Management and Technical Assistance Facility (MTAF)

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM
bekerjasama dengan
MTAF Global Fund

Menyelenggarakan pengembangan konsultan kesehatan
dengan pendekatan jarak-jauh dan tatap muka

Kegiatan Perdana:

Informasi dan Pembentukan Data Based Konsultan Manajemen Kesehatan
dalam program
Management and Technical Assistance Facility (MTAF)

Kamis tanggal 3 Oktober 2013 pukul 10.00 – 14.30
di Ruang Theater Lt.2 , Gedung Perpustakaan FK UGM
dan disiarkan melalui Video Streaming di

www.kebijakankesehatanindonesia.net

  Pengantar

Pengembangan sistem kesehatan Indonesia dalam era desentralisasi membutuhkan peran aktif konsultan teknis dan manajemen. Tanpa ada jenis tenaga ini, akan sulit untuk memicu pengembangan dan memonitor kinerja pembangunan kesehatan. Tuntutan akan adanya konsultan teknis dan manajemen ini juga disuarakan oleh badan-badan dunia untuk pembangunan kesehatan.

Saat ini sedang dikembangkan data-base untuk konsultan dan manajemen teknis oleh Program MTAF Global Fund. Data-base ini merupakan kegiatan awal untuk mengembangkan informasi, komunikasi, dan kerjasama antara konsultan. Langkah ini kemudian diikuti dengan pengembangan kapasitas individu dan lembaga penyedia tenaga jasa konsultan.

 

  Tujuan Kegiatan

  1. Membahas tujuan Program Managemen and Technical Assistance Facility
  2. Membahas sistem data base konsultan kesehatan dari Program MTAF Global Fund.
  3. Melakukan rencana pengembangan konsultan di masa depan melalui program jarak jauh dan tatap muka.

 

 Jadwal Acara dan Topik

Waktu

Topik

Pembicara

09.30 – 10.00

Registrasi

 

10.00 – 12.00

Pembukaan oleh Prof. Laksono Trisnantoro

Informasi dan Pembentukan dan Operasionalisasi MTAF

Membahas makna konsultan manajemen dan konsultan teknis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Krisyani Inawati, SE,Ak, MBA

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

12.00 – 13.00

Ishoma

 

13.00 – 14.30

Data Based Konsultan Kesehatan di Indonesia melalui www.konkes.org 

Perencanaan lebih lanjut untuk pengembangan konsultan melalui program jarak jauh 

 

dr. Bambang Hartono, SKM, M.Sc

 

 

 

 

 

 

 

 

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

 

 

 

  Peserta

  1. Konsultan Pusat-pusat di FK UGM dan luar daerah
  2. Dosen IKM dan S2 IKM
  3. Dosen Kedokteran Tropis
  4. Manajer PKMK FK UGM
  5. Bapelkes Yogyakarta dan Jawa Tengah
  6. Dosen IKM dan FKM di Universitas se Jawa tengah

Kegiatan ini diselenggarakan secara tatap muka dan live-streaming melalui www.kebijakankesehatanindonesia.net  Kegiatan dilakukan dengan cara jarak-jauh. Ujian dilakukan secara jarak-jauh dan tatap muka. Mengikuti kegiatan ini gratis, namun apabila ingin diuji akan ada pembayaran.

 

Keterangan lebih lanjut dan pendaftaran :

Hendriana Anggi
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Gedung IKM Sayap Utara Lt. 2, Fakultas Kedokteran UGM
Jl. Farmako, Sekip Utara, Yogyakarta 55281
Ph. /Fax : +62274-549425 (hunting) / +6281227938882
Email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. / This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Website : www.kebijakankesehatanindonesia.net 

 

winter school day 1

Pembukaan Winter School 2013:
Social Determinants of Health Developing Countries Perspective

winterd1Pembukaan Winter School 2013 pada Selasa (17/9/2013) di Ruang Senat FK UGM

Pembukaan Winter School 2013 dilakukan hari ini (17/9/2013) di Ruang Senat FK UGM. Winter school dibuka oleh empat orang yang terkait dengan kursus ini, yaitu Prof. Laksono sebagai Advisor, B. J Istiti Kandarina sebagai Director, Prof. Adi Utarini sebagai perwakilan Dekan FK UGM dan Stefanie Rohrs sebagai perwakilan dari Institute of Tropical Medicine and International Health, Charite-Universitatsmedizin Berlin.

Pembukaan ini dihadiri sekitar 20 peserta aktif yang tertarik dengan isu SDH dan Post Agenda MDGs 2015. Mereka berasal dari China, Bangladesh, Indonesia, Jerman dan negara lain. Winter school akan berlangsung selama 10 hari dengan kelas kecil yang akan diisi dosen dari Indonesia dan Jerman. Acara ini berlangsung atas kerjasama S2 IKM FK UGM, DAAD dan Institute of Tropical Medicine and International Health, Charite-Universitatsmedizin Berlin. Kursus ini dimulai tahun 2009 lalu, saat itu tema yang diambil yaitu health insurance.

Dari pertemuan ini, panitia berharap akan ada kesepakatan dan pemahaman yang sama tentang Social Determinants of Health untuk diaplikasikan dalam upaya mengurangi kesenjangan sosial. Selain itu, kursus ini diharapkan dapat mengungkap apa saja yang bisa dilakukan untuk mengurangi kesenjangan pelayanan kesehatan yang saat ini terjadi serta menyelaraskan program SDH dengan MDGs 2015 yang akan berakhir pada 2015.

winterd1-1Prof Charles Suryadi menyampaikan materi seputar SDH dan Post MDGs Agenda 2015

Module 1: Social Determinants of Health and post 2013 agenda

Modul pertama disampaikan oleh Prof. Charles Surjadi dan dimoderatori oleh Mubasyir Hasanbasri. Faktor individual, komunitas, meso, global, faktor ini mempengaruhi suatu keadaan. Untuk mewujudkan SDH yang baik, maka dibutuhkan aksi global. Aksi global membutuhkan: pertama, meningkatkan kondisi hidup sehari-hari. Hal ini bisa dilakukan mulai dari pertumbuhan anak yang baru lahir. Kedua, mengatur kesenjangan dalam uang, sumber daya dan kekuatan. Proses ini bisa dilakukan di tingkat lokal, nasional dan global. Ketiga, mengukur dan memahami masalah dan pengaruh dari aksi. Kesenjangan kesehatan dapat diatasi dengan investasi pada training pembuat kebijakan dan praktisi kesehatan. Lalu diikuti kesepahaman publik pada Social determinants of health. Hal ini juga membutuhkan fokus yang kuat di riset kesehatan publik.

Konferensi Rio Oktober 2011 memberikan rekomendasi 53 kebijakan dan 16 poin yang dideklarasikan. Salah satunya kesehatan harus masuk dalam seluruh kebijakan atau Health in All Policies (HiAP). Pendekatan HiAP dilakukan secara horisontal, kebijakan yang melengkapi dan terkait strategi dengan potensial tinggi untuk berkontribusi pada kesehatan populasi. Inti dari HiAP yaitu menguji faktor yang terkait kesehatan, dimana dapat berpengaruh pada peningkatan kesehatan namun masih terkontrol oleh kebijakan dari banyak sektor di luar kesehatan. Universitas harus menjembatani komunikasi SDH-kebijakan dengah pemerintah dan media.

Inequity yang terjadi dalam kesehatan, bukan karena natural namun karena konstruksi masyarakat atau dibentuk. Akar penyakit yang harus diselesaikan bukan lagi hanya di permukaan lagi. SDH yang diterapkan di masing-masing negara harus selaras dengan MDGs 5, sehingga seluruh negara mampu maju secara bersamaan. MDGs sesuai dengan konsep yang diterapkan, sesuai dengan framework dengan SDH. Fokusnya pada kondisi di lapangan untuk pembangunan dan kebijakan atau bisa disebut strenghtening health system. SDH digunakan untuk berfokus pada bagaimana menggunakan frameworks SDH untuk menjalankan program (promote reframe health development). Program kesehatan tergantung perilaku individu. Kebijakan seperti apa yang membentuk masyarakat? Apa yang memicu ketidakadilan? Hal ini bisa dijawab dengan pergi ke lapangan dan Anda akan tahu apa saja masalah kesehatan yang terjadi. Selengkapnya tentang paper Prof. Charles, silahkan 

Kemudian, Mubasysyir Hasanbasri memaparkan concept and case of SDH .Di bagian hulu terdapat aspek kebijakan dan pada hilir terdapat aspek kuratif. Hal yang perlu diperjuangkan kali ini adalah mengubah aspek hilir ke hulu. Bagaimana akademis bisa mempengaruhi kebijakan dalam kesehatan? Selain itu, aspek kuratif dan preventif yang dilakukan dokter masuk dalam aspek hilir. Seluruh aspek yang dilakukan perilaku individu masuk dalam hilir. Misalnya : perilaku mencuci tangan yang dilakukan di SD. Kemudian, hulu atau apa saja yang dilakukan pemerintah itu misalnya pemerintah menyediakan tempat khusus untuk mencuci tangan. Hal yang perlu kita cermati dan lakukan adalah aware of why people do downstream and upstream.

