Pengembangan Konsultan Manajemen dan Kebijakan Sektor Kesehatan

Pengembangan Konsultan Manajemen dan Kebijakan

Sektor Kesehatan


 

Pengantar

 

Rubrik ini membahas Pengembangan Konsultan Manajemen dan Kebijakan di sektor kesehatan. Mengapa diperlukan pengembangan ini?

Saat ini berbagai kebijakan kesehatan dan lembaga-lembaga pelayanan kesehatan membutuhkan tenaga konsultan kesehatan. Namun jumlah dan mutu konsultan masih terbatas.

Rubrik ini berusaha mengembangkan jumlah dan mutu konsultan di Indonesia.

Silakan klik berbagai materi pengembangan konsultan dibawah ini:

Seminar : Informasi dan Pembentukan Data Based Konsultan Manajemen Kesehatan dalam program Management and Technical Assistance Facility (MTAF)
Pengembangan Konsultan Manajemen Rumahsakit
Register Ke Database Konsultan Kesehatan MTAF
Cara Registrasi ke database klik disini

Reportase hari terakhir - HLF

High Level Forum on Expanding Coverage
to the Informal Sector

hlfterakhir

Diskusi ini berlangsung di Balroom Mataram, Hotel Ambarrukmo Plaza Yogyakarta, pada tanggal 2 Oktober 2013. Seperti dua hari sebelumnya, diskusi bertujuan untuk mendengarkan masukkan dari beberapa kelompok kecil yang mewakili sektor-sektor yang terkait rencana penerapan pilot project (PP) BPJS di Indonesia.

Hari terakhir diskusi berlangsung cukup singkat, sekitar 3 jam saja. Setelah moderator memberikan kesempatan pada masing-masing kelompok untuk memaparkan hasil diskusi mereka, Isa Rachmatarwata, M. Sc menjelaskan hasil diskusi kelompoknya, sebagai berikut, pertama, komptesisi sektor kesehatan dengan sektor lain yang juga membuttuhkan perhatian pemerintah. Oleh karena itu pengembangan metode serta desain yang menarik perlu dilakukan. Selain itu, memperkuat kerjasama dengan berbagai pihak terus ditingkatkan.

Kedua, faktor budaya, kepemimpinan dan komitmen nasional adalah beberapa hal yang dapat diadops Indonesia dari beberapa negara di dunia yang telah menjalankan UHC. Namun, karakteristik Indonesia tetap menjadi salah satu hal paling utama yang juga harus tetap dipertahankan sebagai identitas bangsa.

Ketiga, program e-KTP merupakan salah satu upaya untuk mengidentifikasi level kelas sosial masyarakat di Indonesia. Hal ini dapat merupakan salah satu cara untuk mengembangkan nomor kepesertaan BPJS, sehingga dapat meminimalkan kemungkinan kepesertaan ganda.

Keempat, salah satu hal yang perlu mendapat perhatian terus menerus adalah kekuatan dibidang sistem informasi kesehatan. Kelima, diskusi dua hari sebelumnya, adalah membahas aksi nyata untuk menjangkau masyarakat Indonesia di sektor informal. Salah satu yang disepakati adalah dengan PP. Kagiatan ini bukan hanya kegiatan riset semata, namun juga merupakan salah satu aktifitas yang dapat dijamin keberhasilannya sehingga akan diperoleh pola/ disain yang lebih baik untuk karyawan yang bekerja di informal. Pilot project, akan menjadi sarana promosi positif. Di lain sisi dapat diestimasikan bahwa PP juga akan memberikan dampak negatif, sehingga seluruh aspek masih perlu didetailkan agar dampak negatif tersebut dapat diminimalkan. Salah satu criteria daerah yang akan dipilih sebagai PP, haruslah dengan fasilitas kesehatan (faskes) yang memadai. Jika tidak atau belum memadai, seberapapun usaha yang dilakukan, masyarakat akan memberikan penilain negatif.

Selain itu, disisi suplai sumber daya ini harus tersedia secara memadai. Lima langkah konkrit, yang akan dilakukan:

  1. Sosialisasi (social marketing)
  2. Advokasi, terutama pada pemerintah daerah dan organisasi-organisai informal
  3. Pembinaan kelompok informasi untuk kemampuan bayar premi JKN
  4. Pendataan
  5. Pemilihan daerah yang sesuai untuk PP (plotting and selecting of the area).

Selanjutnya, beberapa peserta diskusi juga memberikan pandangan mereka terkait rencana penerapan PP BPJS. Berikut adalah tanggapan tersebut:

Dr. Vivi Yulaswati, M. Sc dari Bappenas menyampaikan peran Pemda lebih didetailkan, sehingga masuknya bukan hanya sebagai advokasi tapi "setting the mix", sehingga perlu adanya studi lanjutan. Selain itu harus ada respon system (complain handling).

Perwakilan Askes: memberikan pertanyaan kepada Ibu Dr. Vivi Yulaswati, Jika sistem complain handling diterapkan, siapa yang akan berperan? Saya pikir, jika tim PP harus ikut terlibat untuk menangani hal ini, masukkan saya adalah harus dipikirkan lagi. Penanganan komplen sudah menjadi bagian pekerjaan tim BPJS. Sehingga tidak akan kegiatan ganda yang hanya akan membingungkan masyarakat.

Prof. Dr. dr. Charles Surjadi, MPH menimpali, "Harus ada persiapan dengan standar-standar tertentu dari seluruh aspek. Sebaiknya, mengundang dan melibatkan universitas karena umumnya pihak universitas bersikap netral pada kegiatan-kegiatan pemerintah. Jadi, akademisi diikutkan. Selain itu, ikatan profesi juga diikutkan (IDI pusat dan daerah) juga diminta untuk berperan. IDI memiliki mailing list dan kolom berita dalam website, sehingga dapat menjadi salah satu cara sosialisasi program.

