Kick Off Meeting

Strenghtening Capacity in Health Insurance and Finance at KPMAK,
Faculty of Medicine, Gadjah Mada University to Support Impementation of
The New Health Insurance Scheme in Indonesia.

Jogjakarta, 19-23 Januari 2015

 

 

20jan-9

Pada 19 hingga 23 Januari 2015, bertempat di Auditorium Senat Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dilakukan pertemuan dalam rangka peluncuran program (Kick-Off Meeting) Penguatan Kapasitas Pengetahuan Asuransi Kesehatan dan Pembiayaan Kesehatan bagi tenaga akademisi di lingkungan Fakultas Kedokteran UGM. Program ini merupakan kerja sama antara Pusat Studi Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (KPMAK) dengan Konsorsium Belanda (Dutch Consortium). Kolaborasi ini direncanakan akan berjalan dalam kurun waktu empat tahun (2015-2018). Kegiatan yang dilakukan mencakup empat area; yaitu Pembahasan Kurikulum untuk Program Pascasarjana terkait Health Economics, Health Insurance, Health Financing (Master dan PhD); Kolaborsi penelitian; Peningkatan kapasitas melalui penyediaan pelatihan dan kuliah umum dengan dosen tamu dari Belanda; serta pembenahan manajemen proyek terkait asuransi kesehatan dan pembiayaan kesehatan.

Dutch Consortium merupakan kolaborasi beberapa institusi akademisi di Belanda yang bertujuan untuk peningkatan kapasitas dalam rangka bantuan teknis/akademisi terkait ekonomi kesehatan, pembiayaan kesehatan dan asuransi kesehatan. Kolaborasi ini berasal dari Nuffic Program, Vrije Universiteit Amsterdam, AIGHD, dan Erasmus Universiteit Rotterdam, Belanda. Dalam kesempatan ini hadir ekspertise ekonomi kesehatan dari Belanda; Prof. Eddy Van Doorslaer; sebagai project director, dengan tim; Prof Menno Pradhan, Dr. Ellen and de Poel; dan Dr Esther den Hartog; sebagai program manager. Hadir dalam kesempatan ini Prof dr Ali Gufron Mukti MSc, PhD,. Prof dr Laksono Trisnantoro, MSc, PhD, serta Prof dr Adi Utarini, MSc, PhD, sebagai consortium-partner untuk Indonesia mewakili Fakultas Kedokteran UGM.

Pertemuan tanggal 20 Januari 2015 ini merupakan pertemuan lanjutan sekaligus peluncuran (kick-off) kerja sama akademisi antara UGM dengan Dutch Consortium untuk memberikan dukungan bagi implementasi Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia. Pertemuan inisiasi ini dibuka secara resmi pada Selasa,20 Januari 2015, oleh Wakil Rektor 1 Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Prof. Dr Iwan Dwiprahasto, MSc, PhD. Sehari sebelumnya atau Senin (19/1/2015) telah dilakukan diskusi bersama dengan internal tenaga akademisi di lingkungan Fakultas Kedokteran, dan dibuka oleh Dekan Fakultas Kedokteran UGM; dr Teguh Aryandono, SpB (K) Onk.

Kerja sama ini bertujuan untuk ; 1) Peningkatan kapasitas tenaga profesional (dosen dan mahasiswa) untuk lebih memahami dan mampu memberikan dukungan akademisi bagi pemerintah dan penyelenggara jaminan kesehatan di Indonesia, terkait dengan sistem asuransi kesehatan dan pembiayaan kesehatan, 2) Secara aktif akan memberikan advokasi dan mempromosikan isu isu terkini tentang asuransi kesehatan, jaminan kesehatan dan pembiayaan kesehatan kepada para pemangku kepentingan di berbagai tingkat, pusat, propinsi dan kabupaten/kota.

20jan-10

Prof. Iwan Dwiprahasto, dalam sambutannya menyatakan bahwa UGM sangat menyambut gembira adanya kegiatan ini dalam rangka memperkuat kerjasama internasional lintas akademisi. Kegiatan ini akan memperkuat Visi dan Misi UGM sebagai Universitas Berkelas Internasional (World Class International). Terkait dengan isu terkini, harapannya UGM bisa menjadi pemimpin dalam telaah akademisi dan pendamping pemangku kebijakan terkait dengan Jaminan Kesehatan. Sudah banyak kegiatan, penelitian dan sumberdaya yang dihasilkan oleh UGM terkait dengan pembiayaan kesehatannya. Kegiatan seperti ini akan memperkuat posisi UGM dalam mengawal keberlangsungan kebijakan sistem jaminan kesehatan yang ada.

20jan-5Prof. Eddy van Doorslaer, dalam pidato pembukaan menyampaikan bahwa dunia internasional sedang berada dalam euforia menuju pencapaian Universal Health Coverage. Negara-negara berpendapatan menengah seperti Indonesia mempunyai karakteristik yang menarik dan permasalahan yang kompleks dalam perjalanan menuju pencapaian UHC tersebut. Kasus di beberapa negara seperti Thailand, Vietnam, dan China bisa diambil beberapa poin penting yang bisa dijadikan pelajaran penting bagi perkembangan UHC di Indonesia, seperti penyediaan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang memadai untuk seluruh wilayah Indoneaia merupakan kunci penting tercapainya UHC, bukan dengan mengupayakan peningkatan cakupan kepesertaan. Dengan karakter unik ini dan permasalahan spesifik yang ada di Indonesia ini, yang kemudian menjadi dasar perlunya ada semacam kolaborasi teknis terkait peningkatan kapasitas dalam rangka pemberian bantuan teknis Asuransi Kesehatan dan Pembiayaan Kesehatan terkait Jaminan Kesehatan Nasional.

Materi Presentasi

 

20jan-5Prof Menno Pradhan, menyampaikan bahwa secara statistik umum, kondisi status kesehatan dibandingkan dengan peningkatan pengeluaran pemerintah untuk kesehatan, menunjukkan kondisi yang lebih baik. Peningkatan ini tidak diimbangi dengan pemerataan penyediaan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang memadai di beberapa daerah. Terjadi kesenjangan antar wilayah. Kondisi membaiknya status kesehatan ini hanya terfokus kepada daerah yang maju dan berpenduduk tinggi, seperti Jawa, Sumatera dan Kalimantan, sedangkan Sulawesi, dan Kepulauan Indonesia Timur (seperti Papua, NTT, dan Maluku) justru mengalami penurunan status kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerataan belum terjadi dan harapannya JKN nantinya akan mereduksi kesenjangan kondisi seperti ini.

materi presentasi

 

20jan-5Prof Laksono Trisnantoro, MSc, PhD, menyatakan bahwa JKN saat ini berada dalam kondisi yang perlu perhatian khusus, adanya kekurangan tenaga kerja dan fasilitas kesehatan yang belum merata dan tersedia diseluruh pelosok tanah air akan menimbulkan penggunaan dana JKN yang tidak merata. Dana JKN di wilayah yang mengalami kekurangan nakes dan faskes akan selalu sisa, dan justru akan menjadi subsidi ke daerah yang relatif tersedia nakes dan faskesnya. Dalam hal ini wilayah seperti NTT, akan selalu under claim dan Jawa over claim. Terjadi realokasi subsidi dari daerah yang seharusnya dibantu secara pendanaan ke daerah yang justru surplus dari berbagai macam sisi. Maka perlu dilakukan evaluasi dan monitoring kebijakan JKN ini, agar pemerataan pelayanan kesehatan di Indonesia ini tercapai. Memburuknya situasi pemerataan dana JKN ini perlu diantisipasi dalam kerangka perbaikan program kerja pemerintah presiden Jokowi saat ini.