Kemudian, faktor lain yang mempengaruhi kesehatan dalam masyarakat adalah faith. Faith is stop asking question. Banyak dari faktor kepercayaan yang membentuk masyarakat bahwa suatu hal tak bisa diubah. Kebijakan pemerintah India misalnya, dengan memberi subsidi makanan untuk komunitas. Hal ini berlaku untuk yang miskin. Hal yang perlu dilakukan adalah mengubah kebijakan tersebut untuk semua warga negara. SDH mengarah pada faktor-faktor yang menentukan kesehatan dan sosial. Policy maker cant frame what is social determinants. They need the logic of the social determinant. Policy maker need an explanation of SDH. Improving health to raise the community. Coalition the strategy to influence the policies. Scientist sebagai aktor dalam SDH, esensi jika ada pertemuan scientist dalam SDH yaitu diskusi untuk melihat SDH. Focus on our actions: no policies but action is more important. Poin yang harus disadari ialah penyakit itu bukan dari individu namun masyarakatnya (perilakunya).

winterd1-2Stefanie Rohr saat menerangkan Gender and Health

Modul ketiga disampaikan Stefanie Rohr, dengan judul "How do social determinants influence health". Faktor yang mempengaruhi kesehatan diantaranya: lingkungan, pendidikan, tempat, pendidikan dan lain-lain. Pendidikan yang penting untuk ditanamkan mencakup kematian, kematian anak, depresi, kesehatan jiwa dan lain-lain. Bukti nyata jika pendidikan memberikan pengaruh positif pada tidak merokok, aktivitas fisik, menggunakan perawatan preventif, sudah menggunakan perawatan spesialis, manajemen yang baik untuk penyakit kronis. Hubungan antara pendidikan orang tua dan kematian anak menunjukkan hal seperti berikut: terdapat lima penyebab umum di negara miskin dan berkembang yaitu pneumonia, diare, malaria, kondisi saat lahir dan campak. Sementara, dampak urbanisasi pada kesehatan meliputi: kekerasan dan kejahatan, perumahan, bencana alam, traffic dan transisi nutrisi. Interaksi antara faktor sosial yaitu antara: ketidakadilan sosial dan kesehatan. Social determinants (SDH) ini berpengaruh besar pada health outcomes. Simak paparan lengkapnya melalui link berikut 

Modul selanjutnya dipaparkan oleh Stefanie Rohr lagi. Kali ini ia menyampaikan tema Gender and health. Hubungan antara gender dan kesehatan ternyata sangat erat. Tahun 1995 di Amerika, terjadi 1,5 kali lipat resiko terkena kanker kulit pada laki-laki karena mereka tidak menjaga kulitnya dari sinar matahari. Hal-hal yang dilakukan perempuan, seperti memakai sunblock jika keluar rumah, memakai baju panjang dan topi dianggap tidak maskulin oleh laki-laki. Mereka ingin tampil natural atau cenderung cuek pada penampilan dan kesehatannya.

Masyarakat dunia masih patriarki, jadi masih terjadi ketidakseimbangan. Misalnya masyarakat China yang masih senang jika anaknya lahir laki-laki, bukan perempuan. Laki-laki dan perempuan sangat dominan berperan dalam menentukan feminim atau maskulinnya suatu perilaku. Gender adalah konsep konstruksi sosial dan budaya yang berlaku di masyarakat. Masyarakat aktif dalam konstruksi gender tergantung perilakunya. Perilaku berdasar gender memiliki implikasi yang kuat dalam kesehatan. Silahkan simak paparan Stefanie melalui 

Rencana tindak lanjut POKJA KIA

Kelompok KIA:
Workshop Penyusunan Rencana Tindak Lanjut POKJA KIA 

32c3

Selama 4 hari pelaksanaan Forum Nasional IV Jaringan kebijakan Kesehatan Indonesia dan Konas IAKMI yang tahun ini dilaksanakan di Kupang, dibahas berbagai Program besar salah satunya Program KIA yang sedang berjalan di indonesia. Khusus Untuk POKJA KIA telah di bahas tiga konsep besar di mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan Policy Brief . Untuk Perencanaan telah di petakan adanya MAF di tingkat provinsi yang digunakan di Jawa tengah dan Perencanaan Berbasis bukti dan Penetapan Prioritas Program KIA dengan Analityc Herarcy Proses (AHP) di Sulbar, sedangkan untuk Pelaksanaan telah dipetakan juga 1) Revolusi KIA, 2) Program SH , 3) Program Expending maternal dan neonatal survival (Emas di prov jawa tengah), 4) Penelitian "Health seeking behavior di provinsi NTT dan Jawa Timur, 5) Penggunaan surveilans respons dan jumlah kematian absolut di provinsi DIY. Selanjutnya sudah disusun beberapa Policy Brief diantaranya Analisis kebijakan: Tentang penggunaan data kematian dan terjadinya stagnasi program di berbagai daerah, 2) Strategi penurunan jumlah kematian bayi dengan revitalisasi AMP, 3) Manual rujukan KIA, 4) surveilans respon, 5) Menyoroti gerakan revolusi KIA di NTT, 5) Determinasi kunjungan ANC di daerah Kumuh/perkotaan, 6) Evalusasi Kebijakan Jampersal di DIY.

Pada sesi ini yang bertindak selaku moderator adalah dr. Hanevi Djasri, MARS. Sesi ini cukup diminati oleh peserta. Pada sesi diskusi ada banyak usulan yang diberikan oleh peserta yang hadir diantaranya: 1). Perluasan informasi mengenai inovasi KIA, 2). Perbaikan tampilan/kemasan policy brief , 3) Memetakan dukungan politis dari sisi parlemen, 4). Distribusi policy brief ke dinkes, parlemen, 4). Intervensi dalam mutu pelayanan klinis (Clinical care) misalnya: Mutu ANC tidak hanya memantau cakupan K1 dan K4, Standarisasi pelaksana manual rujukan (pelaksana harus distandarisasi pelaksana-pelaksana ini , misalnya bidan faktanya bidan tidak mampu untuk memberikan pertolongan), Adanya komitment yang kuat dari pelaksana (dr. yang masih on call), 5). Menyusun modul program KIA sesusai dengan kondisi lokal (Misalnya modul MTBS 1-12) disederhanakan untuk provinsi papua) POA di level provinsi (bisa ambil pengalaman dari penyusunan manual rujukan KIA, 6) Keterlibatan tokoh adat dan pemuka agama, 7) Strategi implementasi yang lebih baik berdasarkan peraturan yang sudah ada: contoh Bimtek Monev KIA untuk melihat komitment Dinkes dan RS (Tim AMP) , 8) Menyusun strategi replikasi yang berlaku secara umum, 9). Pelatihan advokasi di level struktural dan kultural, 10) Menyebarluaskan manual rujukan yang sudah ada, 11) Progres berbagai inovasi yang dipaparkan tahun 2013, 12) Analisa berbagai kebijakan terkait KIA, 13) Keterkaitan antara aspek ilmiah dengan implementasi lapangan (Desain ilmiah dengan desain project), 14) Tanggapan atau analisis dari organisasi profesional :POGI, IDAI, Feto, Hogsi, Perinasia, JNPK , P2KB, dsb keterkaitan antara aspek klinisi –manajerial –regulasi, 15) Meningkatkan penerimaan konsep surveilans respon, 16) RS PONEK harus: AMP, dashbord, rujukan balik, 17) Policy brief harus evidence based jangan hanya experience based, 18) Menyusun topok-topik yang dapat diteliti oleh mahasiswa S2 sesuai dengan POA Pokja KIA

Ditulis oleh Armiatin

Reportase sesi 3.4C

Sesi 3. 4c

Makalah Bebas Kelompok KIA dan Penyakit Tidak Menular

Makalah bebas kelompok KIA dan penyakit tidak menular di laksanakan di ruang Pearl Hotel On The Rock Kupang. Pada sesi ini ada 6 pembicara yang mempresentasikan hasil penelitian yang dilakukan di berbagai daerah di indonesia. Presentasi pertama oleh Qomariah Alwi, dalam penelitiannya Qomariah Menyoroti tentang gerakan Revolusi KIA dalam meningkatkan Linakes di Faskes, pemberian ASI Ekslusif dan penimbangan Balita di Kab. Kupang NTT. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi implementasi kebijakan revolusi KIA dan PPKIA dalam meningkatkan kesehatan ibu dan anak, khususnya persalinan Nakes di fasilitas kesehatan, pemberian asi ekslusif dan penimbangan. Qomariah menjelaskan bahwa ada banyak dampak positif yang dirasakan dengan adanya revolusi KIA ini, salah satunya adanya kebijakan lokal pemerintah untuk menerbitkan Perbub Revolusi KIA dan Perbub tentang percepatan pelayanan KIA, dengan adanya Perbub ini semakin meningkatkan Linakes dan Lin-Faskes, terjalin mitra bidan dukun-dukun dan kader diatur dengan reward dan punishment, Kades membuat Perdes persalinan Toma Toga berperan serta dalam persalinan dan kegiatan posyandu, ada MOU antara Puskesmas dengan pihak kecamatan/Satpol PP untuk penyelamatan bayi, tidak hanya itu Linakes di faskes meningkat cukup drastis, meskipun banyak manfaat yang dirasakan namun ada juga kekurangan-kekurangannya dalam pelaksanaannya, diantaranya kebijakan revolusi KIA tidak didukung dengan sarana prasarana SDM, biaya dan tidak adanya monitoring dari Provinsi. Gerakan ini masih berfokus ke kekesehatan ibu, belum serius ke masalah gizi balita.

