Sesi 1
Peluruncuran Buku Rangkuman Analisis Kebijakan Kesehatan (Health Policy Analysis: Reader)
Lucy Gilson, University of Cape Town
Pokok-pokok bahasan/paparan/diskusi:
Buku Analisis Kebijakan Kesehatan (WHO, 2018) terbaru diluncurkan pagi ini. Buku ini merupakan pengembangan dari buku sebelumnya, Health Policy and System Analysis: A Methodological Reader (WHO, 2012). Lucy Gilson, sang penulis utama dan editor, menyampaikan bahwa terbitnya buku baru ini penting untuk lebih menempatkan kebijakan kesehatan pada posisi yang penting. Analisis kebijakan kesehatan merupakan bagian yang memiliki interface dengan perubahan kebijakan dan pengembangan sistem kesehatan. Pemahaman atas proses dan implementasi kebijakan memiliki potensi yang besar untuk memberi daya dorong untuk perubahan kebijakan kesehatan dan perbaikan dalam sistem kesehatan.
Peneliti, pembuat kebijakan dan pemerhati kebijakan kesehatanmembutuhkan kerangka yang lebih, agar dapat menangkap situasi yang kompleks termasuk berbagai faktor sosial ekonomi dan politik yang terlibat dalam proses kebijakan untuk mencapai cakupan kesehatan semesta. Buku ini disusun khusus dengan konteks negara berkembang, dan dimaksudkan sebagai referensi yang dapat digunakan untuk mencari bahan - bahan terkini dalam Analis Kebijakan Kesehatan.
Buku ini terdiri dari empat bagian. Bagian pertama semacam Overview terhadap topik Analisis Kebijakan Kesehatan, yang mencakup konsep dasar, arti pentingnya serta konteks politik ekonomi yang terkait di dalamnya.
Bagian kedua membahas faktor - faktor yang sangat mempengaruhi proses kebijakan di negara berkembang, yaitu kekuasaan, konteks nasional serta peran aktor global dan pengambil kebijakan nasional.
Bagian ketiga membahas berbagai isu dalam metodologi analisis kebijakan.
Bagian keempat merupakan kumpulan dari artikel - artikel seminar yang menjelaskan lebih lanjut mengenai tiap sub topik yang dibahas di dalam bagian satu hingga tiga.
Sayangnya buku ini baru tersedia dalam bentuk hardcopy (tersedia di perpustakaan PKMK), namun akan segera tersedia secara online di laman WHO.
Bagi pembaca yang memerlukan Reader and Methodology Reader lain, silakan unduh di:
http://www.who.int/alliance-hpsr/resources/publications/methodsreaders/en/
Refleksi untuk Indonesia:
Buku Health Policy Analysis: Reader (WHO, 2018) ini akan sangat bermanfaat bagi peneliti dan analis kebijakan, maupun tenaga pengajar dan mahasiswa. Terlihat dari daftar artikel seminar yang dimasukkan ke dalam Reader ini bahwa mayoritas lokasi berada di Afrika atau Asia Selatan. Miskinnya referensi yang tersedia untuk Indonesia mengenai kebijakan kesehatan Indonesia menyisakan pekerjaan rumah bagi para peneliti kebijakan dan analis kebijakan di Indonesia untuk semakin aktif melakukan penelitian dan menulis mengenai berbagai isu yang relevan untuk Indonesia.
Pekerjaan rumah kedua, adalah tersedia potensi besar bagi Indonesia untuk mengembangkan Reader khusus untuk Analisis Kebijakan Kesehatan Indonesia. Hal ini tentunya membutuhkan kerja sama dari berbagai bidang ilmu dan para pakar dengan berbagai perspektif yang relevan dengan area kebijakan kesehatan.
