26 Dokter Spesialis Bantu Penanganan Pasien Korban Gempa Palu

TNI menyebut telah mengirimkan 26 Dokter Spesialis dari berbagai Rumah Sakit TNI dan Rumah Sakit Umum yang ada di seluruh Indonesia, di antaranya dari Medan, Makassar dan Jakarta, dalam rangka mempercepat proses penanganan warga masyarakat akibat bencana gempa bumi dan tsunami di Kota Palu dan Kabupaten Donggala.

Salah satu rumah sakit yang ditangani oleh 26 Dokter Spesialis dari TNI dan Rumah Sakit Umum diantaranya Dinkes Pemda DKI Jakarta adalah Rumah Sakit (RS) Tingkat IV Wirabuana yang lokasinya berada di Jl. Sisingamangaraja No. 4 Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Kepala RS Tingkat IV Wirabuana Palu, Mayor Ckm dr. Dudy Kusmartono, SpB, Sabtu (6/10/2018) dalam siaran persnya menyatakan, memasuki hari kedelapan pasca bencana gempa bumi dan tsunami, jumlah pasien yang dirawat sebanyak 612 orang dan umumnya kebanyakan wanita dan anak-anak.

“Dari 612 pasien yang di tangani oleh RS Tingkat IV Wirabuana, rata-rata pasien diberikan penanganan operasi yang berbeda-beda seperti operasi debridemen, patah tulang, sochiosecaria dan usus buntu,” ujarnya.

Ia menambahkan, bagi pasien yang membutuhkan penanganan lanjutan akan diberikan rujukan untuk dirawat di rumah sakit yang lebih lengkap.

“Ada beberapa pasien yang membutuhkan tindakan medis lebih lanjut, kita rujuk ke Rumah Sakit Makassar atau KRI dr. Soeharso-990 TNI AL,” ucap Mayor Ckm dr. Dudy Kusmartono.

Dijelaskan pula bahwa pasien yang dirujuk ke rumah sakit lebih besar adalah pasien tetanus dan beberapa pasien pasca melahirkan, yang mengalami pendarahan hebat.

“Di RS Tingkat IV Wirabuana Palu, kita tidak memiliki stok darah yang cukup sehingga membutuhkan penanganan yang lebih dan memiliki alat serta ruang operasi yang lengkap,” tuturnya.

Mayor Ckm dr. Dudy Kusmartono juga mengatakan bahwa delapan hari pasca bencana gempa dan tsunami, Rumah Sakit Tingkat IV Wirabuana telah melakukan operasi melahirkan sebanyak 19 pasien.

“Sebanyak 19 bayi telah lahir dengan selamat di rumah sakit ini,” katanya.

Sementara itu, sebanyak 25 personel Tim Medis TNI yang terdiri dari dokter dan perawat, dibawah pimpinan Kepala Kesehatan Kostrad Kolonel Ckm dr. A. Zumaro, M.Si., Med., SpB-KBD tiba di Desa Lende, Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Sabtu (6/10/2018).

Kepala Kesehatan Kostrad Kolonel Ckm dr. A. Zumaro mengatakan bahwa kedatangan Tim Medis TNI ke Desa Lende adalah untuk memberikan bantuan kesehatan kepada warga masyarakat korban bencana gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Sulawesi Tengah beberapa waktu lalu.

“Tim Medis TNI gabungan dokter dan perawat dari Satuan Batalyon Kesehatan 1/1 Kostrad dan Batalyon Kesehatan Pasukan Marinir (Pasmar), nantinya akan mendata berapa banyak korban luka yang ada di desa ini,” ujarnya.

Ditambahkan pula bahwa tim dokter dan perawat TNI akan menangani warga yang mengalami luka ringan, sedangkan untuk warga yang mengalami luka berat akan di evakuasi melalui udara dengan menggunakan Helikopter TNI, untuk selanjutnya dirawat di RS Terapung KRI dr. Soeharso-990.