Presentasi selanjutnya disampaikan oleh Tumiji dari Balitbangkes Surabaya, dengan judul Determinasi kunjungan antenatal care di daerah kumuh perkotaan di indonesia, dalam presentasinya Tumiji menyampaikan bahwa ditemukan hanya 60% ibu hamil yang menerima lengkap komponen antenatal care dan puskesmas memberikan pelayanan yang lebih baik. Wanita yang melakukan antenatal care di sektor swasta memiliki resiko lebih tinggi untuk menerima kecukupan anc yang rendah, meski kualitas teknis layanan antenatal care lebih rendah dibanding dipuskesmas/polindes, namun fasilitas kesehatan justru mendapat kunjungan antenatal care yang lebih tinggi. banyak alasan masyarakat memilih sektor swasta namun layanan yang diberikan sering tidak memadai dan tidak sesuai dengan pedoman pemerintah, sektor swasta dinilai lemah dalam peraturan dan kontrol meskipun ada, seringkali kurang efektif karena rendahnya pengawasan publi dan lemahnya penegakan hukum.

Selanjutnya Presentasi ketiga disampaikan oleh Ummul Khair dari Bapelkes Dinkes DIY. Penelitiannya menyoroti tentang Evaluasi Kebijakan jaminan persalinan di Provinsi DIY. berbagai upaya telah dilakukan pemerintah agar AKI dan AKB menurun, salah satunya adanya kebijkan Jampersal, namun menurutnya perlu dilakukan evaluasi kebijakan Jampersal ini. Penelitiannya dilakukan di 5 Kab/Kota dengan subyek penelitian Dinas Kesehatan dan pemberi layanan dan pengumpulan datanya dengan indepth interview. Hasil penelitiannya ditemukan SDM belum memenuhi secara kuantitas dan kualitas, masih ada RSUD yang belum memiliki dokter obsgyn, keterbatasan tenaga bidan di puskesmas dan masih kurangnya jumlah MOU dengan bidan. Untuk nominal jasa yang diberikan tidak sepadan dengan nilai jasanya, paketan jampersal yang belum akomodatif dan kadang-kadang menimbulkan image negatif, pemgembalian atau pencairan dana memakan waktu lama. Fasilitas dan peralatan di puskesmas belum kondusif dan kelengkapan peralatan di RS rujukan tidak semua puskesmas Poned memadai. Kebijakan yang ada tidak sinkron

Selanjutnya Presentasi keempat disampaikan oleh Triastuti Sugiatmi dari Dinkes Provinsi Tarakan dengan judul Evaluasi Kebijakan PPD test dalam kasus TB anak di dinkes kota tarakan. Hasil Penelitiannya menunjukkan PPD test diadakan dengan dana APBD pada tahun 2010 dan dimanfaatkan pada tahun Januari 2011- Oktober 2012, Logistik pendukung TB anak untuk kasus lanjutan khususnya yang didiagnosa positif TB anak (INH profilaksis) belum terjaga sustainabilitasnya—penatalaksanaan belum sesuai standar walaupun sudah dilakukan penegakan diagnosa yang lebih baik. Pelatihan ataupun on the job training TB anak belum ada program yang terpusat. Baru dilaksanakan di kota Tarakan Juni 2013. Tidak seluruh puskesmas yang menyelenggarakan tes PPD –mempunyai SOP. (3 dari 7 puskesmas ), TB Anak memang program yang masih sering diabaikan baik dalam tataran nasional maupun lokal. Upaya pengadaan PPD test dengan dana dari APBD II untuk meningkatkan cakupan program TB anak patut dihargai walaupun banyak kekurangan dalam tataran implementasi . Hasil mantoux test yang bisa memberikan hasil yang positif palsu maupun negatif palsu menggambarkan masih sulitnya penegakan diagnosis TB anak kasus khusus di layanan primer walaupun sudah memanfaatkan mantoux test.

Berikutnya Yusni Zainal berasal dari Dinkes Kab. Sinjai dengan judul Kelemahan dalam pelaksanaan pemantauan wilayah setempat kesehatan ibu dan anak. Menurutnya penting dilakukan pemantauan, karena semua pelaksanaan kegiatan memiliki potensi kegagalan, dan monitoring merupakan cara untuk menemukan kegagalan. Monitoring berguna untuk memperbaiki komponen kegagalan program. Temuan dalam penelitiannya adalah PWS KIA berorientasi pada peningkatan capaian, kurang dalam menemukan kasus-kasus yang justru perlu ditindaklanjuti, kasus-kasus yang harus di tindaklanjuti cepat justru tidak masuk dalam prioritas pencatata. Diharapkan kedepannya point tindak lanjut dari masalah situasi setempat harus menjadi tekanan dalam pelaporan pemantauan, sistem teknologi informasi bisa membantu akses oleh semua pihak dan diharapkan Dinkes mengontrak manajer untuk tindak lanjut masalah KIA. Pembicara Rini Anggraeni dari FKM Unhas menutup sesi dengan mempresentasikan hasil penelitiannya yang berjudul Faktor resiko penyakit tidak menular (Hipertensi dan DM) di Kab. Tana toraja tahun 2011. Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit tidak menular dengan angka kematian yang semakin meningkat. Sedangkan hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan penyebeb meningkatnya resiko penyakit stroke, jantung dan ginjal. Tanah toraja merupakan salah satu kabupaten di sulawesi selatan yang masyarakatnya diduga memiliki resiko yang tinggu akan DM dan hipertensi. Pengamatan terhadap kebiasaan masyarakat/budaya menunjukkan bahwa tingkat konsumsi lemakcukup tinggi serta cenderung memiliki pola hidup yang tidak sehat seperti kebiasaan mengkonsumsi alkohol. Kebiasaan ini dapat memicu konsumsi lemak yang tinggu dan memungkinkan terjadinya obesitas hiperlipidemia/hiperkolesterolemia dan hipertensi.

Ditulis oleh Armiatin

Reportase sesi Sesi 3. 2C

Sesi 3. 2c.

Pengembangan Inisiatif Millenium Acceleration Framework
di Provinsi Jawa Tengah

Pembicara I: Dr. Arum Atmawikarta, MPH
(Sekretaris Eksekutif MDG's Nasional BAPPENAS

32c2

Provinsi Jawa Tengah telah mengembangkan Inisiatif Millenium Acceleration Framework (MAF). MAF adalah kerangka metodologis yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah dan stakeholders berupa pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi dan memprioritaskan bottleneck dalam upaya mencapai target MDGs dengan kategori off-track sekaligus solusinya. Tujuannya untuk Memberikan kontribusi untuk mengejar ketertinggalan pencapaian target MDGs dengan langsung menangani 'intervensi' utama secara efektif. Ada 4 langkah MAF yaitu: 1) Penentuan prioritas untuk melakukan intervensi secara spesifik, 2) Mengidentifikasi dan menyusun prioritas untuk mengatasi bottleneck secara efektif, 3) Menetukan solusi bersama multistakeholders dalam mengatasi bottlenecck, 4) Perencanaan dan pemantauan implementasi dari solusi yang ditentukan.

Metode MAF telah diimplementasikan di 15 negara di 3 benua. Di Indonesia penerapan pertama metode MAF dilaksanakan di Provinsi Jawa Tengah dengan pertimbangan daerah tersebut memiliki komitmen yang tinggi dan akan berdampak terhadap sasaran nasional. Dalam proses penyusunan MAF memerlukan kerja sama yang kuat antara berbagai stakeholders yang berasal dari Pemerintah, universitas, organisasi profesi, lembaga kemasyarakatan, media, mitra kerja internasional, swasta.

Tahapan penerapan MAF di Provinsi Jawa Tengah: 1) Penjajakan baik dipusat maupun didaerah untuk menyamakan persepsi tentang area MAF yang akan digarap (Komunikasi dengan kementrian kesehatan, komunikasi dengan Kementrian PPN/Bappenas, komunikasi dengan UN, 2) Pemilihan kandidat lokasi (komitmen Pemda tinggi dan akan berdampak terhadap sasaran secara nasional), 3) permintaan resmi dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah kepada UN, 4) mulai melakukan persiapan (Rapat koordinasi, menyusun agenda kerja, merekrut konsultan, menyusun TOR untuk pelaksanaan MAF, 5) berkunjung ke Provinsi Jawa Tengah (bertemu dengan Bappeda dan stakeholder lain menyampaikan gagasan MAF dan menyampaikan persepsi, stakeholder: Pemerintah, perguruan tinggi, Organisasi Profesi, Lembaga Swadaya Masyarakat.

Proses penyusunan MAF di Jawa Tengah dapat digunakan sebagai lesson learned untuk mempercepat pencapaian sasaran MDGs 5 atau MDGs kategori off track lainnya dengan berbagai penyesuaian sesuai dengan kondisi daerah.