Reporter : Shita Dewi
Sesi 2
Sektor Swasta di Kesehatan: Polemik dan Pragmatisme
Pengantar
Visi Alma Ata disusun dengan suatu ide sistem yang didanai oleh pemerintah untuk memberi palayanan ke semua orang. Sedikit sekali perhatian untuk pelayanan kesehatan swasta for profit dan non-profit. Setelah 40 tahun kemudian, miliaran masyarakat tetap menggunakan pelayanan kesehatan swasta yang sangat heterogen. Pelayanan ini sering lemah regulasinya dan tidak terhubung banyak dengan sistem pelayanan kesehatan.
Pembicara:
Catharine Goodman dari LSHTM, seorang health economist dan policy analist mempresentasikan pandangan yang mengakui peran swasta yang penting. Pada awal pertemuan memang ada pertanyaan : Apakah sektor swasta merupakan jawaban untuk sistem kesehatan? Ada yang menyatakan private sector dinilai buruk. Namun ada yang menyatakan baik. Apa buktinya? Ini yang sulit karena sektor swasta sangat luas. Ada yang for profit dan non profit. Juga ada berbagai kegiatan yang di luar kedua pelayanan kesehatan formal tadi. Pertanyaan lain adalah sektor kesehatan yang mana? Rawat jalan atau rawat inap?
Pelayanan untuk anak - anakkah? Atau kehamilan? Sebagai catatan swasta juga dipakai lebih banyak oleh orang kaya. Secara keseluruhan memang terlihat lebih baik pada responsiveness, walaupun bervariasi pada Clinical Quality indicator.
Kerangka kerja yang sebaiknya digunakan dalam mengelola swasta sebagai berikut:
Abhay Sukhla, SATHI, People Health Movement India
Pembicara ini menyatakan sebuah pandangan kritis tentang Private Sector. UHC dirancang dengan logika publik dengan dasar public accountability.
Sebaliknya di private sector, terdapat profit maximization. Jadi sulit untuk menghubungkan sektor swasta dengan logika publik tentang pelayanan kesehatan yang harus baik namun murah, dan mudah diakses. Walaupun sektor swasta banyak yang negative namun ada berbagai hal yang bisa dikerjakan. Hal yang sangat penting adalah menurunkan korupsi dan pelayanan yang tidak rasional di pelayanan kesehatan.
Anita Wei, Beccton Dickinson China, dan Akaki Zoidze, Georgia
Sebagai moderator, Kara Hanson membuka diskusi dengan menyatakan apakah ada pluralisme di sektor kesehatan dibandingkan dengan Alma Ata yang cenderung publik?. Dalam diskusi ini dibahas oleh politisi dari Georgia yang menyatakan bahwa sektor kesehatan tidak dapat dipisahkan dari kebijakan politik. Ekonomi pasar sudah berjalan 14 tahun di Georgia. Di sektor kesehatan mempunyai akibat menarik antara lain ada investasi banyak sampai tidak terkendali, karena banyak sekali penyedia dana, terjadi supply induced demand. Terjadi over prescribtion yang membutuhkan solusi. Hal ini tidak mudah karena sebagian besar penyedia pelayanan kesehatan adalah dari pihak swasta.
Di India juga terjadi pelayanan swasta yang dominan. Dalam konteks ini kemampuan regulatory pemerintah sangat rendah. Perlu ekspansi kemampuan dalam regulasi, harus ada pihak yang mau masuk ke sini termasuk ada inspektur - inspektur sosial. Seorang panelis yang ahli IT menyatakan bahwa India memerlukan teknologi digital untuk melayani pelayanan kesehatan yang berada di tempat jauh. Tanpa terjadi perubahan mindset akan sulit dan inovasi ini banyak dilakukan oleh swasta. Harry mengajak untuk menggunakan teknologi digital dalam mengembangkan pelayanan kesehatan, terutama di tempat - tempat jauh.
