Serial Forum Kebijakan JKN bagi Akademisi dan Pemerintah Daerah
Yogyakarta, 07 Juli 2020
PENGANTAR
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar Webinar Series 4 “Forum Kebijakan JKN bagi Akademisi dan Pemerintah Daerah”. Webinar ini dilaksanakan pada Selasa (07/07) pukul 13.00-15.00 WIB. Topik kegiatan hari ini adalah “Evaluasi Capaian Kepesertaan, Pemerataan dan Mutu Pelayanan Kesehatan Program JKN di Provinsi Bengkulu” yang disampaikan oleh Peneliti JKN Provinsi Bengkulu, Jon Hendri Nurdan. Pembahas pada pertemuan ini adalah Hendriwan Mansyur selaku Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan dan Sumber Daya Kesehatan Provinsi Bengkulu.
Jon Hendri selaku narasumber menyampaikan hasil penelitian evaluasi JKN di Provinsi Bengkulu baik dari Aspek Tata Kelola, Mutu Layanan dan Aspek Equity. Dari Aspek Tata kelola ditemukan masih banyak kendala yang dihadapi antara lain data penduduk miskin yang menjadi peserta PBI JKN belum terintegrasi antara data Disdukcapil, data Dinas Sosial dan data BPJS Kesehatan, minimnya anggaran yang disediakan Pemerintah Daerah untuk PBI daerah dan rendahnya kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam program JKN. Selain itu, akses data penyelenggaran JKN di Provinsi bengkulu belum baik, kebijakan kompensasi belum terlaksana secara optimal namun Pemerintah provinsi telah berpartisipasi melalui Kebijakan Jaminan Kesehatan Provinsi Bengkulu.
Dari sisi kebijakan, belum ada peraturan gubernur terkait UHC namun beberapa regulasi telah dikeluarkan seperti Sistem Jaminan Kesehatan Daerah Provinsi Bengkulu dan Pedoman Pelaksanaan Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan. Pada aspek Mutu Layanan, ditemukan tugas yang dilakukan TKMKB masih sangat bergantung pada dukungan BPJS Kesehatan yang berupa fasilitatif operasional, koordinasi dan insentif. Tim anti fraud telah terbentuk namun belum berjalan optimal serta indikator rujukan non spesialistik telah tercapai karena adanya pengawasan dari tim monev JKN. Pada aspek equity, secara umum provinsi bengkulu belum mencapai UHC dengan capaiak kepesertaan 80%, paket manfaat belum merata karena kurangnya tenaga spesialistik, distribusi Dokter umum dan Dokter spesialis jantung belum merata serta kunjungan peserta JKN lebih banyak di akses oleh segmen PBPU.
Hendriwan Mansyur selaku pembahas menyampaikan situasi kondisi kesehatan di Provinsi Bengkulu baik SDM maupun Sarana Prasarana. Secara umum capaian program JKN semester 1 tahun 2020 sudah mencapai 80%. Sebagai komitmen Pemerintah Provinsi terhadap JKN, Permprov mengaktifkan Jaminan Kesehatan Provinsi untuk menutupi tunggakan segmen PBPU dengan menggunakan dana pajak rokok sesuai amanat regulasi penggunaan pajak rokok untuk pendanaan pelayanan kesehatan masyarakat.
Kegiatan program JKN yang bersumber dari Pajak Rokok antara lain: 1) Pembayaran premi bagi 23ribu peserta PBPU yang menunggak iuran untuk pembayaran biaya perawatan kelas 3 di Rumah Sakit; 2) pertemuan koordinasi lintas program/lintas sektor; 3) pertemuan perencanaan dan evaluasi program JKN di tingkat provinsi; 4) pertemuan penguatan program JKN di tingkat provinsi; dan 5) monitoring dan evaluasi program ke Kabupaten Kota. Hasil simulasi proporsi anggaran Jamkesda dari pajak rokok sebesar 37,5% atau 36,5 Miliar Rupiah di tahun 2020. Selain itu, ditemukan berbagai persoalan dalam JKN antara lain pasien yang dirawat di rumah sakit tidak memiliki kartu JKN dan masalah pendamping pelaksana rujukan ke luar kota yang belum diketahui sumber pembiayaannya, adanya stigma bahwa TKMKB adalah bentukan BPJS Kesehatan, Tim Pertimbangan Klinis (TPK) yang perlu disinkronisasi dengan tim anti fraud serta pelaksanaan KBK yan terhambat karena pandemi.
SESI DISKUSI
1. Saat ini BPJS kesehatan telah melaunching Dashboard BPJS Kesehatan yang bisa di akses oleh pemerintah daerah, bagaimana tanggapan Dinas Kesehatan terkait data BPJS Kesehatan?
- Yang kami tampikan data tadi dari RS pemerintah dan Swasta. Kalau dilihat dari pemerataan fasilitas kesehatan, dan SDM Kesehatan lebih terfokus di perkotaan dibanding pedesaan atau DTPK sehingga persayaratan Akreditasi dan Kredensialing menjadi pertanyaan dari Dinas Kesehatan Provinsi.
2. Belum tercapainya kepesertaan JKN karena adanya stigma terkait pelayanan kesehatan, bagaimana peran stakeholder terkait dalam memperbaiki stigma tersebut?
- Jadi ini hal yang klasik, dari Pemerintah daerah melalui Dinas Kesehatan selalu berkoordinasi dengan BPJS Kesehatan untuk meningkatkan mutu pelayanan kepada peserta JKN. Tidak ada perbedaan pelayanan pada peserta JKN dan Bukan Peserta JKN. Simak lebih lanjut di video sesi diskusi.
Forum Analisis Kebijakan JKN: Mengevaluasi UU SJSN dan UU BPJS berdasarkan bukti
Seri IV Penanganan Fraud Layanan Kesehatan Untuk Keberlangsungan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
Kamis, 9 Juli 2020
Latar Belakang
eKecurangan (fraud) dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan kasus yang sungguh-sungguh terjadi di Indonesia. Namun, hingga tahun ke tujuh pelaksanaan program, belum ada data riil yang menunjukkan besaran kasus dan nilai kerugian yang ditimbulkan akibat fraud ini. Dalam laporan investigasi Majalah Tempo per 6 Juni 2020, disebutkan terdapat potensi fraud di rumah sakit namun dalam jumlah kecil. Data ini menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Saat ini, Indonesia sudah memiliki regulasi dan pedoman anti fraud. Namun, regulasi yang sudah ada dianggap belum kuat untuk mendorong berjalannya sistem anti fraud. Indonesia juga belum sepenuhnya memiliki sistem pengendalian fraud JKN terpadu. Diharapkan diskusi ini dapat memicu adanya kebijakan untuk sistem terpadu yang diperlukan untuk menjamin berjalannya program-program anti fraud yang lebih merata di seluruh Indonesia. Dengan demikian pelaksanaan kebijakan JKN dapat lebih efisien.
Hasil yang Diharapkan
Pengambil keputusan dan stakeholders terkait memahami fenomena fraud program JKN terkini .
Mengidentifikasi persiapan pengembangan kebijakan dan sistem pengendalian fraud program JKN
Ada proses transformasi hasil penelitian ke pengambil keputusan.
Tri Muhartini Telp: 0274-549425 HP/WA: 089693387139 Email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Seri III Forum Kebijakan JKN bagi Akademisi dan Pemerintah Daerah
Yogyakarta, 30 Juni 2020
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar Webinar Series 3 “Forum Kebijakan JKN bagi Akademisi dan Pemerintah Daerah”. Webinar ini dilaksanakan pada Selasa (30/06) pukul 13.00-15.00 WIB. Topik kegiatan hari ini adalah “Evaluasi JKN Di DIY: Fakta dibalik Menurunnya Capaian Kepesertaan UHC di Yogyakarta” yang disampaikan oleh Peneliti JKN PKMK FK-KMK UGM, Tri Aktariani, S.H., M.H. Pembahas pada pertemuan ini adalah Endang Patmintarsih, SH, MSi dari Bappeda Prov DIY.