Pengalaman Dinas Kesehatan Provinsi Papua dalam mendukung implementasi perencanaan berbasis bukti Sektor KIA di 7 Kabupaten di Provinsi Papua


 

Pembicara II: drg.Agnes Ang

32c1

Pada sesi ini dr. Agnes Ang selaku Kabid Bina Program dan Pengembangan Kesehatan Wilayah Dinkes Provinsi Papua berbagi pengalaman tentang Perencanaan Berbasis Bukti yang berlangsung di 7 Kabupaten di Papua. Perencanaan Berbasis Bukti (PBB) adalah inisiatif yang bertujuan untuk membuat perencanaan di level kabupaten/kota menjadi lebih sistematis dan menggunakan data kesehatan yang spesifik untuk daerah. Perencanaan Berbasis Bukti juga menggunakan bottleneck analysis framework dan mengedepankan penggunaan 66 intervensi yang berbasis bukti, atau yang telah terbukti efektif menurunkan angka kematian ibu dan anak. Melibatkan 3 kelompok yaitu masyarakat, keluarga hingga klinisi, selain itu dapat dijadikan sebagai bahan advokasi untuk pembiayaan dan bisa menggunakan strategi-strategi prioritas bagi daerah.

Tingginya AKI dan AKB di indonesia dan adanya kesempatan yang diberikan dalam era desentralisasi keleluasaan untuk merencanakan sesuai dengan kebutuhan daerah. mendorong Provinsi Papua untuk melakukan perencanaan dan penganggaran yang lebih tepat didaerah (bottom up) yang dipadu dengan top down. Namun ada berbagai tantangan Provinsi Papua dengan dengan luas Wilayah 316.553,1 dan jumlah penduduk 2.833.381 jiwa. Hampir separuh dari total penduduk papua berdomisili di wilayah pegunungan dan 60% penduduk Papua berdomisili daerah yang bertopografi sulit. Ada berbagai tantangan yang dihadapi seperti perencanaan yang tidak sistematis, kapasitas lokal yang terbatas, tidak digunakannya data lokal dalam perencanaan, SDM terbatas terutama untuk daerah pemekaran, apalagi di daerah yang terlibat konflik. Hampir separuh dari total penduduk papua berdomisili di wilayah pegunungan dan 60% penduduk Papua berdomisili daerah yang bertopografi sulit. Papua Kendalanya biaya tinggi, transportasi sulit bahkan ahanya ada 3 Provinsi yang bisa dilalui jalur darat, biaya transportasi tinggi

PBB di Papua telah berlangsung di 7 kabupaten dan telah menunjukkan adanya peningkatan anggaran untuk kesehatan ibu dan anak. Perencanaan berbasis bukti memiliki nilai tambah bagi Provinsi Papua 1) PBB menegaskan perlunya Intervensi efektif menjadi pedoman dalam program mengurangi kematian ibu dan anak, 2) PBB dapat memberikan gambaran kuantitatif untuk intervensi efektif dan bottlenecknya. Sebagian data dapat dipergunakan sebagai alat monitoring untuk UPK4, 3) PBB dapat memberikan gambaran besaran anggaran untuk meningkatkan intervensi efektif, 4) PBB dapat dipergunakan untuk memperbaiki alokasi sumber daya : mana yang prioritas untuk investasi. Kedepannya di diharapkan perencanaan dan penganggaran kesehatan di Kab/Kota dapat menggunakan pendekatan yang sistematis, PBB dikembangkan secara open-system dalam proses perencanaan dan penganggaran di daerah, Perencanaan menggunakan PBB hanya dapat berjalan apabila ada pendamping (tim fasilitator). Selain itu perlu mengembangkan sejumlah fasilitator/ technical assistance (TA), melembagakan kegiatan fasilitator dengan dana yang tersedia setiap tahun (misal dengan dana dekonsentrasi), dana ini akan komplemen dengan anggaran Perencanaan Mikro PKM dari BOK.

Ditulis oleh: Armiatin

Reportase sesi 3.1 Aids

Sesi 3

Konteks Kebijakan AIDS:
Epidemiologi dan Perilaku Beresiko

 

Pengantar

Kelompok AIDS secara aktif berdiskusi pada Jumat, 6 September 2013 pukul 08.00-10.00 WIB di Ruang Ruby, Hotel On The Rock, Kupang. Epidemiologi dan Perilaku Beresiko dalam konteks Kebijakan AIDS merupakan tema pertama yang diutarakan dalam pembahasan pada sesi pertama Kelompok AIDS pada Forum Nasional Kebijakan Kesehatan Indonesia IV yang diselenggarakan di Kupang pada 4-7 September 2013. Pembicara yang terlibat dalam sesi ini berasal dari berbagai pihak, baik itu lembaga pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat lokal, maupun pihak LSM dan donor asing yang terkait dengan Kebijakan dan Program HIV AIDS di Indonesia. Sesi Kelompok AIDS kali ini dimoderatori oleh Iko Safika, M.PH, PhD.

31aDr. Siti Nadia Wiweko memberikan presentasi mengenai TSBP

Mengapa Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku perlu dilakukan di Indonesia

Narasumber pertama berasal dari Kementrian Kesehatan yaitu Dr. Siti Nadia Wiweko (Kasubdit AIDS P2PL). Nadia menyampaikan paparan terkait Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku. Pada sesi hari ketiga kelompok AIDS, Nadia memaparkan bahwa secara umum Indonesia adalah negara dengan epidemi HIV/AIDS rendah, tetapi terkonsentrasi pada sub populasi berisiko. Terkait dengan hal ini pemerintah merasa perlu melakukan kegiatan pemantauan regular terhadap epidemi yang terjadi. Sejak tahun 1998 hingga 2011, sudah dilakukan beberapa survei integrasi antara HIV dan IMS serta survei perilaku atau yang sering disebut dengan Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP). STBP sendiri sudah dilakukan pada 2007, 2009, dan 2011. STBP 2011 dilakukan di 11 provinsi yaitu Provinsi Sumatra Utara, Kepulauan Riau, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Papua. Provinsi tersebut sama dengan STBP 2007, kecuali Lampung dan Maluku.

Apa Tujuan Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku ?

  1. Mengetahui prevalensi Gonore, Klamidia, Sifilis, dan HIV serta menganalisa populasi paling berisiko dan menganalisa kecenderungannya.
  2. Mengetahui tingkat pengetahuan tentang penularan dan pencegahan HIV pada populasi paling berisko dan populasi rawan (remaja) dan menganalisa kecenderungannya.
  3. Mengetahui tingkat perilaku berisiko tertular atau menularkan HIV diantara populasi paling berisiko dan menganalisa kecenderungannya.
  4. Mengetahui cakupan internvensi pengendalian HIV dan IMS serta dampaknya pada kelompok populasi paling berisiko dan populasi rawan.

Siapa saja responden STBP

Kemudian, narasumber juga menjelaskan bahwa responden STBP adalah populasi usia >15 tahun berisiko tinggi tertular HIV dan populasi rawan tertular HIV (remaja), yang terdiri dari Wanita Pekerja Seks Langsung (WPSL), Wanita Penjaja Seks Tidak Langsung (WPSTL), Pria berisiko tinggi (Pria risti), Pengguna Napza Suntik (Penasun), Wanita-Pria (Waria), Lelaki suka Seks dengan Lelaki (LSL), Narapidana, dan murid kelas 11 9SMA) untuk mewakili populasi remaja, kelompok lelaki supir truk, tukang ojek, pelaut dan Tukang Bongkar Muat (TKBM). Populasi STBP 2011 sama dengan STBP sebelumnya, kecuali narapidana baru dimasukkan pada STBP 2011. Total responden adalah 25.150 dengan pembagian WPS 7304, Pria Risti 4899 (Pelaut, TKBM, Supir truk, Tukang ojek), Waria 1089, LSL 1250, Penasun 1420, WBP 2000, dan Remaja (pelajar SLTA) 7022.

Penutup

Kesimpulan dari hasil survei pada seluruh kelompok sasaran adalahdibanding STBP 2007, pola prevalensi HIV antar kelompok sasaran cenderung tetap, sedangkan prevalensi Infeksi Menular Seksual (IMS) mengalami perubahan. Pada pola perilaku tidak terjadi peningkatan perilaku penggunaan kondom secara konsisten pada seks berisiko.Sedangkan pada sisipengetahuan komprehensif tentang HIV-AIDS pada seluruh kelompok sasaran mengalami penurunan (Pengetahuan komprehensif mengukur tingkat pengetahuan pencegahan dan penularan HIV-AIDS tentang lima hal berikut: (1) tidak dapat mengetahui ODHA hanya dengan melihat; (2) setia terhadap pasangan dapat mencegah penularan HIV; (3) penggunaan kondom dengan benar dapat mencegah penularan HIV; (4) penggunaan alat makan bersama dengan ODHA tidak dapat menularkan HIV; (5) gigitan nyamuk/serangga tidak dapat menularkan HIV.)Untuk selanjutnyapada penggunaan napza suntik pada kelompok sasaran selain penasun cenderung tetap.Sedangkanperilaku berbagi jarum pada penasun cenderung turun.