Wakil dari lembaga swasta non profit AMRA menyatakan bahwa pelayanan swasta sebaiknya didukung pemerintah. Swasta harus berjalan dan sektor ini sangat penting. Hal yang sangat penting adalah bagaimana menangani keburukan swasta dengan aturan pemerintah yang baik. Hal ini disetujui oleh wakil dari Melinda and Bill Gates Foundation yang menyatakan bahwa sebaiknya swasta tetap berkembang tapi dengan memperkuat peran pemerintah. Diharapkan juga kebijakan tetap pro poor, namun memberi tempat pada pada consumer choice.
Ringkasan:
Ada pertentangan yang bermakna tentang peran swasta dalam pelayanan kesehatan karena terdapat kekawatiran tentang mutu, akses, dan efisiensi. Namun swasta tetap menjadi bagian penting dari inovasi, sumber daya tambahan dan pelayanan yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Keterlibatan peran swasta ini membutuhkan: pola kemitraan yang baru, akuntabilitas dan governance. Dalam hal ini, dibutuhkan kemampuan pemerintah yang kuat untuk mengatur, mengawasi dan juga melakukan kontrak ke pelayanan swasta dengan baik.
Bahan-bahan lebih lanjut:
Kegiatan-kegiatan terkait dengan sektor swasta dalam konferensi ini dapat klik di sini:
http://www.healthsystemsglobal.org/upload/resource/Summary_PSIH_TWG_Activities_revised_website.pdf
Kelompok yang membahas mengenai peran swasta dalam kesehatan mempunyai website yang dapat diakses di sini:
http://www.healthsystemsglobal.org/twg-group/3/The-Private-Sector-in-Health/
Refleksi Indonesia:
Di Indonesia, peran serta swasta sangat besar, sejak dari zaman kolonial. Saat ini yang menjadi pertanyaan besar adalah BPJS yang juga meng-kontrak pihak swasta. Apakah sebagai lembaga swasta atau pemerintah?. Andaikata sebagai lembaga pemerintah, situasi saat ini dimana Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah seolah sulit berhubungan dengan BPJS. Situasi ini menunjukkan adanya masalah dengan konsep pemerintah sebagai regulator termasuk untuk mengatur sektor swasta. Oleh karena itu, pengalaman pelaksanaan JKN dalam waktu 5 tahun ini menunjukkan adanya situasi yang cukup berat. Aturan atau regulatory kalah cepat dengan timbulnya berbagai masalah. Governance, termasuk bagaimana proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh BPJS dan Kementerian Kesehatan masih belum baik. Hal ini yang harus diperbaiki pada masa mendatang. Tantangannya adalah bagaimana agar aturan permainan sudah terlebih dulu jadi atau siap sebelum proses kegiatan antara pemerintah dan swasta berlangsung.
Reporter: Laksono Trisnantoro
Sesi 3
Tata Kelola Politis dan Administratif untuk Mencapai UHC
Pokok-pokok bahasan / paparan / diskusi:
Pembicara pertama, Elodie Allabi, menyajikan pengalaman di Benin. Keterlibatan pemangku kepentingan (dalam hal ini pemerintah daerah) dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu: mempersiapkan dokumen advokasi untuk kepala daerah, membuat steering committee multi sektor di tingkat kabupaten, dan membuat liaisons pada tingkat kecamatan untuk membuat perencanaan multi sektor. Hal ini dinilai positif oleh para pihak yang terlibat, sebagai contoh, setelah aktivitas ini dilakukan, walikota berinisiatif untuk mengangkat 32 tenaga baru untuk kesehatan.