Materi presentasi

 

20jan-8

Prof. dr. Ali Gufron Mukti, Msc, PhD menyampaikan bahwa proses Jaminan Kesehatan di Indonesia sangat tergantung kepada proses politik yang sedang berjalan. Berganti kebijakan kesehatan, berganti pula nama dan kebijakan pembiayaan kesehatan. Itulah yang terjadi dalam kurun dua dasawarsa ini, sehingga akan menjadi tugas yang berat bagi pemerintah dan pemangku-kepentingan menjaga sustainabilitas program pembiayaan kesehatan ini. Perlu dukungan dari berbagai pihak untuk mengawal jaminan kesehatan ini sehingga mencapai tujuan dari jaminan kesehatan semesta (Universal Health Coverage). Saat ini merupakan saat yang tepat bagi kaum akademisi untuk membantu pemerintah memperbaiki kebijakan yang ada, dan membantu BPJS sebagai badan pengelola Jaminan Kesehatan Nasional untuk menyediakan pembiayaan kesehatan yang adil, merata dan berkesinambungan

Materi presentasi

 

 

 

bumiminang

Diselenggarakan Oleh:

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS ANDALAS PADANG
dan
JARINGAN KEBIJAKAN KESEHATAN INDONESIA

 

  LATAR BELAKANG

Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia adalah suatu jembatan penyambung berbagai pemangku kepentingan dalam keijakan kesehatan di Indonesia. Mereka yang bergabung : para peneliti, akademisi, pemerhati, praktisi kebijakan, kelompok masyarakat, wakil rakyat, birokrat, penamat dari berbagai profesi dan lembaga.

Forum ini telah 5 kali digelar, setiap tahun berturut-turut di Jakarta (UI), Makasar (UNHAS), Surabaya (UNAIR), Kupang (UNDANA), dan Bandung (UNPAD). Pada tahun 2015 ini kota Padang mendapat kehormatan dengan Universitas Andalas (UNAND) sebagai tuan rumah.

Dalam situasi pembiayaan kesehatan yang dinamis ini, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia yang dimulai sejak 1 Januari tahun 2014 memberikan andil yang besar terhadap reformasi sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia. JKN diharapkan secara bertahap menjadi tulang punggung untuk mencapai Universal Health Coverage di tahun 2019 sebagaimana diamanatkan Undang-Undang. Beberapa isu penting pada era JKN antara lain pemanfaatan bagi masyarakat di daerah, kesiapan anggaran investasi di kementerian dan di pemerintah daerah seperti insfrastruktur, peralatan dan SDM kesehatan. Hal ini juga untuk melihat perjalanan JKN pada tahun kedua, apakah semakin membaik atau memburuk.

Selain itu, Tahun 2015 merupakan tahun untuk mencapai MDGs, sekaligus merupakan tahun KABINET KERJA yang akan menentukan arah kebijakan kesehatan. Masih banyak kendala dan hambatan dalam penerapan JKN dan pencapaian MDGs yang tentu akan dapat berpengaruh terhadap pencapaian UCH tahun 2019. Oleh karena itu, perlu dilakukan Kajian terhadap kebijakan – kebijakan kesehatan menuju UHC 2019.

Tema tahun ini adalah "UPAYA PENCAPAIAN UHC 2019 : KENDALA, MANFAAT, DAN HARAPANNYA". Dengan sub tema : "Tantangan Upaya Pencapaian Universal Health Coverage - UHC".

Kelompok kebijakan kesehatan yang akan berkumpul merupakan kelompok yang sudah lebih dahulu berkembang dalam forum sebelumnya serta kajian baru tahun ini:

  1. Pokja Kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak
  2. Pokja Kebijakan Pembiayaan Kesehatan/Asuransi
  3. Pokja Kebijakan HIV/AIDS
  4. Pokja Kebijakan Pendidikan SDM Kesehatan
  5. Pokja Kebijakan Pelayanan Kesehatan
  6. Pokja Kebijakan Gizi Masyarakat
  7. Pokja Kebijakan Kesehatan Lingkungan
  8. Pokja Penanggulangan Bencana
  9. Pokja Mental Health

 

  TUJUAN

  1. Membahas perkembangan isu – isu strategis kebijakan kesehatan selama dua tahun dilaksanakannya JKN
  2. Membahas reformasi pembiayaan kesehatan dan pelayanan kesehatan di Indonesia dalam mencapai UHC 2019
  3. Meningkatkan kapasitas penelitian oleh perguruan tinggi/pusat penelitiaan dan peneliti dalam penelitian kebijakan kesehatan
  4. Meningkatkan kapasitas peneliti dalam mendiseminasikan hasil penelitian dan menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah lokal dan nasional

 

  WAKTU & TEMPAT

Waktu       : Senin – Rabu/ 24 – 27 Agustus 2015
Tempat     : Hotel Bumi Minang Padang

jadwal 01

 

  PESERTA

Kegiatan Forum Nasional V ini mengundang para pengambil kebijakan, akademisi (dosen dan staf pengajar), peneliti, praktisi kebijakan kesehatan, dan para pengamat serta siapa pun yang tertarik dengan kebijakan kesehatan untuk mengikuti kegiatan ini.

Pendaftaran bagi peserta umum sebagai berikut :

Kegiatan

Early Bird hingga 30 Mei 2015

1 Juni – 23 Agustus 2015

On Site

Seminar (2 Days) 24-25 Agustus 2015

Rp.   750.000

Rp.   850.000

Rp. 1.000.000

Workshop (1 Day) 26 Agustus 2015

Rp.   500.000

Rp.   600.000

Rp.    750.000

Seminar + Workshop 24 -26 Agustus 2015

Rp. 1.000.000

Rp. 1.100.000

Rp. 1.250.000

Field Trip 27 Agustus 2015

Rp.    700.000

Rp.   800.000

Rp. 1.000.000

Biaya dapat ditransfer ke rekening BNI Cab Padang dengan nomor 0374416989 atas nama Panitia FKKI VI.
Biaya sudah meliputi seminar kit, konsumsi selama meeting dan sertifikat ber-SKP. SKP bagi peserta yang disediakan adalah sebagai berikut :

  1. IDI 20 SKP
  2. IAKMI 6 SKP
  3. IBI 5 SKP
  4. PDGI 4 SKP
  5. IAI 15 SKP
  6. PPNI 4 SKP

 

 

  KETERANGAN & PENDAFTARAN

Angelina Yusridar
Hp:  08111498442
Email  : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

Wisnu Firmansyah
Hp:  081215182789
Email  : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. 

Email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. 
Web : www.kebijakankesehatanindonesia.net 

 

Workshop GP Mental Health

Fakultas Kedokteran UGM, 13-14 Februari 2015

  Latar Belakang

Masalah kesehatan jiwa merupakan salah satu masalah besar di dunia, karena jumlah penderitanya yang sangat banyak. Laporan badan kesehatan dunia WHO bahkan memperkirakan bahwa setiap 1 dari 4 orang di dunia mengalami gangguan jiwa. Tak mengherankan jika masalah kesehatan mental pun disebut sebagai salah satu penyebab utama kerugian ekonomi, yang juga dapat berakibat disability jika dibiarkan.