Tujuan Survei Cepat Perilaku (SCP)

Pada sesi kedua pemaparan Kelompok AIDS pada 6 September 2013, Halik Sidik (Asisten Deputi Penguatan Kelembagaan-Komisi Penanggulangan AIDS Nasional/KPAN) memaparkan hasil survei dari Komisi Penanggulangan AIDS Nasional mengenai Survei Cepat Perilaku Penasun (Pengguna napza suntik) dan Wanita Pekerja Seksual (WPS) Tahun 2010, 2011, dan 2013. SCP Penasun WPS dilaksanakan dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran akses terhadap program dan pola perilaku berisiko Penasun di 9 kota serta WPS di 12 kabupaten/kota dengan jumlah WPS terbanyak. Tujuan khusus SCP WPS adalah untuk mengetahui karakteristik WPS, untuk mengetahui akses WPS terhadap program dan perilaku penggunaan kondom dengan menggunakan rancangan survei kuantitatif berbasis komunitas dimana hasil survei dapat digeneralisir pada populasi penasun di lokasi SCP.

31bIr. Halik Sidik sedang memaparkan hasil SCP pada Sesi Kelompok AIDS

Di mana saja lokasi SCP Penasun dan WPS dilakukan?

SCP Penasun dilakukan di Medan, DKI Jakarta, Tangerang, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Makassar. Sedangkan SCP WPS dilakukan di Jakarta barat, Semarang, Malang, Banyuwangi, Denpasar, Indramayu, Bintan, Palembang, Makassar, Jayapura, Sorong dan Simalungun.

Kesimpulan hasil SCP

Upaya mengubah perilaku pada Penasun relatif berhasil sementara pada Pembeli Seks belum berhasil dengan melihat rendahnya kesadaran akan pemakaian kondom pada saat berhubungan dengan WPS. Kemudian, dari hasil pemaparan kesimpulan SCP muncul pertanyaan terkait dengan kebijakan bahwa: Apakah rendahnya perubahan perilaku pada pembeli seks disebabkan karena skala intervensi yang masih rendah atau karena metodologi intervensinya, atau karena keduanya? Sumber daya dan manajemen bisa jadi menjadi solusi dan pendekatan untuk mengatasi masalah secara skala dan gabungan keduanya. Namun apabila masalahnya terletak pada Metodologi intervensinya, pemerintah masih memiliki tugas untuk mencari pendekatan dan solusi yang paling sesuai dengan kondisi perkembangan persebaran HIV/AIDS di Indonesia saat ini.


Narasumber 3:

Silvy Devina – HCPI (HIV Cooperation Program Indonesia)
Survey Terpadu Biologi dan Perilaku di Lapas (Integrated Biological and Behavioral Surveilance) (IBBS)

HIV Cooperation Program Indonesia (HCPI) adalah sebuah proyek di bawah naungan Burnet Institute Australia yang memiliki program membantu Indonesia dalam merencanakan, membangun, dan mengiplementasikan penanganan yang efektif dan berkelanjutan terhadap HIV.

31cSilvy Devina sedang memaparkan hasil IBBS di Lapas pada Sesi Kelompok AIDS

Latar Belakang Peneltiian diadakannya STBP terhadap WBP

Ibu Silvy Devina memulai pemaparannya pada pertemuan sesi Kelompok HIV dengan menjelaskan bahwa latar belakang diadakannya penelitian Prevalensi HIV dan SIfilis (2010) dan HIV dan HCV (2012) dan Perilaku Berisiko karena prevalensi HIV pada WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan) lebih tinggi daripada komunitas umum. (Dolan J. et al 2007) dan menurut estimasi dari sekitar 140.000 WBP di Indoensia, 5000 sudah terinfeksi HIV (3,6%) (kemenkes, 2009). Melihat angka yang cukup signifikan tersebut, HCPI membuat sebuah studi pada tahun 2010 dan 2012.

Tujuan Studi 2010 dan 2012 adalah untuk:

  1. Mengetahui prevalensi HIV dan Sifilis (2010) dan HIV dan HCV (2012)
  2. Mengidentifikasi perilaku berisiko penularan HIV dan HCV: Penggunaan jarum suntik untuk menyuntikkan napza, praktek tato, tindik, pemasangan aksesoris kelamin.
  3. Menilai pengetahuan WBP tentang penularan dan pencegahan HIV dan HCV.

Kesimpulan dan Rekomendasi Studi 2010 dan 2012

Seperti dijelaskan oleh Ibu Devina, Prevalensi HIV pada WBP di Lapas Narkotika lebih tinggi dibandingkan di Lapas Umum (6,5% berbanding 1,1%). Prevalensi HIV lebih tinggi pada WBP perempuan (2010) dan Perilaku berisiko pada WBP laki-laki: penasun, tato, tindik, dan aksesoris kelamin.

Sebagai penutup HCPI meberikan rekomendasi dari hasil studi yang mengacu pada penemuan hasil akhir penelitian dengan mengingat pentingnya upaya pencegahan, perawatan dan dukungan terhadap populasi kunci dalam hal ini WBP.

  1. Membangun kerjasama, jejaring, sistem rujukan layanan deteksi dini dengan penyedia layanan kesehatan HIV/AIDS.
  2. Menyediakan pemutih, kondom, jarum suntik steril dan menginkatkan layanan methadone dan rehabilitasi/ detoksifikasi di Lapas.
  3. Kajian terhadap program KIE
  4. Pelatihan program HIV/AIDS untuk petugas Lapas/Rutan
  5. Pendekatan alternative penahanan penasun, pengurangan masa hukuman, dan de-kriminalisasi pengguna Napza.
  6. Program deteksi dini, pemeriksaan dan pengobatan IMS khusus WBP perempuan.

Narasumber 4:

Ibu Retno Mardiyati – Yayasan Spiritia
Faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum ARV pada ODHA di Indonesia

Yayasan Spiritia adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang didirikan pada 1995 sebagai kelompok dukungan sebaya oleh dan untuk orang yang terinfeksi HIV (Odha) dan terpengaruh oleh HIV (Ohidha).

Topik bahasan oleh narasumber dari Yayasan Spiritia berfokus pada penelitian yang memberikan dukungan terhadap Orang Dengan HIV AIDS (ODHA).

Mengapa ada Terapi Kepatuhan terhadap ARV?

HIV merupakan salah satu penyakit yang treatable tapi belum curable karena belum ditemukan obatnya.Sehingga seorang ODHA harus mengonsumsi obat ARV seumur hidup dan tepat waktu.Jadwal ketat minum obat HIV ini tidak boleh meleset agar bisa menekan jumah virus di tubuh. Jika tidak disiplin obat justru akan menjadi resisten terhadap tubuh.Karenanya ODHA harus mengonsumsi obat ARV untuk mempertahankan kekebalan tubuhnya.

Mengapa Penelitian ini diadakan?

Ibu Retno memberikan penjelasan mengenai latar belakang pentingnya penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum ARV pada ODHA di Indonesia.

•  Menurunkan risiko kematian
•  Mengurangi angka kesakitan
•  Mengurangi jumlah virus
•  Meningkatkan daya tahan tubuh

Lokasi Penelitian meliputi Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Bangka, Belitung, Lampung dan DKI Jakarta.Responden utama adalah ODHA dengan kepatuhan 95% berjumlah 16 orang.Responden pendukung adalah Ohida 14 orang, Petugas kesehatan 10 orang, dan dukungan sebaya 5 orang.

Karakteristik yang berhubungan dengan kepatuhan minum ARV meliputi umur, gender, waktu, status HIV, pergantian rejimen ARV. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi dalam terapi ARV dikategorikan dalam: Faktor personal, Faktor sosial, faktor Lupa dan Cara Mengingat, peran Ohida, dan Obat.

Hasil Penelitian dan Rekomendasi

Narasumber menjelaskan kesimpulan mengenai hasil penelitian bahwa berdasarkan analisis multivariat, variable dominan yang mempengaruhi kepatuhan minum ARV adalah mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekat (peran Ohida).

Berkaitan dengan kompleksnya terapi ARV baik itu ditinjau dari faktor personal, faktor sosial, faktor Lupa dan Cara Mengingat, peran Ohida, dan Obat, hasil temuan penelitian merekomendasikan hal-hal yang perlu dilakukan.

Kementrian Kesehatan perlu melakukan:

  1. Segera menerapkan penggunaan obat yang lebih disederhanakan untuk mengurangi jumlah pil yang digunakan dan mengurangi frekuensi minum obat dengan kombinasi dosis tetap
  2. Memperbaiki pendataan dan pelaporan pengguna obat untuk menghindari ketidaktersediaan stok obat di tempat layanan

Rumah Sakit Rujukan dan Puskesmas perlu:

  1. Memperhatikan peningkatkan kepuasan pasien terhadap layanan yang diberikan melalui peningkatan kenyamanan klinik/tempat layanan, jadwal dokter yang sesuai dengan kebutuhan pasien, durasi waktu menunggu yang lebih singkat, meningkatkan keterampilan komunikasi antara dokter dan pasien.
  2. Meningkatkan kualitas layanan dengan mengurangi stigma dan diskriminasi di tempat layanan
  3. Meningkatkan kepedulian dan keterampilan para pemberi layanan kesehatanMeningkatkan keterlibatan pasien dalam layanan
  4. Mempermudah jangkauan/akses pasien ke tempat layanan melalui penyediaan layanan atau layanan satelit yang lebih banyak
  5. Menyediakan layanan terintegrasi (satu atap)
  6. Meningkatkan jumlah dokter sehingga rasio dokter dengan pasien tercukupi.
  7. Dokter dan tenaga kesehatan lainnya perlu membantu mengingatkan Odha dalam meningkatkan kepatuhan dengan cara pengoptimalan teknologi sederhana seperti penggunaan alarm.