Pembicara berikutnya, Juliana Aribo-Abede menyajikan pengalaman di Nigeria. Kali ini pengalamannya adalah melibatkan pihak legislatif. Motivasi untuk melibatkan pihak legislatif adalah karena posisi mereka dianggap penting untuk memastikan tersedianya anggaran yang dimandatkan oleh UU bahwa mereka harus menyediakan sejumlah proporsi dari anggaran mereka untuk kesehatan (khususnya untuk program kesehatan ibu dan anak). Pihak yang dilibatkan adalah kepala komite kesehatan (di dalam lembaga legislatif), anggota komite kesehatan dan beberapa pihak lain dalam lembaga legislatif (total sekitar 150 orang, baik legislatif di tingkat nasional mau pun tingkat daerah). Interaksi mendalam (pertemuan bulanan) dengan mereka dilakukan selama 1 tahun (walau tidak selalu semuanya hadir dalam pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan tersebut), dan hasilnya adalah anggaran senilai USD 150 juta dan 15 peraturan daerah untuk program asuransi kesehatan disetujui. Hal lain yang juga menarik yaitu mereka berhasil menyelenggarakan event Legislative Summit untuk topik kesehatan, misalnya tahun lalu mereka membuat summit bertopik nutrisi, dan tahun ini mereka akan diselenggarakan dengan topik UHC.
Pembicara berikutnya, Sathyasree Goswami, menyajikan pengalaman melibatkan legislatif di India, yang dilakukan di dua provinsi yang relatif ‘tertinggal’. Hal ini dilakukan karena isu kesehatan seringkali tidak menjadi bahan diskusi di legislasi, dan persepsi para anggota legislatif mengenai hal ini adalah karena mereka merasa tidak ada data yang mereka butuhkan yang cukup menjelaskan isu - isu yang perlu dibicarakan. Untuk mengatasi hal tersebut, mereka membuat konstruksi khusus untuk memastikan bahwa isu kesehatan menjadi prioritas politis, dengan melibatkan banyak pihak, yang memungkinkan anggota legislatif mengakses data yang mereka butuhkan.
Beberapa tantangan yang mereka hadapi dalam melakukan hal ini adalah karena data yang disaggregated jarang tersedia (mayoritas data berupa data nasional, yang belum tentu relevan dengan kebutuhan di provinsi tersebut). Selain itu, mereka harus fleksible karena anggota legislatif seringkali bekerja (melakukan rapat-rapat) yang berlangsung hingga tengah malam.
Laporan kegiatan:
Sesi ini membuka wawasan kita untuk berpikir lebih luas dari sekedar peran kementerian kesehatan dalam sektor kesehatan. Dalam era desentralisasi, upaya untuk mencapai cakupan kesehatan semesta perlu memobilisasi komitmen politik dari lembaga - lembaga lain di pemerintah, misalnya DPRD dan pemerintah daerah. Hal ini mutlak diperlukan untuk mendesak agenda - agenda perbaikan dalam sistem kesehatan menjadi prioritas pemerintah di setiap level, tidak hanya di tingkat pemerintah pusat. Hasil - hasil baik yang bisa dicapai adalah adanya dialog yang lebih baik dari berbagai pihak untuk mengatasi masalah yang mungkin terjadi di dalam sektor kesehatan di daerah. Namun hal ini mungkin tidak terjadi dalam waktu singkat dan membutuhkan upaya untuk mendorong dialog yang terbuka antar berbagai pihak di pemerintah daerah dan pihak legislatif. Dalam jangka panjang, upaya ini memiliki potensi untuk mengangkat isu - isu kesehatan dalam ranah politik demi kepentingan pencapaian cakupan kesehatan semesta mau pun kebjakan-kebijakan lain untuk program prioritas kesehatan.
Namun untuk memungkinkan hal ini, peneliti kesehatan dan peneliti kebijakan harus pula mampu memainkan perannya dan berkontribusi terhadap tersedianya data yang dibutuhkan untuk membuat kebijakan yang baik. Peneliti perlu pula berinisiatif untuk membuat data yang mereka miliki tersedia secara cepat, real-time, dan mudah dipahami oleh para stakeholders.
