumah sakit

Akreditasi dan kredensialing adalah syarat mutlak untuk kerja sama antara BPJS dan rumah sakit yang disyaratkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 99 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan No 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional.

Iqbal mengatakan pemerintah sudah memberi kesempatan kepada rumah sakit yang ada untuk mengurus sertifikat akreditasi sedari tahun 2014, saat program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dimulai.

Mereka diberi waktu lima tahun untuk mendapatkan akreditasi. Jangka waktu itu berakhir di tahun 2019 ini.

Namun, lanjutnya, sampai saat ini beberapa rumah sakit "membandel" dan enggan mengurus akreditasi mereka.

Iqbal mengatakan akreditasi itu wajib hukumnya untuk menjamin keamanan pasien dan tenaga kesejatan rumah sakit.

"Standar Rumah Sakit untuk memberikan layanan yang berkualitas pembuktiannya ya lewat sertifikat akreditasi yang melewati assesment oleh Komite Akreditasi Rumah Sakit," kata Iqbal.

Menurut Iqbal, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan, telah memberikan kesempatan bagi rumah sakit yang belum diakreditasi untuk melanjutkan kerja sama.

Tahun lalu, mereka diminta untuk memberikan surat komitmen bahwa mereka akan menyelesaikan proses akreditasi.

Jika rumah sakit itu mengirimkan surat komitmen tersebut, kementerian akan menerbitkan surat rekomendasi untuk meneruskan kerja sama. Untuk sementara, rekomendasi itu dapat menggantikan sertifikat akreditasi.

Namun, kata Iqbal, puluhan rumah sakit swasta yang belum terakreditasi tidak juga mengirimkan surat komitmen mereka.

"Ketika rumah sakit ternyata diminta bikin surat komitmen oleh Kemenkes saja tidak buat, apa susahnya sih buat surat komitmen? ...Sehingga tidak ada alasan juga kementerian kesehatan untuk memberikan rekomendasi. Dasarnya apa? Wong orangnya juga nggak komit kok," katanya.

Sejauh ini, sekitar 1.400 rumah sakit di Indonesia sudah terakreditasi. Menurut Iqbal, jika rumah sakit itu memang berkomitmen untuk bekerja sama dengan BPJS, mereka bisa berkonsultasi dengan rumah sakit terakreditasi lainnya.

Sementara itu, untuk memenuhi syarat kredensialing, rumah sakit harus memiliki Surat Izin Operasional, Surat Penetapan Kelas Rumah Sakit, Surat Izin Praktik (SIP) tenaga kesehatan yang berpraktik, NPWP badan, perjanjian kerja sana dengan jejaring (jika diperlukan), sertifikat akreditasi dan surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan JKN.

Masih benahi fasilitas

Salah satu rumah sakit yang putus kontrak dengan BPJS adalah Rumah Sakit Ibu Anak Permata Pertiwi, Citeureup, Bogor, Jawa Barat.

Salah satu staf rumah sakit yang bertugas mengurus layanan BPJS, Lisa Atna Aprillia, mengatakan saat ini rumah sakit tersebut tidak melayani pasien BPJS Kesehatan karena rumah sakit belum diakreditasi.

Lisa mengatakan rumah sakit yang baru berdiri sejak tahun 2016 ini memang belum diakreditasi karena fasilitasnya yang belum memadai. Rumah sakit, lanjutnya, baru memiliki laboratorium dan belum memiliki ruang rontgen.

"Selain itu yang pertama dari segi Sumber Daya Manusia (SDM) juga mesti dilengkapi. Kita juga masih belum lengkap, masih belum sesuai untuk kamar, bed, SDM, pokoknya keperluan rumah sakit aja sih," kata Lisa.

Oleh karena itu, Lisa mengatakan pihak rumah sakit meminta pasien BPJS Kesehatan, yang jumlahnya sekitar 130 orang per bulan, untuk berobat di fasilitas kesehatan lain.

Sementara itu, Rumah Sakit Karya Medika II, Tambun, Bekasi, Jawa Barat, putus kontrak karena masalah rekredensialing.

Anggita, staf marketing di rumah sakit itu mengatakan rumah sakit sedang menjalani proses renovasi untuk memenuhi syarat yang ditetapkan oleh kementerian kesehatan.