Sesi Presentasi: Fakta dibalik Menurunnya Capaian Kepesertaan UHC di DIY
Tri Aktariani selaku narasumber menyampaikan rujukan regulasi yang mendasari Jaminan Kesehatan Semesta hingga regulasi penunjang untuk mendukung Jaminan Kesehatan Nasional. Hasil penelitian di DIY menunjukkan terjadi penurunan kepesertaan sebesar 3,23% atau sekitar 104.092 jiwa dari Bulan Agustus hingga Desember 2019 karena adanya perbedaan data penduduk miskin DIY dengan pemerintah Pusat. Dari sisi iuran dan biaya manfaat JKN, DIY mengalami defisit anggaran BPJS setiap tahunnya karena penduduknya sangat menikmati dan dapat mengakses layanan JKN lebih dari optimal. Selain itu, terjadi tunggakan peserta PBPU dari Januari 2014 hingga Desember 2019 sebesar 113.281 peserta.
Sesi Pembahas: Menuju Universal Health Coverage (UHC) di DIY
Endang Patmintarsih, SH, MSi dari Bappeda DIY selaku pembahas menyampaikan kondisi pembangunan kesehatan di DIY mulai dari Indeks Pembangunan Manusia yang diatas rata-rata nasional, kondisi PTM, Proporsi Status Gizi Balita, dan perkembangan tingkat kemiskinan. Berdasarkan data kepesertaan Jaminan Kesehatan Semesta (Jamkesta) DIY per 4 Juni 2020, rata-rata kota kabupaten telah mencapai UHC namun ada beberapa kendala dalam pencatatan PBI antara lain data PBI yang masih belum valid dan bayi yang baru lahir itu juga belum tercatat.
Peran Pemda dalam Sub Sistem Pembiayaan Jaminan Kesehatan terkait PBI antara lain berkontribusi pembiayaan PBI JKN melalui APBD, dan melakukan verifikasi dan validasi data penduduk miskin atau calon peserta PBI, menyiapkan dana buffer untuk penduduk yang belum tercover PBI. Kebijakan pemerintah daerah, semua masyarakat dilayani melalui Jamkesos, terbagi menjadi 4 macam Jamkesus Disabilitas, Miskin Non Jaminan Kesehatan, Anggaran Penyangga dan Rawan Kesehatan seperti penyakit yang tidak dijamin oleh Jaminan Kesehatan.
SESI DISKUSI
Kenapa DIY belum atau tidak memberi perhatian kepada BPJS tentang penurunan Defisit Pemerintah DIY?
Endang Patmintarsih, SH, MSi dari Bappeda DIY
- Saya malah bertanya inih “aturan dari Pusat ada tidak Bu yang memang harus Provinsi/Pemda menanggung defisit itu? karena ketika menanggung defisit itu kita dasarnya apa. Sekali lagi yang menjadi pertanyaan kami adalah yang harus krusial segera dilakukan, Perbaikan data PBI JKN agar pelayanan BPJS menjadi maksimal. DJSN kan sudah mengeluarkan tuh data statistik untuk BPJS maka untuk kedepannya yang harus menjadi perhatian kita, lalu siapa yang mengeluarkan data PBI? Dinas Sosial kah dengan Kebijakan dari DJSN gitu, kalau kementrian sosial lalu bagaimana prosedur? apakah dengan mekanisme kemarin ada perubahan? karena sekali lagi sampai saat ini data PBI JKN masih bermasalah ke validasinya.
Serial Forum Kebijakan JKN: Mengevaluasi UU SJSN dan UU BPJS Berdasarkan Bukti
Yogyakarta, 02 Juli 2020
PENGANTAR
Kegiatan ini dimulai dengan pengantar dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD selaku Koordinator Forum menyampaikan bahwa apakah bukti-bukti terbaru yang ditemukan saat ini bisa menjadi acuan kegiatan untuk revisi UU SJSN dan UU BPJS? Pada pertemuan sebelumnya ada beberapa pasal dalam UU yang penting untuk di revisi sehingga pada pertemuan ke enam akan direview berbagai masalah terkait UU SJSN dan UU BPJS. Hasil review ini menjadi bahan advokasi ke pemerintah dan DPR untuk revisi UU SJSN dan UU BPJS.
Sesi Presentasi: Penyajian hasil penelitian JKN: Akuntabilitas dan Transparansi BPJS Kesehatan
Penyaji pertama disampaikan oleh Tri Aktariani selaku peneliti JKN PKMK FK-KMK UGM menyampaikan berdasarkan UU SJSN dan UU BPJS, DJSN dan BPJS memiliki hubungan koordinatif yang bertanggung jawab pada presiden tetapi tugasnya berbeda. Selain itu, DJSN memiliki fungsi esensial sebagai perumus kebijakan dan pengontrol implementasi program JKN. Fakta-fakta transparansi dan akuntabilitas baik di tingkat pusat maupun daerah menunjukkan bahwa belum adanya transparansi dan akuntabilitas BPJS Kesehatan, lemahnya peran DJSN dalam JKN, sulitnya akses data JKN yang tervalidasi pada perpres 82 tahun 2018.
Selain itu di tingkat daerah, peran dinkes untuk mengawasi program JKN belum terlaksana karena tidak diatur dalam UU SJSN dan UU BPJS, data JKN masih sulit diakses oleh pemerintah daerah, dan koordinasi BPJS Kesehatan dengan Kementerian Kesehatan terputus akibat dari UU SJSN dan UU BPJS. Telaah regulasi UU SJSN menunjukkan DJSN didesain sebagai lembaga independen, pemerintah daerah dilibatkan sebatas pendataan peserta dan pembayaran iuran PBI, dan pemerintah pusat dilibatkan hanya pada pendaftaran, persentase iuran dan tindakan-tindakan khusus. Selain itu, telaah regulasi UU BPJS menunjukkan tidak ditemukan peran pengawasan kementerian kesehatan, pelibatan Pemda hanya sebatas pengenaan sanksi tunggakan yang belum dilaksanakan Pemda, tidak ada pasal yang mengatur kewajiban BPJS untuk menindaklanjuti rekomendasi hasil monev program JKN yang dilakukan DJSN.
Prof. Laksono Trisnantoro, , MSc., PhD
Memang yang terjadi adalah suatu situasi dimana DJSN diharapkan sebagai lembaga yang kuat ternyata selama 6 tahun ini belum kuat dan secara anggaran sangat kecil untuk melakukan pengawasan. Hal ini menunjukkan ada masalah besar dalam tata kelola hubungan antara BPJS Kesehatan, DJSN dan Kementrian Kesehatan.
SESI PEMBAHAS
Pembahas pertama disampaikan oleh Dr. Indra Budi Sumantoro, S.Pd., M.M berasal dari DJSN. Indra menyampaikan secara prinsip DJSN dibentuk berdasar pada stakeholder yang mempunyai kepentingan baik dari unsur pemerintah, unsur pekerja, unsur pemberi kerja, dan unsur tokoh atau ahli sehingga pengawasan yang dilakukan terkait dengan kepentingan stakeholder tersebut. Ada beberapa hal yang dibahas oleh Indra, antara lain rujukan berjenjang diperlukan agar pelayanan terdistribusi secara proporsional dan pemda berkewajiban menyediakan fasilitas kesehatan. Selain itu, ada beberapa variabel yang menjadi persoalan pada benefit coverage seperti adverse selection, moral hazard. Dari sisi perumusan kebijakan, DJSN adalah lembaga non struktural sehingga tidak memiliki kewenangan sebagai pemrakarsa berdasarkan UU 17 tahun 2019 dan perpres no 87 tahun 2014, namun hal ini tidak menghalangi fungsi DJSN. Selain itu, kewenangan DJSN dibatasi oleh Perpres 46 tahun 2014 dan UU SJSN yang menyebutkan sekretariat DJSN dipimpin oleh eselon 2 sehingga DJSN tidak memiliki kewenangan anggaran.