Dokter merupakan ujung tombak penanganan kesehatan jiwa di layanan primer karena penderita masalah kesehatan jiwa sebagian besar datang menemui dokter dengan keluhan fisik. Namun berbagai penelitian melaporkan bahwa masalah kesehatan jiwa ini banyak yang tidak terdeteksi dan tidak tertangani karena beban kerja dokter yang sudah overload. Penajaman ketrampilan asesmen, diagnosis dan intervensi kesehatan jiwa menjadi sangat penting bagi dokter di layanan primer. Alur rujukan yang jelas dan kerjasama multidisiplin juga mutlak diperlukan agar treatment gap antara penderita gangguan jiwa dan pelayanan kesehatan jiwa dapat dipersempit.

Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran UGM bekerjasama dengan PKMK Fakultas Kedokteran UGM dan CPMH Fakultas Psikologi UGM menginisiasi sebuah training, yang akan menjadi kesempatan emas untuk memperdalam ketrampilan dokter sebagai elemen penting pelayanan kesehatan jiwa primer. Training ini akan dibimbing langsung oleh para pakar dari The University of Melbourne, Australia.

 

  Tujuan

  1. Memberikan gambaran tentang sistem kesehatan jiwa di layanan primer, belajar dari pengalaman global dan Australia.
  2. Memberikan pemahaman tentang peran dan posisi ideal dokter dalam layanan kesehatan jiwa primer.
  3. Memperkuat ketrampilan prevensi, asesmen, diagnosis dan intervensi dokter dalam layanan kesehatan jiwa primer.
  4. Memahami perspektif multidisiplin dalam penanganan kesehatan jiwa di layanan primer.
  5. Membahas arah clinical pathway dalam penanganan depresi di ranah primer.

 

Bentuk Kegiatan

Bentuk kegiatan adalah presentasi dan diskusi selama 2 (dua) hari yang masing-masing terbagi menjadi 5 (lima) sesi presentasi dengan diskusi tanya jawab pada tiap akhir sesi

 

  Waktu dan Tempat

Hari / Tanggal  : Jumat-Sabtu / 13-14 Februari 2014
Waktu             : 08.00 – 17.00
Tempat            : Ruang teater lt.2, Fakultas Kedokteran, UGM

 

Peserta

Workshop ini terbuka untuk dokter Puskesmas dan dokter-dokter umum se-Indonesia

Penyelenggara

Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran UGM
Centre for Public Mental Health - Fakultas Psikologi UGM (CPMH UGM)
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan - Fakultas Kedokteran UGM (PKMK UGM)

 

  Susunan Acara, Materi, dan Reportase

Jadwal

Day 1:
Experience from Global and Australia

Waktu

Acara

 Detail

Nara Sumber

08.00-08.30

Opening Remarks

  • Mendorong terciptanya pemahaman pentingnya kerjasama multidisipliner dalam pelayanan kesehatan jiwa dalam layanan primer

Kabag Psikiatri Fakultas Kedokteran UGM

PKMK FK - Prof.dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD.

CPMH Fak Psikologi-
Dr. Rahmat Hidayat

08.30-10.00

Global and Australian experience in:
Mental health in primary care

  • Sejarah perkembangan pelayanan kesehatan mental di ranah primer (pengalaman global dan Australia)
  • Peran dokter umum dalam pelayanan kesehatan jiwa di ranah layanan primer

A/Prof Grant Blashki
Ruth Wraith 

materi

10.00-10.30

Coffee Break

 

 

10.30-12.00

Assessment of common mental health problems in primary health care

  • Teknik-teknik asesmen yang cepat untuk dokter umum di layanan primer
  • Pembuatan mental health plan (lembar rencana penganganan kesehatan jiwa, termasuk rujukan)

A/Prof Grant Blashki
Prof. Dr. Sofia Retnowati 

materi 1

12.00-13.00

Lunch break

 

 

13.00-14.00

Children mental health

  • Masalah kesehatan jiwa yang umum pada anak-anak
  • Assesmen dan intervensi masalah kesehatan jiwa pada anak-anak (kompetensi dokter umum)

Ruth Wraith

materi

14.00-15.00

Domestic Violance and Mental Health/Suicide

  • hubungan atara depresi dan kecenderungan bunuh diri
  • deteksi dini kecenderungan bunuh diri pada pasien 

Dr. Erminia Colucci 

materi

15.30-16.00

Coffee Break

 

 

16.00-17.00

Prevention and intervention

  • Keterlibatan dokter umum dalam pencegahan (teknik-teknik pencegahan penyakit jiwa)
  • Berbagai teknik intervensi yang mungkin dipelajari oleh dokter di layanan primer

Ruth Wraith

materi

17.00-17.30

Penutupan Hari I

   Apa yang dapat dimanfaatkan di Indonesia?

dr. Hasta Yoga, SpKJ
Dr. Diana Setiyawati


Day 2:

Pengembangan Pelayanan Kesehatan Jiwa dalam pelayanan Primer di Indonesia di era JKN

Waktu

Acara

 Detail

Nara Sumber

08.00-09.00

Focused Psychological Strategy

Teknik intervensi ringkas untuk problem psikologis

A/Prof. Grant Blashki
Dr. Diana Setiyawati

materi

09.00-09.30

Coffee break

   

09.30-12.00

Kebijakan Pelayanan Kesehatan Mental di Puskesmas dalam era JKN

  • Strategi kesehatan jiwa: posisi dokter umum dalam layanan kesehatan jiwa primer
  • Pendanaan untuk pelayanan kesehatan jiwa di pelayanan primer

dr. Herbert Sidabutar, Sp.Kj

materi

12.00-13.00

Lunch Break

   

13.00-14.00

Aspek mutu pelayanan: Hubungan antara dokter dan psikolog

Studi tentang situasi prosedur pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas daerah Sleman

Aspek pelayanan multidisipliner : peran psikolog dalam layanan kesehatan jiwa primer

dr. Hasta Yoga, SpKJ
Dr. Diana Setiyawati

materi 1

materi 2

14.00-15.00

Pengembangan Clinical Pathways dalam penanganan Depresi di Pelayanan Puskesmas

Proposal clinical pathways dalam penanganan Depresi di Pelayanan primer

dr. Hasta Yoga, SpKJ

materi

15.00-15.30

Coffee Break

   

15.30-16.30

Diskusi tentang Penyusunan Clinical Pathways di Puskesmas

 

dr. Hasta Yoga, SpKJ
Dr. Diana Setiyawati

materi

 

Reportase Diskusi Publik Mencegah Memburuknya Ketidakadilan Sosial di Sektor Kesehatan

paramadina1

Kegiatan diskusi yang dilaksanakan di Universitas Paramadina, Jakarta dengan topik "Mencegah memburuknya ketidakadilan sosial di sektor kesehatan" dimulai dengan sambutan dari Prof Laksono dilanjutkan oleh Dinna Wisnu, PhD dari Universitas Paramadina. Rektor baru Universitas Paramadina yaitu Firmanzah juga turut memberikan sambutan dan menyampaikan poin penting dalam rangka kerja sama pengembangan ilmu pengetahuan oleh Universitas Paramadina dengan PKMK UGM dalam berbagai penelitian dan forum. Perwakilan BPJS yang juga memberikan sambutan pada acara ini sekaligus membuka kegiatan diskusi.

