CNN Indonesia -- Kondisi geografis Indonesia yang terletak di cincin api pasifik membuat Indonesia kerap dirundung bencana alam, khususnya gempa bumi. Belum lama wilayah Lombok dirundung duka akibat gempa, duka baru datang dari wilayah Palu dan Donggala.
Kedua wilayah tersebut diterjang gempa yang disusul tsunami pada Jumat (28/10). Terakhir, data menyebut korban jiwa mencapai 1.234. Seluruh bangunan dan infrastruktur luluh lantah.
Dengan kondisi negara rawan bencana, pemerintah harus mampu menyiapkan kebijakan-kebijakan guna meminimalisasi dan menanggulangi bencana yang mungkin terjadi. Hal ini bisa dilakukan mulai dari pemantapan studi dan kajian kebencanaan, membuat peta potensi bencana, hingga menyiapkan instrumen fiskal untuk penanggulangan dan pemulihan setelah bencana terjadi.
Khusus untuk kebijakan terakhir, tentu pemerintah bisa menggunakan instrumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Caranya, mengalokasikan anggaran tanggap darurat dan menyuntik dana pada lembaga-lembaga yang berhubungan dengan aktivitas bencana, seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Sebetulnya, kedua hal itu sudah dilakukan, tetapi anggarannya masih terbatas. Menurut data BNPB, pemerintah pusat menganggarkan dana tanggap darurat sebesar Rp4 triliun sebagai cadangan penanggulangan bencana. Dana tersebut terbagi atas Rp2 triliun untuk tanggap darurat dan Rp2 triliun lainnya untuk penanganan pascabencana, seperti revitalisasi dan konstruksi ulang.
Dalam APBN, dana tersebut diambil dari pos belanja lain-lain dengan nilai mencapai Rp67,2 triliun pada tahun ini atau meningkat 34,66 persen dari APBN Perubahan 2017 sebesar Rp49,9 triliun. Sayangnya, meski anggaran pos belanja lain-lain meningkat dari tahun ke tahun, tetapi dana tanggap darurat relatif tetap.
Sementara untuk suntikan anggaran ke BNPB, jumlahnya justru menyusut dari tahun ke tahun. Pada 2016, alokasi APBN untuk BNPB sebesar Rp1,6 triliun, namun kemudian dipotong sekitar Rp133 miliar sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2016 menjadi Rp1,46 triliun. Pada 2017, BNPB hanya mendapat anggaran sebesar Rp839,74 miliar dan pada tahun ini kembali menyusut menjadi Rp749,38 miliar.
Sedangkan pada tahun depan, pagu indikatif BNPB dipatok sekitar Rp700 miliar. Padahal, dalam Rencana Strategis (Renstra) BNPB 2015-2019, kebutuhan dana lembaga tersebut mencapai Rp1,94 triliun pada 2016, Rp2,19 triliun pada 2017, Rp2,5 triliun pada 2018, dan tahun depan Rp2,81 triliun.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan keterbatasan anggaran membuat lembaganya sulit mengupayakan mitigasi dan penanggulangan bencana alam, seperti tsunami yang belum lama ini terjadi di Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Tsunami kurang terdeteksi maksimal, salah satunya karena BNPB tak lagi memiliki buoy, alat pendeteksi tsunami berupa pelampung yang diapungkan di laut. Menurut Sutopo, BNPB memiliki 22 buoy sejak tsunami Aceh pada 2012 lalu. Namun, kini semuanya tidak beroperasi dan belum diganti karena keterbatasan anggaran.
"Pendanaan bencana itu terus turun tiap tahun. Ancaman bencana meningkat, kejadian bencana meningkat, anggaran BNPB justru turun. Ini berpengaruh terhadap upaya mitigasi. Pemasangan alat peringatan dini terbatas anggaran yang berkurang terus," ujar Sutopo dalam konferensi pers BNPB, belum lama ini.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal menilai terkuaknya keminiman mitigasi dari BNPB akibat keterbatasan anggaran menjadi ironi tersendiri bagi Indonesia. "Ini tidak merepresentasikan kesiapan Indonesia yang berada di ring of fire," ucapnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (2/10).
Padahal, menurutnya, penyesuaian anggaran menjadi kunci suksesnya mitigasi, penanggulangan, dan pemulihan bencana alam yang rentan terjadi di Indonesia. Untuk hal ini, pemerintah, katanya, bisa belajar dari Jepang yang sudah lebih handal menghadapi gempa.
Bahkan, sebagai sesama negara yang kerap dirundung gempa, Negeri Matahari Terbit itu punya anggaran besar dan khusus untuk gempa. Untuk itu, alokasi anggaran untuk pos ini perlu diperhatikan dan diberi alokasi yang mencukupi. Sebab, bencana alam menyangkut hajat hidup orang banyak.
Lebih lanjut, menurutnya, pengatur fiskal pemerintah seharusnya mudah menyesuaikan dengan kebutuhan dana BNPB karena sejatinya sudah ada kajian dan peta gempa nasional berskala 5 tahun.
"Itu sangat mungkin digunakan untuk penyiapan anggaran. Ditambah, gempa di Palu ini kan sebenarnya sudah bisa diprediksi dari tahun kemarin, seharusnya sudah diproyeksi dengan matang dampak dan kebutuhan anggarannya," katanya.
Selain itu, pemerintah juga bisa berhitung dari proyeksi kerusakan titik-titik rawan gempa. Misalnya, bila daerah A rawan gempa dan titiknya di Kota B, maka pemerintah tinggal mengkalkulasi nilai revitalisasi yang sekiranya dibutuhkan bila infrastruktur itu rusak ringan hingga total.