Lebih lanjut terkait desentralisasi, sistem SJSN tidak dicreate untuk desentralisasi meskipun ada putusan MK Nomor 007 tahun 2005 yang memperbolehkan dibentuk BPJS daerah yang diatur dalam pasal 5 ayat 1 yang mengatur bahwa BPJS harus dibentuk dengan UU sehingga kalau membentuk BPJS daerah harus diamanatkan undang-undang. Telah ada 5 Putusan MK yang tidak mengabulkan gugatan pemohon yang ingin menjadikan SJSN terdesentralisasi,
Pembahas kedua disampaikan dr. Andi Afdal Abdullah, MBA,, AAK dari BPJS Kesehatan Pusat. Andi menyampaikan sebagai bentuk improvement, BPJS Kesehatan dan DJSN telah mengeluarkan data statistik JKN mulai dari 2014-2018. Selain itu telah dibentuk kedeputian manajemen data dan informasi di BPJS Kesehatan Pusat. Kedepannya, BPJS akan membuat data sampel versi kedua yang dibuat secara kohort dari data yang pertama yang akan dirilis tahun depan. Data sampel yang dirilis merepresentasikan populasi yang ada di JKN sehingga bisa melihat karakteristik perubahan di 2014-2018. Sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas pada pemerintah daerah, saat ini BPJS Kesehatan telah mengeluarkan Dashboard Informasi dengan 10 fitur di dalamnya yang bisa di akses Pemerintah Daerah namun masih membutuhkan kemampuan literasi data dan informasi untuk perumusan kebijakan daerah. Bagi akademisi, telah dibuatkan data sample 2015 dan 2016, dan tahun 2020 akan dikeluarkan data sample 2017 dan 2018 dengan harapan data JKN bisa dimanfaatkan.
Prof. Laksono Trisnantoro, , MSc., PhD
Selama 2 tahun terakhir, berbagai usaha dilakukan untuk membuka data dari BPJS baik dengan inpres hingga perpres. Selama 7 tahun ini memang proses yang menarik dari awal yang tidak begitu terbuka, hingga BPJS mau membuka data.
Sesi Presentasi Kedua: Ekosistem IT dalam keterbukaan data JKN: Akses data BPJS oleh para stakeholder utama.
Insan Rekso Adiwibowo, S.Psi., M.Sc selaku peneliti JKN PKMK FK-KMK UGM menyampaikan bahwa IT dalam JKN merupakan bagian dari ekosistem kesehatan nasional. Secara umum adi mengkategorikan outlet komunikasi data BPJS Kesehatan yang terdiri atas: 1) outlet penelitian terkait data sampel BPJS Kesehatan; 2) pengambilan keputusan daerah terkait data Business Intelligence (BI); 3) Outlet Informasi Publik melalui Buku Statistik JKN; 4) informasi peserta yang berasal dari Mobile JKN; dan 5) informasi provide dari P Care. Yang kemudian dibahas lebih dalam kelebihan dan kekurangannya.
Lebih jauh Adi menyampaikan, saat ini dalam transparansi data BPJS kesehatan telah menyediakan berbagai platform komunikasi data dengan target yang jelas. Namun masih lemah dalam transparansi data BPJS di level daerah yang harus menunggu approval dari pusat. Sehingga untuk transparansi data dibutuhkan data yang mendetail dan terupdate untuk mendukung evidence based policy yang reliable dan tepat sasaran serta aksesibilitas yang lebih luas untuk pengambil kebijakan di daerah maupun masyarakat umum dengan memperhatikan prinsip ekosistem IT.
Prof Laksono: Analisis berdasarkan ekosistem JKN.
TI merupakan fondasi dasar dari JKN, tanpa sistem IT yang baik tidak mungkin dilakukan perbaikan JKN yang bersifat enabler pada pelaksanaan JKN. Sebagai Badan Hukum layanan publik, BPJS Kesehatan belum mengikuti berbagai aturan Badan hukum publik. Outlet data yang dikeluarkan BPJS saat ini lebih banyak legacy dari PT Askes, belum menggunakan pendekatan ekosistem JKN secara keseluruhan dan prinsip interoperabilitas data. Fungsi Early system warning atau penggunaan data untuk perencanaan ditemukan masih banyak pemerintah daerah yang belum bisa menggunakan data BPJS untuk perencanaan termasuk menutupi defisit tiap kabupaten kota. Kondisi saat ini, sistem TI kemenkes dan sistem TI BPJS kesehatan belum ada interoperabilitasnya sehingga jika dicermati proses pertukaran data masih menggunakan prinsip laporan kertas yang merupakan data ringkasan. Hal ini belum menceritakan suatu sistem interoperabilitas dalam konteks BPJS Kesehatan sebagai badan hukum publik sehingga diharapkan menggunakan pendekatan ekosistem JKN.
SESI PEMBAHAS KE 2
Pembahas pertama disampaikan oleh dr. Yulita, M.Epid dari P2JK Kemenkes RI. Yulita menyampaikan Kemenkes menerima keluhan dari Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota yang memiliki keterbatasan akses data sehingga dinkes tidak bisa melakukan perencanaan berbasis data epidemiologi. Sehingga harapannya, stakeholder baik kemenkes termasuk Pemda dapat mengakses data JKN dari BPJS Kesehatan sesuai dengan Kebutuhan. Data Laporan dari BPJS Kesehatan dapat diberikan secara sistem menggunakan Application Programming Interface (API) melalui Layanan Interoperabilitas Data Kesehatan.
Pembahas kedua disampaikan oleh Dadan Suparjo Suharmawijaya, S.IP., M.IP dari Ombudsman RI. Dadan menyampaikan IT menjadi kebutuhan atau keniscayaan karena Program JKN memiliki beban yang kompleks dan ekosistem yang bervariasi. Ketika IT ini dibangun termasuk menyajikan data-data sebagai bentuk transparansi maka akan berhadapan dengan UU 2014 tentang kebebasan publik dimana ada informasi yang dibuka dan informasi yang dikecualikan sehingga dalam TI perlu dipikirkan aspek transparansi dan aspek kerahasiaan. Begitu banyak kompleksitas TI sehingga perlu SOP yang sangat mendetail.
Pembahas ketiga disampaikan oleh dr. Andi Afdal Abdullah, MBA,, AAK dari BPJS Kesehatan Pusat. Andi menyampaikan terkait data BPJS memastikan semua data di masking tidak ada data by name by address. Adapun data sampel dilakukan individual untuk mendapatkan diagnosis namun individunya dirahasiakan. BPJS Kesehatan sampai saat ini masih mencari cara agar data yang disediakan cukup untuk para peneliti dan tetap menjaga kerahasiaan orang tertentu atau instansi tertentu. Pengalaman BPJS Kesehatan dengan Kemenkeu melakukan transfer data menggunakan IPI. Terakhir Andi menyampaikan tentang proses selection data sample BPJS.
SESI DISKUSI
1. Saya belum melihat adanya hasil tentang fakta akuntabilitas itu sendiri yang perlu dipaparkan disini dan juga termasuk transparansi, Mohon tanggapan dari PKMK?
Prof. Laksono Trisnantoro, , MSc., PhD
Kajian ini terkait dengan seri yang sebelumnya ada sesi 1, 2 dan ini yang ke 3. Kemudian minggu depan kita masuk ke fraud, ke mutu 5 dan nanti yang ke 6. Di akhir dari seri ini, kita akan menyimpulkan termasuk tadi “bagaimana transparansi akuntabilitas terkait dengan defisit, akan lebih diformulasikan. Ini untuk masukan kami ke DPR dan Pemerintah. Kami UGM tidak mau mengganti undang-undang tapi undang-undang SJSN sudah 16 tahun, UU BPJS sudah 9 tahun dan setiap tahun di lapangan banyak masalah. Perintah UU, setiap UU itu perlu dimonitoring dan dievaluasi, sehingga monev oleh UGM ini akan bermuara pada DIM (Daftar Isian Masalah) yang versi kami. UGM juga nanti akan menyangkut tentang transparansi dan juga akuntabilitas.
2. Apakah BPJS Kesehatan sudah melakukan penarikan Iuran kepada peserta yang belum membayar?
Andi Afdal BPJS Kesehatan
- Sampai saat ini BPJS masih persuasif, menggunakan kader JKN, telecollection dan Channeling untuk keperluan membayar. Selain itu, tahun lalu sudah menerapkan auto debet. Yang jelas kalau peserta tidak membayar, kartunya akan di nonaktifkan.
3. Apakah dinkes kabupaten/kota diperbolehkan mengakses data pelayanan peserta JKN untuk menjalankan fungsinya untuk mencegah fraud di daerah? Regulasi apa yang harus diperbaiki agar akses ini bisa diperoleh?
Andi Afdal BPJS Kesehatan
- Saat ini banyak permintaan fitur dari daerah tapi belum generik. Saya kira saat ini kita sedang merumuskan hak aksesnya seperti apa untuk mencegah penyalahgunaan data individual.
Prof. Laksono Trisnantoro, , MSc., PhD
- Ketika berbicara mengenai ekosistem JKN, ada tim antifraud membutuhkan data yang dibutuhkan, ini akan berbeda dengan data seperti apa yang akan diberikan kepada masyarakat. Sebagai gambaran di BPJS, kita tahu berapa ribu RS yang mengerjakan seksio dan kita tahu ada RS yang kurang dari 5%. Ini tentunya bisa dipakai sebagai strategi Pinpoint untuk mendeteksi adanya RS yang memiliki potensi fraud, tapi ini belum dikerjakan. Kalau kita tidak cukup detil datanya, kami khawatir nanti BPJS akan kesulitan mengidentifikasi kelompok—kelompok mana yang melakukan fraud karena data yang ditemukan sampai tahun ke 6 rendah sekali.
Reportase Webinar Serial Forum Kebijakan JKN: Mengevaluasi UU SJSN dan UU BPJS Berdasarkan Bukti
Yogyakarta, 25 Juni 2020
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar Webinar Series 2 “Forum Kebijakan JKN: Mengevaluasi UU SJSN dan UU BPJS Berdasarkan Bukti”. Webinar ini dilaksanakan pada kamis (25/06) pukul 13.00-15.00 WIB. Topik kegiatan hari ini adalah “Sentralisasi BPJS Kesehatan dan Kebijakan Kompensasi JKN” yang disampaikan oleh Peneliti PKMK FK-KMK UGM, Tri Aktariani, Faozi Kurniawan dan Prof. Laksono Trisnantoro. Pembahas pada pertemuan adalah Pak Subuh sebagai staf ahli bidang ekonomi kesehatan Kementerian Kesehatan, Dr. Eduard Sigalingging, M.Si sebagai direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah Kemendagri, Benyamin Saut sebagai Deputi Direktur Risbang BPJS Kesehatan Pusat dan Kelompok Kajian Kebijakan Gunungan.
PENGANTAR
Kegiatan ini dimulai dengan pengantar dari Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD selaku Koordinator Forum menyampaikan bahwa forum ini akan mengembangkan diskusi dan dialog kebijakan untuk mencari solusi masalah implementasi JKN berbasis Bukti baik dari aspek ekonomi, politik dan lainnya.
Sesi Presentasi: Tata Pemerintahaan Indonesia dan Tata Kelola JKN
Presentasi pertama disampaikan oleh Tri Aktariani selaku peneliti JKN PKMK FK-KMK UGM menyampaikan hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dalam pasal 18A ayat 1. Pada Urusan pemerintah daerah diatur dalam UU No 23 tahun 2014 yang mengatur dari inovasi, sampai tata pemerintahan daerah namun belum ada pengaturan jaminan kesehatan di dalamnya. Hasil temuan riset evaluasi kebijakan JKN oleh PKMK FK-KMK UGM selama 5 tahun menunjukkan verifikasi dan validasi data masih bermasalah, dana kapitasi yang terpendam di kas daerah, data BPJS Kesehatan sulit diakses, pemerintah daerah tidak ikut menanggung defisit. Implikasi lemahnya peran pemerintah daerah dalam program JKN adalah beban defisit JKN berada pada pemerintah pusat sementara daerah yang fiskal tinggi tidak menanggung beban defisit sehingga perlu perubahan undang-undang.
Pembahas pertama dibawakan oleh Dr. Eduard Sigalingging, M.Si sebagai direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah Kemendagri. Eduard menyampaikan salah satu urusan yang diatur dalam UU No 23 tahun 2014 adalah bidang kesehatan yang diwujudkan dalam SPM. Selain itu, peran pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam jaminan kesehatan adalah pemerintah daerah wajib mendukung penyelenggaraan JKN, kepatuhan pembayaran iuran melalui pelaksanaan pembayaran iuran secara tepat jumlah dan tepat waktu, serta peningkatan pelayanan kesehatan dilaksanakan melalui penyediaan fasilitas kesehatan, pemenuhan SPM dan peningkatan mutu layanan.
Pembahas kedua disampaikan Pak Subuh sebagai staf ahli bidang ekonomi kesehatan Kementerian Kesehatan. Subuh menyampaikan sentralisasi pelaksanaan JKN di daerah sebenarnya pada tahun 2005 dalam keputusan MK mengamanatkan bahwa desentralisasi boleh dilakukan dengan syarat harus ada badan hukum berbentuk BPJS dengan dasar UU namun tidak berlaku efektif. Dalam konteks sentralisasi JKN, peran pemerintah daerah adalah menjamin ketersediaan dan mutu fasilitas kesehatan terhadap akses ke fasilitas kesehatan. Strategic purchasing yang dilakukan BPJS Kesehatan dengan membeli pelayanan faskes yang telah lulus akreditasi dan kredensial tetapi karena ada asas konkuren, pemerintah pusat berkewajiban untuk memenuhi pelayanan kesehatan masyarakat.
Selain itu, saat ini sedang dibahas reformasi perlindungan sosial yang menjadi agenda pusat dimana pada point No 4 disebutkan tentang reformasi skema pembiayaan baik APBD maupun APBN.
Prof Laksono: Ada satu yang kami tekankan tentang resiko menanggung defisit. Mengapa UU menempatkan APBN yang menanggung resiko padahal tempat transaksinya ada di daerah? Hal ini akan dijawab pada sesi presentasi kedua.
SESI DISKUSI 1
Sesi Presentasi Kedua: Pemberian Kompensasi di Daerah Belum Tersedia Fasilitas Kesehatan yang Memenuhi Syarat.
Faozi Kurniawan selaku peneliti JKN PKMK FK-KMK UGM menyampaikan bahwa Iuran dan beban layanan per segmen PBI APBN mengalami surplus yang semakin lama semakin tinggi setiap tahunnya. Surplus ini terjadi karena klaim rasio atau utilisasi layanan PBI APBN terlalu rendah dengan estimasi 75%. Hingga saat ini, masih terjadi gap antara daerah terpencil dengan perkotaan baik dari sisi pelayanan, ketersediaan SDM maupun ketersediaan Sarpras.
Kebijakan dana kompensasi belum terlaksana akibat dasar hukumnya belum jelas. Apabila dilaksanakan maka bentuk pelaksanaan dana kompensasi diberikan berupa pengiriman tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan, penggantian uang tunai bagi faskes bukan mitra BPJS, penyediaan fasilitas kesehatan tertentu. Selain itu perlu diatur mengenai kriteria daerah penerima kompensasi, mekanisme pemberian kompensasi, indikator kesehatan yang dicapai, dan kontribusi lintas sektor.
Pembahas pertama dibawakan oleh Benyamin Saut sebagai Deputi Direktur Risbang BPJS Kesehatan Pusat. Benyamin menyampaikan jika tidak dimulai dengan sentralistik, pencapaian BPJS tidak akan seperti saat ini. Pada tata kelola informasi, BPJS sudah mengimplementasikan Dashboard JKN untuk pemerintah daerah dan disajikan dalam bentuk data rekapan agregat yang dapat digunakan untuk perbaikan dan keberlanjutan program JKN.
Terkait kebijakan kompensasi, pada tahun 2017-2019, BPJS kesehatan sudah menjalankan kompensasi dalam bentuk transportasi dan uang harian namun kompensasi dengan penggantian uang tunai tidak dapat terealisasi. Tantangan yang dihadapi BPJS Kesehatan antara lain belum adanya regulasi pengaturan kompensasi, kompensasi uang tunai tidak dapat berjalan, adanya potensi tumpang tindih pembiayaan antara kapitasi dan anggaran daerah, kesesuaian penjaminan pengiriman tenaga kesehatan dan belum optimalnya peran pemda.
Pembahas kedua disampaikan oleh Pak Slamet dari LSM Gunungan. Slamet menyampaikan bahwa ada satu masalah besar dimana roadmap menuju JKN belum tercapai dan struktur organisasi pemerintah dan BPJS Kesehatan tidak sebanding sehingga mengalami kesulitan dalam hal koordinasi.
Ada beberapa hal yang menjadi perhatian dalam pembahasannya antara lain pembiayaan kesehatan dalam sistem kesehatan nasional yang perlu disusun kembali; 2) pembagian urusan dibidang kesehatan pada UU No 23/2014 tidak mengatur tentang pembiayaan; 3) pelaksanaan urusan konkuren, pemerintah provinsi bersifat oportunis; 4) pada tugas pembantuan, belum semua pemerintah daerah membentuk perda; 5) besaran alokasi anggaran kesehatan belum sesuai UU; 6) mobilisasi pembiayaan kesehatan bersumber dari swasta; 7) tarif JKN tidak ditetapkan sesuai pagu tarif maksimal pada rumah sakit provinsi.
Hal ini membuat pemerataan pembangunan kesehatan menjadi sesuatu hal yang mutlak harus dilakukan secara adil dan merata serta penyesuaian dalam bentuk revisi UU SJSN dan UU BPJS agar sejalan dengan UU No 23 tahun 2014 menyesuaikan dengan sistem pemerintahan yang desentralisasi serta ada kompensasi pada daerah yang sumber daya kesehatan tidak atau kurang memadai.
SESI DISKUSI
1. Yang dimaksud dengan pasal yang di ubah menyangkut keterlibatan daerah dalam menaggung defisit nya?
Tari Aktariani (Peneliti JKN PKMK FK-KMK UGM)
- Mengidentifikasi dari UU SISN itu ada di pasal 19 menyimpulkan iuran itu ditanggung oleh Pemerintah Daerah. Definisi iuran sendiri diutamakan untuk PBI (Peserta Bantuan Iuran), PBI sendiri didefinisikan sebagai orang tidak mampu dan fakir miskin. Tapi untuk implementasi seperti di Pergubnya DKI Jakarta bahwa setiap orang yang memiliki KK atau KTP yang berdomisili di DKI Jakarta dan bersedia untuk mendapatkan pelayanan kesehatan Kelas 3 itu akan menjadi peserta PBI APBD.
2. Apakah bapak setuju ke sentralistik atau dikembalikan ke jaman dulu atau tetap seperti ini tapi diperbaiki ?
Tanggapan dari Kemendagrai
- Pada prinsipnya UU JKN “Gotong Royong” , jadi artinya semua berkontribusi. Apabila daerah yang mempunyai kesenjangan fiskal jangan dibebani banyak, tapi yang kaya membantu yang miskin, namun dalam prakteknya berbeda. Yang intinya bahwa di UU otonomi daerah, Pemda diberikan tugas dan tanggung jawab tapi disisi lain ada UU JKN yang oleh pemerintah Daerah harus patuh. Pemerintah Daerah membuat perbandingan kalau dikelola oleh Pusat, artinya menjadi kajian barangkali untuk kedepannya agar memperbaiki sistem tersebut untuk dapat mengcover seluruhnya.
3. Di UU SJSN belum bisa tapi faktanya yang sudah dipaparkan oleh peneliti bahwa didaerah seperti DIY, BPJS mengalami defisit yang sangat tinggi juga di Jawa tengah dan Jawa Barat. Tapi satu sen pun daerah tersebut tidak membayar defisit tadi Pak, tidak ikut menanggung defisit tadi karena di UU yang menanggung semua APBN.
Tanggapan Kemendagri
- Dalam Perpres yang baru, artinya dalam rangka kelangsungan pelayanan kesehatan di pasal 29, jadi untuk menjamin keberlangsungan kesehatan, keuangan dan jaminan kesehatan, pemerintah daerah berkontribusi. Jadi sudah ada formula-formula yang kita bangun berapa tanggung jawab Pemda sesuai dengan kepesertaanya dan data dari Kemensos. Jadi defisit itu menjadi tanggung jawabnya APBN tapi yang menjadi terdaftar sebagai bagian tanggung jawabnya APBD, terintegrasilah dengan BPJS. seperti itu yang kita bangun.
Tanggapan Prof Laksono:
- Tadi yang dikatakan Pak Subuh mengenai omnibus law, saat ini masih ada konteks ekonominya. Tujuan seri diskusi ini mengidentifikasi daftar isian masalah di UU SJSN dan UU BPJS yang terkait dengan bukti-bukti masalah defisit, ketidakadilan, mutu pelayananan, potensi fraud, dan sebagainya. Arah muara kegiatan ini akan masuk ke DPR dan pemerintah untuk mengusulkan revisi UU. Saya melihat BPJS seperti menanggung resiko sendiri, yang kemudian resiko ini diambil alih oleh APBN. Padahal intervensinya di daerah. Ketika daerah tidak menanggung resiko, mereka tidak akan peduli dengan layanan promotif preventif.
4. Jika peran pemda hanya pada masalah defisit atau iuran, nampaknya akan banyak pemda yang defensi. Maka bukankah lebih baik peran pemda difokuskan pada membangun kapasitas pemda.
Tanggapan Kemendagri Prof Laksono:
- Defisiti per daerah tidak banyak. Di DIY, BPJS Kesehatan defisit sekitar 1 Triliun di tahun 2019 sementara NTT mengalami Surplus. Uang itu tidak bisa dipakai di NTT tapi kesedot ke Jogja juga. Ini masalah besar ketika pemda tidak mendapat informasi ini, dan hasil penelitian PKMK menunjukkan bahwa Pemda-Pemda tidak tahu bahwa mereka sudah banyak mendapatkan manfaat BPJS.
Tanggapan Kemendagri BPJS Kesehatan:
- Memang menarik sekali untuk mengoptimalkan peran pemda, sebenarnya BPJS kesehatan sedang melakukan uji coba, ada prototipe global budget di Kabupaten Tanah Datar yang melibatkan pemda untuk mengatur budget untuk setiap fasilitas tingkat pelayanan sehingga ada risk sharing yang terjadi antara Pemda dan ASKES. Hanya pada saat itu terkendala sistem informasi yang masih lemah. Kalau Global budget yang sekarang dijalankan, rasanya ini menjadi satu solusi agar BPJS Kesehatan bisa bersama-sama dengan pemda menghitung dan kecukupan revenue yang dimiliki. Jadi strategic purcahasingnya bisa jalan dari Global Budgetnya. Selain itu perlu menghitung bersama-sama peta kekuatan fiskal daerah sehingga jika di eskalasi menjadi peran Pemda, APBD dan APBN yang kuat maka dari peta fiskal tadi dapat digunakan untuk saling mengsubsidi tertuma pada kota kabupaten yang kekuatan fiskalnya rendah dibantu daerah dengan fiskal yang tinggi.