Dr. Daniel Budi Wibowo, M. Kes, Ketua PERSI menyatakan pendapatnya: "Saya memiliki pendekatan yang sedikit berbeda. Saya melihat berdasarkan dampak pengembangan beberapa model. Tentu saja tiap model akan menitik beratkan pada satu sisi tertentu. Di Indonesia, pasti akan ada beberapa model terkait dengan clustering masyarakat Indonesia. Hal ini juga terkait dengan keadaan geografis Indonesia. Jadi, sebaiknya penerapan tiap model, menyesuaikan dengan karakteristik masyarakat dan lokasi geografis daerah".

Dr. Asih Eka Putri, BPJS wajib menjangkau seluruh penduduk. Ada 3 algoritma (1) bagaimana mendanai pekerja sektor informal? Sehingga proyek ini bertujuan untuk menggali potensi pendanaan (2) model pengumpulan iuran dan (3) penegakkan kepatuhan dan penyelesaian sengketa. Rujukan BPJS adalah rujukan internasional. Sehingga pengembangan model yang sesuai dapat berpegang pada tiga algoritma tersebut.

Kemudian, perwakilan masyarakat sektor informal (target): "Apakah tarif dibuat satu model tarif nasional? Tarif yang sudah dibagi saat ini, berdasarkan kelas, mengadopsi darimana? Adakah ada hubungan dengan UMR daerah? Perlu ada aplikasi yang jelas agar program alikatif yg dapat diterima seluruh lapisan masyarakat".

Prof. Budi Hidayat, SKM, MPPM, PhD: "Grand desain sebenarnya sudah ada yaitu dengan UU BPJS. Varian sektor informal yang berbeda-beda, sehingga harus dilakukan pilot project agar diperoleh data "mana yang baik dan yang tidak". Akhirnya, dapat diusulkan model yang lebih baik. Disamping kita menidentifikasi model, perlu juga dihitung dari sisi biayanya.

Tanggapan Ibu Dr. Vivi Yulaswati, M. Sc:

Complain handling: "Apakah jika ada komplen harus ke BPJS? Menurut saya hal ini tetap perlu karena dalam kegiatannya melibatkan beberapa pihak, sehingga tanggapan masyarakat akan dapat didata dengan baik sebagai bahan evaluasi untuk menemukan solusi terbaik. Cost sharing bukan hanya dari sisi premi, tapi juga kualitas sisi layanan serta peran serta Pemda. Skema pembiayaan hingga saat ini sedang dicari yang paling sesuai.

Dr. Pujianto, SKM, M. Kes (akademisi) menyampaikan, saat diskusi tentang besaran premi (Rp. 19 ribu per bulan), dan besaran tersebut berlaku nasional. Daerah-daerah dibagi dalam beberapa kuadran sehingga akan terjadi subsidi silang daerah. Selanjutnya apakah Pemda akan berperan dalam sistem premi (memberikan subsidi premi). Perlu adanya pemberian pemahaman pada Pemda.

Perwakilan Dinas Kesehatan Purbalingga yaitu Drs. Sukento Rido Marhaendrianto, MM menyampaikan: pertama, Pemda Purbalingga akan melakukan pemetaan karena sektor informal yang masih tersebar namun belum terorganisir dengan baik. Kedua, Pemda perlu advokasi, terutama beberapa SKPD terkait, agar program BPJS akan berjalan dengan baik. Ketiga, Purbalingga siap dijadikan daerah pilot project.

dr. Ati Wahyuningsih (Kadinkes Kota Surakarta) mengungkapkan pendapatnya, daerah cukup berat untuk menyadarkan masyarakat untuk iur biaya. Di Solo, seluruh masyarakat telah dijamin penuh. Dalam pelaksanaannya, masyarakat dibagi menjadi pemegang kartu gold dan silver. Pemegang gold ditanggung semuanya dan silver maksimal akan diberikan bantuan 2 juta. Faktor kepentingan politik di daerah sangat tinggi, sehingga isu kesehatan dan pendidikan terus dijual saat kampanye, padahal dalam JKN harus ada iur biaya. Banyak kaum papa yang sangat miskin yang tidak masuk dalam database kesehatan, sehingga iur biaya; berapapun besarnya sebaiknya masih diterapkan agar dapat dilakukan subsidi silang pada kaum papa ini. Jadi, kendala yang harus diselesaikan adalah "bagaimana menyadarkan masyarakat yang tidak miskin agar bisa iur biaya". Kendala lainnya: isu Pilkada yang terus-menerus menjual isu kesehatan dan pendidikan.

dr. Bambang Haryatno, M. Kes (Kadinkes Kabupaten Kulon Progo) menyampaikan, pertama, biaya kesehatan dari Pemda sebesar sembilan milyar rupiah. Penerapan layanan kesehatan masyarakat di Kulonprogo yaitu "kami tidak mengeluarkan kartu kesehatan, namun cukup KTP saja. Termasuk RANAP dibantu maksimal 5 juta untuk tiap warga tiap tahun." Kedua, kami akan memperluas jalinan kerjasama dengan pihak-pihak terkait. Ketiga, kami tidak membedakan sektor formal dan informal, jadi seluruh masyarakat telah terjamin. Keempat, untuk di mix dengan BPJS, perlu ada pembagian tugas. Terutama apa yang menjadi tanggungjawab pemerintah daerah. Kelima, selain itu, gubernur DIY juga membantu masyarakat miskin. Sebagi contoh: masyarakat miskin dengan rawat inap di RS. Sardjito harus membayar sebesar 25 juta. Dari biaya tersebut, Pemda Kulonprogo membantu sebesar lima juta serta tambahan bantuan lain dari provinsi dan gubernur. Poinnya, Kulon Progo siap menjadi lokasi pillot project.

Mitra internasional menyuarakan pendapatnya melalui Debby Muirhead, perlu dibentuk kelompok kecil untuk implementasi pilot project. Hal yang penting bukan hanya dinas kesehatan, tapi Bappenas dan kantor lain, agar jalinan kerjasama di seluruh sektor dapat berjalan beriringan. Mitra internasional bisa membantu dari sisi evaluasi independen. Salah satu bentuk dukungan AusAid adalah dibidang riset di universitas, sehingga AusAid juga dapat melakukan evaluasi.