Sesi pertama "Kebijakan Jangkauan JKN"

Pada sesi pertama Prof Laksono menyajikan materi mengenai "Kebijakan Jangkauan JKN". Menurut beliau, materi yang diangkat befokus pada public policy yang dinilai memiliki peranan sangat penting. Materi ini dimulai dengan hasil riset dan kajian yang telah dilakukan selama satu tahun terselenggaranya SJSN. Hal pokok yang dipaparkan mengenai isu yang selalu diangkat terkait kepesertaan JKN, namun sebenarnya yang paling penting adalah apa manfaat yang didapat peserta JKN. Diuraikan lebih lanjut bahwa terjadi sebuah ketimpangan dalam pemerataan pemanfaatan oleh peserta JKN. Daerah yang kaya dan memiliki akses fasilitas yang baik menunjukkan tingginya penyerapan anggaran. Namun sebaliknya, daerah miskin dengan akses yang terbatas sangat kecil untuk menyerap anggaran.

Permasalahan yang terjadi di beberapa daerah dengan berbagai kendala tersebut menimbulkan skenario-skenario di masa yang akan datang. Skenario optimis dengan perbaikan keadaan hingga ke skenario yang paling pesimis. Skenario optimis dimungkinkan oleh daerah yang telah berkembang dengan baik. Sedangkan daerah pesimis masih dimotori oleh daerah yang masih tertinggal. Sebenarnya daerah miskin juga sudah mendapatkan beban yang berat seperti kesulitas akses geografi, ekonomi, dan budaya. Sementara jumlah lakalantas dan perilaku merokok juga semakin meningkat.

Prof Laksono juga mengaitkan nawa cita presiden Jokowi terkait dengan semangat pemerataan dan keadilan kesehtaan bagi masyarakat Indonesia. Prinsip ini dinilai menjadi pegangan yang penting dalam pengembangan pemerataan kesehatan. Diceritakan juga sebuah kendala riset kesehatan khususnya JKN adalah transparansi data klaim oleh BPJS.

paramadina3

  Pembahas 1

Sebagai pembahas pertama, Kalsum Komariyah dari perwakilan Kemenkes memberi penekanan pada peningkatan suplay yang harus mengimbangi demand. Di samping itu, pencapaian tujuan-tujuan yang direncanakan pemerintah juga selalu harus diukur. Melalui peningkatan dan perbaikan suplai/supply maka akan menurunkan angka kematian dan angka kesakitan. Kementrian kesehatan yang memegang fungsi regulasi dapat berperan dalam memenuhi layanan.

  Pembahas 2

Ridwan Monoarfa sebagai dewan pengawas BPJS mengungkapkan bahwa terjadi diskriminasi dalam pemanfaatan layanan kesehatan bagi peserta BPJS. Sebelumnya memang terjadi perdebatan dalam penyusunan kebijakan ini, antara konsep JKN yang menggunakan segmentasi program dan segmentasi layanan. Namun untuk prinsip pemerataan, maka segmentasi program menjadi pilihan. Ridwan juga kembali menekankan bahwa benefit package tetap harus dipertimbangkan bagi masyarakat rentan. Menurutnya, dengan kebutuhan ini maka anggaran kesehatan tetap harus ditingkatkan.

  Pembahas 3

Asih Eka Putri perwakilan Dewan Jaminan Nasional membahas mengenai aspek demografi peserta BPJS. Menurut Asih, adanya ketimpangan yang terjadi juga menunjukkan sebuah indikasi ketidakcukupan iuran. Ketidakcukupan iuran ini diharapkan dapat diatasi dengan melakukan pengkajian kembali atau merevisi besarnya iuran. Asih melanjutkan, jika hal ini tidak diatasi maka akan mempengaruhi dalam peningkatan eksodus tenaga kesehatan. Beberapa saran yang ditawarkan seperti melakukan investasi dengan melibatkan swasta, atau memanfaatkan daerah dengan jumlah tenaga kesehatan yang melimpah yang dipekerjakan di daerah yang minim tenaganya, hingga usulan tenaga kontrak dari luar negeri. Selain itu untuk jangka panjang, Asih memberikan masukan mengenai pentingnya setiap daerah berinvestasi untuk mengembangkan wilayah masing-masing.

 

paramadina2

Sesi Kedua "Pendukung dan Penghambat Cakupan Semesta"

Pada sesi kedua bertindak sebagai penyaji, Dinna Wisnu dari Universitas Paramadina menyajikan materi mengenai Pendukung dan Penghambat Cakupan Semesta. Dalam sesi ini, Dinna melalui risetnya menyatakan bahwa kelemahan JKN pada saat ini teletak pada instrumen yang tidak sesuai. Hal ini dikaitkan pada kebijakan telah mengarah ke yang lebih baik, maka seharusnya hasilnya juga akan baik. Namun pada kenyataannya berbeda, Asih berpendapat bahwa kebijakan belum diturunkan dengan baik dimana aturan-aturan pengkodisian belum ditemukan. Selain itu kelemahan institusi kesehatan terletak pada minimnya inisiasi atau kakunya pengambilan sikap karena harus selalu berdasar pada aturan yang ada. Seperti dalam pendaftaran peserta BPJS sangat birokrat dan tentu menghambat masyarakat utamnaya untuk masyarakat yang rentan. Asih juga menambahkan bahwa seharusnya JKN tidak berprinsip pada pemerataan kualitas layanan kepada semua golongan, namun harus mempertimbangkan fakta bahwa setiap golongan masyarakat memiliki ekspektasi yang berbeda. Penekanannya lebih pada kendali mutu, bukan pada kendali biaya.

  Pembahas 1

Daniel Yusmic yang bertindak sebagai pembahas pertama memaparkan bahwa evaluasi dapat dilakukan jika produk hukum telah seutuhnya diterbitkan. Namun jika dilihat dari peraturan, maka hal ini sering tidak sinkron dengan aturan di bawahnya terkait beberapa peraturan yang sering mengalami amandemen. Meskipun demikian, menurut Daniel, jaminan kesehatan merupakan hak konstitusional setiap warga negara, sehingga negara wajib untuk menyediakannya. Daniel Yusmic juga merekomendasikan perlunya penelitian hingga tahun 2019 untuk melakukan evaluasi JKN lebih mendalam.

  Pembahas 2

Perwakilan dari BPJS Kesehatan selaku pembahas kedua menjelaskan bahwa pentingnya sebuah pengaduan masyarakat yang dapat membantu memperbaiki layanan.

  Pembahas 3

Selaku pembahas ketiga, Timboel Siregar yang menjabat di BPJS Watch mengindikasikan adanya kemauan politik yang rendah oleh pemerintah untuk memperbaiki tatanan dalam JKN. Hal ini diungkapkan dalam budgeting anggaran yang dinilai masih lemah. Selain itu, indikasinya terlihat pada kurang aktifnya badan pengawas rumah sakit yang memberikan peluang besar dalam penyalahgunaan.

