Problematika “Gigis” Anak Indonesia dan Optimalisasi Posyandu

Problematika “Gigis” Anak Indonesia dan Optimalisasi Posyandu

Untuk mendukung Visi Indonesia Bebas Karies pada 2030, Kementerian Kesehatan menerbitkan Peta Jalan Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut Tahun 2015-2030. Namun, peta jalan tersebut belum memasukkan peran strategis Posyandu dalam kebersihan gigi dan mulut anak sejak dini.

Mari sejenak kita cermati kondisi gigi sang buah hati atau anak kecil di sekitar Anda. Berapa banyak gigi anak yang dapat Anda temukan dalam kondisi berlubang? Bisa jadi kita menemukan banyak titik hitam kecil maupun kondisi gigi dengan lubang menganga bahkan habis digerogoti oleh bakteri penyebab karies.

Ada banyak anak Indonesia yang mengalami kondisi tersebut. Hingga terbersit pikiran, apakah kita pernah menganggap bahwa gigi berlubang pada anak merupakan suatu penyakit yang dapat dicegah?

Gigis merupakan suatu kondisi pada gigi anak yang berlubang hampir secara keseluruhan hingga digambarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai “cuil-cuil pada pinggirnya”. Data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan bahwa hampir 8 dari 10 orang di Indonesia menderita gigi berlubang dengan rerata 7 gigi di setiap orang.  Kondisi tersebut mungkin yang mendorong kita secara tidak sadar untuk mengamini bahwa hal itu merupakan kondisi yang wajar, mengingat sulitnya menemukan kondisi anak yang sebaliknya.

Selain itu, literasi kesehatan gigi di masyarakat yang masih rendah menjadi faktor yang kemungkinan besar memengaruhi kasus ECC. Hal ini terbukti dengan kebiasaan menyikat gigi yang 90% belum sesuai dengan waktu yang dianjurkan.  Penyebab karies yang multifaktorial sepertinya masih belum dapat dipahami oleh warga sehingga belum mampu mengantisipasi munculnya proses karies secara optimal

Namun, sesungguhnya masih ada harapan untuk memperbaiki kondisi tersebut melalui intervensi kebijakan yang tepat. Lalu, darimana kita dapat memulainya? Tulisan ini akan menguraikan beberapa temuan dari penelitian yang dilakukan oleh Amalia, dkk. (2019) dalam studi mengenai epidemiologi ECC di Indonesia.

Dilema Data

            Kondisi gigis pada anak sepadan dengan istilah yang digunakan secara global yaitu early childhood caries yang sering disingkat sebagai ECC. ECC secara harfiah diartikan sebagai suatu kondisi satu atau lebih gigi berlubang, dicabut karena karies, atau permukaan gigi yang ditambal pada gigi susu untuk anak usia kurang dari 71 bulan. Dengan kata lain, adanya gigi berlubang pada usia balita sudah termasuk dalam kriteria ECC.

Sayangnya, hingga saat ini  penelitian tentang ECC di Indonesia masih sangat terbatas. Data survei secara nasional yang dilakukan melalui Riset Kesehatan Dasar pun tidak dapat dibandingkan karena inkonsistensi pada pengukuran variabel kesehatan rongga mulut. Beberapa penelitian skala kecil hanya fokus di kota tertentu dengan sampel yang terbatas.

Hal ini tentu menjadi hambatan dalam upaya merumuskan kebijakan yang tepat dalam menguraikan permasalahan “gigis”. Belum adanya data nasional ini membuat sulit menentukan intervensi di sektor mana yang perlu untuk diberikan.

Perang nan Panjang

            Visi Indonesia Bebas Karies ditargetkan tercapai pada 2030, artinya dalam kurun waktu satu dekade ke depan kondisi ini harus berubah secara total. Namun, melihat kondisi hari ini, mungkin target itu sangat berat karena upaya ini perlu keterlibatan banyak sektor. Meski demikian, hal tersebut bukan berarti membunuh asa tetapi justru bisa membangun kolaborasi berbagai pihak dan khususnya bagi tenaga kesehatan gigi untuk berupaya keras mengejar target tersebut.

Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Peta Jalan Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut Tahun 2015-2030 dan kampanye tersebut dilaksanakan secara bertahap 5 tahun sekali. Fokus peta jalan tersebut adalah penguatan kebijakan, sumber daya, dan pemberian layanan kesehatan. Target secara terukur telah ditetapkan untuk menurunkan karies pada anak usia 12 tahun, standardisasi program kesehatan gigi dan mulut di Puskesmas, penguatan program UKGS (Usaha Kesehatan Gigi Sekolah) dan UKGM (Usaha Kesehatan Gigi Masyarakat) serta peningkatan kemandirian di masyarakat.

Missing Link

            Program UKGS yang telah dicanangkan pemerintah tersebut baru dijalankan pada saat usia anak memasuki sekolah. Hal ini tentu amat sangat terlambat untuk menyelamatkan gigi anak yang sudah tumbuh bahkan sejak usia 1 tahun. Periode sekolah yang biasanya diawali sekitar usia 6 tahun bahkan sudah mulai berganti menjadi gigi dewasa. Oleh karena itu, program tersebut tidak dapat mendukung upaya pemberian informasi seputar kebersihan gigi dan mulut sejak usia dini. Hal tersebut menunjukkan bahwa program yang selama ini telah dijalankan oleh pemerintah masih ada bagian yang “hilang” karena belum menjadi program yang berkesinambungan.

Selama ini program antenatal care bagi ibu hamil telah berjalan dengan baik dan kesadaran ibu untuk melakukan pengecekan secara berkala tersebut masih tinggi. Setelah melewati proses melahirkan, kesadaran ibu untuk melakukan vaksinasi dan pemeriksan berkala bagi bayi di Posyandu juga cukup baik. Oleh karena itu, interaksi di fasilitas kesehatan sejauh ini sudah terjalin secara intens dan bahkan menjadi rutinitas wajib bagi setiap ibu dengan balitanya. Apakah kondisi tersebut dapat dimanfaatkan untuk mendorong perawatan gigi anak?

Usulan Kebijakan: Peran Strategis Posyandu

            Jarak antara periode kehamilan dan pelaksanaan program UKGS dapat disiasati dengan intervensi kebijakan berupa mengoptimalkan peran Posyandu dan edukasi bagi ibu dengan balita secara berkelanjutan. Kegiatan di Posyandu secara berkala telah melakukan pemantauan kesehatan dan gizi pada anak yang tercatat dalam KMS (Kartu Menuju Sehat). Hal ini dapat disempurnakan dengan pengisian kartu KMGS (Kartu Menuju Gigi Sehat) sebagai upaya untuk mencatat kondisi kesehatan rongga mulut. Selain itu, dengan melakukan pencatatan secara rutin maka akan membangun kesadaran terkait dengan kondisi gigi pada anak yang seharusnya selalu terjaga dengan bantuan orang tua.

            Dalam rangka mendorong pengisian KMGS, perlu adanya pelatihan bagi setiap tenaga kesehatan. Pelatihan juga dapat dilakukan dengan melibatkan kader Posyandu maupun membentuk suatu kader kesehatan gigi dengan kegiatan utama simulasi pemeriksaan gigi dan pengisian kartu tersebut.

Pengetahuan selama pelatihan tersebut juga dapat menjadi sarana merekrut agen promosi kesehatan yang mampu memberikan edukasi seputar kesehatan rongga mulut sedari dini. Apabila ditemukan kondisi anak yang memerlukan perawatan, maka dapat segera dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan ke dokter gigi. Seharusnya hal ini tidak menjadi hambatan karena perawatan gigi menjadi salah satu paket manfaat dari program JKN.

Intervensi kebijakan juga seharusnya dipantau secara berkala. Pemerintah dapat mengupayakan untuk memperbarui data secara berkala terkait kondisi karies gigi pada anak setidaknya melalui program Riskesdas secara berkala. Hal ini akan bermanfaat untuk mengukur capaian intervensi kebijakan yang telah diterapkan. Harapannya, dengan intervensi kebijakan yang tepat, target mewujudkan Indonesia Bebas Karies dalam satu dekade ke depan bukanlah isapan jempol belaka. Semoga.

Oleh: drg. Muhammad Fahmi Alfian
Penulis merupakan mahasiswa Pascasarjana IKM FKKMK UGM dan staf magang di Dept. IKGM dan IKGP FKG UGM

Sumber Referensi :
Amalia, R., Chairunisa, F., Alfian, M. F., & Supartinah, A., 2019, Indonesia: Epidemiological Profiles of Early Childhood Caries, Front. in public health, 7(210), pp. 1-6.

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *