Sesi 1
Health financing Toward UHC: Practical lessons learned from priority setting and strategic purchasing in low and middle - income countries
Pengantar
Problem di UHC tetap masih pada akses dan sumber dana. Out of pocket spending masih mendominasi di daerah - daerah miskin. Sementara itu penggunaan dalam bentuk Benefit Packages juga harus dikritisi. Apa yang harus diberikan dalam bentuk apa, dan untuk siapa pelayanan diberikan. Tantangan yang ada antara lain data tidak cukup untuk dapat dipakai dalam pengambilan keputusan. Kurang ada keterlibatan civil society. Tantangan berikutnya adalah situasi supply side, misalnya quality improvement, ketersediaan, problem bernegosiasi dengan pihak swasta merupakan contoh. Juga mengenai alokasi sumber dana: kegiatan apa yang harus dibayari dan untuk siapa.
Sesi ini diawali dengan paparan Professor Anthony Culyer dari University of York yang saat ini menjabat sebagai Ketua International Decision Support Initiative (IDSI). Pada intinya disebutkan bahwa dalam situasi saat ini untuk sektor kesehatan, Cost-Effectiveness Analysis (CEA) bukan satu - satunya solusi. Terdapat ideologi tentang kesehatan yang berguna bagi semua. Apa value dan impact yang harus memiliki bukti. Hal ini bukan sebuah kegiatan politis namun teknis. Di Inggris dikembangkan oleh NICE dan didukung oleh pemerintah dan kelompok oposisi.
Apa yang bisa di - share dari pengalaman di Inggris? NICE dibentuk karena terdapat skandal - skandal medik. Dibutuhkan lebih banyak perencanaan yang bisa memilah - milah impact pelayanan kesehatan, mana yang logis dan mana yang tidak. Untuk itu capacity building mengenai isu ini sangat dibutuhkan untuk menghadapi situasi terkait nilai dan dampak dari pelayanan kesehatan.
Prof Calypso dari Imperial College Inggris membahas lebih banyak mengenai rationing plan. Tergantung pada situasi di berbagai negara. Perlu independensi negara yang mengembangkan perencanaan pelayanan kesehatan yang masuk ke UHC atau yang tidak. Menentukan Benefit Package dan obat apa yang harus masuk. Untuk itu capacity development penting sekali dalam kegiatan ini. Namun konteks yang ada perlu diperhitungkan. Setiap negara mempunyai regulasi masing - masing. Terdapat perbedaan transparasi dan perbedaan perilaku politikus.
Bagi para pembaca yang ingin lebih mendalami mengenai diskusi ini lebih lanjut, silahkan membaca buku yang berjudul menarik ini.
BOOKS
What's In, What's Out: Designing Benefits for Universal Health Coverage
read more
Refleksi untuk Indonesia
Dalam situasi defisit di BPJS, pertanyaan mengenai apa yang masuk dan apa yang harus keluar dari list pelayanan kesehatan dan serta obat – obatan yang dibutuhkan. Apakah BPJS perlu membayar untuk sebuah obat yang sangat mahal dengan manfaat yang sangat kecil? Apakah BPJS harus membayar teknologi yang tidak cocok lagi? Hal-hal ini menjadi kunci yang perlu dipelajari oleh kita para peneliti kebijakan kesehatan, termasuk para klinisi yang sehari hari berhadapan dengan pasien. Pertanyaan mengenai Apa yang akan didanai oleh BPJS dan untuk siapa, akan menjadi pertanyaan klasik sepanjang masa. Untuk itu perlu sekali membaca buku yang dapat di klik di atas.
Reporter : Laksono Trisnantoro (PKMK UGM)
sesi 2
Sesi Workshop: How to write a good paper and get it published: Publishing, peer review and innovation
Pembicara :
Liz Hoffman (Journal Development Manager) dari Maria Zalm (Editor) dari Health Services Research Journal – BioMed Central.
Pokok-pokok bahasan / paparan / diskusi:
- Publishing
- Peer review
- Innovation
Laporan Kegiatan
Materi pertama yang disampaikan adalah apa yang perlu diperhatikan dan pertimbangkan sebelum mengirim manuskrip jurnal. Langkah - langkah yang perlu diperhatikan antara lain: rencanakan waktu publikasi, gunakan bahasa Inggris yang akademis, tampilan jurnal, dan menulis efektif. Sebuah artikel yang baik memuat metode yang cukup mumpuni untuk ukuran sampel dan desain penelitian. Para penulis juga harus memperhatikan apa yang dibutuhkan dalam jurnal tersebut oleh penerbit, seperti struktur manuskrip, metode dan desain, strandar laporan, etikal dan konsen, serta trial registration (jika ada).