Forum Analisis Kebijakan JKN: Mengevaluasi UU SJSN dan UU BPJS berdasarkan bukti
Seri III Tantangan Kelembagaan BPJS Kesehatan: Akuntabilitas dan Transparansi
Kamis, 2 Juli 2020
Latar Belakang
Menurut UU SJSN, BPJS dan DJSN merupakan badan hukum tunggal yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan. Instansi penyelenggara jaminan sosial atau asuransi seperti PT Askes, PT Jamsostek, PT Asabri, dan PT Taspen harus meleburkan diri Pasca terbentuknya UU BPJS (2011). Pada tahun 2014, BPJS Kesehatan telah beroperasi sebagai penyelenggara jaminan sosial, salah satunya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Selama hampir tujuh tahun menyelenggarakan program JKN, BPJS Kesehatan mendapat banyak capaian dan tantangan. Salah satu tantangannya adalah tata Kelola dan kelembagaan.
Persoalan kelembagaan yang ditemukan PKMK FK-KMK UGM melalui penelitian kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menjelaskan bahwa akses data dari BPJS Kesehatan masih sulit untuk diakses oleh pemerintah daerah. Data mengenai capaian kepesertaan dan biaya klaim pelayanan kesehatan di provinsi/kabupaten/kota hanya dapat di informasikan secara terbatas, pemerintah daerah tidak dapat mengakses secara penuh. Akses data tersebut seharusnya dapat pemerintah daerah lakukan untuk perencanaan dan penganggaran program, sehingga akan ada program/perencanaan/intervensi untuk mendukung atau mengatasi hambatan program JKN di wilayahnya. Keterbukaan data di BPJS Kesehatan merupakan bagian dari sasaran kedelapan dari peta jalan JKN. Selain itu, Perpres No. 25/2020 tentang Tata Kelola BPJS juga menjelaskan bahwa keterbukaan data BPJS Kesehatan dapat dilakukan untuk pemerintah daerah.
Tidak optimalnya tata kelola BPJS Kesehatan dalam implementasi membutuhkan pengawasan dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Namun, pengawasan yang DJSN lakukan dari 2014 hingga saat ini tidak dapat mengintervensi untuk perbaikan BPJS Kesehatan. Untuk memahami persoalan tersebut lebih lanjut, maka PKMK FK-KMK UGM menyelenggarakan diskusi bersama pemerintah dan stakeholders mengenai evaluasi program JKN.
Hasil yang Diharapkan
Pengambil keputusan dan berbagai stakeholders memahami persoalan kelembagaan BPJS Kesehatan
Adanya proses transformasi hasil penelitian ke pengambil keputusan.
Mengidentifikasi perubahan yang dibutuhkan dalam kebijakan, termasuk di level UU.
Penyaji Hasil Penelitian
Prof. Laksono Trisnantoro, Pengamat Kebijakan JKN FK-KMK UGM
Tri Aktariyani SH., MH (Peneliti Kebijakan JKN PKMK FK-KMK UGM)
Insan Rekso Adiwibowo S.Psi., M.Sc, (Pengelola DaSK PKMK FK-KMK UGM)
Pembahas
Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN)
Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan, Kementerian Kesehatan
Tri Muhartini Telp: 0274-549425 HP/WA: 089693387139 Email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Improving Quality of Expenditure on Infrastructure: National Roads, Housing, Water Resource Management, and Water Supply
25 Januari 2020
Gambar 1. Opening Virtual Events Public Expenditure Review (PER) 2020
Jakarta - World Bank Indonesia mengadakan virtual launch Public Expenditure Review (PER) 2020 atau Kajian Belanja Publik yang bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia. PER 2020 ini bertujuan untuk membantu Pemerintah Indonesia mengidentifikasi kendala utama agar belanja publik dapat lebih efisien dan efektif. Kajian ini juga merekomendasikan cara meningkatkan kualitas belanja untuk mewujudkan tujuan pembangunan Indonesia.
Kamis, 25 Juni 2020 dilakukan pertemuan virtual keempat dengan topik “Improving Quality of Expenditure on Infrastructure: National Roads, Housing, Water Resource Management, and Water Supply” dengan mengundang pembicara Elena Chesheva, Senior Transport Specialist, WB dan Tomás Herrero Diez, Transport Consultant, WB. Pembicara lainnya yaitu Dao Harrison, Senior Housing Specialist, WB, Deviariandy Setiawan, Water Resouces Consultat, WB, dan Irma Magdalena Setiono, Senior Water Supply and Sanitation Specialist, WB.
Gambar 2. Pemateri dalam Indonesia Public Expenditure Review Hari Keempat
Materi pertama oleh Elena Chesheva menjelaskan jalan nasional dan jalan tol sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi, produktivitas dan daya saing nasional. Meskipun saat ini hanya sebesar 40% dari semua lalu lintas di Indonesia. Kajian terhadap kualitas belanja oleh pemerintah pusat terhadap jalanan nasional terus mengalami peningkatan pada tahun sebelumnya yaitu mencapai 44 - 46 triliun di tahun lalu, namun ini masih belum sesuai dengan target yang diinginkan. Dari segi output fisik belum meningkat sesuai dengan belanja, yang dapat dilihat di dalam bagan yaitu pembangunan jalan relatif konstan antara 2 - 3 ribu per tahun.
Pelestarian jalan meningkat siginifikan pada 2010 - 2017 namun setelahnya terus mengalami penurunan. Indonesia merupakan negara yang memiliki paling sedikit jalan tol dibandingkan dengan Negara - negara tetangga lainnya. Pemerintah saat ini telah memprioritaskan pembangunan jalan tol yang bertujuan untuk menjangkau 6.500 km sebelum 2034 dimana hampir 1/3 bagian dari target ini sudah dimulai konstruksinya.
Rekomendasi yang diberikan yaitu pemerintah dianjurkan untuk terus melanjutkan konsolidasi proyek kecil ke proyak besar dan diharapkan untuk dapat mengefisiensikan proses pengadaan dengan ekonomi skala dan sistem penjaminan kualitas yang lebih kuat. Peraturan PP 16 dapat mengimplementasikan kontrak berbasis kinerja yang akan meningkatkan efisiensi belanja dan Dirjen Bina Marga sudah menerapkan kontrak berbasis kinerja yang diperkenalkan dari tahun 2016. Pengalaman sebelumnya yang dimiliki World Bank di Amerika Latin menunjukkan adanya penghematan biaya mencapai 25 - 30%. Dari sisi eksekusi anggaran, agar lebih terfokus untuk menjaga anggaran menuju yang lebih baik lagi.
Materi kedua yaitu oleh Dao Harrison yang membahas bagaimana perumahan di Indonesia. Dibandingkan dengan Negara - negara tetangga lainnya seperti Cambodia, Mongolia dan Filipina, Indonesia saat ini menduduki posisi terendah dalam mengatur perkembangan perumahan. Hal ini disebabkan karena pemerintah masih sedikit memberikan subsidi untuk perumahan yaitu hanya sebesar 16% yang sesuai dengan anggaran konstruksi minimum. Adanya program subsidi KPR yang dilakukan pemerintah merupakan langkah yang tidak baik, karena sangat menghabiskan biaya yang mahal bagi pemerintah sendiri dan pembelinya. Selain itu subsidi KPR menunjukkan adanya standar yang tidak baik.
Adapun langkah yang dapat dilakukan yaitu kualitas dari subsidi harus ditingkatkan sehingga dapat diakses dengan baik. Pemerintah saat ini harus melihat dan menyadari bahwa pasar tidak mampu untuk membeli apa yang ditawarkan sehingga pemerintah harusnya tidak puas dengan apa yang sudah dilakukan. Masih ada pilihan yang bisa dilakukan, melakukan perbaikan masalah yang ada di Indonesia terkait memberikan pilihan rumah dengan harga terjangkau.