(Faisal Mansur, MPH/Asisten Peneliti di PKMK FK UGM)

Tor dan Materi Presentasi

 

14jan paramadina

 

  Latar belakang

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan telah dimulai pada tanggal 1 Januari 2014. Sebagai usaha monitoring keberhasilan JKN khususnya dalam tujuan mencapai cakupan universal dan menjamin bahwa warganegara Indonesia yang selama ini mengalami kesulitan menjangkau jaminan kesehatan yang layak, kami dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada dan Paramadina Graduate School of Diplomacy (PGSD) menyelenggarakan diskusi publik berbasis penelitian.

Tema diskusi adalah "Mencegah memburuknya ketidakadilan sosial di sektor kesehatan". Diskusi ini diharapkan dapat mengupas tingkat kemampuan program JKN menjangkau seluruh wilayah dan lapisan masyarakat di Indonesia. Dalam 1 tahun penerapan JKN, siapa saja yang mengklaim tunjangan kesehatan, baik dari kalangan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) ataupun kalangan peserta non-PBI. Klaim tersebut untuk jenis layanan apa saja? Apa saja titik akuntabilitas BPJS Kesehatan di bidang keadilan sosial yang selama ini terlaksana berdasarkan regulasi yang ada?

Dari sisi PKMK FK-UGM, telah dilakukan pengumpulan data dan analisis dari kabupaten/kota di 12 propinsi pada bulan April 2014, yakni provinsi DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, sebagian kabupaten/kota di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan, NTT, Kalimantan Timur, Bengkulu, Jawa Timur, dan Sulawesi Tenggara. Keduabelas provinsi tersebut dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian: (1) kelompok daerah yang sudah maju dan (2) kelompok yang belum maju. Pembagian ini terutama pada masalah ketersediaan RS, tenaga dokter dan dokter spesialis sebagai tulang punggung implementasi JKN.

Ditemukan telah terjadi perbedaan akses JKN yang ekstrim antara kedua jenis daerah tersebut. Selain itu, daerah-daerah yang tergolong belum maju juga rendah klaim. Artinya dari sisi serapan dana JKN, terjadi kesenjangan keadilan.

Dari sisi PGSD Univ Paramadina, telah dilakukan pengumpulan data dan analisis di tingkat kebijakan pemerintah pusat terkait respon masyarakat terhadap JKN dan model pengelolaan JKN (baik dari segi dana, kelembagaan maupun regulasinya). Peneliti dari PGSD juga menyajikan hasil studi kasus upaya pencegahan kematian ibu, identifikasi dimana titik kesenjangannya sehingga perempuan di daerah terpencil mengalami kesulitan menikmati fasilitas JKN.

Dalam konteks latar belakang ini dilakukan analisis skenario perbaikan kebijakan JKN agar tujuan mencapai cakupan universal dapat tercapai pada tahun 2019.

  Temuan

Hasil temuan menunjukkan bahwa jika pola ketersediaan fasilitas kesehatan, respon masyarakat dan kelembagaan BPJS Kesehatan berjalan seperti tahun 2014, maka skenario pencapaian cakupan semesta atas dasar prinsip keadilan sosial kemungkinan besar tidak akan tercapai. Kemungkinannya justru terjadi peningkatan kesenjangan antar wilayah dan kurang optimalnya akuntabilitas BPJS Kesehatan serta kementerian/lembaga terkait dalam hal penerapan JKN.

  Tujuan Pertemuan

Berdasarkan temuan pada monitoring ini, tujuan diskusi adalah membahas:

  1. Kebijakan perbaikan jangkauan JKN kepada seluruh warganegara Indonesia;
  2. Kebijakan yg mendukung atau menghambat cakupan semesta dalam JKN saat ini

Undangan: 100 orang (para praktisi & pemikir bidang jaminan sosial dan kesehatan, media massa)

 
  Waktu dan Tempat

Tempat : Ruang Multifungsi, Kampus Pascasarjana Universitas Paramadina
               Gedung The Energy lantai 22, SCBD Lot 11 A, Jl. Jend Sudirman 52-53
               Jakarta, Rabu, 14 Januari 2015
waktu   : 11:30 – 17:00 Wib

 

  Susunan Acara

waktu

Acara

11:30 – 12:30

Makan Siang

12:30 – 12:40

Pembukaan (Sambutan Plt. Rektor Universitas Paramadina & Dirut BPJS Kesehatan)

12:40 – 14:45

Sesi I - Diskusi Kebijakan jangkauan JKN

Penyaji: Bapak Prof. Laksono Trisnantoro (PKMK FK-UGM)

Video   materi         

Pembahas:

Perwakilan dari Kementerian Kesehatan.

Video   materi     

Ibu Asih Ekaputri, MD (Dewan Jaminan Sosial Nasional)

Video   materi     

Bapak Ridwan Monoarfa (Dewan Pengawas BPJS Kesehatan

video 

Moderator: Bapak Djayadi Hanan, Ph.D (PGSD - Univ Paramadina)

14:45 – 15:15

Rehat kopi

15:15 – 17:00

Sesi II - Diskusi Pendukung & Penghambat Cakupan Semesta 

Ibu Dinna Wisnu, Ph.D (Paramadina Graduate School of Diplomacy)

Video   materi           
  • Pembahas:
    1. Bapak Dr. Daniel Yusmic FoEkh, SH (pakar hukum Universitas Atmajaya, Jakarta)
    2. Perwakilan dari BPJS Kesehatan.
    3. Bapak Timboel Siregar, SH (BPJS Watch)

Moderator: Bapak Prof. Laksono Trisnantoro (PKMK FK-UGM)

pena  Reportase Kegiatan 

 

 

outlook nawacita

oleh: Laksono Trisnantoro
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK)
Fakultas Kedokteran UGM

 

  Pengantar

Tahun 2014 merupakan tahun terpilihnya Jokowi sebagai Presiden. Mengawali masa kepresidenannya, Jokowi mempunyai tujuan yang disebut sebagai Nawacita sebagai berikut:

  • C1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara
  • C2. Membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya
  • C3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan
  • C4. Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya
  • C5. Meningkatkan kualitas hidup manusia indonesia
  • C6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional
  • C7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik
  • C8. Melakukan revolusi karakter bangsa
  • C9. Memperteguh ke-bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial indonesia

Outlook kebijakan kesehatan tahun 2015 tentunya tidak lepas dari pengaruh Presiden Jokowi. Dalam konteks ini Nawacita merupakan dokumen politik pemerintahan Presiden Jokowi yang mempunyai ideologi. Dalam spectrum ideologi Nawacita mempunyai dasar sosialisme dan peran negara yang besar (welfare-state). Nawacita ketiga, yang menyatakan pembangunan dari pinggiran Indonesia menunjukkan keberpihakan Presiden Jokowi pada manusia-manusia Indonesia di pinggiran, di daerah-daerah dan desa-desa. Dimensi pemerataan antar sosial ekonomi dan antar wilayah menjadi isu penting Nawacita.

  Kenyataan di tahun 2014

Ideologi ini perlu dibahas dalam situasi perkembangan sistem pembiayaan kesehatan yang sangat mempengaruhi situasi sektor kesehatan Indonesia pada tahun 2014. Pertanyaan ideologis yang sering dikemukakan adalah:

Siapa yang mendapat manfaat terbanyak dari penambahan pembiayaan kesehatan Indonesia di tahun 2014?

  • masyarakat kaya atau miskin
  • masyarakat di Jawa atau luar Jawa

Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab secara sederhana melalui gambar di bawah ini yang menunjukkan sistem pembiayaan kesehatan.

outlook1

Seperti diketahui sejak 1 Januari 2014, dana kesehatan di APBN secara praktis terbagi 2: ke Kemenkes dan ke BPJS. BPJS juga mendapat dana dari pembayaran premium peserta ex PT Askes, PT Jamsostek, dan tenaga kerja berbayar, serta Non-PBI Mandiri (Pekerja Bukan Penerima Upah). (Lihat Gambar di atas).

Apa yang terjadi dengan dana APBN yang tetap di Kemenkes di tahun 2014?

Di tahun 2014 anggaran Kemenkes sangat sedikit. Setelah dikurangi dana PBI yang masuk ke BPPS, Kemenkes tidak banyak mempunyai dana untuk pengembangan atau perbaikan keseimbangan antar wilayah. Pada tahun 2014, tidak banyak kegiatan yang didanai oleh Kemenkes untuk menyeimbangkan fasilitas kesehatan di Indonesia. Di sisi supply kesehatan: Penambahan jumlah RS dan TT RS lebih cepat di Jawa. Penambahan SDM spesialis belum signifikan yang mampu mengejar ketertinggalan. Secara keseluruhan selama 3 tahun terakhir, setelah dikurangi dengan dana BPJS, praktis dana Kemenkes tidak bertambah secara signifikan.

Apa yang terjadi dengan dana APBN kesehatan yang ke BPJS?

Sampai bulan November 2014, ada data (dari BPJS) yang membandingkan antara PBPU (non PBI Mandiri) dengan non PBPU. Data sangat kontras sebagai berikut:

  1. Kelompok PBPU (non PBI Mandiri)
    • Jumlah peserta Non-PBI Mandiri atau yang disebut sebagai Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) berjumlah sangat besar. Per November jumlah PBPU (Non-PBI Mandiri) berjumlah 7.036.200 jiwa. Yang telah memanfaatkan pelayanan kesehatan sebanyak 1.6 juta jiwa (sekitar 23 %) dengan penyerapan biaya Rp 7.9 Triliun.
    • Rata-rata jumlah iuran yang dibayar oleh PBPU perjiwa perbulan sebesar Rp 27.062. Sementara itu biaya pelayanan kesehatan perjiwa sebesar Rp 282. 139,-
    • Klaim rasio untuk peserta PBPU adalah 1.380%,
  2. Kelompok non PBPU
    • Peserta non-PBPU jumlahnya 123.6 juta jiwa. Kelompok ini memanfaatkan pelayanan kesehatan sebanyak 5.4 jiwa (kurang dari 4%). Menyerap biaya sebesar Rp 17.4 T.
    • Rata-rata jumlah iuran yang dibayar oleh non-PBPU perjiwa perbulan sebesar Rp 27.478. Sementara itu biaya pelayanan kesehatan perjiwa sebesar Rp 21.977,-
    • Perbandingan rasio klaim untuk non-PBPU rata-rata 88%.

Telihat dari data tersebut terjadi komposisi dimana banyak peserta (PBPU) non-PBI Mandiri yang sakit dan mempunyai risiko tinggi sakit. Mereka cenderung tidak miskin, tinggal di kota besar, dan menghabiskan dana besar. Sementara itu: Peserta PBI, mencerminkan struktur yang normal (ada yang sakit dan ada yang sehat). Peserta PBI merupakan kelompok miskin namun banyak gagal memanfaatkan JKN karena berbagai faktor termasuk sedikitnya fasilitas kesehatan dan SDM Kesehatan di berbagai daerah.

Dengan data Rasio Klaim PBPU yang tinggi, adanya adverse Selection menunjukkan benefit (Rp) digunakan banyak oleh Non PBI Mandiri. Walaupun data klaim per wilayah belum ada saat ini, data di atas memperkuat dugaan terjadinya subsidi terbalik. Kebijakan JKN mengharapkan peserta Non-PBI Mandiri mensubsidi masyarakat miskin, namun yang terjadi kebalikannya. Masyarakat di daerah pinggiran Indonesia, tidak dapat memanfaatkan paket manfaat BPJS, sementara di Jawa dan kota-kota besar memanfaatkan dengan baik. Hal ini berlawanan dengan Nawacita. Dapat disimpulkan bahwa aliran pembiayaan kesehatan di tahun 2014 menunjukkan arah yang berlawanan dengan prinsip pemerataan. Pertanyaan pentingnya apakah hal ini akan terus terjadi di tahun 2015?

  Bagaimana kemungkinan di tahun 2015?

  1. Penambahan dana untuk kesehatan apakah akan meningkat di tahun 2015?
    Ada hal penting terjadi di tahun 2014. Presiden Jokowi telah menaikkan harga BBM. Tindakan ini membuka ruang fiscal di APBN untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang masuk dalam kaidah tanggung jawab Negara (welfare-state). Pundi-pundi APBN membesar. Pertanyaan penting untuk ditahun 2015 adalah: Bagaimana menyalurkan dana APBN? Apakah semakin banyak melalui BPJS ataukah juga semakin banyak ke Kemenkes.

    outlook2Di penghujung tahun 2014 Menteri Keuangan menyatakan bahwa ada penambahan ruang fiscal sebesar 230 Triliun. Sebagian besar memang akan dipergunakan untuk infrastruktur. Yang menjadi pertanyaan disini apakah sektor kesehatan akan mendapat tambahan dana. Sampai sekarang anggaran kesehatan di APBN masih kurang dari 3%, Tanpa ada penambahan, maka persentase di atas akan semakin menurun.

    Pertanyaan di tahun 2015: Apakah revenue collection untuk kesehatan semakin meningkat atau menurun? Hal ini perlu dilihat di anggaran tahun 2015.

  2. Menjadi pertanyaan di tahun 2015 apakah dana APBN untuk Kemenkes (bukan yang ke BPJS) juga meningkat? Jika meningkat, pertanyaannya akan digunakan untuk apa?

    APBN untuk PBI ke BPJS mungkin meningkat karena kenaikan premi, pertambahan jumlah peserta yang ditanggung, dengan dukungan ruang fiscal yang membesar. Pertayaan penting di tahun 2015: Apakah anggaran Kemenkes akan meningkat?

    outlook3Pertanyaan ini menunjukkan secara teoritis, apakah dana dari kantong APBN akan di pool kan ke BPJS ataukah juga ke Kemenkes dengan jumlah yang besar. Saat ini memang masih ada 2 pool besar dana APBN. Yang menjadi pertanyaan: apa tugas masing-masing pool.

    Saat ini diketahui BPJS membayarkan ke pemberi pelayanan, dan tidak mempunyai tugas untuk melakukan investasi sarana dan fasilitas kesehatan. Pool di BPJS ini dapat membuat pembiayaan menjadi tidak merata. Jika dana hanya diberikan ke BPJS maka daerah yang mempunyai banyak fasilitas kesehatan rujukan dan primer akan mendapat terbanyak. Kesempatan untuk menyeimbangkan faskes dan SDM antar wilayah akan berkurang.