Perlu dibandingkan yang telah menerapkan dan daerah yang belum, sehingga akan dapat diketahui pola-pola dan desain yang paling sesuai. Asosiasi profesi harus terwakili diseluruh daerah. Lalu, kita perlu memikirkan teknik sosialisasi yang paling baik karena masyarakat Indonesia, jika diberikan brosur sering dibuang. Detail sistem pembayaran dan akuntabilitas lembaga yang mengumpulkan premi. Karena isu utamanya, masyarakat tidak percaya dengan kader pengumpul. Jadi akuntabilitas kader pengumpul premi harus bisa dipercaya. Tidak hanya berkaitan dengan berapa yang kita membayar tapi saving. Saya keberatan dengan menaikkan biaya pkm karena masih banyak masyarakat yang tidak bisa membayar. Apalagi jika dinaikkan hingga Rp. 50 ribu, kami tidak setuju dengan hal tersebut. Identifikasi masalah dalam kerjasama dan mendiskusikan potensial solusi. Setuju dengan keterlibatan universtas dan integrasi data. Sistem monitoring dan evaluasi, manfaat investasi yang akan diperoleh investor.

Dr. Widyastuti Wibisana dari WHO menyampaikan pendapatnya, WHO akan membantu program ini, terutama di 6 (enam) wilayah yang telah ditetapkan: DKI, Jabar, Sumbar, Aceh, Gorontalo dan Sulut. WHO akan bekerjasama dengan pemerintah terutama isu kepuasan pelanggan, karena salah satu indokator adalah kepuasan peserta. WHO akan menampung masukkan dari tiap-tiap daerah. Kemudian, WHO akan membantu dalam hal kualitas provider. Bagaimana prosedur pengajuan kegiatan ke WHO? WHO telah memiliki prosedur kerjasama dengan pemerintah Indonesia. Jadi, skema bantuan dapat dilakukan melalui kementrian. Dapat juga kontak langsung dengan unit kegiatan WHO untuk memperoleh informasi lebih detail.

Akademisi pun tampil untuk menambahkan masukan pelaksanaan BPJS 2014 ini. Dr. drg. Yulita Hedrartini, M. Kes, AAK, di lingkup universitas punya dana penelitian. Tahun ini, dana tersebut akan lebih diarahkan untuk evaluasi BPJS. Saya yakin tiap universitas memiliki dana untuk penelitian dan pengembangan, sehingga memungkinkan dilaksanakan konsorsium universitas. Selanjutnya, antar universitas dapat melakukan kerjasama misalnya dengan saling membagi tugas. Akhirnya, universitas siap membantu: sosialisasi, monitoring dan evaluasi.

drg. Ernawati, M. Kes dari Unair menyampaikan pihak akademisi punya rasa keingintahuan yang besar. Saya setuju dengan jejaring antar universitas di Indonesia. Kalangan akademisi saat dilapangan sering dianggap KPK/ BPK, sehingga diperlukan komitmen nasional. Prof. Dr. dr. Charles Surjadi, MPH dari Universitas Atmajaya menyampaikan akademisi lebih mengetahui keadaan lapangan dari laporan mahasiswa. Akademisi berperan sebagai anggota dewan riset daerah. Pemda Sumut memberikan akses khusus dewan riset. Nani dari PAMJAKI, cara-cara sosialisasi yg dilakukan asuransi swasta, dapat diadopsi. Pemilihan dokter pelayanan primer harus disiapkan. Prof. Budi Hidayat, SKM, MPPM, PhD (Universitas Indonesia) menimpali, saat ini, yang dibutuhkan adalah formulasi "what next step". Harus ada orang atau institusi yang bertanggungjawab untuk formulasi dan menjaga keberlanjutan konsep yang telah didiskusikan selama tiga hari ini. Harus ada satu tim untuk mengkristalkan atau menyimpulkan seluruh konsep. Menagih janji-janji seluruh supporter untuk aksi nyata (bukan hanya janji).

Working Groups (WGs) terkait Pilotting Cakupan Terhadap Sektor Informal Menuju UHC

Working Groups (WGs) Terkait Pilloting Cakupan Terhadap Sektor Informal Menuju UHC
(ada empat working group dengan tema yang sama)

Perkenalan dan Tujuan dari working group: pertama, mencapai konsensus terkait cakupan dan tujuan pilloting. Kedua, mengembangkan detail rancangan, implementasi dan strategi dari kebijakan untuk subsidi yang belum tercakup dalam jaminan kesehatan nasional. Ketiga, lingkup isu kerja: rancangan penelitian operasional, implementasi (dimana, siapa). Manajemen Sistem Informasi, Manajemen dan Evaluasi, serta dokumentasi. Keempat, memberikan hasil bagi masukan kebijakan

Diharapkan working groups ini mencakup rancangan penelitian yang sifatnya operasional, berdasarkan bukti kebijakan. Evidence policy, kebijakan dalam bidang apa yang sesuai? Rujukannya: matriks hari pertama dan kedua, rekomendasi JKN-Setgab untuk melaksanakan SJSN. Regulasi tentang PBI. Working groups dipandu oleh Prof Charles dari Universitas Atmajaya, Umar Universitas Islam Nasional, dr. Julita Hendrartini dari UGM, dan dr. Erna dari Unair.

Moderator sesi ini ialah Dr. Atikah Adyas, MDM, AAAK (JLN Indonesia country core group)

Kelompok 1 menyampaikan Social Marketing, kelompok masyarakat akan dicapai dengan pendekatan RCT ke aspek ekonomi, mengambil sampling daerah. evaluasi CIA dan CBA nya. Lembaga keagamaan, sektor informal akan diketahui setiap 6 bulan, aspek kesinambungan, kepesertaan dan angka kesakitan. Serta komplain yang terjadi, kelompok informal perlu ditegaskan bagaimana pendaftarannya, desainnya, bagaimana pengumpulannya dan bagaimana penanganannya. Bagaimana menarik iuran? Maka langsung dapat kartu peserta jika daftar Jamsostek.