“Selain memberikan bantuan medis, tim dokter dan perawat juga membawa bantuan berupa obat-obatan dan logistik bagi warga masyarakat Desa Lende,” katanya.

Lebih lanjut Kolonel Ckm dr. A. Zumaro menyampaikan bahwa para personel Tim Medis TNI juga akan memetakan seberapa parah dan banyak korban warga masyarakat korban bencana gempa bumi dan tsunami, termasuk pendistribusian logistik.

“Nantinya setelah dipetakan akan diketahui apa-apa saja yang dibutuhkan para warga masyarakat, hal ini untuk mempermudah pendistribusian obat-obatan dan logistik bagi para korban,” katanya.

 sumber: https://tirto.id/26-dokter-spesialis-bantu-penanganan-pasien-korban-gempa-palu-c5gW

 

Dilema Negara Bencana: Anggaran Tipis, Asuransi Tak Punya

CNN Indonesia -- Kondisi geografis Indonesia yang terletak di cincin api pasifik membuat Indonesia kerap dirundung bencana alam, khususnya gempa bumi. Belum lama wilayah Lombok dirundung duka akibat gempa, duka baru datang dari wilayah Palu dan Donggala.

Kedua wilayah tersebut diterjang gempa yang disusul tsunami pada Jumat (28/10). Terakhir, data menyebut korban jiwa mencapai 1.234. Seluruh bangunan dan infrastruktur luluh lantah.

Dengan kondisi negara rawan bencana, pemerintah harus mampu menyiapkan kebijakan-kebijakan guna meminimalisasi dan menanggulangi bencana yang mungkin terjadi. Hal ini bisa dilakukan mulai dari pemantapan studi dan kajian kebencanaan, membuat peta potensi bencana, hingga menyiapkan instrumen fiskal untuk penanggulangan dan pemulihan setelah bencana terjadi.

Khusus untuk kebijakan terakhir, tentu pemerintah bisa menggunakan instrumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Caranya, mengalokasikan anggaran tanggap darurat dan menyuntik dana pada lembaga-lembaga yang berhubungan dengan aktivitas bencana, seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Sebetulnya, kedua hal itu sudah dilakukan, tetapi anggarannya masih terbatas. Menurut data BNPB, pemerintah pusat menganggarkan dana tanggap darurat sebesar Rp4 triliun sebagai cadangan penanggulangan bencana. Dana tersebut terbagi atas Rp2 triliun untuk tanggap darurat dan Rp2 triliun lainnya untuk penanganan pascabencana, seperti revitalisasi dan konstruksi ulang.

Dalam APBN, dana tersebut diambil dari pos belanja lain-lain dengan nilai mencapai Rp67,2 triliun pada tahun ini atau meningkat 34,66 persen dari APBN Perubahan 2017 sebesar Rp49,9 triliun. Sayangnya, meski anggaran pos belanja lain-lain meningkat dari tahun ke tahun, tetapi dana tanggap darurat relatif tetap.

Sementara untuk suntikan anggaran ke BNPB, jumlahnya justru menyusut dari tahun ke tahun. Pada 2016, alokasi APBN untuk BNPB sebesar Rp1,6 triliun, namun kemudian dipotong sekitar Rp133 miliar sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2016 menjadi Rp1,46 triliun. Pada 2017, BNPB hanya mendapat anggaran sebesar Rp839,74 miliar dan pada tahun ini kembali menyusut menjadi Rp749,38 miliar.

Sedangkan pada tahun depan, pagu indikatif BNPB dipatok sekitar Rp700 miliar. Padahal, dalam Rencana Strategis (Renstra) BNPB 2015-2019, kebutuhan dana lembaga tersebut mencapai Rp1,94 triliun pada 2016, Rp2,19 triliun pada 2017, Rp2,5 triliun pada 2018, dan tahun depan Rp2,81 triliun.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan keterbatasan anggaran membuat lembaganya sulit mengupayakan mitigasi dan penanggulangan bencana alam, seperti tsunami yang belum lama ini terjadi di Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Tsunami kurang terdeteksi maksimal, salah satunya karena BNPB tak lagi memiliki buoy, alat pendeteksi tsunami berupa pelampung yang diapungkan di laut. Menurut Sutopo, BNPB memiliki 22 buoy sejak tsunami Aceh pada 2012 lalu. Namun, kini semuanya tidak beroperasi dan belum diganti karena keterbatasan anggaran.

"Pendanaan bencana itu terus turun tiap tahun. Ancaman bencana meningkat, kejadian bencana meningkat, anggaran BNPB justru turun. Ini berpengaruh terhadap upaya mitigasi. Pemasangan alat peringatan dini terbatas anggaran yang berkurang terus," ujar Sutopo dalam konferensi pers BNPB, belum lama ini.

Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal menilai terkuaknya keminiman mitigasi dari BNPB akibat keterbatasan anggaran menjadi ironi tersendiri bagi Indonesia. "Ini tidak merepresentasikan kesiapan Indonesia yang berada di ring of fire," ucapnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (2/10).

Padahal, menurutnya, penyesuaian anggaran menjadi kunci suksesnya mitigasi, penanggulangan, dan pemulihan bencana alam yang rentan terjadi di Indonesia. Untuk hal ini, pemerintah, katanya, bisa belajar dari Jepang yang sudah lebih handal menghadapi gempa.

Bahkan, sebagai sesama negara yang kerap dirundung gempa, Negeri Matahari Terbit itu punya anggaran besar dan khusus untuk gempa. Untuk itu, alokasi anggaran untuk pos ini perlu diperhatikan dan diberi alokasi yang mencukupi. Sebab, bencana alam menyangkut hajat hidup orang banyak.

Lebih lanjut, menurutnya, pengatur fiskal pemerintah seharusnya mudah menyesuaikan dengan kebutuhan dana BNPB karena sejatinya sudah ada kajian dan peta gempa nasional berskala 5 tahun.

"Itu sangat mungkin digunakan untuk penyiapan anggaran. Ditambah, gempa di Palu ini kan sebenarnya sudah bisa diprediksi dari tahun kemarin, seharusnya sudah diproyeksi dengan matang dampak dan kebutuhan anggarannya," katanya.

Selain itu, pemerintah juga bisa berhitung dari proyeksi kerusakan titik-titik rawan gempa. Misalnya, bila daerah A rawan gempa dan titiknya di Kota B, maka pemerintah tinggal mengkalkulasi nilai revitalisasi yang sekiranya dibutuhkan bila infrastruktur itu rusak ringan hingga total.

Anggaran untuk penanggulangan bencana tersebut, menurut dia, juga mutlak tak boleh diotak-atik. Misalnya, untuk belanja infrastruktur yang sebenarnya penting dan kini tengah digenjot pemerintah.

"Tapi yang penting juga, bangun infrastruktur yang sudah tahan gempa. Memang ini bisa extra cost (perlu biaya yang lebih besar), tapi dengan potensi bencana seperti ini, justru siapa tahu bisa mengurangi biaya kerusakan di kemudian hari," tuturnya.

Kemudian, yang tak ketinggalan penting adalah mengasuransikan Barang Milik Negara (BMN) dengan perluasan jaminan kerugian bencana alam. Dengan begitu, ketika ada bencana alam dan kerusakan, maka pemerintah tak perlu terlalu pusing menghitung kecukupan anggaran untuk pemulihan aset-aset negara.

"Lagi-lagi, di Jepang ini semua aset negara, bahkan aset masing-masing masyarakatnya sudah dilindungi oleh asuransi. Ini juga mungkin akan extra cost karena harus bayar premi, tapi penting manfaatnya," imbuhnya.