  3. Di tahun 2015: dana yang masuk dari Non-PBI Mandiri (Pekerja Bukan Penerima Upah, PBPU) ada kemungkinan tetap tidak cukup.

    outlook3Dalam hal ini, ada kemungkinan karena prinsip single pool terjadi penggunaan dana PBI untuk peserta PBPU (non PBI mandiri). Rancangan kebijakan BPJS yang single pool mengakibatkan kemungkinan terpakainya dana PBI untuk peserta yang bukan PBI.

    Pertanyaan menarik di tahun 2015: Apakah hal ini akan menjadi masalah hukum?

    Mengapa dapat menjadi masalah hukum?

    • APBN yang masuk ke PBI dilakukan berdasarkan nama dan alamat (by name and by address).
    • Apabila dipakai untuk pasien yang berasal dari Non-PBI Mandiri berarti menyalahi aturan.

      Logika ini dapat ditolak oleh pendapat yang menyatakan bahwa dengan dijadikan one-pool maka merupakan hak BPJS untuk mengelola keuangannya.

      Adanya risiko digunakannya dana PBI untuk peserta Non-PBI Mandiri disebabkan kesalahan kebijakan pada saat penyusunan UU SJSN dan BPJS serta berbagai regulasi di bawahnya. Penggunaan single-pool tanpa ada larangan subsidi antar peserta dapat menjadikan JKN menjadi lebih menguntungkan Non-PBI-Mandiri. Pertanyaan menarik: apakah di tahun 2015 isu single-pool ini akan terus diperhatikan ataukan tidak.

  4. Apakah di tahun 2015 akan ada atau tidak ada perbaikan sisi supply kesehatan (faskes dan SDM) secara signifikan di berbagai daerah yang kekurangan fasiltas kesehatan dan tenaga kesehatan?

    outlook3Dikawatirkan jika perbaikan supply pelayanan kesehatan tidak dilakukan oleh pemerintah maka dana PBI yang masuk ke BPJS tidak sampai ke masyarakat PBI yang membutuhkan karena masalah akses. Penggunaan fasilitas kesehatan untuk peserta PBI akan tetap rendah.

    Dalam diagram diatas terlihat bahwa pemberian dana dari BPJS ke pelayanan primer dan rujukan (purchasing) sangat ditentukan oleh jumlah dan jenis faskes serta SDM kesehatan yang dimiliki. Dalam hal ini jika faskes dan SDM tidak ditambah oleh anggaran Kemenkes atau Pemerintah Daerah (yang mempunyai kemampuan fiscal), maka ketidak seimbangan akan terus terjadi.

    Sementara itu dana dari masyarakat langsung dalam bentuk Modal dapat masuk ke Pelayanan Primer dan Pelayanan Rujukan sehingga terjadi penambahan jenis faskes dan SDM kesehatan di tempat-tempat yang baik seperti Jawa. Hal ini sudah terjadi selama 3 tahun terakhir ini. Jika trend ini dibiarkan maka dana BPJS akan semakin terpakai di Jawa dan kota-kota besar. Keadaan semakin buruk apabila di tahun 2015, potensi fraud semakin tidak terdeteksi dan fraud menjadi tidak terkendali.

  1. Di tahun 2015: Apa risiko untuk dana kesehatan jika penggunaan fasilitas kesehatan oleh peserta Non-PBI Mandiri (PBPU) terjadi terus?
    • Dana APBN dapat semakin terpakai untuk BPJS khususnya yang non-PBI Mandiri, yang berada di kota-kota besar, dan mudah akses ke pelayanan kesehatan;
    • Prinsip portabilitas dan Coordination of Benefit (COB) dengan asuransi kesehatan swasta juga akan menambah pemakaian dana BPJS untuk masyarakat menengah dan atas (mampu);
    • Dana yang masuk ke BPJS (dana kesehatan dari APBN) dapat mendesak dana yang seharusnya masuk ke Kemenkes untuk investasi dan pelayanan promotif dan preventif.

Tanpa perubahan kebijakan, dikawatirkan ketidak merataan pelayanan kesehatan akan semakin meningkat di tahun 2015. Apa arti secara politis? Nawacita gagal dijalankan. Beberapa butir Nawacita yang mungkin gagal terlaksana di tahun 2015 dalam pembangunan sektor kesehatan:

C1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara

C3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan

C4. Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya

C5. Meningkatkan kualitas hidup manusia indonesia

 

Menghadapi tantangan tidak meratanya pelayanan kesehatan di tahun 2015, perlu diantisipasi beberapa usaha penting:

  1. Analisis Data klaim 2015: Perlu segara dianalisis penyebaran pasien BPJS di kelas RS; dan penggunaan rasio klaim. Diharapkan ada analis pemerataan antar wilayah. Jika data klaim per propinsi disajikan maka akan ada kemungkinan adanya bukti pemburukan ketimpangan geografis (antar wilayah). Disamping itu perlu dilakukan analisis penggunaan dana yang masuk antar peserta BPJS. Apakah benar dana PBI dipergunakan untuk kelompok lain, karena klaim rasio kelompok PBPU (non-PBI mandiri) sudah melewati 1300 perseb. Diharapkan analisis data dapat dilakukan di bulan Januari 2015.
  2. Kebijakan BPJS dan JKN perlu dikaji secara rinci, mulai dari UU sampai dengan peraturan operasional. Di tahun 2014, sudah terlihat pelaksanaan kebijakan JKN dan operasional BPJS cenderung berlawanan dengan Nawacita. Pembangunan kesehatan di daerah pinggiran Indonesia kesulitan mendapatkan dana kesehatan. Ada kemungkinan terjadi kesalahan dalam penyusunan kebijakan JKN dan lembaga BPJS yang menerapkan konsep single pool dalam pembiayaan jaminan.
  3. Kemenkes dan Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota yang mampu harus merencanakan berbagai belanja investasi untuk infrastruktur kesehatan dan pengembangan SDM kesehatan. Tantangan di tahun 2015: Bagaimana Kemenkes mampu menarik dana dari APBN. Apa tujuan dana tersebut? Apakah untuk biaya modal (investasi) ataukah operasional saja? Untuk itu perlu melihat sasaran jangka pendek dan panjang;


Secara jangka pendek:

    • Kemenkes dan Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota adalah lembaga yang bertugas untuk menyediakan fasilitas kesehatan primer dan rujukan, serta SDM. Oleh karena itu diperlukan dana modal (investasi) dan operasonal untuk menyeimbangkan pelayanan kesehatan primer dan rujukan antar wilayah secara cepat.
    • Diperlukan dana cepat untuk pengiriman tenaga-tenaga kesehatan secara team dalam pelayanan primer dan rujukan di berbagai daerah pinggiran Indonesia, sesuai pernyataan Nawacita. Pengiriman tenaga ini merupakan Quick Wins yang dapat dilihat segera. Dalam konteks pengembangan RS-RS Swasta seperti Siloam di Kupang, program ini menjadi sangat penting. Tanpa ada program Quick Wins, Kemenkes terlihat lambat dalam mengatasi ketidak adilan antar wilayah.