KP, KDS, dan pihak keluarga perlu:

  1. Memberikan pengetahuan esensial mengenai cara penularan, pengobatan, efek samping, kepatuhan, resistensi dan motivasi dan pendukungan minum obat.
  2. Mengembangkan strategi dukungan kesebayaan lebih kuat dimana pendukung sebaya tidak hanya berdasarkan status HIV tetapi juga kesebayaan berdasarkan populasi risiko dan telah terapi ARV khususnya yang berkepatuhan tinggi sehingga dapat menjadi model.
  3. Perlu meningkatkan jumlah dan mutu pendukung sebaya dalam memotivasi dan mempersiapkan odha menggunakan ARV.

ODHA perlu:

  1. Meningkatkan rasa percaya diri dengan melalui keterlibatan diri dalam kegiatan dukungan sebaya.
  2. Meningkatkan pengetahuan ARV sehingga memotivasi diri Odha untuk kesiapan memulai dan mempertahankan kepatuhan ARV.
  3. Meningkatkan kesadaran akan pentingnya melaporkan efek samping yang dialami kepada dokter.
  4. Mengetahui faktor atau potensi yang menyebabkan penghambat kepatuhan dan mencari akses akan dukungan dan rujukan untuk mengatasinya.
  5. Meningkatkan kesadaran Odha dalam memulai terapi tepat waktu sesuai pedoman yang berlaku.
  6. Membuat manajemen waktu pribadi yang sesuai dengan aktivitas pribadi dan waktu minum obat

Penutup

Pencapaian untuk semua rekomendasi diatas membutuhkan wadah dukungan sebaya dan pemberi layanan kesehatan primer. Kedua wadah tersebut akan berjalan dengan baik jika penguatan sistem komunitas dan penguatan sistem kesehatan terselenggara dengan baik di tingkat lokal dan nasional.

 

Reportase kelompok AIDS - 6 September

Apakah Perlu Ada Jaringan untuk Kebijakan AIDS?

Diskusi JKKI Kelompok AIDS


Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia Kelompok AIDS merupakan kelompok yang baru terbentuk pada Forum Nasional Kebijakan Kesehatan keempat tahun 2013 di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Menurut Praptoraharjo, terbentuknya kelompok ini untuk merespon epidemi HIV/AIDS di Indonesia dan kesehatan merupakan hak asasi setiap manusia. Dalam diskusi perdanananya pada Jumat, 6 September 2013 yang bertempat di Hotel On The Rock, Kupang, kelompok ini akan membahas dua hal penting dari sisi konteks kebijakan dan pemerintahan. Konteks kebijakan selama ini melihat seberapa jauh kebijakan sudah merefleksikan nature of the disease, dimensi sosial, politik, ideologi, serta kecenderungan epidemiologi AIDS berlandaskan kesehatan merupakan hak asasi setiap manusia. Dari sisi pemerintahan, kelompok AIDS akan melihat bagaimana kepemimpinan dalam pengembangan dan implementasi kebijakan dan program ini bagaimana peran kelembagaan, kejelasan peran dan konteks desentralisasi, apakah ada sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan, bagaimana mengintegrasikan AIDS ke dalam sistem kesehatan yang ada dengan mempertimbangkan sifat dari penyakit, serta melihat partisipasi, akuntabilitas dan transpirasi.

Rangkuman sesi Kelompok AIDS sebelumnya, yaitu (1) melihat seberapa jauh pemanfaatan bukti untuk mengembangkan kebijakan, (2) melihat pembiayaan, adanya isu layanan (stigma dan diskriminasi, rendahnya efektivitas strategi program), adanya missed opportunity (diagnosis, perawatan/terapi dini, akses dukungan sosial), terbatasnya akses dan utilisasi terhadap layanan (LASS, TRM, VCT, dan ART), logistik dan SDM yang kurang memadai, jejaring dan rujukan antar layanan, kualitas layanan dan kebijakannya, dan mitigasi dampak program perlindungan sosial dalam respon nasional untuk penanggulangan HIV.

Prof. Laksono membuka diskusi dengan pertanyaan Apakah AIDS merupakan bagian dalam sistem kesehatan? Marguari (Spiritia) menjawab dengan pasti bahwa AIDS tidak akan lepas atau keluar dari sistem kesehatan. Saat ini memang AIDS menjadi bagian dari sistem kesehatan, tetapi belum sempurna jika dilihat dari faktor-faktor lain yang secara tidak langsung bersinggungan dengan isu ini, misalkan adanya faktor sosial, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi.

Utomo (HCPI) menanggapi pertanyaan tersebut dengan perlunya menyepakati framework untuk diskusi sehingga relevan dengan isu utama yaitu mencari gap antara framework dengan implementasi (realita) yang ada. Dari bidang kesehatan masyarakat perlu dilihat sisi kebijakan, bagaimana konteksnya, dan penganggaran, dengan tujuan untuk mengurangi epidemi yang ada. Tentu saja ada framework kesehatan masyarakat yang akan dibuat, tetapi ini merupakan diskusi awal untuk membangun sinergi antara kelompok kebijakan dan kelompok AIDS, jelas Trisnantoro. Hasil kebijakan AIDS lebih maksimal jika ditangani oleh orang AIDS yang diberikan penjelasan tentang kebijakan, bukan sebaliknya.

Sistem kesehatan AIDS melihat fungsi dalam sistem dari setiap komponen sistem, sebagai contoh KPA menjalankan fungsi regulasi atau sebagai penyusun kebijakan, Kementrian Kesehatan dan Dinas Kesehatan menjalankan fungsi pemberi dana, Rumah Sakit dan Puskesmas sebagai pelaksana kegiatan, LSM dan organisasi lainnya bergungsi untuk pengembangan SDM. Jika melihat fungsi dan komponen sistem tersebut maka jelaslah pembagian peran dari masing-masing komponen dan meninjau kompetensi staf dari setiap komponen.

Dr. Andri menanggapi, perusahaan swasta perlu menjadi komponen karena mempekerjakan buruh. Dalam hal ini buruh dianggap sebagai populasi berisiko karena menjadi pelanggan Wanita Penjaja Seks (WPS). Kementrian Tenaga Kerja sudah termasuk dalam komponen sistem, namun hingga saat ini implementasi dinilai belum berjalan optimal. Marguari menanyakan apa yang dimaksud dan menjadi kriteria komponen? Menurutnya, ada banyak faktor yang mempengaruhi sistem sehingga komponennya menjadi lebih sederhana. Tentu saja semakin banyak aktor yang berperan akan semakin banyak pula komponen dalam suatu sistem, lanjut Trisnantoro. Menurut Naomi (Ikatan Perempuan Positif Indonesia-IPPI) dan Aldo (Organisasi Perubahan Sosial Indonesia-OPSI) dalam sistem kebijakan kesehatan AIDS perlu dimasukkan komponen ODHA dari berbagai kelompok, misal pengguna narkoba, gay, dan waria.

Dalam diskusi juga membahas tentang kerancuan fungsi antara stakeholder dalam implementasi program AIDS. Marguari menanyakan secara spesifik kerancuan itu seperti apa, karena rancu bukan dipahami sebagai tidak menjalankan fungsi secara optimal. Bukan kerancuan yang terjadi, tapi tidak menjalankan secara optimal. Lihat saja peran KPA sebagai pembuat kebijakan, yang memobilisasi sumber dana, dan menjalankan fungsi lainnya, terimplementasi iya, tetapi yang menjadi pertanyaan sudah optimalkah implementasi tersebut.

Isu selanjutnya dalam diskusi terkait fungsi KPA yang kadang dapat tumpang tindih dengan Kemenkes. Argumentasi dari Utomo menyatakan bahwa keduanya (KPA dan Kemenkes) mempunyai terminologi yang sama yaitu sebagai pemangku kepentingan. Banyak cara membangun framework. Usulan program seharusnya memiliki tiga fungsi pokok; pengembangan kebijakan (regulasi), jaminan pelaksanaan (perencanaan, pendanaan, kelembagaan dalam konteks pelaksanaan), dan fungsi assesment. Ketiga fungsi tersebut bukan hanya sekedar list tetapi perlu dilengkapi akses vertikal, misal nasional ke tingkat provinsi kemudian ke kabupaten/kota. Keduanya harus sepakat memetakan pemangku kepentingan, bagaimana tanggung jawab, dan secara kelembagaan bagaimana menjalankan peran dari masing-masing. Kalau ada overlapping itulah yang menjadi masalah yang kita temui, sedangkan tujuan program HIV/AIDS ialah perubahan perilaku dan perubahan epidemi yang secara anatomis terbagi tiga, yaitu epidemi dan perilaku, layanan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE), services (pengobatan dan lainnya), serta kelembagaan. Khoirun (FKM Universitas Jember) membenarkan isu overlapping dengan melihat realita di lapangan selama ini dimana pelaksana tatanan kebijakan merupakan sesuatu yang diatas, tidak dalam tatanan pelaksana sehingga overlapping dipastikan selalu terjadi. KPAD dan LSM harusnya sejajar, KPA menjadi motor dan koordinator dari semua kegiatan HIV/AIDS, Dinkes menjalankan fungsi pemeriksaan dan pengobatan, dan LSM sebagai pelaksana. Bupati, dari struktur organisasi ditempatkan sebagai ketua seringkali sulit ditemui dan tidak bisa hadir dalam setiap pertemuan koordinasi dan evaluasi antara anggota dalam struktur KPAD, sehingga patut dipertanyakan bagaimana bupati sebagai ketua dapat menjalankan fungsi dan perannya seperti yang diamanatkan.