Reporter : Shita Dewi
Sesi 4
It’s not just about money: why work on UHC requires a multidisciplinary approach to establish national legal and institutional frameworks
Pembicara :
- David Clarke, World Health Organization; Beverly Ho, Philippines Department of Health;
- Inke Mathauer, World Health Organization; Health systems Governance and Financing, WHO Geneva
- Françoise Navez, University of Liège, Belgium;
- Mohamed Mokdad, MoH Tunisia
- Elisabeth Paul, University of Liège, Belgium;
Pokok-pokok bahasan / paparan / diskusi:
- Law and UHC
- How Public Financial management systems and procurement rules can contribute to facilitate progress towards UHC.
- Strategic Purchasing for UHC: Why does it matter?
- Governance Imperative of Ministry of Health
- Complementary discipline for strategic purchasing
Laporan kegiatan:
“Universal Health Coverage” atau cakupan kesehatan semesta biasanya hanya dianalisis dari kacamata pembiayaan kesehatan, walaupun sebenarnya desain dan implementasi dari UHC itu sendiri menuntut peningkatan dalam kepemimpinan, kelembagaan dan sistem itu sendiri yang memiliki kontribusi terhadap disiplin ilmu lain. Peran hukum dalam UHC dan juga pembiayaan kesehatan yang setara menuntut sebuah sistem yang memiliki cakupan legalitas. Sistem UHC dituntut untuk dapat mengatur pengumpulan dana/ keuangan melalui subsidi pemerintah maupun lewat keharusan membayar dari peserta UHC tersebut. Sistem tersebut juga harus dapat memperluas paket manfaat, sehingga pengambilan keputusan adil dan benar. Strategic Purchasing dapat diatur melalui sebuah mekanisme dengan indikator utama efektif dan efisien. Hukum dalam UHC memerlukan suatu mekanisme pertanggungjawaban melalui reformasi institusi.
Public financial management (PFM) for health diharapkan dapat menghubungkan pembiayaan untuk tenaga kesehatan dan prioritas kesehatan (efisiensi alokasi pembiayaan). PFM juga dapat mempertimbangkan penekanan pengeluaran yang terlalu kecil untuk operasional. Lebih jauh, PFM diharapkan dapat meningkatkan kinerja pengelolaan dana UHC (efektif dan penggunaan yang setara dengan sumber daya). Masalah PFM yang umum dihadapi adalah kekurangan penguasaan prosedur dari kementerian kesehatan, menyalahgunakan prosedur negosiasi dengan dalih urgensi, ketidaksesuaian antara prosedur dan pengelolaan keuangan, dan prosedur dan peraturan yang kompleks dan kaku. Selengkapnya:
apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/254680/9789241512039-eng.pdf?sequence=1
Pembiayaan adalah bagaimana menerjemahkan dana yang dikeluarkan ke manfaat yang diterima. Strategic purchasing memiliki beberapa aspek yaitu spesifikasi manfaat, sistem dan kontrak pembayaran, sistem manajemen informasi yang terintegrasi, dan pengaturan tata kelola yang efektif. Aspek tersebut dapat menyasar tujuan intermediate dari UHC itu sendiri antara lain penyebaran sumber daya yang setara, efisiensi, akuntabel dan tranparansi. Strategic purchasing diharapkan dapat bertemu dengan tujuan akhir dari UHC yaitu utilisasi yang sejalan dengan kebutuhan, mutu layanan kesehatan, dan pembiayaan yang adil dan perlindungan finansial bagi perserta. Hal ini berhadapan dengan beberapa isu dimana pandangan tentang bagaimana meningkatkan kesehatan dengan dana/uang, pemerintah nasional tidak dapat menyederhanakan tata kelola daalam UHC, dan tidak ada perkembangan UHC tanpa memikirakan pengeluaran yang efisien (aliran dana dan mekanisme pembayaran).