Solusi lain, menurutnya, pemerintah Indonesia bisa menggalang inisiatif dengan sesama negara rawan bencana alam untuk membentuk suatu organisasi pembiayaan. Menurutnya, hal ini bisa menjadi bantalan tambahan bila terjadi bencana.

"Sebelumnya sudah ada Chiangmai Initiative mengenai defisit transaksi berjalan, tapi sangat mungkin diadakan inisiatif baru untuk masalah bencana ini, misalnya nanti kerja sama dengan Jepang," ungkapnya.

Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Isa Rachmatawarta pernah mengatakan pemerintah memang sudah memikirkan kebijakan asuransi BMN. Pemerintah telah memiliki dua landasan hukum untuk kebijakan ini.

Pertama, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara dan Daerah. Kedua, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 247/PMK.06/2016 tentang Pengasuransian Barang Milik Negara. Sedangkan sampai semester I 2017, BMN yang berpotensi diasuransikan mencapai Rp2.183 triliun.

Kendati begitu, kebijakan ini tak bisa dieksekusi dalam waktu dan persiapan yang singkat. Pasalnya, dengan nilai BMN yang sangat besar, pemerintah tak bisa mengorbankan APBN untuk membayar premi asuransi.

Belum lagi, nilai BMN yang saat ini tercatat baru mewakili sekitar 38 persen dari potensi yang ada, sehingga pada waktu ke depan, nilainya diestimasi bisa meningkat hingga tiga kali lipat. Hingga semester I 2017, total aset pemerintah tersebut tercatat mencapai Rp2.183 triliun.

"Makanya kalau mau diasuransikan, kami buat program, mana yang akan diasuransikan lebih dulu. APBN tidak mungkin dipakai tanpa perencanaan yang jelas, meski untuk asuransi kekayaan negara," ucapnya, beberapa waktu lalu.

Untuk itu, Isa bilang, pemerintah akan lebih dulu mendata seluruh BMN. Kemudian, menentukan BMN mana saja yang lebih dulu diasuransikan, sembari mengukur kesiapan aliran APBN untuk asuransi ini. Namun, pemerintah menargetkan setidaknya kebijakan asuransi BMN ini sudah bisa dilakukan pada APBN 2019.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai pemerintah tak bisa menunggu terlalu lama untuk mengasuransikan BMN, apalagi Indonesia sedang dirundung bencana belakangan ini. "Justru ini bisa bertahap. Kalau menunggu selesai (didata), kapan bisa punya asuransinya?" ucapnya.

Menurut Bhima, pemerintah bisa mulai mengasuransikan BMN yang berada di titik-titik rawan bencana lebih dulu dengan memanfaatkan informasi dari studi dan kajian lembaga terkait. Dengan begitu, ketika ada bencana yang terjadi dalam waktu dekat, aset negara di titik tersebut sudah mendapat jaminan.

Lalu, masalah kecukupan APBN untuk membayar premi, menurutnya juga tidak terlalu terbebani bila dilakukan secara bertahap. Toh, tidak semua aset negara langsung diasuransikan, sehingga kebutuhan premi juga tidak penuh.

Di sisi lain, menurutnya, masalah premi ini seharusnya bisa ditanggung bersama oleh pemerintah pusat melalui APBN dan pemerintah daerah dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). "Jadi ada keterlibatan dari pemda untuk menyisihkan pajak daerah untuk premi asuransi bencana ini," terangnya.

Namun, akar dari semua masalah ini tentu yang penting adalah pemerintah juga berkomitmen untuk menambah alokasi anggaran untuk penanggulangan bencana alam di APBN. "Peningkatan dana BNPB dan cadangan di pemerintah perlu dilakukan, mumpung masih dalam pembahasan APBN 2019. Dua pos itu harus jadi prioritas," katanya.

Sementara Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Dody Achmad Sudiyar Dalimunthe mengatakan saat ini rancangan polis asuransi BMN sudah mulai disiapkan dan tengah disosialisasikan kepada seluruh anggota industri asuransi umum mengenai rencana pemerintah ini.