Materi berikutnya, keuntungan dari menggunakan peer review, editor dapat mengambil keputusan untuk dapat diterbitkan serta dimana tempatnya, bagi penulis untuk meningkatkan kualitas manuskrip, dan peer review sendiri untuk memperbaharuhi ilmu, dan kontribusi terhadap penulisan. Editor yang dimaksudkan adalah Academic Editor yang bekerja pada spesifik pada jurnal dan merupakan ahli dalam bidang tersebut, dan Professional Editor yang bekerja secara fulltime namun belum memiliki kualifikasi yang cukup. Di sisi lain, Reviewer bisa berasal dari akademisi (peers), orang yang diundang khusus untuk manuskrip spesifik, dapat berupa regular ataupun occasional, atau yang bersedia membantu tanpa paksaan. Sebaiknya sebuah manuskrip tidak di-review oleh: coauthor dari author (penulis) dengan masa kerja 3 – 5 tahun yang lalu), peneliti dari institusi yang sama, peneliti dengan kompetensi yang sama dengan penulis, reviewer yang dieklusi dan diinklusi oleh penulis.
Masalah lain yang sering muncul adalah penamaan penulis. Sekarang, penerbit beberapa kali menerima surat elektronik (e-mail) dari penulis akibat kesalahan dalam penulisan nama. Berikut merupakan alasan yang disebutkan oleh penulis dalam surat perbaikan nama tersebut: penulis biasanya memakai nama depan dan tengah, tidak melaporkan nama lengkap dalam publikasi, makna nama depan dapat berupa marga dan dapat berupa nama panggilan, menggunakan inisial atau nama panggilan, untuk sebagian negara yang harus menerjemahkan nama mereka ke dalam Bahasa inggris, nama yang ditulis tanpa penghubung, dan penempatan huruf besar kecil dalam nama.
Beberapa inovasi dan tips dalam menulis dijelaskan dalam sesi ini, antara lain: terus membaca artikel dan jurnal terkait, Jangan menulis dan memperbaiki di waktu yang bersamaan, perhatikan tabel dan gambar, objektif dalam penulisan, sabar menunggu keputusan, namun jangan ragu untuk mengirimkan sebuah surat “follow up”, baca dan membaca lagi surat keputusan, memperjelas respon ke editor dan reviewer, apabila mendapatkan surat penolakan pastikan apakah penerbit ingin ada pengajuan lagi di lain waktu, dan terakhir seringlah menjadi reviewer untuk penulis yang lain.
Refleksi untuk Indonesia:
Secara umum, Indonesia masih berjuang untuk meningkatkan jumlah publikasi, dan khusus Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FKKMK UGM untuk meningkatkan reputasi dalam hal publikasi tersebut. Kesalahan sebelum dan sesudah menyerahkan manuskrip juga dapat terjadi. Sebelum manuskrip diserahkan dapat berpotensi untuk ditolaknya artikel tersebut, dan sesudah manuskrip tersebut diserahkan dan terpublikasi, maka artikel tersebut akan sulit ataupun tidak dapat ditarik dan diubah nama penulis pada artikel tersebut. Sehingga tidak dapat diklaim sebagai penulis dalam artikel tersebut.
Reporter : Relmbuss Biljers Fanda
sesi 3
Pencapaian UHC : Apakah Akuntabilitas Sektor Swasta Bisa Menjadi Salah Satu Solusinya?
Pembicara : WHO dan UHC2030
Pokok-pokok bahasan/ paparan/ diskusi:
Sesi ini membahas tentang permasalahan yang terjadi pada umumnya di banyak negara yaitu: sistem yang mixed, dan masyakarat yang rata - rata mengakses layanan dari sektor swasta, tetapi hanya sebagian masyarakat terlindungi oleh asuransi; biaya kesehatan terus meningkat tetapi belanja pemerintah untuk kesehatan sangat rendah (kurang dari 5% dari anggaran total pemerintah), dan terdapat tendensi di mana pelayanan yang kompleks dan tidak perlu meningkat. WHO dan UHC2030 membuat sebuah framework sederhana untuk memberi saran kepada pemerintah bagaimana mekanisme akuntabilitas (mereka bergeser dari istilah “regulasi” menjadi “mekanisme akuntabilitas”) karena menyadari bahwa sektor swasta merupakan penyedia yang penting di banyak negara dan harus dilibatkan untuk dapat mencapai UHC, tetapi ada banyak masalah dalam mengoptimalkan potensi ini karena kurangnya pengetahuan atas framework yang dapat digunakan untuk mendorong akuntabilitas.