Refleksi untuk Indonesia:
Indonesia telah menjalankan skema Jaminan Kesehatan Nasional sejak 2014, dan memiliki banyak permasalahan dalam pengaturan masalah dalam pembiayaan kesehatan. Implementasi JKN harusnya bersifat terbuka baik dalam pertanggungjawaban maupun kolaborasi multi sektor. Penilaian terhadap efektif dan efiensi terhadap paket manfaat harusnya dapat melibatkan ahli ekonomi, kesehatan, dan manajemen sehingga prosedur dan sistem yang mendukung paket manfaat tersebut dapat diterima oleh masyarakat.
Reporter : Relmbuss Biljers Fanda
Sesi 5
Membangun Teori Program pada Pay for Performance di Negara berkembang
Pengantar
Pay for performance (P4P) adalah sebuah arti yang berpotensi untuk menguatkan sistem kesehatan untuk meningkatkan cakupan universal di negara berkembang. Sesi ini menggambarkan sebuah pendekatan realist pada studi P4P, menjelaskan tentag mekanisme P4P pada perubahan sistem dan bagaiaman membentuk konteks pada berbagai arah.
Narasumber:
- Josephine Borghi, London School of Hygiene & Tropical Medicine, UK;
- Gwati Gwati, Ministry of Health and ChildWelfare, Zimbabwe; Neha Singh, London School of Hygiene & Tropical Medicine, UK;
- Artwell Kadungure,Training and Research Support Centre, Zimbabwe;
- Amilcar Magaco, National Institute of Health, Mozambique;
- Sophie Witter, Queen Margaret University, Garrett Brown, University of Leeds, UK
Penelitian P4P di Mozambik menunjukkan beberapa temuan dengan menggunakan pendekatan evalusi realist. Penelitian ini menemukan bahwa outcomes berupa utilasasi layanan kesehatan dan kepuasan pelanggaan dipengaruhi oleh penjangkauan dan mengikutsertakan masyarakat mempengaruhi kepuasan pasien dan utilisasi terhadap layanan kesehatan. Konteks yang muncul dalam penelitian ini adalah layanan penjangkauan dan karakteristik sosio demografi pasien. Mekanisme lain yang muncul adalah kemungkinan out of pocket mempengaruhi kepuasan pasien yang didasari oleh konteks ketersediaan obat dan pengeluaran pasien. Outcomes lain yang muncul adalah produktivitas dari tenaga kesehatan, rujukan yang sesuai, dan memiliki mekanisme bahwa insentif finansial memotivasi kinerja dari tenaga kesehatan, serta meningkatkan interaksi di berbagai tingkatan layanan. Outcomes tersebut muncul dari konteks berupa sistem pengelolaan keuangan, ketersediaan dana, tingkat dan distribusi insentif.
Dalam studi ini juga dikembangkan “Theory of Change” dengan melihat komponen dari Teori Result Based Financing (RBF) yaitu komponen kontak dan pembayaran, manajemen dan capacity building dan monitor dan dokumentasi. Untuk informasi sebagai berikut :
Studi ini juga membangun teori tentang Performance Based Financing Mechanism for Health systems strengthening in Africa (PEMBA). Temuan lebih lanjut menjelaskan bahwa kuantitas PEMBA mempengaruhi peningkatan jumlah dalam ART ibu hamil, kunjungan ANC, dan kunjungan untuk program KB. Namun, ada beberapa hal yang masih dalam belum dapat dipengaruhi adalah inisasi dan retensi dan Pasien HIV, ART pediatric dan hubungan antara harga dan tanggung jawab. Gambar berikut menunjukkan teori yang dipakai:
Refleksi Indonesia:
Studi ini menunjukkan bahwa penting untuk menganalisis konteks (soSio demografi dalam sebuah intervensi, misalnya intervensi kebijakan). Sebuah intervensi kebijakan mungkin hanya berlaku untuk daerah dengan karakteristik seperti memiliki kemampuan fisKal yang memadai dan sistem pengelolaan insentif ke tenaga kesehatan. Isu pengurangan OOP diperkirakan dapat mempengaruhi kualitas layanan yang diberikan.
Reporter: Relmbuss Biljers Fanda