Penanganan keluhan dari provider pelayanannya terstruktur dan berjenjang. Bagaimana pelayanan diberikan, tiga faskes utama: Puskesmas, klinik pratama dan dokter praktek mandiri. RS Kabupaten kota, RS Provinsi dan RS Nasional. Penanganan keluhan ada institusi yang dilibatkan: DPRD, media massa dan sebagainya. Pendataan bisa melibatkan sektor informal, keagamaan, klub olah raga RT RW. Start 1 Januari 2014, Juni akan dievaluasi. Bagaimana komunikasi dengan daerah, integrasi sistem informasi, kerjasama dengan daerah pilloting-dengan MOU atau legal basis. MOU dengan perguruan tinggi lokal. Penanggung jawab Bappenas-Kemenkes terlibat di dalamnya.

Kelompok 2 memaparkan pengembangan harus terbatas dan bisa diimplementasikan BPJS untuk mewujudkan UHC. Bekerjasama dengan informal-pekerja bukan penerima upah. Otonomi daerah-pemerintah daerah harus menyelenggarakan jaminan sosial untuk masyarakat. Belum menentukan lokasi ada dua kelompok besar: 60% pertanian dan perikanan, 40% di sektor jasa dan non jasa. Wilayah khusus-bencana, terpencil, zona ekonomi. Apakah disitu tersedia fasilitas kesehatan? Primer dan sekunder apakah ada? Indikator: kepatuhan membayar iur.

Kelompok 3 dan 4 menyatakan research action desain yang akan digunakan. Lokasi yang ditetapkan tergantung komitmen pemimpin daerah-misalnya Jamkesda, ada kecukupan APBD jika menggunakan mekanisme subsidi, rasio sektor informal lebih besar, tersedianya bank pemerintah yang join dengan BPJS Kesehatan. Bagaimana implementasi dengan bank tersebut? BNI, BRI, Mandiri. Bisa bekerjasama dengan organisasi kaki lima untuk memudahkan pengumpulan iuran. Kepesertaan informal, pelayanan dengan provider yang dilakukan dengan BPJS Kesehatan. Monitoring meliputi pengaduan, keluhan dan klaim. Kepesertaan Pelayanan dan Keuangan-embrio di Askes. Dokumentasi: pencatatan dan pelaporan. Analisis hasil: Cost benefit analisis dan analisis deskriptif.

Akan ada refleksi dari pengambil kebijakan pada sesi berikutnya.

Bagaimana mengatasi keluhan? Randomisasi-mana yang dilakukan intervensi secara alami-dampak pada financial protection. BPJS di-pilotkan untuk melihat model mana yang terbaik. Agromelasi seiring dengan project dan bisa hilang. Misal, Haryono Suyono sebagai pionir program KB ini terkait hajat hidup orang banyak jika ada kekeliruan segera perbaiki. Pola pendaftaran, rekruitmen peserta, pelayanan. Lihat dulu kondisi dan lokasi BPJS Kesehatan 2014-2019. Pola pendaftaran dan penyebaran informasi bagaimana mengubah perilaku melalui social marketing. Pemahaman dan trust terhadap Askes sosial, bisa mengubah pola pembiayaan. Bagaimana menghimbau masyarakat melalui social marketing. Bisa melalui pendaftaran premi (agen) atau chanel terkait.

Apakah diperlukan analisis komparasi?

Belum ditetapkan di beberapa daerah, sehingga sektor informal dibanding penduduknya cukup besar. Dari daerah itu, ada beragam sektor informal yang ada disana bisa mewakili daerah lain. Kelompok 1, mengambil beberapa daerah untuk contoh misal daerah yang sektor informalnya banyak sebagai gambaran, kuadran 3 dan 4.

dr. Umar menambahkan bagaimana kegiatan ini sukses? Jadi, daerah yang diambil cukup mempunyai sektor informal namun memiliki sisi finansial yang menjanjikan. BPJS bisa collapse jika seluruh orang menggunakannya bersamaan.

Prof. Charles, partisipasi dan aksi yang utama, harus benar-benar berhasil. Jadi ini merupakan pengembangan bukan uji coba.

implementasi informal 2014 harus sukses, diperlukan satu fokus pengembangan terbatas hal-hal tertentu yang harus sukses. Pengkajian yang memperkuat sektor informal. JSN, kontrol dari stakeholder membina dan mengawasi wajib.

Kemenkes - Perbaikan dalam regulasi, empat hal dalam pilloting: kepesertaan, pelayanan, klaim pembayaran, monitoring dan evaluasi instrumen (penanganan keluhan).

Bappenas - melibatkan akademisi, asosiasi, informal. Pro kontra tidak terlepas dari pemahaman, bagaimana cara meraih BPJS Kesehatan.

Efek sebenarnya yang diujicobakan, bukan main-main namun serius. Belajar mengukur intervensi-instrumen-yang membantu saat scalling up. Masukan hal lebih detail lebih bermanfaat.

Kemenkeu - waktu pelaksanaan harus jelas, pasti ada ICW nya atau lembaga yang mengawasi bukan Depkes atau pemerintahan. Harus ada yang dari luar yang mengawasi.

Ringkasan dan Rangkuman Seluruh Sesi Hari kedua HLF

Ringkasan dan Rangkuman Seluruh Sesi Hari kedua (Senin, 30/9/2013)
Disampaikan oleh Prof. Budi Hidayat.

Bappenas menyampaikan tentang makro ekonomi, jangan sampai tertinggal program jamsos ada massa demografi yang harus diraih. Program yang long term harus dilakukan. UU SJSN dan UU BPJS mengatur BPJS Tenaga Kerja (Jamsostek) dan BPJS kesehatan (PT Askes). Bahkan sudah ditetapkan mimpi besar yaitu mimpi UHC final tahun 2019. Kepesertaan: pengalihan Jamkesmas, TNI, POLRI diintegrasikan single diolah BPJS Kesehatan. Konsep perluasan peserta melalui swasta dan mandiri (informal). Regulasi yang mengatur sektor informal menyebutkan definisi sektor informal ialah pekerja di luar hubungan kerja dan tidak menerima upah secara pasti. Sektor informal di Indonesia sekitar 60% dari jumlah tenaga kerja. Pendapatan mereka kecil, hanya sekitar 1,5 juta (data Bappenas). Pekerjaan tidak permanen, ketika sudah masuk BPJS bisa pindah tiap saat dan mobilitasnya tinggi. Pendapatan tidak stabil butuh jaminan keberlangsungan untuk program. 16% yang memiliki rekening bank atas nama sendiri, 86% dibayar secara tunai. Skenario pengalaman banyak negara, tiga skema: contibutory-non contributory dan kombinasi keduanya. Solusi: pertama, optimalisasi Pemda, kedua optimalisasi lembaga di masyarakat (Koperasi dan lain-lain). Aspek hukum kelembagaan perlu dikaji. Ketiga, banyak inovasi yang perlu dilakukan