Apakah selama ini ada acuan seperti itu dan setiap individu yang berperan harus menjalankannya? Marguari, Khoirun, Tappy (FKM Universitas Cendrawasih), Aldo, dan Naomi merespon pertanyaan tersebut dengan melihat kesesuaian dengan poin-poin dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Selanjutnya, USU mempertanyakan kejelasan implementasi Prevention Mother to Child Transmission (PMTCT) di lapangan seperti yang pernah dialami saat melalukan penelitian, dimana seharusnya melakukan PMTCT, di Seksi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) atau Seksi Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL)? Sistem yang diatur dalam Permenkes belum terimplementasi di dinas. Pembagian peran sudah lebih rapih tetapi kemudian yang menjadi masalah ialah tidak adanya wewenang KPA di daerah untuk membuka KPA baru di tingkat kabupaten/kota, ibarat pepatah 'hidup segan mati tak mau'. Isu yang menjadi fokus saat ini terletak pada keseriusan pemimpin di daerah untuk menanggapi epidemi HIV/AIDS di daerahnya. Utomo menyepakati perlunya kejelasan lebih lanjut tentang fungsi KPA di daerah dan dinas, yang mana peran koordinasi dan untuk menggerakkan menjadi tanggung jawab KPA, tetapi karena satu dan lain hal, keduanya tidak sejalan. Mengapa bupati yang ditunjuk sebagai ketua dalam organisasi KPAD, jawabannya tentu berkaitan erat dengan kekuasaan (power) untuk menjalankan program HIV/AIDS di daerah. Jika representasi dari masing-masing bidang sering tidak hadir saat pertemuan KPA menandakan peran fasilitasi tidak berjalan maksimal. Menurut Universitas Udayana fungsi dan peran struktur organisasi KPA hadir karena peran dari lembaga donor (dukungan dana Global Fund). KPA tidak punya power untuk menyarankan hal tertentu kepada SKPD begitu pula sebaliknya, sehingga pada akhirnya fungsi dan peran keduanya tidak berjalan secara maksimal karena tidak mempunyai kekuasaan. Dampak desentralisasi di daerah menjadikan kekuasaan dipegang sepenuhnya oleh pimpinan dari masing-masing kota, jika bupati memiliki komitmen tentu saja peran KPAD berjalan maksimal. Universitas Udayana juga membenarkan adanya overlapping peran dan fungsi dari KPA dan Dinas. Realita yang ada KPA menjadi regulator sekaligus juga menjadi implementor sebagai tuntutan HCPI atau GF.

Laksono mengemukakan, idealnya sebuah sistem menghasilkan outcome dari fungsi-fungsi yang ada, fungsi kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan assessment. Kebijakan operasional seperti obat yang langung dikonsumsi juga merupakan kebijakan sistem. Diluar konteks AIDS sesuai pengamatan Marguari, tiga hal yang perlu digaris bawahi dalam kebijakan pemerintah: (1) peningkatan pagu anggaran kesehatan sebagai salah satu sumber dan masalah yang besar, (2) kebijakan desentralisasi tidak berimplikasi positif pada HIV/AIDS, (3) secara multisektoral pemerintah tidak punya mekanisme pada masyarakat kecil terkait donasi sosial sehingga tidak mampu mengakomodir secara berarti.

Selama ini peran KPA hanya sebatas day to day activity untuk sekrtetariat KPA. Pernahkah dilakukan studi mendalam sebagai sejarah hadirnya KPA? Irwanto menjelaskan ditahun 1988 HIV muncul di seluruh dunia yang mana epideminya terjadi pada homoseksual sehingga berimplikasi pada keputusan-keputusan selanjutnya. Pada waktu itu adanya dokumen kecil, adanya orang hukum dan hankam sudah dianggap cukup karena membutuhkan respon yang sangat cepat. Respon tersebut tidak hanya berlaku untuk sektor kesehatan saja, namun kenyataannya tidak diimplementasikan karena semua orang takut dikotori oleh stigma karena pasien yang ditemukan lebih banyak dari homoseksual. Respon awal sangat mewarnai komisi 1988 sehingga baru diresmikan tahun 1999.

Isu selanjutnya adalah kasus AIDS dianggap sebagai kecelakaan sejarah, itu given. Menurut Irwanto infectious disease jarang dilihat dalam sistem, jangan sampai kena populasi general, masih saling menuding siapa yang salah, sehingga implikasinya cara berpikir masih terbawa secara historis. Populasi yang termarginalisasi merupakan populasi berisiko. Paradigma yang disusun secara sistematik mengelompokkan AIDS sebagai kelompok penyakit tersebut.

Perbaikan kebijakan diluar AIDS dilihat melalui pisau kebijakan, misal 'KPA is the part of the problem'. Universitas Hasanudin (Unhas) menanggapi dengan menjelaskan bahwa process involuntery of marginalization, kurang populasi yang ingin dimarginalisasi. Turunan dari KPA ke bawah yang harus membahas isu AIDS dan menjadikan isu populer. JKKI dalam forum riset perlu melihat bagaimana sosialisasi process involuntery of marginalization yang tidak memiliki masalah dan prominent. Isu marginalisasi berawal dari peneliti. Isu ini tidak pernah muncul sebelumnya, karena hanya sebagai pandangan konservatif yang sangat tidak berdasar. Indonesia perlu mencontoh negara lainnya yang berhasil mengatasi HIV dengan perspektif isu marginalisasi.

JKKI Kelompok AIDS perlu memahami betul aspek historis tadi, termasuk bagaimana perkembangan selama 25 tahun implementasi kebijakan HIV/AIDS. Diskusi ini menjadi dasar untuk melihat sistem kesehatan AIDS dalam kerangka kebijakan awal. Utomo membenarkan hal tersebut karena hub dan respon pemerintah dalam HIV/AIDS sangat diperlukan, berbicara soal respon, pemerintah Indonesia cukup cepat melaksanakannya. Bukti dapat dilihat berapa banyak terbitan Surat Keputusan (SK) Pemerintah sebagai bentuk respon, namun praktek di lapanganlah yang menjadi pertanyaan besar. Anehnya lagi dalam SK ditemui banyak pasal-pasal yang tidak sesuai karena tidak ada tenaga kesehatan masyarakat yang berhak mendapat kompensasi untuk mendapatkan pelayanan. Undang-undang banyak hadir disebabkan kecelakaan sejarah. Dugaan Trisnantoro, konflik yang ada saat ini merupakan bawaan masa lalu.

Riyadi (PKBI Pusat) mempertanyakan fokus JKKI, apakah nantinya akan membahas kebijakan, karena kebijakan merupakan sesuatu yang abstrak. Selama ini program HIV lebih banyak berbasis donor response, bukan problem response. Irwanto menanggapi mengapa tidak ada respon dari Indonesia, karena masih ada marginalisasi terhadap kelompok berisiko. Contoh riil, kasus pelemparan sebuah rumah hanya karena ada anak di rumah tersebut yang terinfeksi HIV.

Kesesuaian konteks kebijakan epidemi HIV/AIDS antara 20 tahun yang lalu dengan sekarang menjadi poin diskusi selanjutnya. Thailand berhasil menerapkan kebijakan kondom 100%, Indonesia sulit mengimplementasikan best practice kebijakan kondom tersebut karena toleransi agama yang tinggi dan adanya kelompok penentang kebijakan (misal Forum Pembela Islam-FPI) yang perlu diperhitungkan untuk mendukung kebijakan.

Tahapan perbaikan kebijakan AIDS di Indonesia diawali ide, pilot, kemudian merumuskan naskah akademik kebijakan, melalui proses legislasi, implementasi kebijakan, mengevaluasi kebijakan serta merumuskan rekomendasi untuk perubahan kebijakan. Di level mana kebijakan akan diimplementasikan juga perlu ditentukan, apakah di tingkat pusat, provinsi, atau kabupaten. Maukah setiap peserta diskusi yang hadir masuk dalam JKKI Kelompok AIDS? Marguari secara prinsip mendukung, perlu digarisbawahi keikutsertaan itu perlu minat. Isu kebijakan adalah isu hulu yang nantinya berimplikasi terhadap network, tidak hanya pada kacamata HIV. Lintas aspek yang lain sangat penting. Apakah ada kemajuan selama ini? Contohnya saja obat dapat diperoleh di tempat layanan, program ada dimana-mana, penjangkauan bisa dilakukan, tapi bagaimana dengan perubahan perilaku? Kuncinya tetap satu, perubahan perilaku. Berapa persen orang yang pakai kondom. Di luar forum kebijakan, bagaimana perubahan perilaku yang ada? Komunitas tetap bisa berjalan tanpa ada donor. Local ownership dari masing-masing daerah harus tinggi.