Framework ini menunjukkan bahwa mekanisme akuntabilitas harus terjadi di antara pihak yang harus memiliki akuntabilitas dengan pihak yang menerima akuntabilitas. Ada berbagai mekanisme yang dapat digunakan untuk menegakkan standar tertentu yang diharapkan, sebagaimana ditunjukkan oleh gambar berikut ini.
Buku laporan terkait akuntabilitas sektor swasta dapat dilihat pada link berikut: www.iapreport.org/2018
Laporan Kegiatan
Sesi ini merupakan sesi participatory, dimana seluruh peserta dikelompokkan ke dalam grup yang masing - masing berperan sebagai “pemerintah”, “sektor swasta”, “peneliti” dan “civil society”. Terlihat dari hasil diskusi di masing - masing kelompok, bahwa setiap aktor di dalam sistem kesehatan memiliki perspektif yang sangat berbeda, kepentingan yang berbeda, dan masing-masing pun memiliki pendapat yang berbeda terhadap solusi yang ditawarkan. Ini merupakan sesi yang menarik (role play) untuk diikuti karena setiap peserta belajar untuk merasakan apa yang dirasakan oleh pihak yang berbeda di dalam sistem.
Diakui bahwa ada beberapa hal pokok yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi semua, yaitu:
- Kurangnya mutual respect dan trust antara pemerintah - swasta, pemerintah - CSO, pemerintah - peneliti, peneliti - CSO, CSO - swasta, swasta - peneliti, dan seterusnya. Kurangnya mutual respect dan trust inilah yang menjadi penghambat dalam mencapai konsensus yang diperlukan untuk menghasilkan solusi.
- Ada perbedaan besar antara “profit” dan “profiteering”. Pada dasarnya keinginan mendapatkan profit tidak salah, yang salah adalah profiteering. Baik pemerintah maupun swasta harus menyadari perbedaan ini, sebelum bisa membangun trust.
- “Regulasi” juga merupakan kata yang kurang disukai, karena regulasi mengandung unsur
“aturan” dan “paksaan”. Hal yang dibutuhkan adalah kesadaran bahwa tujuan utama dari regulasi adalah membangun mekanisme akuntabilitas, sehingga yang harus dicari adalah kemampuan untuk membangun mekanisme siapa memiliki akuntabilitas mengenai apa kepada siapa.
Refleksi untuk Indonesia:
Bagi Indonesia khususnya, penting untuk mulai menumbuhkan “mutual respect” dan “trust” antara pemerintah dan sektor swasta. Sektor swasta di Indonesia merupakan pemain yang penting dan strategis dan harus diajak bekerjasama, bukan hanya “diatur”. Selain itu, harus disadari pula bahwa bukan hanya swasta yang harus akuntabel terhadap pemerintah, tetapi pemerintah juga harus akuntabel terhadap rakyat. Salah satu prinsip dasar dari UHC adalah keadilan dan kesetaraan, dan inilah salah satu aspek yang harus dipenuhi oleh pemerintah terhadap rakyatnya.
Begitu pula, bagi peneliti ada potensi besar utuk terlibat lebih aktif dalam proses membangun mekanisme ini karena ada banyak research gap yang harus dijawab sebelum sebuah mekanisme akuntabilitas dibangun, misalnya data mengenai kualitas layanan yang tersedia, data mengenai ketersediaan layanan di berbagai daerah, data mengenai besarnya pembiayaan untuk setiap layanan yang harus tersedia, dan sebagainya.
Sebagaimana kita ketahui, mayoritas mekanisme akuntabilitas dibangun atas prinsip “stick and carrot”. Berkaitan dengan hal itu, yang juga menjadi pekerjaan rumah khusus bagi Indonesia adalah kita harus menyadari bahwa keberhasilan kerja sama antara pemerintah dan swasta untuk mencapai UHC akan sangat bergantung pada “how big is the stick” dan “how fat is the carrot”.