Kemenkes menyampaikan mengenai UHC di Indonesia, apa yang terjadi 10 tahun yang lalu. Asuransi komersial baru 11% dari yang ada-out of payment. Tahun 1969 Askes-PNS, awal 1970 kartu sehat, 1992 reformasi bidang pembiayaan (UU Kesehatan dan UU Jamsostek), tahun 2004 UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Tahun 2005 program Askeskin, lalu muncul Jamkesda. 2011 UU BPJS yang menggiring pelaksanaan JKN 2014. Roadmap UHC di Indonesia-konsensus dicapai 2019. Peserta, regulator, BPJS dan provider sebagai pemain utama UHC. Isu dari Wamenkes: definisi kelompok sektor informal, sumber data yang ada varian sektor informal, sebagian besar tidak dijamin asuransi. Ada yang banyak membayar sendiri. Jika bayar sendiri, bagaimana pengumpulannya? Strategi terbaik apa untuk mencapai UHC

DJSN banyak melaporkan perlu adanya transformasi sektor informal ke formal, lebih banyak isu terkait pensiun. Jaminan kerja Indonesia masih bermasalah, dari informal ke formal. Jadi, harus ada upaya reformasi jaminan sosial harus dibenahi.

WHO menyampaikan pemerintah harus menambah akses pelayanan, meningkatkan kualitas dan proteksi finansial. Ada dua yang harus dipenuhi untuk mewujudkan UHC, komitmen subsidi lancar, kebijakan mandatory wajib. Ini harus lengkap untuk mencapai UHC di Indonesia. Tantangan untuk UHC : bagaimana mobilisasi dana dan membedakan mana yang miskin dan non miskin. Ini akan hilang jika kita gunakan non contributory. Kerangka praktisnya, jika jaminan sosial tercapai maka mustahil UHC tercapai. Pencapaian sumber daya sedini mungkin, reformasi ke sistem pembayaran provider (line budget). Mutlak dilakukan sendiri, ada paket subsidi dan mandatory. Skema pembayaran beralih ke kapitasi dan DRG. Motivasi politik untuk sektor informal.

JKN akan memperbaiki akses dan ekuitas atau tidak? Desain JKN PBI hanya bisa menggunakannya di kelas III. AS dan Eropa memulai dari formal, akses hanya dinikmati kelompok mapan. Cakupan tumbuh seiring pertumbuhan ekonomi. Empat pilihan kebijakan non miskin: subsidi, alokasi budget (Thailand-manfaat komprehensif), komplemen yaitu subsidi dan iuran. Kapasitas fiskal dan prioritas kebijakan kesehatan di Indonesia,prioritas pemerintah pada kesehatan masih sangat kecil. Asia rata-rata 11% alokasi kesehatan namun Indonesia hanya . Ekuitas efisiensi-meningkatkan prioritas dan belanja kesehatan. Peran Pemda untuk mengangkat sektor informal.

Dinkes Purbalingga menunjukkan kemampuan dan kemauan membayar Jamkes, mengubah pikiran orang untuk peduli pada kesehatan.

Reportase sesi 4 HLF

Pembelajaran Mendalam :
Pengalaman Antar Negara dalam Mencakup Sektor Informal.

Pengalaman dari Prof. Soonman Kwan (Korea Selatan), Dr. Phusit Prakongsai (Thailand), Gautamard wa World Bank-TBC (India), Dr Le Van Kham (Vietnam), Dr. Pujianto (Afrika), Dr. Shirley Domingo (Filipina), dimoderatori oleh Jack Langen Brunner (AusAid).

Jack mengungkapkan telah mendengar tentang karakteristik informal dan proyek percontohan. Ia sangat kagum ada banyak kegiatan, inisiatif dan sikap proaktif untuk menjangkau sektor informal. Jack menambahkan, banyak pakar Internasional sangat terkesan dalam pencapaian UHC. Sesi kali ini khusus dibuat untuk pembelajaran dan sharing pengalaman negara yang melaksanakan UHC. Pengalaman dari banyak negara, dua negara yang berhasil menjangkau informal dengan cara yang berbeda yaitu Thailand dan Korea Selatan. Sesi akan berjalan dengan topik khusus yang akan disampaikan dari Jack untuk para panelis. Dr. Phusit memaparkan pembelajaran dari Thailand dengan cara pendekatan secara nasional. Apa yang sudah tercapai dan apa dampaknya pada keuangan negara dan dampak lain.

Thailand sudah mencapai UHC tahun 2002, namun kita juga melakukan pendekatan berdasarkan target pada populasi yang berbeda. Misalnya grup target yang hidup di bawah garis kemiskinan dengan melanjutkan jaminan kesehatan untuk formal (pada 1990). Sektor informal memulai dengan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Awal-dari masyarakat miskin, lalu diikuti kelompok lain-difabel, orang tua. 1994 proyek percontohan untuk asuransi kesehatan sukarela seperti yang disampaikan tadi. Berdasarkan perkembangan ini, kita mengupayakan pendekatan berdasarkan target ketika kita lihat kita mulai mengidentifikasikan kesulitan yang ada.