Materi ketiga oleh Deviariandy Setiawan mengatakan bahwa, Indonesia memiliki banyak permasalahan air terkait manajemen air yaitu bagaimana ketersediaan air bersih per kapita di berbagai daerah. Ketidakseimbangan distribusi di berbagai pulau ini menyebabkan, Indonesia kesulitan untuk meningkatkan manajemen ketersediaan air per kapita. Dibandingkan dengan negara lainnya, Indonesia masih sangat sedikit memiliki ketersediaan air. Manajemen sumber daya air sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi dan sosial terutama untuk ketahanan pangan dan juga irigasi pertanian. Membahas konsep irigasi terhadap ketahanan pangan yaitu dari 65 juta beras yang dihasilkan, 95% dihasilkan dari sawah yang di irigasi oleh air sehingga irigasi air ini sangat penting.
Berdasarkan RPJMN terakhir, pemerintah meningkatkan produksi beras sebesar 11 ton dan hal ini sangat bergantung dari kontribusi efisiensi manajemen sumber daya air dan produktifitas pertanian. Sektor irigasi sudah mengalami reformasi sejak otonomi daerah, dimana pemerintah daerah memiliki peran besar yaitu untuk mendelegasikan skema dari tingkat provinsi kabupaten untuk daerah irigasi. Skema tersebut yaitu lahan di bawah 1000 ha untuk dikelola oleh kabupaten, luas 1000 - 3000 ha dikelola oleh provinsi dan luas lebih dari 3000 ha dikelola oleh pemerintah pusat.
Dari sisi kualitas belanja, saat ini 65% anggaran masih dikelola oleh pemerintah pusat dan hanya 35% belanja dikelola oleh pemerintah daerah. Anggaran 35% ini masih banyak dipengaruhi dari dana alokasi khusus dan ini mengindikasikan bahwa sumber daya air masih belum menjadi prioritas daerah. Jika melihat dari belanja pemerintah pusat saat ini masih terfokus pada pengembangan infrastruktur pada 2017 contohnya pengeluaran irigasi hanya 16% dan alokasi operasional manajemen per hektar saat ini masih lebih rendah dibandingkan dari yang diperlukan. Selain itu manajemen “dam” hanya 3%.
Deviariandy mengatakan seharusnya pemerintah lebih realistis dalam proses perencanaan, karena pembangunan infrastruktur yang ambisius bukan hanya menjadi beban fiskal tetapi juga mempertimbangkan kapasitas institusi. Rekomendasi yang diberikan yaitu meningkatkan kualitas dan managemen sistem, terkait dengan irigasi di level subnasional dan bagaimana memperbaiki dalam hal perencanaan, anggaran serta hasil monitoringnya.
Materi keempat oleh Irma Magdalena Setiono menjelaskan Pemerintah Indonesia saat ini telah mencapai target dalam pasukan air dan sanitasi yaitu peningkatan akses air minum sebesar 73% dan 69% akses sanitasi. Jika melihat tantangan di sektor ini masih ada kekhawatiran efektivitas dan efisiensi dalam belanja pemerintah dan walaupun terlihat peningkatan belanja, namun masih belum terlihat hasil yang signifikan dari sisi kualitas sanitasi. Membahas tentang isu sektor terkait persediaan air, ada tantangan dari sisi supply dan sisi demand.
Sisi supply yaitu kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang berujung sedikitnya jumlah rumah tangga yang terhubung dan pembangunan pipa - pipa baru masih kurang. Dari sisi demand lebih memilih untuk mendapatkan sumber air dari sumber tanah meskipun mereka memiliki akses dari PDAM, hal ini karena adanya ketidakpercayaan dari aspek kualitas air. Selain itu adanya persepsi air tanah lebih murah dan kurangnya regulasi dari topik ini.
Sisi layanan juga masih sangat rendah, dimana masih banyak rumah tangga yang memiliki septictank yang di bawah standar dan pengepul limbah tinja, pengelolaan air limbah belum optimal dan masih buruk. Rekomendasi yang diberikan yaitu penting untuk dipastikan adanya fokus dalam mengidentifikasi peluang - peluang untuk meningkatkan efisiensi.
Pemerintah pusat perlu memperluas perannya dan secara perlahan melakukan transisi peran dari penyedia infrastuktur menjadi regulator, penegak aturan dan juga mendukung Negara dalam memberikan layanan. Pemerintah juga harus mendukung perusahaan-perusahaan air minum untuk lebih berintegrasi dengan PDAM. Rekomendasi keduameningkatkan manajemen institusi untuk memastikan agar kajian belanja memberikan layanan yang lebih baik dan layanan koordinasi di level pemerintahan.
Pada sesi diskusi mengundang Ikhwan Hakim, Director for Transportation, Bappenas, Herry Trisaputra Zuna, Director of Director of System & Strategy Development for Financing Implementation, MoPWH. Moderator dalam sesi ini yaitu Sudipto Sarkar, Practice Manager for Water.
Gambar 3. Para Panelis Diskusi Indonesia Public Expenditure Review Hari Keempat
Menurut Ikhwan Hakim, sangat penting untuk memperbaiki efisiensi terkait dengan pembelanjaan publik dan ada rekomendasi yang relevan namun semua rekomendasi yang diberikan juga tidak mudah untuk dilakukan. Sudah banyak upaya yang dilakukan bersama dengan pihak Bina Marga untuk meningkatkan kapasitas balai - balai, karena balai - balai ini lebih memahami kondisi setempat dan dapat meningkatkan perencanaan. Faktor pengawasan juga menjadi laporan masalah hal ini terkait dengan sektor di luar yaitu sektor konsultan dan ini perlu dibahas secara mendalam lagi.
Selanjutnya Herry Trisaputra menyampaikan, seperti contoh kasus Sumetera dan proyek tol dalam jangka pendek berhasil membuat jalan sekitar 500 km ruas jalan. Pada sektor jalan perlu untuk melihat bahwa infrastuktur membutuhkan dana, karena alokasi APBN hanya 30% dan saat ini juga kita harus menghadapi pandemi COVID-19. Jadi saat ini bagaimana cara untuk memanfaatkan dana dan perluasan yang mencakup semua sektor dimana ini dimulai dari pendanaan dan penyampaian layanan.
Improving Quality of Expenditure on Human Capital: Education, Health, Social Assistance, and Nutrition
24 Januari 2020
Gambar 1. Opening Virtual Events Public Expenditure Review (PER) 2020
Jakarta - World Bank Indonesia mengadakan virtual launch Public Expenditure Review (PER) 2020 atau Kajian Belanja Publik yang bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia. PER 2020 ini bertujuan untuk membantu Pemerintah Indonesia mengidentifikasi kendala utama agar belanja publik dapat lebih efisien dan efektif. Kajian ini juga merekomendasikan cara meningkatkan kualitas belanja untuk mewujudkan tujuan pembangunan Indonesia.
Rabu, 24 Januari 2020 dilakukan pertemuan virtual ketiga dengan topik “Improving Quality of Expenditure on Human Capital: Education, Health, Social Assistance, and Nutrition” dengan mengundang pembicara Rythia Afkar, Senior Education Economist, WB, Juul Pinxten, Social Protection Specialist, WB, Reem Haafez, Senior Economist dan Eko Satyo Pambudi, Health Economist, WB.