Pasien menyayangkan

Salah seorang pengguna BPJS Kesehatan, Suntina, 24, warga Kramatjati, Jakarta Timur, mengatakan ia berharap layanan BPJS tetap diberikan untuk para pasien.

Suntina adalah salah satu pasien yang menggunakan BPJS Kesehatan untuk operasi Caesar dua bulan lalu di rumah sakit Rumah Sakit Restu Kasih di Kramat Jati, Jakarta Timur.

"Saya [operasi] caesar lahirannya nggak dikenai biaya satu rupiah pun pakai BPJS," ujarnya.

Dia berharap pasien lain dapat tetap menikmati layanan BPJS.

"Saya berharap jangan dihilangkan BPJS itu karena sangat membantu orang-orang yang nggak mampu, nggak punya," katanya.

Sementara itu, Iqbal berujar ia yakin pemutusan kontrak dengan beberapa rumah sakit itu tidak akan berimbas signifikan pada pelayanan pasien.

Misalnya, di Cikarang, Jawa Barat, lanjutnya, ada 32 rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS. Ketika ada tiga rumah sakit yang putus kontrak, lanjutnya, jumlah rumah sakit yang bisa melayani pasien BPJS masih cukup banyak.

Lagipula, katanya, rumah sakit pemerintah tetap tersedia untuk para pasien.

Ia kemudian meminta rumah sakit yang putus kontraknya untuk segera menyelesaikan proses akreditasi rumah sakit supaya mereka kembali bisa melayani pasien BPJS.

Jangan ganggu pasien

Timboel mengatakan pemerintah sebaiknya tidak terlalu kaku dengan aturan akreditasi ataupun rekredensialing karena hingga kini suplai layanan kesehatan masih jauh dibawah demand masyarakat.

Saat ini saja, katanya, masyarakat masih sering kesulitan mencari ruang perawatan, juga Intensive Care Unit (ICU) dan Pediatric Intensive Care Unit (PICU).

"Kalau hukum positifnya mengatakan ada sertifikat akreditasi ya memang harus juga, tetapi bisalah dikasih kesempatan kembali. Memang nih rumah sakit ada bandelnya juga. Nah tapi jangan juga langsung diputus kerja samanya karena dari sisi suplai (layanan kesehatannya) kita masih kurang," katanya.

Terkait rekredensialing, Timboel meminta BPJS untuk tidak sekadar memeriksa rumah sakit dan memutus kerja sama. BPJS, katanya, perlu memonitor rumah sakit yang berkerja sama supaya mereka bisa melengkapi syarat-syarat yang belum terpenuhi.

sumber: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46780599

 

Telemedicine, Strategi alternatif dunia Kesehatan Indonesia

Esaunggul.ac.id, Program Studi Manajemen Informasi Kesehatan Universitas Esa Unggul, pada hari Minggu, 16 Desember 2018 menggelar Seminar Nasional dengan tema “Perspektif Telemedicine and e-Health di Indonesia” di Ruang 811 Universitas Esa Unggul, Kebon Jeruk. Dalam seminar ini menghadirkan dua pembicara yaitu Andi Saptono, PhD dari Pittsburgh University dan Hasan Sadikin, Amd. Perkes, S.ST, MKM dari DPD Pormiki DKI Jakarta dan sebagai moderator Dr. Hosizah, SKM, MKM.

Pembicara pertama, Andi Saptono menjelaskan tentang konsep dasar dan implementasi Telemedicine di Indonesia. Telemedicine merupakan strategi alternatif yang dapat membantu pasien untuk terhubung dengan tenaga ahli kesehatan. Dengan menggunakan Telemedicine diharapkan mampu mengurangi beban biaya dan waktu perjalanan karena terhubung dengan teleconference. Teknologi ini dapat meningkatkan aksesibilitas pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi masyarakat, khususnya masyarakat di daerah terpencil.

“Permasalahan yang saat ini akrab dihadapi oleh Indonesia ialah jarak tempuh yang dialami masyarakat dalam mengakses fasilitas Kesehatan. Sehingga biaya kesehatan tinggi, tidak jarang masyarakat kesulitan untuk mendapatkan pengobatan dari tenaga medis untuk itu Telemedic hadir untuk mengurangi bahkan mengatasi permasalahan tersebut, karena pasien dapat langsung berkonsultasi lewat Teleconfrence, karena teknologi ini memungkinkan pasien untuk meminimalisir biaya perjalanan, sehingga dapat meningkatkan aksesibilitas pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi masyarakat, khususnya masyarakat di daerah terpencil. ” tutur Andi di Universitas Esa Unggul beberapa waktu yang lalu.