Sayangnya, ia enggan menjelaskan lebih rinci seperti apa ketentuan premi. Namun, pembahasan ini ditargetkan selesai akhir tahun ini. "Juga sedang sinkronisasi dengan kebutuhan DJKN sebagai pengguna asuransi. Selanjutnya, akan disusun proses pembentukan korsorsium yang akan menjadi penanggung," pungkasnya. (agi)

sumber: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20181002160325-532-335053/dilema-negara-bencana-anggaran-tipis-asuransi-tak-punya

 

Skema Dana Cadangan Digunakan untuk Tutup Defisit BPJS Kesehatan

AKARTA, - Kementerian Keuangan ( Kemenkeu) telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 113/PMK.02/2018 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Cadangan Program Jaminan Kesehatan Nasional.

Aturan ini diterbitkan sebagai panduan dalam rangka menutup defisit operasional Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Dikutip dari laman Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Kementerian Keuangan di jdih. kemenkeu.go.id, Jumat (14/9/2018), tertera aturan tersebut dikeluarkan per tanggal 10 September 2018 dan telah ditandatangani Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Dalam Pasal 3 aturan tersebut, disebutkan untuk memanfaatkan alokasi dana Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN), Menteri Keuangan dapat minta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) me-review alias meninjau Pengelolaan Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan.

Setelah itu, Menkeu menyampaikan pemberitahuan alokasi dana JKN kepada Direktur Jenderal Anggaran selaku Pemimpin Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara.

Dana cadangan yang dimaksud bersumber dari APBN atau APBN Perubahan yang dialokasikan untuk kesinambungan program JKN dan untuk mengatasi defisit arus kas DJS Kesehatan.

Kemudian dalam Pasal 9 disebutkan, untuk mencairkan dana JKN, Direktur Utama BPJS Kesehatan harus mengajukan surat tagihan kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Surat tagihan yang dimaksud harus dilampiri dokumen terkait, di antaranya kuitansi tagihan penyaluran dana JKN, daftar penggunaan dana JKN, dan surat pernyataan tanggung jawab mutlak.

Adapun berdasarkan Pasal 18, tertera bahwa direksi BPJS Kesehatan bertanggung jawab secara formal dan material terhadap kebenaran perhitungan rincian anggaran biaya dan kerangka acuan kerja berikut data pendukung lainnya. Juga dalam hal penggunaan dana JKN, kegiatan dari penggunaan dana tersebut, serta pembukuannya.

Semua penggunaan dana JKN itu nantinya dilaporkan kepada Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Menteri Kesehatan, Menteri Keuangan, dan pejabat terkait lainnya.

Berdasarkan Rencana Kinerja dan Anggaran Tahunan BPJS Kesehatan Tahun 2018, pendapatan ditargetkan mencapai Rp 79,77 triliun dan pembiayaan sebesar Rp 87,80 triliun yang artinya defisit diperkirakan sekitar Rp 8,03 triliun.

sumber: https://ekonomi.kompas.com/
Penulis : Andri Donnal Putera
Editor : Sakina Rakhma Diah Setiawan

 

Vaksin MR Banyak Ditolak, Menkes: Masyarakat Jangan Egois, Pikirkan orang di Sekitar Kita

JAKARTA - Menteri Kesehatan Nila F Moeloek meminta publik tidak egois dalam mengambil keputusan terkait vaksin measles rubella (MR).

Ia menegaskan bahwa penyakit campak dan rubella tersebut sangat menular, terutama ibu hamil, sehingga akan sangat merugikan orang di sekitar.

"Tidak darurat untuk dirinya, tapi pada orang lain. Misalnya saya dapat rubella, kemudian mendekati ibu lagi hamil muda. Saya kan enggak apa-apa, tapi ibu itu yang akan terkena," terang Nila saat diskusi Forum Merdeka Barat, di Gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta Pusat, Selasa (18/9/2018).