Pemerintahan baru berkomitmen mencanangkan program UHC, maka kami mengembangkannya di masyarakat secara luas. Pendapatan per kapita di Thailand dari sektor publik, kita memulai kesejahteraan/kesehatan 350 US pada saat itu. Tahun 2002 saat mencapai UHC kita dalam situasi pemulihan dari krisis ekonomi. Untuk mencapai UHC, lebih terkait pada komitmen politis dibanding situasi ekonomi. Hasil awal yang diperoleh Thailand: ada iur dan subsidi dari pemerintah, UHC didanai dari pajak. Untuk sektor formal skema jamsosnya iuran dari karyawan dan perusahaan dan subsidi dari pemerintah. Tiga skema ini bergabung untuk mewujudkan UHC dengan manfaat dan metode pembayaran yang berbeda. Skema kapitasi untuk membayar provider faskes. Rate kapitasi 25-80 US per kapita/tahun, ini nilai pendanaan yang dilakukan. Dari tingkat penggunaan dari tingkat inflasi setelah tahun keempat, karena ini cukup umum pada awal skema selama dua tahun pertama tidak meningkat. Tahun kelima meningkat, jadi kita akan melihat peningkatan per kapita dan menerimanya. Jika melihat di RS peningkatannya lebih rendah dibandingkan 2003-2013.

Terkait proteksi finansial UHC bisa mengurangi jumlah keluarga yang beresiko jatuh miskin. Rata-rata presentasi keluarga yang membayar kesehatan atau perawatan kesehatan besar berkurang sejak 2002. UHC didanai pajak bisa melindungi keluarga dari kebangkrutan. UHC terdistribusi di seluruh negara, tergantung tingkat penghasilan. Masyarakat di kuarter 1 dan 2 disubsidi besar, kuarter 5 (kaya) tidak didanai UHC. Pola pendanaan, memulai UHC tahun 2002 pengeluaran di Thailand 34-35% dari GDP negara. Karena GDP meningkat, total pengeluaran per kapita 280 dolar dan UHC 90 per kapita. Cara untuk menentukan proyek keberlangsungan secara finansial, Anda menemui bahwa pada 2025 kita masih memiliki kemampuan untuk menyediakan skema ini dari pajak umum.

Prof. Soonam Kwan dari Korea Selatan, kami tidak menggunakan sektor informal kemudian tahun 1989 memperluas cakupan pada pekerja informal. Asuransi kesehatan diberikan pada pekerja mandiri ada kontroversi karena pemerintah harus membayar separuh preminya. Perusahaan sudah membayar premi. Jika mandiri, mereka membuat pemerintah membayarnya. Saat itu, pemerintah memiliki kemampuan membayar. Petani merupakan kekuatan politik saat itu, akhirnya diberikan separuh preminya.

Nilai peningkatan subsidi hanya 25% dari total premi asuransi. Saat ini, model campuran yang diterapkan seperti Taiwan dan jepang, bagaimana memgukur kemampuan membayar? Lalu kami gunakan pajak kendaraan dan perumahan, kita tidak memulai untuk subsidi yang penuh. Tidak ada yang gratis di Korsel. Itulah pola berpikir pekerja di Korea. Jika ada subsidi, selalu ada kontroversi. Skema subsidi penuh hanya diberikan pada 3-4% dari populasi. Proses seperti ini banyak masyarakat yang melakukan demo ke lembaga asuransi. Pemerintah hanya menggunakan single pay scheme jadi semua orang memiliki manfaat yang sama. Persoalan jika ada subsidi penuh pada sektor informal kurang baik, karena masih bernegosiasi pada para pekerja mandiri.

Dari awal hingga UHC, tahun 1977 pada pekerja. Lalu UHC berhasil diraih pada 1989 sehingga prosesnya memakan waktu sekitar 12 tahun. Ada 350 perusahaan asuransi swasta di Korea (tercatat tahun 2000) untuk pekerja dan kelompok yang lain. Pekerja mandiri berdasarkan regional, kabupaten kecamatan. Proses asuransi dan klaim sangat terkonsentrasi, pembayaran para provider juga seragam. Tahun 2000 ini sudah tidak sulit untuk menjadikannya tersentralistik. Konteks Korea bisa berbeda, Korea merupakan negara yang kecil. Ada subsidi penuh, dan kombinasi antara subsidi dan iur. Hal yang perlu diingat, proses akan berbeda dengan negara lain.

Dr. Pujianto dari Kementerian Kesehatan berkesempatan sharing knowledge dengan Rwanda (dan juga negara Amerika Latin dan Afrika lainnya) pada Agustus 2013. Rwanda merupakan cerita sukses UHC. Jalanan disana belum beraspal, pendapatannya 644 US dolar per kapita dan total penduduknya hanya 10 juta jiwa. Sistem pemerintahan-terdesentralisasi atas kinerjanya. Asuransi menggunakan skema community based insurance. Hanya 5% yang bekerja di sektor formal dan 95% lainnya bekerja di sektor non formal. Rwanda pernah mengalami genoside tahun 1990 dan menyebabkan sekitar 20% penduduk meninggal. Akhirnya, tahun 1993 perang saudara selesai, 1994 diberlakukan free care, tahun 1996 dikenakan tarif ketika terjadi pelayanan. Tahun 1997 evaluasi dan beban untuk APBN. Disana dimulai dengan 3 kabupaten dan 22 puskesmas untuk pilot project.

Tahun 1999 untuk pilot project, dan evaluasi dilakukan pada 2005 hasilnya program ini berhasil. Awalnya ditarik biaya 1000 franc-15 ribu rupiah.org/tahun, maka terjadi inequity yang kaya membayar terlalu kecil. Lalu ada kebijakan progresif, 2012 ada pembedaan masyarakat, yaitu 1000 Franc, 3000 Franc dan 7000 Franc. Subsidi penuh ada 25% penduduk, lalu 69% menengah dan 2% yang dibiayai pemerintah (0,04% yang ikut UHC).

Hal yang membuat program ini berhasil: basis kesukarelaan, komitmen kuat mulai dari presiden hingga bupati. Ada dua kali pertemuan presiden dan rakyat, jika pejabat tidak baik bisa langsung diganti. Kemendagri sebagai pemberi otonomi bisa dievaluasi kinerja daerah. Ekspansi program berhasil karena partisipasi dari masyarakat. Modal sosial misalnya gotong royong, RT RW, Puskesmas. Ada anggota desa 30 KK per desa. Ada komite mobilisasi yang bekerja selama 2 tahun untuk mobilisasi peserta dan chaneling informasi. Ada juga kader, mereka mendapat insentif terbesar jika ibu hamilnya melahirkan di fasilitas kesehatan (10 dolar). Akses pelayanan dan penggunaannya masih terbatas. Bupati yang menjadi speaker dan leader berhasilnya UHC di Rwanda.