Andi Melanjutkan Telemedicine dipilih sebagai salah satu upaya percepatan peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan yang diinstruksikan Presiden kepada Menteri Kesehatan melalui Instruksi Presiden nomor 9 tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Sayangnya, Andi meneruskan Implementasi telemedicine membutuhkan banyak sumberdaya dan kesiapan meliputi ketersediaan listrik dan internet yang memadai sehingga program ini betul-betul dapat menjangkau masyarakat di daerah terpencil. Di Indonesia umumnya infrastruktur listrik dan internet masih menjadi kendala sehingga belum cukup efektif diterapkan di Indonesia.

“Telemedicine di Indonesia sendiri saat ini masih terkendala oleh infrastruktur yang belum cukup memadai di daerah-daerah terpencil. Sehingga perlu ada peningkatan Infrastruktur oleh pemerintah untuk mengembangkan infrastruktur seperti listrik dan internet di sejumlag wilayah di Indonesia,” ujarnya.

Sedangkan pembicara kedua Hasan mengulas tentang peningkatan kompetensi PMIK dalam era revolusi industri 4.0. Perekam Medis dan Informasi Kesehatan (PMIK) merupakan tenaga kesehatan yang melakukan tugas dalam pendokumentasian pelayanan kesehatan pasien. Dengan adanya telemedicine dan secara luas perkembangan revolusi industri 4.0 membuat PMIK bekerja lebih efisien. Butuh kesiapan dari seluruh aspek sumber daya dalam mengahadapi revolusi industri 4.0, oleh karena itu peningkatan kompetensi PMIK harus terus dilakukan.

Selepas acara Seminar Nasional, di hari senin (17/12) dilakukan pembahasan MoU antara Program Studi Informasi Manajemen, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan, Universitas Esa Unggul dengan Department of Health Information Management University of Pittsburgh yang diwakili oleh Andi Saptono, PhD. direncanakan dalam MoU tersebut akan dilaksanakan penjajakan pertukaran pelajar dan tenaga pengajar, kerjasama riset penelitian, pembinaan kurikulum dan sertifikasi.

sumber: https://indonesiana.tempo.co/

 

 

4 Kebijakan Pemerintah untuk Anak yang Akan Berlaku di Tahun 2019

Ada sejumlah kebijakan pemerintah yang akan diterapkan tahun 2019, salah satunya berdampak untuk anak. Kebijakan tersebut berlaku baik dalam sektor pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.

Nah Moms, sebagai orang tua, jangan sampai Anda ketinggalan beritanya. Berikut adalah 4 kebijakan pemerintah untuk anak yang akan berlaku di tahun 2019 ini.

1. Pendidikan Anti-Korupsi Dimasukkan dalam Kurikulum

Kesadaran anti-korupsi memang harus ditanamkan sejak dini. Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berkomitmen untuk memasukkan pendidikan anti-korupsi dalam kurikulum jenjang sekolah dasar, menengah, dan tinggi.
Ide pendidikan anti-korupsi datang dari KPK dan disepakati oleh 4 institusi kementerian, yakni Kemendikbud, Kemendagri, Kemenristekdikti, dan Kemenag. Meski begitu, subjek ini tidak menjadi mata pelajaran baru. Namun akan diimplementasikan dalam program-program yang lebih kreatif.

2. Sistem Zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru

Kebijakan ini telah ditetapkan oleh Kemendikbud demi mempercepat pemerataan pendidikan dan program wajib belajar 12 tahun. Dengan sistem zonasi ini, siswa harus belajar di sekolah yang berdekatan atau satu kawasan dengan tempat tinggalnya berdasarkan alamat di Kartu Keluarga.
Sebenarnya sistem ini sudah diterapkan sejak 2017, namun belum semua sekolah negeri. Pada tahun ajaran 2019/2020 mendatang, PPDB dengan sistem zonasi bisa dimulai sejak awal tahun, bukan menjelang tahun ajaran baru seperti tahun-tahun sebelumnya.
Menariknya tak hanya murid-murid yang harus mengikuti sistem zonasi, melainkan juga guru. Mulai 2019 ini, guru juga dirotasi berdasarkan sistem zonasi demi pemerataan kualitas guru di setiap sekolah.