"Jadi tolong dong, darurat kan bukan buat diri kita, tapi buat sekitar kita ini," ucapnya.

Banyak masyarakat enggan untuk melakukan vaksin ini karena tidak halal.

Namun, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa yang memperbolehkan vaksin tersebut dengan alasan kedaruratan.

Akan tetapi, masih ada sebagian dari publik yang tetap enggan melakukan vaksin tersebut karena merasa hal itu bukan sesuatu yang darurat bagi mereka.

Keengganan melakukan vaksin menyebabkan rendahnya capaian program vaksin MR ini.

Hingga 17 September 2018, capaian imunisasi MR di luar Pulau Jawa hanya 49,07 persen, padahal, targetnya 83,98 persen di waktu yang sama.

 

Artikel ini telah tayang di tribunbatam.id dengan judul Vaksin MR Banyak Ditolak, Menkes: Masyarakat Jangan Egois, Pikirkan orang di Sekitar Kita, http://batam.tribunnews.com/2018/09/18/vaksin-mr-banyak-ditolak-menkes-masyarakat-jangan-egois-pikirkan-orang-di-sekitar-kita.

Menurut Nila, jika capaian imunisasi tinggi, akan tercipta kekebalan kelompok.

Jadi, meski orang itu belum diimunisasi, kerentanannya terjangkit virus akan semakin rendah karena sekelilingnya sudah kebal terhadap virus tersebut.

Nila mengatakan, ia tidak ingin kejadian maraknya wabah campak seperti yang terjadi di Kabupaten Asmat, Provinsi Papua, kembali terulang.

Data per Januari 2018, ditemukan 646 anak yang terjangkit wabah campak tersebut.

Penyebab dari mewabahnya campak pada kasus di Asmat adalah karena capaian program imunisasi yang rendah.

Oleh sebab itu, Nila berharap publik dapat benar-benar memikirkan keikutsertaannya dalam program imunisasi tersebut.

"Tolong ingat pada waktu kejadian Asmat. Campak begitu banyaknya karena cakupan imunisasinya rendah, daerahnya sulit dan berapa ratus orang yang meninggal di situ. Jadi, saya kira itu, kita nggak boleh egois sendiri," tuturnya.

sumber : http://batam.tribunnews.com/

 

 

Petugas Kesehatan Haji dan Petugas Kloter Kini Makin Padu

Mekah - Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Bidang Kesehatan mengungkap tiga faktor keberhasilan menekan angka jemaah haji wafat. Dari seleksi kesehatan yang ketat di tanah air sampai koordinasi dengan petugas kloter yang makin padu.

"Jadi faktornya adalah proses seleksi di tanah air sesuai dengan Permenkes mengenai istithaah kesehatan. Lalu yang kedua adalah persiapan yang lebih baik," ujar Kepala Seksi Kesehatan Daker Mekah, M Imran, dalam perbincangan dengan detikcom di kantornya, Aziziah Janubiyah, Mekah, Rabu (12/8/2018).

Mengenai persiapan logistik, tahun ini PPIH Bidang Kesehatan mendatangkan 79 ton obat-obatan di tanah air. Obat-obatan tersebut kemudian didistribusikan ke Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) dan juga di sektor-sektor baik di Mekah maupun Madinah.

"Jumlah 79 ton tersebut sangat cukup," kata Imran.

Tahun 2017 lalu, jumlah obat-obatan yang didatangkan PPIH Bidang Kesehatan sebanyak 60 ton. Jumlah itu terbilang mepet kala itu.

"Karena tahun lalu ada penambahan kuota jemaah haji," tutur Imran.

Faktor ketiga adalah makin padunya petugas bidang kesehatan dengan petugas yang ada di kloter. Menurut Imran, tiap kali tim kesehatan hendak melakukan sosialisasi, petugas kloter langsung meyambut hangat.