Reporter: Shita Dewi
sesi 4
Penggunaan Inovasi Digital untuk Meningkatkan Layanan Kesehatan Ibu Anak dan Keluarga Berencana di Masyarakat
Pembicara : Panel dari Divisi Kesehatan Ibu dan Anak, Bangladesh
Pokok-pokok bahasan / paparan / diskusi:
Paparan ini mengenai penggunaan Sistem Informasi Kesehatan berbasis aplikasi yang diujicobakan di 2 kabupaten di Bangladesh pada 2016, dan kini tengah dijalankan di 8 kabupaten lain (dengan pendanaan donor), serta akan diperluas ke 40 kabupaten berikutnya (oleh pendanaan pemerintah). Kader kesehatan merupakan ujung tombak dalam pelayanan kesehatan di Bangladesh karena mereka adalah pihak yang setiap hari berinteraksi langsung dari rumah ke rumah di desa, dan mengumpulkan data serta melakukan layanan edukasi serta promotif preventif kepada masyarakat. Dengan perluasan ini, sistem informasi kesehatan berbasis aplikasi ini akan dimiliki oleh kurang lebih3000 kader kesehatan di Bangladesh dari total 4000-an kader yang ada.
Data yang dikumpulkan adalah data populasi (personal, nomor telepon, karakteristik rumah tangga, geografis, sosio ekonomi), data pelayanan (terkait kesehatan ibu dan anak, kesehatan remaja, kesehatan reproduktif (termasuk penggunaan/non penggunaan KB, imunisasi), data administratif (faskes yang biasa diakses, dan sebagainya). Semua orang yang terdata diberi kartu khusus dengan Unique Identifier. Data ini kemudian digunakan untuk keperluan monitoring kesehatan ibu dan anak, kematian dan kelahiran, unmet needs dalam KB. Selain itu, data juga dapat diolah untuk mengestimasti kebutuhan layanan yang harus tersedia di kabupaten tersebut (termasuk proyeksi sumber daya). Data ini sangat bermanfaat untuk melakukan perencanaan yang lebih baik terhadap kehamilan berisiko.
Aplikasi yang tersedia dimiliki oleh berbagai tingkat dalam sistem kesehatan:
- Di level paling bawah, aplikasi digunakan oleh kader kesehatan untuk melakukan input/entry data;
- Aplikasi menghasilkan dashboard yang tersedia di level pengawas/supervisi untuk melakukan pemantauan (baik pemantauan terhadap status kesehatan masyarakat mau pun pemantauan terhadap kinerja kader kesehatan) dan rencana kerja untuk pemantauan, maupun pelaporan
- Dashboard juga tersedia di level kabupaten, sehingga dapat melakukan pemantauan terhadap kebutuhan faskes di wilayah sub distrik tertentu dan khususnya kualitas layanan
- Dashboard juga tersedia di level nasional, sehingga pemantauan juga dapat dilakukan di level nasional dan pengambil kebijakan.
Link video eMIS bisa diakses pada link berikut
link video
Laporan Kegiatan
Sistem informasi yang berbasis elektronik/aplikasi ini dimungkinkan karena setiap kader kesehatan di kabupaten menggunakan tablet. Aplikasi ini juga tetap dapat digunakan walaupun di daerah tersebut tidak tersedia jaringan internet. Data tetap dapat di-entry secara offline dan secara otomatis akan terkirim ke server dan cloud ketika jaringan internet tersedia. Data secara otomatis akan disinkronisasi harian.
Isu yang muncul seperti biasa adalah isu keamanan data pribadi. Saat ini data pribadi ini hanya dapat diketahui oleh kader kesehatan yang memiliki catchment area tersebut, sementara data yang dapat diakses oleh supervisor dan provider (faskes) dan tingkat nasional hanya data yang diidentifikasi oleh nomor Identifier.
Isu lain yang mirip dengan Indonesia adalah sistem yang terfragmentasi berimplikasi pada kesulitan untuk melakukan tracking terhadap populasi target, data yang sering tidak sinkron, dan seterusnya. Selain itu, karena sistem bersifat elektronik/aplikasi, ini mengurangi risiko data yang hilang, terduplikasi, dan redundant, karena aplikasi ini secara progresif mengurangi berbagai form yang biasanya harus diisi oleh kader maupun bidan desa.