3. Imunisasi MR jadi Program Imunisasi Nasional

Pemberian vaksin MR (Measles Rubella) yang diprogramkan Kemenkes sempat diragukan masyarakat muslim karena dalam pembuatannya menggunakan bahan enzim babi. Meski begitu, MUI mengeluarkan fatwa bahwa vaksin MR masih diperbolehkan bagi umat muslim mengingat, sampai saat ini belum ada vaksin MR yang halal.
Pada 2019 imunisasi MR siap menjadi program imunisasi nasional rutin. Sebelumnya imunisasi MR serentak di Pulau Jawa telah dilakukan pada Agustus-September 2017 lalu. Sementara di luar Pulau Jawa telah dilaksanakan lewat kampanye Imunisasi MR fase II pada Agustus-September 2018.
Jadi jangan sampai si kecil melewatkan imunisasi MR demi mencegah dan melindunginya penyakit campak rubella, ya Moms!

4. Pemerintah Daerah Wajib Gelar PAUD

Kemendikbud juga mewajibkan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pendidikan anak usia dini (PAUD). Hal itu tertuang pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang mulai berlaku 1 Januari 2019.
Pada pasal 5, dijelaskan bahwa tiap kabupaten/kota wajib memiliki SPM pendidikan, salah satunya adalah pendidikan anak usia dini (PAUD). Fasilitas PAUD ini bisa dimanfaatkan untuk anak usia 5-6 tahun.

sumber: https://kumparan.com/@kumparanmom/4-kebijakan-pemerintah-untuk-anak-yang-akan-berlaku-di-tahun-2019-1546313097529416545

 

1 Januari 2019 tenggat pendaftaran BPJS Kesehatan, tapi belum dikenakan sanksi

Warga yang belum terdaftar sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) lewat 1 Januari 2019 belum dikenakan sanksi, kata juru bicara BPJS Kesehatan.

Dengan kata lain, warga masih bisa mendapatkan pelayanan publik tertentu, seperti Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), tanpa menjadi peserta BPJS Kesehatan.

Kepala Humas BPJS Kesehatan, M Iqbal Anas Ma'ruf, mengatakan aturan tentang sanksi administratif "masih disusun di kementerian/lembaga terkait".

"Kalau belum mendaftar ya belum ada sanksi," kata Iqbal kepada BBC News Indonesia.

Perpres No. 82 Tahun 2018 mewajibkan pendaftaran ke BPJS Kesehatan paling lambat tanggal 1 Januari 2019 bagi peserta mandiri — dengan kata lain, warga yang belum didaftarkan oleh perusahaan/badan usaha tempatnya bekerja dan warga bukan penerima bantuan iuran.

Adapun sanksi bagi warga yang belum mendaftar tertuang dalam PP No. 86 Tahun 2013, yakni sanksi administratif berupa teguran tertulis, denda, atau tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu.

Menurut pasal 8 dan 9 undang-undang tersebut, identitas kepesertaan jaminan sosial menjadi persyaratan untuk mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Surat Izin Mengemudi (SIM), sertifikat tanah, paspor, dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).

Namun demikian, Iqbal mengatakan bahwa kewenangan untuk menerapkan sanksi terkait layanan publik tersebut bukanlah pada BPJS Kesehatan melainkan lembaga terkait.

"Jadi kalau SIM di Polri, sementara Polri kan pertimbangannya belum untuk menerapkan bahwa itu (kepesertaan JKN) menjadi syarat ketika mengurus SIM ... Contoh kalau IMB, pemerintah daerah kabupaten/kota kan yang memiliki wewenang untuk mensyaratkan itu," kata Iqbal.

"Koordinasi sudah kita lakukan, cuma belum sampai pada keputusan apakah memang harus diterapkan dalam waktu dekat," ia menambahkan.

Kewajiban untuk mendaftar secara mandiri berlaku bagi kelompok Pekerja Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja; dan bayi baru lahir dari peserta mandiri wajib didaftarkan kepada BPJS Kesehatan paling lambat 28 hari sejak dilahirkan. Selama jangka waktu tersebut, si bayi masih ditanggung JKN.

"Sekarang [bayi] dalam kandungan sudah bisa didaftarkan. Kalau bayar iurannya setelah dilahirkan," ujar Iqbal.