Materi pertama dari Rythia Afkar menjelaskan Indonesia telah menunjukkan reformasi penting di sektor pendidikan selama dua dekade terakhir dengan menetapkan 20% anggaran untuk sektor pendidikan. Walaupun adanya peningkatan pada sumber daya, tidak semua sekolah memadai untuk menyediakan lingkungan belajar yang kondusif bagi siswa. Selain itu saat ini sumber daya pendidikan masih tidak merata di semua pemerintahan daerah dan level pendidikan. Pendidikan dan pengembangan anak usia dini perlu lebih diperhatikan. Pengeluaran anggaran untuk pendidikan sebagian besar berasal dari pemerintah pusat untuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan digunakan untuk mandat spesifik Dana Alokasi Khusus (DAK). DAK diperuntukkan untuk mendanai dana operasional sekolah (BOS), tunjangan profesi guru dan untuk infrastruktur.
Rythia menyampaikan terdapat beberapa alasan yang sampai saat ini menjadi penyebab alokasi sumber daya untuk pendidikan tidak optimal. Pertama, adanya distribusi yang tidak merata dari pemerintah pusat. Kedua, alokasi transfer DAK masih lemah dimana hal ini terkait dengan kebutuhan infrastruktur dan terakhir perbedaan dari kapasitas kabupaten untuk mengelola pendidikan. Rekomendasi yang bisa diberikan untuk meningkatkan kualitas belanja yaitu dengan memperkuat koordinasi dan kapasitas dengan pemerintah daerah untuk mengimplementasikan kebijakan pendidikan, memastikan bahwa siswa diajar oleh guru yang berkompeten dan meningkatkan akuntabilitas untuk sektor pendidikan.
Gambar 2. Juul Pinxten menyampaikan materi “Social Assistance”
Materi kedua oleh Juul Pinxten yang menjelaskan 2012 - 2017 anggaran untuk subsidi energi diarahkan dana untuk bantuan sosial. Pada 2020 bantuan sosial meningkat lebih dari dua kali lipat sebagai bentuk tanggap COVID-19. Pengeluaran terus meningkat secara nominal yang berfokus pada program yang sudah ditargetkan seperti bantuan sembako. Hari ini bantuan sosial yang diberikan dirancang untuk memberikan perlindungan komprehensif bagi rumah tangga yang memiliki anak. Bantuan sosial seharusnya lebih responsif terhadap guncangan dan cakupannya diperluas. Juul Pinxten memberikan rekomendasi terhadap bantuan sosial yaitu menetapkan reformasi kebijakan dan desain program yang disesuaikan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan pengeluaran untuk pendampingan sosial yang ditagetkan dan yang membutuhkan dukungan. Selanjutnya rekomendasi yang diberikan yaitu memperkuat sistem pengiriman dengan cara meningkatkan koordinasi antara program tingkat pusat dan pemerintah daerah.
Dari sektor kesehatan dibahas oleh Reem Haafez yang menjelaskan seberapa efektif sektor kesehatan di Indonesia. Saat ini Indonesia telah mencapai kemajuan yang siginifikan dalam cakupan kesehatan dan perlindungan keuangan. Tujuan utama yang dicapai oleh Kementrian Kesehatan yaitu untuk meningkatkan status kesehatan penduduk dengan menyediakan cakupan kesehatan universal (UHC) dan memberikan perlindungan keuangan untuk semua. Angka kesehatan di Indonesia saat ini meningkat selama beberapa dekade terakhir namun masih dihadapkan dengan Millennium Development Goal yang belum tercapai dan semakin tingginya angka penyakit tidak menular. Angka kematian maternal menunjukkan setiap 1,4 jam terjadi 1 kematian maternal atau setiap 100.000 kelahiran terjadi 305 kematian maternal. Penyakit ketiga terbesar yaitu Tuberculosis yang pada 2017 mencapai angka kasus baru sebesar 842.000 dan 116.000 kematian akibat Tuberculosis. Selain itu sebesar 8 juta anak atau 1 dari 3 anak di Indonesia menderita stunting.
Hal lainnya yaitu adanya transisi epidemiologis: munculnya penyakit tidak menular dan kondisi kronis dari dampak kondisi sosio demografis dan gaya hidup. Permasalahan kualitas pada fasilitas pelayanan kesehatan di tingkat primer mendorong masyarakat untuk melakukan perawatan ke rumah sakit dengan fasilitas dan sumber daya yang lebih baik. Fasilitas pelayanan kesehatan primer tidak memiliki tes diagnostik dasar, obat esensial dan pedoman diagnostik pengobatan. Praktik pribadi cenderung tidak terfokus pada tindakan pencegahan dan lebih banyak melakukan pengobatan. Juul Pinxten juga menjelaskan bagaimana kelangsungan keuangan JKN yang saat ini berada di bawah ancaman. Seperti diketahui hingga akhir Mei, JKN mengalami defisit sebesar Rp. 31,7 triliun. Pada sistem JKN, bagi fasilitas pelayanan kesehatan primer dibayarkan dengan sistem kapitasi yaitu besaran pembayaran yang menanggung 144 kompetensi di FKTP.
Pemberian insentif rujukan yang berlebihan dan lemahnya sistem pengawasan. Sebaliknya, klaim pembayaran ke rumah sakit pada dasarnya terbuka, adanya kerugian insentif dan pemberian perawatan yang tidak perlu. BPJS Kesehatan memiliki kekuatan sangat lemah dalam mengelola insentif pelayanan yang efektif, perilaku provider yang efisien dan kualitas pelayanan yang baik. Rekomendasi yang dapat diberikan kepada pemerintah yaitu dilakukan reformasi untuk meningkatkan pendapatan tambahan bagi BPJS Kesehatan, mengelola laju pengeluaran dan meningkatkan tata kelola dan akuntabilitas.
Masih dalam sektor kesehatan Eko Pambudi sebagai pemateri keempat membahas lebih lanjut tentang bagaimana mengurangi angka stunting di Indonesia. Mengatasi pencegahan stunting pada masa anak - anak sangat penting karena anak-anak merupakan investasi untuk sumber daya manusia nantinya. Generasi di Indonesia berikutnya yang menerima kesehatan dan pendidikan yang baik hanya sebesar 53%. Namun, untungnya intervensi pada nutrisi merupakan investasi sumber daya manusia yang efektif.
Pemerintah Indonesia mengeluarkan Strategi Nasional Percepatan Stunting (StraNas) 2018 - 2024. Sebanyak 23 kementerian berkomitmen dan menyiapkan Rp 51,9 triliun untuk intervensi pada sektor kesehatan, air dan sanitasi, pendidikan anak usia dini, perlindungan sosial dan keamanan pangan. Permasalahan stunting ini disebabkan dari adanya kualitas akses pemberian perawatan yang tidak baik. Sebagai contoh yaitu rendahnya kemampuan para kader kesehatan di masyarakat untuk memberikan pelayanan kesehatan, konseling, kunjungan kesehatan di rumah dan di dalam komunitas. Selain itu juga para ibu dan bayi baru lahir tidak menerima intervensi baik selama pemeriksaan terutama bagi para ibu yang memiliki pendidikan rendah.
Eko juga menambahkan bahwa masih adanya tantangan yang dihadapi dalam sistem menghambat peningkatan kualitas dalam belanja yang secara langsung berdampak pada stunting. kurangnya data yang reliabel, adanya fragmentasi dalam keuangan dan kurangnya kejelasan dalam peraturan dan tanggung jawab pendanaan dan pelayanan di level antara pemerintahan. Rekomendasi yang diberikan untuk mengatasi masalah ini adalah sebagian besar terkait dengan isu - isu lintas sektoral yang berdampak luas pada kualitas belanja publik secara keseluruhan. Rekomendasi pertama adalan menstandarisasi informasi kesehatan dan sistem akuntansi. Kedua melakukan investasi pada sistem informasi agar menjadi lebih terintegrasi. Ketiga adalah melakukan pelaporan yang baik dalam insentif dan proses akuntasi termasuk dasar pengukuran kinerja. Keempat mengharmonisasi anggaran dan prosedur antara pemerintah pusat dan daerah. Kelima adanya pedoman yang jelas tentang pembagian dana dan pemberian pelayanan di pemerintahan pusat, pemerintahan daerah hingga desa.