Anggaran untuk penanggulangan bencana tersebut, menurut dia, juga mutlak tak boleh diotak-atik. Misalnya, untuk belanja infrastruktur yang sebenarnya penting dan kini tengah digenjot pemerintah.
"Tapi yang penting juga, bangun infrastruktur yang sudah tahan gempa. Memang ini bisa extra cost (perlu biaya yang lebih besar), tapi dengan potensi bencana seperti ini, justru siapa tahu bisa mengurangi biaya kerusakan di kemudian hari," tuturnya.
Kemudian, yang tak ketinggalan penting adalah mengasuransikan Barang Milik Negara (BMN) dengan perluasan jaminan kerugian bencana alam. Dengan begitu, ketika ada bencana alam dan kerusakan, maka pemerintah tak perlu terlalu pusing menghitung kecukupan anggaran untuk pemulihan aset-aset negara.
"Lagi-lagi, di Jepang ini semua aset negara, bahkan aset masing-masing masyarakatnya sudah dilindungi oleh asuransi. Ini juga mungkin akan extra cost karena harus bayar premi, tapi penting manfaatnya," imbuhnya.
Solusi lain, menurutnya, pemerintah Indonesia bisa menggalang inisiatif dengan sesama negara rawan bencana alam untuk membentuk suatu organisasi pembiayaan. Menurutnya, hal ini bisa menjadi bantalan tambahan bila terjadi bencana.
"Sebelumnya sudah ada Chiangmai Initiative mengenai defisit transaksi berjalan, tapi sangat mungkin diadakan inisiatif baru untuk masalah bencana ini, misalnya nanti kerja sama dengan Jepang," ungkapnya.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Isa Rachmatawarta pernah mengatakan pemerintah memang sudah memikirkan kebijakan asuransi BMN. Pemerintah telah memiliki dua landasan hukum untuk kebijakan ini.
Pertama, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara dan Daerah. Kedua, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 247/PMK.06/2016 tentang Pengasuransian Barang Milik Negara. Sedangkan sampai semester I 2017, BMN yang berpotensi diasuransikan mencapai Rp2.183 triliun.
Kendati begitu, kebijakan ini tak bisa dieksekusi dalam waktu dan persiapan yang singkat. Pasalnya, dengan nilai BMN yang sangat besar, pemerintah tak bisa mengorbankan APBN untuk membayar premi asuransi.
Belum lagi, nilai BMN yang saat ini tercatat baru mewakili sekitar 38 persen dari potensi yang ada, sehingga pada waktu ke depan, nilainya diestimasi bisa meningkat hingga tiga kali lipat. Hingga semester I 2017, total aset pemerintah tersebut tercatat mencapai Rp2.183 triliun.
"Makanya kalau mau diasuransikan, kami buat program, mana yang akan diasuransikan lebih dulu. APBN tidak mungkin dipakai tanpa perencanaan yang jelas, meski untuk asuransi kekayaan negara," ucapnya, beberapa waktu lalu.
Untuk itu, Isa bilang, pemerintah akan lebih dulu mendata seluruh BMN. Kemudian, menentukan BMN mana saja yang lebih dulu diasuransikan, sembari mengukur kesiapan aliran APBN untuk asuransi ini. Namun, pemerintah menargetkan setidaknya kebijakan asuransi BMN ini sudah bisa dilakukan pada APBN 2019.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai pemerintah tak bisa menunggu terlalu lama untuk mengasuransikan BMN, apalagi Indonesia sedang dirundung bencana belakangan ini. "Justru ini bisa bertahap. Kalau menunggu selesai (didata), kapan bisa punya asuransinya?" ucapnya.
Menurut Bhima, pemerintah bisa mulai mengasuransikan BMN yang berada di titik-titik rawan bencana lebih dulu dengan memanfaatkan informasi dari studi dan kajian lembaga terkait. Dengan begitu, ketika ada bencana yang terjadi dalam waktu dekat, aset negara di titik tersebut sudah mendapat jaminan.
Lalu, masalah kecukupan APBN untuk membayar premi, menurutnya juga tidak terlalu terbebani bila dilakukan secara bertahap. Toh, tidak semua aset negara langsung diasuransikan, sehingga kebutuhan premi juga tidak penuh.
Di sisi lain, menurutnya, masalah premi ini seharusnya bisa ditanggung bersama oleh pemerintah pusat melalui APBN dan pemerintah daerah dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). "Jadi ada keterlibatan dari pemda untuk menyisihkan pajak daerah untuk premi asuransi bencana ini," terangnya.
Namun, akar dari semua masalah ini tentu yang penting adalah pemerintah juga berkomitmen untuk menambah alokasi anggaran untuk penanggulangan bencana alam di APBN. "Peningkatan dana BNPB dan cadangan di pemerintah perlu dilakukan, mumpung masih dalam pembahasan APBN 2019. Dua pos itu harus jadi prioritas," katanya.
Sementara Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Dody Achmad Sudiyar Dalimunthe mengatakan saat ini rancangan polis asuransi BMN sudah mulai disiapkan dan tengah disosialisasikan kepada seluruh anggota industri asuransi umum mengenai rencana pemerintah ini.
Sayangnya, ia enggan menjelaskan lebih rinci seperti apa ketentuan premi. Namun, pembahasan ini ditargetkan selesai akhir tahun ini. "Juga sedang sinkronisasi dengan kebutuhan DJKN sebagai pengguna asuransi. Selanjutnya, akan disusun proses pembentukan korsorsium yang akan menjadi penanggung," pungkasnya. (agi)
sumber: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20181002160325-532-335053/dilema-negara-bencana-anggaran-tipis-asuransi-tak-punya