Kewajiban mendaftar ke BPJS Kesehatan adalah ikhtiar pemerintah untuk meningkatkan cakupan program JKN dengan menyasar para pekerja di sektor informal — sektor yang menyerap hampir 60% tenaga kerja Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS).

Cakupan JKN pada Oktober 2018 baru mencapai mencapai 76% atau sekitar 207 juta orang. Pada tahun depan, angka itu ditargetkan bertambah sampai 95%.

sumber: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46725458

 

PLN Tanggung Seluruh Biaya Pengobatan Korban Tsunami Selat Sunda

Direktur Utama PLN Sofyan Basir berjanji, seluruh biaya perawatan medis maupun santunan untuk para pegawai dan keluarga, korban tsunami Selat Sunda bakal ditanggung seluruhnya secara langsung oleh PLN pusat. Hal ini juga berlaku untuk para pengisi acara yang menjadi korban atas musibah tersebut.

“Seluruh biaya kita cover, kami sudah sampaikan ke pihak rumah sakit. Biaya yang keluar kami tanggung sepenuhnya,” kata Sofyan saat menjenguk puluhan pegawai dan keluarga besar PLN yang dirujuk ke Rumah Sakit Puri Cinere, Depok, Jawa Barat pada Senin 24 Desember 2018.

Selain menanggung biaya medis, PLN juga bakal memberikan santunan untuk para pegawai dan keluarga yang meninggal akibat musibah itu. “Kalau berapa nominal yang kami siapkan belum tahu, tapi InsyaAllah kami tanggung,” janjinya

Diungkapkan Sofyan, peristiwa itu terjadi pada saat pegawai dan keluarga sedang melakukan kegiatan rutin tahnunan, berupa gathering di Tanjung Lesung, Banten pada Sabtu 22 Desember 2018. Sofyan sendiri mengaku, dirinya mendapat kabar informasi musibah tsunami sekira pukul 21:45 WIB.

“Kami dengar bahwa sedang berlangsung acara gathering, dan sekira pukul 21:45 WIB, tiba-tiba ada air bah masuk. Sama sekali tidak terdengar suara air, tidak diketahui. Ini betul-betul musibah, yang memang hnaya Allah yang tahu, ini takdir. Tentu kami sangat berduka atas kejadian ini,” katanya

Mendengar adanya kabar tersebut, Sofyan menegaskan, PLN langsung bertindak cepat dengan mengirimkan sebanyak 31 unit ambulans. “Kebetulan dekat lokasi ada PLN Banten, jadi proses penanganan evakuasi bisa satu jam lebih cepat,” ujarnya.

Akibat kejadian itu, tercatat ada 42 orang keluarga besar PLN yang menjadi korban tewas. 16 diantaranya pegawai, dan sisanya adalah keluarga dan pengisi acara yang juga tidak selamat. Sedangkan lima orang lainnya hingga kini belum ditemukan.

sumber: https://www.viva.co.id/berita/nasional/1106098-pln-tanggung-seluruh-biaya-pengobatan-korban-tsunami-selat-sunda 

 

Peneliti Temukan Lemahnya SIstem Kesehatan JKN dan Dampak JIka Tak Dibenahi

Sebuah studi terkini yang dipublikasikan di jurnal The Lancet menjelaskan bahwa Indonesia teIah menciptakan skema Universal Health Coverage (UHC) yang adaptif dan fleksibel yaitu JKN dan BPJS Kesehatan .

Penelitian yang dipimpin dr. Rina Agustina, MSc, PhD dari Departemen llmu Gizi, FKUl-RSCM ini memaparkan pencapaian, kesenjangan, dan kesempatan dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan ( BPJS ) daIam memperluas cakupan, akses pelayanan dan keadiIan untuk pelayanan kesehatan.

Dalam presentasinya, dr Rina mengatakan sejak dilaksanakan pada 2014, sistem JKN dan BPJS teIah menjadi sistem asuransi dengan skema pembayar premi tunggal terbesar di dunia yang menanggung Iebih dari 203 juta orang hingga saat ini. Menurut temuan ini, dr Rina menekankan bahwa sebenarnya JKN sudah mampu memperbaiki akses dan pemerataan pelayanan kesehatan, khususnya pada kelompok keIas ekonomi bawah di wilayah pedesaan, terutama di wiIayah timur Indonesia serta meningkatkan perawatan penyakit tidak menuIar.