Dari sana kita bisa belajar, UUD mengamanatkan UU SJSN, maka bupati harus meraih ini, peran Kemenkes di Rwanda kampanye nasional sebulan sebelum open enrolment yang melibatkan seluruh stakeholder. Pendanaan melalui subsidi dan pajak, perbedaan miskin dan tidak.

India 1,2 Milyar penduduk, 19% nya bekerja di sektor informal. Garis kemiskinan masih diperdebatkan. Jika ada dibawah nilai tertentu, maka ia berada di bawah kemiskinan. Data terkait kemiskinan ditentukan Pemerintah pusat. Statistik tahun 2007, 77% biaya dari masyarakat dan 20% di bawah kemiskinan. Banyak yang mendanai kesehatan dari uangnya sendiri. PM India skema untuk mencakup yang di bawah garis kemiskinan, juga tindakan medis. 30ribu rupe atau 500 dolar mekanisme 75% dari pemerintah pusat, 25% negara bagian. 1 dolar dari penerima manfaat.

Jika membayar, akan tahu apa yang dibeli dan digunakan, RS mana manfaatnya mana? Pemerintah daerah ikut berkontribusi ada di pemerintah pusat. Jika daerah bayar, maka akan ada rasa kepemilikan. 25% dari premi, dari 29 negara bagian ada 28 yang ikut UHC. Program regional pemerintah negara bagian, mekanisme yang berbeda, mereka lakukan di satu daerah dan menciptakan ekosistem. Keikutsertaan ini yang disebarkan ke seluruh negara, mencakup di atas garis kemiskinan melalui jenis pekerjaan.

Dr. Shirley Domingo, Filipina, perbedaan miskin dan informal. 1995 UU membuat perusahaan asuransi mirip BPJS di Indonesia. Sampai 2012 identifikasi miskin, nasional dan lokal untuk pembayaran premi. Isu polirtik masuk dalam hal ini. Bagaimana mengidentifikasi yang miskin, dan yang bergaji dianggap informal. Tahun 1999 muncul UU yang membedakan sektor informal orang yang memberi layanan seperti petani. Pembayaran sektor informal: contributory dan mereka membayar premi. Harusnya ini contributory, pemerintah nasional, UU beberapa tahun lalu, untuk membayar premi dari masyarakat miskin. Desember 2012, pajak barang mewah atau cukai untuk rokok dan alkohol. Lobi dan prioritas sangat kuat, pajak barang mewah dibagi. 85% dari barang mewah ke kesehatan dan 15% untuk asuransi sosial. Tahun 2014, alokasi 35 Milyar peso untuk melaksanakan UHC, 800 ribu US untuk yang miskin, 30% dari populasi adalah warga miskin.

Dr. Le Van Kham (Vietnam) seluruh warga wajib ikut skema Auransi (UU). namun baru 57% yang masuk. Hal ini terjadi karena ada gap antara UU dan realisasi, banyak yang belum patuh. Melihat kekhawatiran sektor informal: untuk mencakup sektor informal. Tahun 1998 mereka masuk ke asuransi, mereka terbatas untuk membayar biaya, medis. miskin, hampir miskin, petani, nelayan. Jadi, kita hanya gunakan satu skema secara masal. Prioritas skema kontribusi untuk yang paling miskin-beban pemerintah dan masyarakat. Pemda berperan untuk mobilisasi sumber daya lain untuk mendukung tercapainya UHC. Beberapa kantor yang mensubsidi hampir 100% dalam pelaksanaan asuransi kesehatan. ini merupakan komitmen dan membagi subyek khusus bagi jaminan sosial.

Manfaat apa yang diberikan sektor formal dan non formal. mengapa informal tak mau terlibat? Mereka tak mau terlibat karena

  1. manfaat yang belum jelas jika ikut
  2. melihat kualitas layanan dan cara mengakses
  3. kegiatan komunikasi pada media massa-talkshow iklan spot di radio

Kantor jaminan lokal bekerja dengan Pemda, misal LSM untuk mendorong komunikasi melalui dialog pada masyarakat. mendukung pekerja marjinal untuk bisa melakukan mobilisasi. Ada banyak tantangan untuk mencakup informal, tapi pemerintah menggunakan peta jalan untuk mencapai cakupan 80% dari warga negara pada 2020.

Penanya: sektor informal-jika pekerja mandiri membayar 25% dari premi apakah jika ada krisis ekonomi apakah ada bantuan?

Jawab: pekerja mandiri Korea terdaftar dan membayar pajak. sebagian kecil dari mereka yang tidak membayar pajak penghasilan. bisa mendapat asuransi kesehatan, bahkan jika tak punya pendapatan namun jika punya barang mewah maka harus membayar.

Penanya: Prof Bambang, Rwanda mampu membiayai warganya melalui UHC secara fiskal, bagaimana dengan Indonesia?

Jawab: Dr. Pujianto menyampaikan di Rwanda kontribusi 55% dan co payment 5 %, dari pemerintah 21% dan donor 11%. sustainability tergantung pada donos, 50% dari donor. CBHI UU nya belum ada, namun komitmennya kuat jadi tetap berjalan.

bagaimana untuk satu orang yang tidak membayar premi?

Filipina-negara kepualuan metode marketing dari kelompok yang terorganisir-marketing pada kami. melalui media juga, kita juga mendorong kemitraan pada pemerintah. perusahaan swasta juga terlibat, LSM juga. tidak ada sanksi untuk orang yang membatalkan kepesertaan. sanksinya hanya 3-6 bulan agar terjamin kembali.

Vietnam-komunikasi dengan masyarakat, kita juga dialog pendidikan dengan masyarakat (formal dan informal) melalui kader untuk kampanye jamkes. kami menyampaikan bahwa jamkes adalah kewajiban. kami sampaikan manfaat jika ikut jamkes. kita dekati melalui segi budaya. pemerintah bertanggung jawab untuk merawat keluarga. ada banyak kategori pelajar, anak-anak dan sebagainya.