Sistem ini juga memungkinkan informasi pada dashboard yang real-time, sehingga meningkatkan kemampuan supervisi dan respons cepat dari para penanggung jawab di faskes, dinas kesehatan, maupun bada keluarga berencana.
Refleksi untuk Indonesia:
Seperti di Indonesia, Bangladesh juga memiliki dua ‘pemain’ dalam sektor kesehatan yaitu Kementerian Kesehatan dan badan khusus pelaksana Keluarga Berencana. Penggunaan sistem manajemen informasi kesehatan berbasis aplikasi ini memungkinkan kedua badan tersebut berkoordinasi karena database (yang disimpan dalam bentuk Cloud) dapat diakses oleh kedua badan tersebut. Integrasi data seperti ini perlu pula diinisiasi di Indonesia untuk menghindarikan duplikasi data atau tidak sinkronnya data. Ini adalah investasi yang layak dipertimbangkan. Selain itu, kita perlu pula berpikir tentang kerja sama yang dapat diinisiasi dengan pihak swasta dalam penyediaan tablet maupun software yang dibutuhkan karena teknologi ini sebenarnya telah tersedia di Indonesia dan dengan mudah dapat dibuat berbasis open source.
Reporter: Shita Dewi
sesi 5
Diskusi Sesi Makan Siang
Sebuah sesi dalam makan siang membahas peluncuran buku baru mengenai Evidence Synthesis for Health Policy and Systems: A Methods Guide. Buku ini diedit oleh Etienne V. Langlois, Karen Daniels, dan Elie A.Akl. Diterbitkan oleh WHO dan Alliance for Health Policy and Systems Researchs.
Laporan Kegiatan
Diskusi dibuka oleh para penulis yang berasal dari berbagai negara. Ditekankan bahwa buku ini membahas evidence synthesis yang merupakan sebuah komponen fundamental dalam pendekatan “evidence-informed” dalam pengambilan keputusan. Sintesa bukti-bukti dalam kebijakan kesehatan yang dilakukan semakin disadari sebagai hal penting dalam proses pembuatan keputusan.
Tujuan dari penerbitan guideline ini untuk:
- Untuk menyoroti dan memberikan panduan tentang fitur utama dan pendekatan untuk sintesis HPSR;
- Untuk menampilkan contoh-contoh dari sintesis bukti HPSR yang dilakukan dengan baik dan inovatif yang mencakup berbagai pertanyaan dan metode;
- Untuk mendukung upaya penguatan kapasitas dalam sintesis bukti HPSR; dan
- Untuk mempromosikan integrasi.
Hal yang menarik dalam diskusi ini, disebutkan bahwa penggunaan evidence merupakan hal yang membutuhkan informasi mengenai konteks kebijakan setempat. Dalam diskusi dipaparkan oleh Prof. Fadi El-Jardali mengenai bagaimana dampak terkait kasus pengungsi Syria di Lebanon. Konteks kultur Arab dalam pengambilan keputusan dibahas dengan menarik.
Dibahas pula bahwa guideline seperti ini, walaupun masih baru sudah diterima oleh berbagai jurnal. Global Health sebagai contoh, adalah jurnal yang sudah menerima metode seperti ini.
Buku ini dapat di-download melalui laman WHO: http://apps.who.int/iris/handle/10665/275367
atau langsung klik di sini:
http://apps.who.int/
Refleksi untuk Indonesia
Pemahaman mengenai sintesa terhadap bukti-bukti menjadi hal baru untuk dipelajari dan digunakan di Indonesia. Saat ini ada kegamangan dalam menyikapi mengenai apa yang disebut sebagai Evidence Based Policy yang terlihat sangat dekat dengan Evidence Based Medicine. Panduan ini menyatakan dengan adanya pendekatan “Realist” menunjukkan bahwa metodenya tidak seperti systematic review yang sangat sulit. Memang ada pertanyaan baru, apakah panduan ini menyederhanakan proses review untuk kebijakan yang mungkin sangat kompleks. Hal ini yang akan menjadi pembahasan di Indonesia, salah satunya dengan pemaparan penggunaan metode Realist Evaluation di Forum nasional Kebijakan Kesehatan Indonesia (7 hingga 9 November 2018 di Yogyakarta), yang akan me-review kebijakan JKN.
Reporter: Laksono Trisnantoro (PKMK UGM)