"Namun, studi ini menemukan tiga masalah kesenjangan yang membutuhkan perhatian segera, terutama terkait kelompok rentan dan keberlanjutan finansial. Jika tidak segera diatasi, kesenjangan ini dapat membahayakan keberlanjutan di masa mendatang," ujar dr Rina dalam temu media di Aula FKUI, Jakarta, Kamis (20/12/2018).

Pertama, dr Rina menguraikan permasalahan dari sistem JKN ialah adanya keIompok yang disebut sebagai 'missing midle', dimana hanya 52 persen orang yang terdaftar pada usia 20 hingga 35 tahun dari lapisan ekonomi menengah. Dan hanya 25 persen pendaftar anak-anak sejak dilahirkan hingga usia 4 tahun.

Permasalahan kedua, kata dia, adalah kesenjangan finansial yang dirasakan oleh JKN dan BPJS dimana pendapatan tidak dapat menutup pengeluraran. Hal ini utamanya disebabkan oleh rendahnya iuran dan tingginya klaim untuk penyakit kronis.

"Studi ini mengungkapkan sebanyak 23 persen peserta mendaftar ketika mereka sakit. Selain itu, mereka yang telah memiliki sejarah penyakit kronis juga terbukti sangat antusias mendaftar sebagai peserta JKN. Meningkatnya risiko terhadap hipertensi, diabetes, dan penyakit jantung, pada akhinya meningkatkan klaim kesehatan untuk jangka panjang," tambah dia.

Permasalahan ketiga yang disoroti temuan ini adalah kesiapan layanan kesehatan. Seiring dengan meningkatkan kebutuhan peserta JKN dan BPJS, jumlah tenaga dan fasilitas medis, kata dia, belum memadai, terutama di rumah sakit umum maupun puskesmas.

"Salah satu tujuan utama dari JKN dan BPJS adalah untuk memperkuat peran pusat kesehatan masyarakat di tingkat primer; maka kurangnya tenaga, fasilitas, obat, dan peralatan kesehatan di lini terdepan dapat memangkas rujukan yang tidak diperlukan, yang pada akhirnya akan memperbesar biaya secara keseluruhan," tambah dia.

Temukan 3 Solusi

Selain menunjukkan beberapa permasalahan yang masih ditemukan dalam sistem JKN dan BPJS ini, dr Rina dan tim peneliti memberikan beberapa rekomendasi untuk menciptakan sistem kesehatan yang tangguh dan berdampak tinggi.

Pertama, peneliti mengusulkan percepatan kepesertaan dan pengumpulan iuran, terutama dalam kelompok pekerja di sektor informal atau missing middle, dan kelompok ibu hamil dan anak-anak.

"Saat ini, terdapat sekitar 56,4 juta orang yang belum masuk JKN. Lebih lanjut, studi juga melaporkan bahwa pembayaran premi asuransi bukanlah penyebab utama kelompok tersebut tidak bergabung dalam JKN, namun lebih pada permasalahan ketersediaan layanan dan kurangnya pemahaman tentang asuransi," tambah dia.

Rekomendasi kedua, dan yang paling penting menurut dr Rina adalah inovasi untuk pendekatan preventif dan promotif untuk mendukung pendekatan kuratif dari UHC. lnovasi pertama adalah pendekatan preventif Universal Risk Coverage (URC), dimana pemerintah harus menciptakan investasi multisektoral untuk mengurangi faktor risiko utama dalam mencegah atau menunda penyakit sehingga mampu menekan biaya tinggi penyakit di masa mendatang.

"Investasi pada kesehatan ibu dan anak, perawatan terhadap tumbuh kembang anak, sanitasi yang layak terutama di daerah pedesaan dan terpencil, pola hidup sehat, kualitas diet yang lebih baik dan olahraga dapat mengurangi tingginya biaya kesehatan yang diakibatkan oleh penyakit menular dan tidak menular," kata dia.

lnovasi selanjutnya adalah Universal Cause Coverage (UCC) yang fokus pada reformasi kebijakan dan investasi yang mendukung promosi gaya hidup sehat. Dengan demikian, kata dr Rina sebuah sistem terpadu yang bertransformasi dari UHC yang bersifat kuratif, URC yang bersifat pencegahan dan UCC yang bersifat promotif; akan dapat menjadi jaring pengaman kesehatan yang terbaik bagi masyarakat.