"Ujung tombak di kloter itu, temen-temen Tenaga Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) dan petugas di kloter, khususnya ketua kloter juga lebih baik dalam melakukan pendekatan kepada jemaah. Misalnya koordinasi antara TPP (Tim Promotif Preventif) dengan kloter, itu sudah tidak ada hambatan. Tidak ada kloter yang menolak dengan alasan jemaah capek. Sekarang ketika TPP mau melakukan edukasi, mereka welcome," kata Imran.

Jumlah jemaah haji meninggal pada tahun 2018 per hari Rabu (12/8/2018) sebanyak 329 jemaah. Jumlah ini turun dibandingkan angka tahun 2017 lalu yakni 657 jemaah.

sumber: https://news.detik.com

BPJS Defisit, DKI Cari Cara Subsidi Obat dan Operasional RSUD

Jakarta - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mengalami defisit yang berdampak pada operasional RSUD di DKI Jakarta. Pemprov DKI mencari cara untuk mensubsidi dana klaim pasien untuk operasional dan obat yang belum dibayarkan BPJS ke RSUD di DKI.

"Ada surat BPJS bahwa memang mereka kesulitan pembayaran. Ini jadi dasar kami untuk memberikan bantuan," kata Plt Dinas Kesehatan DKI Khofifah Any dalam rapat Badan Anggaran pada KUPA-PPAS di DPRD DKI, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (12/9/2018).

Pemprov DKI sedang menyiapkan dua cara untuk mensubsidi dana operasional RSUD. Cara pertama adalah dengan mememinjam dana dari Bank DKI dan meminta subsidi bunga dari APBD DKI. Dana yang dibutuhkan untuk subsidi bunga sebesar Rp 9,6 miliar untuk pembayaran hingga Desember 2018.

"Ini sudah disampaikan ke Pak Sekda. Jadi total bunga Rp 9 miliar 670 juta," ujar Khofifah.

Sementara itu, Pemprov DKI mengusulkan agar dana operasional RSUD disubsidi langsung dari APBD DKI. Kepala Badan Keuangan Daerah Edi Sumantri meminta persetujuan kepada DPRD DKI atas usulan tersebut.

"Kalau psi terakhir, tidak ada utang piutang, tidak ada bunga. Opsi terakhir lebih baik ketimbang pinjam meminjam," ujar Edi.

Diketahui, BPJS Kesehatan disebut mengalami defisit. Masalah ini dipicu kecilnya iuran peserta yang diterima dibandingkan biaya layanan jaminan kesehatan yang dibayarkan.

Masalah ini pun sudah beberapa kali dibahas pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani, yang memanggil beberapa menteri ke kantornya untuk melakukan rapat koordinasi (rakor) tentang BPJS Kesehatan.
(fdu/fdn)

sumber: https://news.detik.com/

 

Cegah fraud program JKN, KPK gandeng BPJS Kesehatan dan Kemkes bentuk satgas

JAKARTA. Untuk menangani tindak kecurangan yang sering terjadi di lingkup kesehatan, khususnya dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Kementerian Kesehatan membentuk satgas anti fraud yang rencananya akan diimplemantasikan pada 2019.

"Untuk itu satgas sudah bekerja dan sudah bikin draf panduan. Bulan lalu kita sudah piloting ke fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, Puskesmas, dan tenaga medis di lapangan seperti dokter-dokter yang ada di rumah sakit," ujar Pahala Nainggolan,Deputi Pencegahan KPK di Gedung Merah Putih KPK, Jumat (7/9).

Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi Mohammad Arief menambahkan, mekanisme kerja satgas anti fraud ini akan menggunakan data yang dimiliki baik data utilisasi review, klaim, atau pengaduan masyarakat. Kemudian data tersebut diolah dan dibahas oleh tim satgas anti fraud, kemudian dikaji apakah ada kemungkinan fraud di kemudian hari.