Trisnantoro menanggapi bahwa analisis kebijakan publik membandingkan dulu dan saat ini. Pendekatan yang digunakan dalam analisis kebijakan merupakan bagian desentralisasi melihat jaringan AIDS di pusat, jaringan AIDS di provinsi, jaringan AIDS di 82 kabupaten/kota. Analisis kebijakan dinamis karena melihat proses implementasi kebijakan yang dinamis.

Universitas Atma Jaya Jakarta (UAJJ) merespon terkait poin diskusi pendekatan yang akan digunakan JKKI Kelompok AIDS apakah menggunakan pendekatan hulu (sisi promotif dan preventif) atau hilir (sisi kuratif dan rehabilitatif), di hilir hanya dokter yang berperan, pendamping layanan dan LSM pun bagian dari hilir. Kemenkes dituntut membuat kebijakan yang sesuai dengan tanggung jawabnya. Selama ini rujukan sudah didisain tetapi apakah konteks berjalan baik perlu ditanyakan menurut Marguari.

JKKI mencakup berbagai macam jaringan. Bagaimana komitmen para pemimpinnya untuk melakukan kegiatan jejaring? Apakah bisa kerja sama? Sugiharto (Persaudaraan Korban Napza Indonesia-PKNI) memberi contoh best practice kerja sama lintas sektor dalam program rehabilitasi korban napza di Bogor. Harm reduction (HR) dalam rehabilitasi mengadopsi Behavior Drug Reduction Counselling (BDRC) yang membolehkan pasien panti rehabilitasi memakai narkoba selama proses rehabilitasi berjalan. Pasien diminta mengisi kapan waktu pakai, jam berapa, berapa rupiah yang dikeluarkan, dimana atau kemana pakai, dan semuanya harus dilaporkan kepada konselor. Program itu terbukti berhasil dalam penelitian, dan menjadi inovasi dibidang program HR. Selain itu program didukung polisi setempat, jika ditemukan pasien rehabilitasi tidak akan ditangkap tapi dikembalikan ke panti.

Sistem rusak 'mendirikan benang basah'. Contoh kasus di Kabupaten Bantul, Sleman dan Kota Yogyakarta seperti hasil penelitian LSM IDEA yang diungkapkan Wijiyati, dengan melihat bagaimana politik anggaran di DIY, ditemukan ada yang salah. Orang-orang dalam struktur organisasi di KPA sebaiknya paham dan mengambil peran untuk melaksanakan kebijakan. Temuan di lapangan banyak SKPD yang tidak mengetahui AIDS sehingga implementasi kebijakan tidak optimal. Catatan kemudian, 'hadirnya SDM makin memperparah implementasi kebijakan'. Perlu dilihat lagi kebijakan yang ada dan siapapun bisa mengingatkan.

Kebijakan logis, politik lah yang tidak logis. Masyarakat ingin action sehingga menurut Marguari perlu didesain rencana ke depan. Saat menetapkan desain dikaitkan dengan tata pemerintahan karena hal tersebut sangat signifikan melakukan perubahan kebijakan. Bagaimana perubahan kepemimpinan. Dominan dalam masa kepemimpinan. Perlu memperhitungkan dalam proses untuk bersinggungan karena unpredictable, misalkan apa yang akan terjadi dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), perlu juga mempertimbangkan apa yang terjadi. Kepala dinas dalam struktur organisasi KPA merupakan political position. Unhas menambahkan, what works is not working dan tidak berjalan tidak popular.

Ada dua hal yang perlu dilihat, yaitu memahami symptom melihat dari seluruh konteks dan meneruskan diskusi mailing list atau pertemuan di tingkat kota atau masyarakat. Ada agenda yang sudah dilkeluarkan untuk memantau kebijakan yang sudah ada dan apa saja yang perlu dikembangkan yaitu pada pertemuan tahun depan di Bandung. Temuan-temuan dan perkembangan kebijakan di daerah kita masing-masing akan disampaikan dalam forum selanjutnya.

Refleksi kebijakan selama 25 tahun berjalan harus dilakukan menurut Irwanto, dengan melihat apa dampak terhadap epidemi dan perilakunya, harus bekerja sama dengan posisi yang berbeda. Realita yang ada masing-masing sibuk melihat diri dan program sendiri. Setiap orang harus menjadi bagian dari solusi, bukan dari masalah, mencari apa solusi yang bisa ditawarkan. Apakah selama ini kebijakan menjadi stagnan? Setiap pihak perlu merekonstruksi solusi beneficiaries, menolong orang-orang ke dalam mainstream, menghormati mereka terlebih dahulu, jadikan sebagai keluarga besar, harus bisa komunikasi dengan baik. Dibalik semuanya itu, dituntut semangat baru untuk melihat policy untuk merusak virus. Virusnya akan kalah.

Kedepannya, ada media yang nantinya dapat terus membagi informasi, memberikan penyuluhan dalam strategi yang sangat berbeda. Tidak ada inisiatif tanpa ada duit dapat melakukan kegiatan-kegiatan kreatif dan memicu kegiatan AIDS di lapangan. Inisiatif lokal menjadi isu utama dalam diskusi ini.

Oleh: Sisilya Oktaviana Bolilanga, S.K.M., M.Sc.

Sesi 3.4E Makalah Bebas Kelompok Kebijakan Inovatif

Sesi 3.4E

Makalah Bebas Kelompok Kebijakan Inovatif


Bertindak selaku moderator dalam sesi diskusi makalah bebas kelompok kebijakan inovativ adalah Ali Imron dengan 2 presentan diantaranya adalah Felix Kasim dari Universitas Maranatha dan Mubasysyr Hasanbasri dari Fakultas Universitas Gadjah Mada. Semula presentan dalam sesi diskusi ini akan disampaikan oleh 3 orang, namun dalam pelaksanaannya hanya dilakukan oleh 2 orang saja karena peserta lainnya tidak dapat mengikuti kegiatan. Namun hal ini tidak mengurangi antusiasme dari peserta seminar daan sesi tanya jawab, karena 2 peserta yang ada membawakan diskusi dengan sangat menarik dan sangat maksimal dengan sentuhan pendekatan masing-masing.

Presentan pertama mengangkat materi mengenai Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Jamkesda di Pelayanan Kesehatan Dasar di Puskesmas yang berada dalam lingkup pembinaan dinas kesehatan Kota Banjar. Keingintahuan tentang seberapa jauh program jamkesda sudah berjalan sangat kuat dikarenakan kota banjar dipimpin oleh walikota yang merupakan seorang dokter dan wakilnyapun seorang doker sehingga dukungan terkait kesehatan akan lebih baik diberikan oleh pihak pemerintah daerah apabila pemerintahnya responsif. Hal ini menjadi catatan penting bagi Dinkes Kota Banjar karena manfaat program Jamkesda di Kota Banjar ternyata dirasakan masih kurang oleh masyarakat karena secara khusus Jamkesda lebih terasa manfaatnya di RS, namun secara umum manfaatnya sebagai jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin, manfaat untuk persalinan, dapat membantu pelaksanaan program puskesmas, serta dapat mendeteksi dini kasus penyakit. Kendala dari program Jamkesda di Kota Banjar adalah adanya database yang tidak tepat sasaran, manlak dan juknis yang belum jelas, alokasi dana belum lancar dan kurangnya pemahaman masyarakat tentang Jamkesda sehingga Diharapkan masyarakat dapat memberikan respon yang lebih baik dan mendukung keberlangsungan program ini, dengan cara bertanya pada pihak bersangkutan bila tidak mengerti.

Berbeda halnya dengan presentan kedua yakni Mubasysyr Hasanbasri dari Universitas Gadjah Mada yang mempresentasikan mengenai Pelajaran dari Gebrakan Joko Widodo dalam Memecahkan Pelayanan Kesehatan di Jakarta, sebuah Content Analysis. Pelajaran yang bisa diambil dari jokowi dalam memecahkan masalah adalah menganggap masalah bukanlah masalah kebijakan namun masalah manajemen dan easy to solve serta lebih menekankan pada siapa yang menderita bukan penyakitnya karena yang mengurusi penyakit adalah dokter. Ia peduli dengan hal-hal yang menjadi urusan para manajer Jokowi dan Ahok memiliki argumen manajerial yang jelas terhadap isu kebijakan. Setiap pilihan yang diambil memiliki arah yang strategis bagi pengembangan sistem. Berbeda halnya dengan Pemerintah daerah kadang latah mengikuti pola projek dan senang bekerja jika ada projek. Jokowi dan Ahok tidak tampak mengikuti pola projek ini. Ada beberapa hal juga yang perlu diketahui juga bahwa Kunci untuk pembuatan kebijakan yang sukses adalah melakukan manajemen yang baik dan kuncinya adalah memahami masalah manajemen dengan baik. Adapula sebuah pelajaran yang baik dikarenakan jokowi adalah seorang enterpreneur sehingga kebijakan-kebijakan yang dibuat adalah enterpreneur policy bukan projek policy.

Kedua presentan berhasil membuat rasa penasaran peserta seminar sehingga memicu diskusi yang menarik sehingga waktu yang dibutuhkan lebih panjang yakni pelaksanaan diskusi berakhir lebih lama dari jadwal yang sudah ditentukan yakni berakhir sekitar 10 menit dari jadwal. 

Oleh: Andriani Yulianti