"Terakhir, rekomendasi ketiga dalam studi ini menekankan pada penguatan lini terdepan kegiatan berbasis masyarakat dan sistem informasi kesehatan digital yang berbasis data untuk meningkatkan efisiensi dan memandu terciptanya solusi bagi permasalahan kesehatan lndonesia dengan kondisi yang beragam," tandas dia.

sumber: https://www.suara.com/health/2018/12/20/133457/peneliti-temukan-lemahnya-sistem-kesehatan-jkn-dan-dampak-jika-tak-dibenahi

 

Bahas JKN, Paper Peneliti Indonesia Masuk Jurnal Ilmiah Bergengsi

Jakarta - Artikel ilmiah tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang ditulis oleh peneliti Indonesia berhasil masuk jurnal ilmiah bergengsi dunia The Lancet.

Tak semua artikel ilmiah bisa dipublikasikan dalam The Lancet. Hanya yang berkualitas tinggi yang bisa, seperti Universal Health Coverage in Indonesia: Concept, Progress, and Challenges ini. Paper ini dipublikasikan pada 20 Desember 2018 pukul 06.30. Di dalam studi ini memaparkan pencapaian, kesenjangan, dan jaminan JKN dan BPJS Kesehatan dalam memperluas cakupan, akses pelayanan dan keadilan untuk pelayanan kesehatan.

Tak hanya peneliti di bidang kesehatan, paper ini juga melibatkan ekonom sehingga hasilnya begitu komprehensif dan padat.

"Paper ini dibuat dengan suatu optimisme dan motivasi bahwa Indonesia harus diketahui oleh dunia," kata penulis pertama, Rina Agustina dari Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Aula FKUI Salemba Jakarta Pusat pada Kamis (20/12/2018).

Salah satu hal yang menarik dalam paper ini tentang kelompok menengah yang hilang. Yakni sekitar 52 persen penduduk usia 20-35 tahun yang terdaftar sebagai peserta JKN.

"Mereka ini orang muda yang produktif dan sebenarnya bisa membayar. Selain itu kesehatannya pun cenderung masih bagus sehingga jika menjadi peserta bisa menambah pendapatan BPJS Kesehatan," tambah Rina di hadapan ratusan audiens.

Permasalahan kedua yang ditemukan dalam paper ini tentang kesenjangan finansial JKN dengan keadaan pendapatan tidak menutupi pengeluaran. Hal ini disebabkan, kata Rina, rendahnya iuran dan tingginya klaim penyakit kronis.

Permasalahan ketiga tentang layanan kesehatan yang belum memadai. Seiring dengan bertambahnya jumlah peserta yang kini mencapai sekitar 203 juta, jumlah tenaga kesehatan dan fasilitas belum memadai.

Rekomendasi

Dalam paper ini para peneliti pun memberikan rekomendasi atas segala permasalahan yang terjadi empat tahun terakhir.

Pertama, peneliti mengusulkan percepatan kepesertaan dan pengumpulan iuran. Sasaran strategis adalah kelompok menengah pekerja dan ibu hamil dan anak-anak.

Kedua, inovasi pendekatan preventif dan promotif. Salah satunya dengan fokus pada 1000 hari pertama kehidupan.

"Dengan menurunkan stunting kita menurunkan kognitif rendah dan menurunkan jumlah mereka yg kena penyakit katastropik," ujar Endang Achadi yang juga peneliti dalam paper ini.

Rekomendasi terakhir adalah menekankan penguatan pada kegiatan masyarakat dan sistem informasi kesehatan digital sehingga lebih efisien.

Bukti Indonesia punya peneliti kelas dunia

Berhasilnya paper ini masuk jurnal The Lancet jadi bukti bahwa peneliti Indonesia berkualitas.

"Kalau paper atau artikel ilmiahnya sudah masuk The Lancet itu artinya sudah peneliti kelas dunia," kata Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Ari Fahrial Syam di kesempatan yang sama.

Sebuah paper yang masuk The Lancet akan menjadi sumber bagi penelitian lain serta kutipan di media massa. Sehingga, besar kemungkinan bisa menjadi rujukan perubahan kebijakan.

"Saya harap paper ini tidak hanya berhenti pada publikasi saja, tapi juga penting bagi pemangku kebijakan dan mereformasi JKN," kata Senior Executive Editor The Lancet, William Summerskill yang juga datang ke peluncuran paper ini dari London.

sumber: https://www.liputan6.com/