Secara jangka panjang:

    • Kemenkes perlu menekankan mengenai tindakan Preventif dan Promotif. Efek keberhasilan tindakan ini tidak instant, tapi jangka panjang.
    • Kemenkes terus merencanakan dan negosiasi untuk biaya modal (dana investasi) secara berkelanjutan di tahun 2015 – 2019 agar keseimbangan antara daerah terpencil/KTI dengan Jawa dan daerah Indonesia barat dapat semakin dikurangi.

 

 

Kaleidoskop Kebijakan Kesehatan Indonesia 2014

Tahun ini, puluhan kebijakan di sektor kesehatan disahkan dan diundangkan. Selain kebijakan yang disahkan, website www.kebijakankesehatanindonesia.net juga mencatat sejumlah seminar, workshop serta konferensi penting seputar kebijakan kesehatan. Beberapa diantaranya terkait era ekonomi kesehatan, monitoring JKN, pemerataan tenaga kesehatan di daerah tertinggal, pencegahan fraud, dan lain-lain. Simak catatan penting tersebut melalui kaleidoskop Kebijakan Kesehatan Indonesia dibawah ini.

januari januari januari
januari januari januari
januari januari januari
januari januari januari

 

 

Diskusi Bulanan PKMK - Knowledge Management

Research article Health Research Profile to assess
the capacity of low and middle income countries
for equity-oriented research

Februari 2014  |  Oleh: Novi Inriyanny

Diskusi Knowledge Management kesebelas diadakan di Lab Leadership, Gedung IKM Lantai 3. Pembicara kali ini ialah Dra. Yayi Suryo Prabandari, MSi, PhD, sementara dr. Rossi Sanusi, MPA, PhD bertindak selaku moderator. Diskusi Knowledge Management bulan ini membahas tentang proses penyusunan kerangka konsep dan data pertanyaan dari 12 negara yang merupakan perwakilan dari masing-masing benua di dunia. Dari setiap benua diambil tiga negara, yang mewakili low, middle, high income country sesuai dengan Human Development Indeks (HDI) negaranya. Paper yang dibahas berjudul Health Research Profile to assess the capacity of low and middle income countries for equity-oriented research. Moderator dalam diskusi ini adalah dr. Rossi Sanusi, MPA, PhD.

Paper ini dituliskan oleh beberapa orang peneliti dari berbagi negara dengan tujuan menilai dan mengukur kapasitas beberapa penelitian kesehatan di beberapa negara yang berorientasi pada equity (kesetaraan) dikaitkan dengan HDI dari negara-negara tersebut. Apakah semakin tinggi HDI suatu negara, maka akan semakin tinggi juga Health Research Profile (HRP) di negara tersebut? Hal lain yang ingin dilihat adalah apakah penelitian-penelitian nasional yang dilakukan bisa digunakan untuk penyusunan maupun pengambilan kebijakan. Hal tersebut diisampaikan oleh Dra. Yayi Suryo Prabandari, MSi, PhD, selaku pembicara.

Metode yang digunakan adalah koordinasi antara beberapa peneliti dari Asia, Amerika, Afrika & Eropa dengan melihat negara-negara yang telah melakukan penelitian-penelitian, dan membahas lima indikator yang merupakan kerangka konsep penelitian ini, yang meliputi : Health Research Priorities, Resources, Production, Packaging and Impact. Kajiannya menggunakan Panel Experts dengan Delhi Methods.

Beberapa hasil yang ditemukan dari penelitian yang dibahas adalah beberapa negara telah menginvestasikan anggarannya untuk penelitian, dimana Korea merupakan negara yang mengivestasikan anggaran paling besar bagi pengembangan penelitian kesehatan di negaranya. Hal ini berbanding lurus dengan statusnya sebagai salah satu high income country. Sementara itu, dalam proses pengemasan (packaging), sebagian besar menggunakan peer-review jurnal dimana 7 dari 12 negara melibatkan stakeholders dari awal pengambilan data dan pelaksanaan penelitian. Sedangkan dari segi Impact, sebagian besar negara telah menggunakan hasil dari penelitian tersebut untuk pembuatan kebijakan.

Dra. Yayi Suryo Prabandari, MSi, PhD menutup presentasinya dengan menyampaikan bahwa untuk mengembangkan penatalaksaan Knowledge Management diperlukan kajian research dengan kerangka konsep yang benar, dengan indikator yang jelas, pengambilan data akurat sehingga research tersebut dapat digunakan untuk pengambilan keputusan. Setiap negara setidaknya mempunyai kemampuan untuk melakukan kajian-kajian/penelitian.

Selengkapnya mengenai paper yang dibahas dapat dibaca di http://www.biomedcentral.com/content/pdf/1471-2458-6-151.pdf 

Sesi Diskusi

Salah seorang peserta diskusi mengungkapkan tentang realita di Batang, Pekalongan, dimana masih banyak hasil-hasil penelitian yang belum digunakan untuk pengambilan keputusan. dr. Rossi Sanusi, MPA, PhD menanggapi pernyataan tersebut dengan menekankan pada proses packaging yang tepat. Penelitian-penelitian perlu dikemas dengan baik, tergantung audiensnya yang pada umumnya merupakan para birokrat atau pembuat keputusan. dr. Rossi menyampaiakan bahwa ini merupakan tugas dari Knowledge Management untuk mengadakan systematic review, dimana hasil penelitian diolah, sehingga tersedia hasil yang siap dipakai oleh stakeholders, berupa rekomendasi hal-hal yang harus dan tidak harus dilakukan. dr. Rossi juga menambahkan bahwa selain packaging dan impact perlu memperhatikan marketing, harus lebih pro aktif dalam memasarkan atau mempublikasikannya. Kajian ini harus lintas sektor, misalnya ke Pemda, tidak hanya ke Dinkes, tidak cukup hanya dipublikasi di website serta melibatkan stakeholders sejak pengumpulan data.

Peserta diskusi yang lain membagikan pengalamannya saat terlibat dalam proses penelitian Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar). Hal tersebut ditanggapi oleh dr. Yayi yang menyampaikan bahwa di Indonesia, kualitas para petugas surveinya masih perlu diperbaiki terutama untuk survei-survei nasional, juga dalam proses pengelolaanya. Kurangnya supervisi, menyebabkan data nasional seringkali tidak sesuai antara hasil survei yang satu dengan yang lain. Perlu rekruitmen, seleksi, pelatihan dan pengawasan yang baik dari supervisi agar hasilnya bermutu. Selain para petugas survei, hal lain yang perlu diperhatikan adalah alatnya valid, penggunaan alat related serta subjek harus tepat.

Pada sesi diskusi, dr. Rossi juga menambahkan tentang konsep segitiga yang dapat memindahkan gunung yang terdiri dari Policy-Civic Groups-Knowledge dan di tengahnya terdapat Knowledge Broker yang berfungsi sebagai penghubung antara ketiganya, yang bertugas mengelola pengetahuan menjadi siap pakai, bersifat pro aktif. Di Indonesia, Litbangkes seharusnya bertindak sebagai Knowledge Broker. Peran sebagai Knowledge Broker tersebut yang saat ini sedang coba dilakukan oleh PKMK melalui berbagai kegiatan, salah satunya kegiatan Knowledge Management yang sedang dilaksanakan ini (NIS)..

Materi Presentasi

{jcomments on}

  • slot resmi
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot
  • rajabandot