" Dalam pembentukan satgas ini BPJS berperan sebagai tim pendeteksi atas fraud yang terjadi pada fasilitas dan asuransi kesehatan," ujar Budi pada konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK Jumat (7/9)

Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan Oscar Primadi mengatakan, pembentukan satgas anti fraud tersebut dimaksudkan untuk menguatkan upaya pencegahan, deteksi, lalu penyelesaian terhadap fraud yang sering terjadi dalam hal asuransi kesehatan terutama pada Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Pembentukan satgas anti fraud ini sudah disosialisasikan ke asosiasi kesehatan, persatuan rumah sakit baik daerah dan swasta, asosiasi dinas kesehatan Indonesia, ikatan bidan, dan perhimpunan dokter gigi seluruh Indonesia Jumat (7/9) di Gedung Merah Putih KPK.

sumber: https://nasional.kontan.co.id/

 

Tenaga Kesehatan Haji di Madinah Diperkuat

MADINAH -- Jamaah haji gelombang kedua akan mulai didorong menuju Madinah pada Jumat (31/8) ini. Sehubungan jumlahnya yang lebih banyak dari gelombang pertama dan kondisi-kondisi jamaah selepas puncak haji, layanan kesehatan di Madinah akan dikuatkan.

Sedikitnya 114 ribu jamaah yang tiba dalam gelombang kedua kedatangan akan didorong ke Madinah dari Makkah. Mereka akan diberikan kesempatan yang sama untuk secara bertahap memenuhi Arbain alias shalat wajib empat puluh kali berturut-turut di Masjid Nabawi.

Jamaah gelombang kedua yang sebelumnya tiba di Tanah Suci melalui Bandara King Abdulaziz Jeddah tersebut lebih banyak dari jamaah gelombang pertama yang tiba di Bandara Amir Muhammad bin Abdulaziz Madinah yang berjumlah 87.863 jamaah. Selain itu, jamaah gelombang kedua relatif lebih lelah karena lepas melaksanakan ritual-ritual yang menguras tenaga pada puncak ibadah haji.

Kepala Seksi kesehatan Daker Madinah, dr Indro Murwoko, mengiyakan, jamaah gelombang kedua akan lebih banyak dari pada gelombang pertama. Terkait hal itu, diperkirakan angka kunjungan jamaah sakit ke KKHI Madinah akan lebih banyak dari gelombang pertama.

"Jamaah kelelahan karena telah menjalani fase Armina yang dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah sakit," kata Indro saat dihubungi, Rabu (29/8).

Ia menjelaskan, ada sejumlah langkah-langkah yang akan diambil Panitia Penyelenggaraan Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi Bidang Kesehatan guna mengantisipasi kedatangan gelombang kedua. “Di antaranya, kami akan memperkuat kordinasi dengan daker untuk mengantisipasi permasalahan-permasalahan nonmedis,” kata Indro.

Selain itu, pihak kesehatan juga akan mengevaluasi pola rujukan pasien dari kloter dan sektor ke Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) dan rumah sakit Arab Saudi. Hal ini untuk mengantisipasi jika kapasitas KKHI Madinah nantinya tak cukup menangani jamaah yang harus dirawat.

Pada fase gelombang pertama di Madinah, Makkad, dan saat wukuf di Arafah, pola rujukan yang sebelumnya dijalankan ikut berperan menekan angka jamah sakit maupun wafat. Penerapan tiga triase warna terkait perawatan dan rujukan membuat kondisi kesehatan jamaah lekas ditangani.

Selain pola rujukan, Bidang Kesehatan PPIH Arab Saudi juga akan menambah kekuatan paramedis. Sedikitnya lima tenaga dokter akan diterjunkan guna menangani jamah sakit. Dari jumlah itu, dua di antaranya merupakan dokter spesialis dan tiga dokter umum.

Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah penyiapan ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan. Hal ini penting dilakukan mengingat jamaah gelombang kedua yang menghabiskan masa di Madinah berpotensi kehabisan obat-obatan yang dibawa dari Tanah Air.

sumber: https://www.republika.co.id/