Sosialisasi dari pelajar ke orang tuanya untuk memiliki asuransi kesehatan. kampanye kesehatan untuk semua, kesehatan adalah hak untuk semua. kenaikan level kesehatan berkontribusi pada pendapatan (GDP). mengapa masyarakat tidak mau membantu mewujudkan ini?

Vivi (Bappenas) menambahkan bagaimana mewujudkan komitmen politik tersebut.

Korea Selatan mencapai UHC pada tahun 1988 karena pada 1987 salah satu kandidat perdana menteri dari militer dan mereka berjanji saat kampanye akan memperluas cakupan pada pekerja mandiri.

Thailand-UU yang menjamin kesehatan warga negara jadi UHC disini sudah bagian penegakan konstitusi. Pemilu tahun 2001 salah satu partai berjanji untuk menjamin kesehatan bagi semua, sehingga roadmap nya sudah jelas.

sesi 3 : Analisis Situasi Indonesia, dengan Studi Kasus tentang Perluasan Cakupan Menuju UHC

Analisis Situasi Indonesia, dengan Studi Kasus Tentang Perluasan Cakupan Menuju UHC.
Strategi dan Manfaat dari Mencakup Sektor Informal: Komitmen Politik dan Dimensi Teknis.

Sesi kali ini disampaikan oleh Usman Soemantri, Sekjen Kementrian Kesehatan: Opsi Kebijakan dan Strategi untuk Mencakup Sektor Informal. Kedua, Prastuti Soewondo dari Kantor Sekretariat Wakil Presiden dengan materi Hasil Evaluasi Cepat Sektor Informal Kabupaten Terpilih. Ketiga, Ferry-Dinkes Provinsi DKI dengan paparan Pengalaman Jaminan Kesehatan Sektor Informal. Panel ini dimoderatori oleh Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MSc, PhD dari Universitas Indonesia.

Prastuti Soewondo menyampaikan perlu adanya assesment - mengenai gambaran apa yang sudah berjalan. Pengumpulan data sekunder dan primer-masukkan dana bergerak. Jamkesda yang dibiayai APBD, dibagi antara kabupaten dan kota, ada dua provider dalam pelaksanaan BPJS, mulai dari layanan dari provider sendiri atau kolaborasi antara Askes dan provider. Manajemen yang terbaik atau tidak, ada data yang dobel atau tidak. Ada pula pemeriksaan tanpa analisa sehingga tidak ada pemeriksaan lebih lanjut, tidak ada informasi status pekerjaan. Badan amil Zakat untuk mendekatkan dengan warga (Padang). Kerjasama dengan local leaders saat BPJS 2014 dimulai. Dibutuhkan training manajemen-akunting-dibutuhkan. Pola membayar listrik-jadi bisa melalui institusi apapun untuk membayar. Maka, intermediary agent harus diperjelas.

Apa yang paling mungkin untuk mewujudkan mitra dalam pembiayaan ini? Pertama, agen komunitas lokal-kader kesehatan, bisa termasuk marketing-registrasi dan lain-lain. Kedua, PPOB. Ketiga, virtual. Keempat, e-money atau e-wallet. Kelima, pelibatan tenaga kesehatan misalnya bidan nakes atau pekerja di kantor kecamatan.

Ferry, Dinkes DKI. Waga DKI sekitar 9,57 juta warga, 4,7 juta nya menerima Kartu Jakarta Sehat (KJS) atau 50 persen dari jumlah warga. KJS terbagi menjadi dua, yaitu warga miskin dan rentan. Premi yang dibayar yaitu 23 ribu dibayar Pemda DKI atau sekitar 1,3 Trilyun per tahun. Penduduk miskin Jakarta yang terdata dalam BPS: 1,2 juta. Sektor informal: warga rentan yang penghasilannya tidak pasti. 3,2 juta pendaftar namun baru 2,9 juta yang kartu KJS-nya tercetak. Warga rentan yang mempunyai ciri khas sendiri, banyak warga yang kurang berminat atau belum tertarik pada KJS.

Jumlah kunjungan sejak ada KJS meningkat. Kunjungan pasien di RS naik sekarang sudah stabil. Kepesertaan tidak masalah, pelayanan-pembiayaan yang masih bermasalah. Warga rentan: penyakit kronis dan rawat inap. Utang, calo, tidak diijinkan pulang masalah yang sering ditemui dalam pelaksanaan KJS.

Masalah ini budaya atau pemahaman yang kurang?

Kebijakan yang memudahkan, pertama, status kepesertaan-nomor registrasi sudah masuk ke KJS. Kedua, pembiayaan di kelas III. Ketiga, memaksakan pada RS untuk melaksanakan skema INA CBGs. Solusi meliputi perbaikan pola rujukan berjenjang, perbaikan tarif, perbaikan kerjasama dengan penyedia faskes swasta, perbaikan sarana dan prasarana. Kedua, pelaksanaan KJS-memperbaiki fasilitas dan sistem pembiayaan yang dilakukan yang Layak.

Penanya: Prof. Charles Suryadi dari Universitas Atmajaya: pemulung memiliki pola paternalistik ada kelompok menengah ada yang bosnya ada pula yang termiskin.

Lalu, Prof. Rohr, kontribusi terbesar 10 ribu rupiah, Jamkesda-KJS 25 ribu rupiah, ekpektasinya akan seperti apa?

Kemudian, Odang Mochtar bertanya sembari mengkritisi melalui pertanyaan jika pola Purbalingga 120 ribu/tahun ditambah 10% penyelenggara dari Askes akankah secara nasional bisa bertahan? 86 juta PBI apakah mungkin 1/3 nya informal yang tergolong mampu? Miskin dekat miskin dihitung sebagai PBI. UU SJSN UU Kesehatan menggalang contibute risk.

Prof. Budi Sampurna menambahkan rekomendasi Prastuti bagaimana rekomendasi bisa diadaptasi? Kita lebih membutuhkan bukti yang lebih rasional. Pengalaman KJS yang akan terjadi juga di BPJS. BPJS di tahun 2014 akan booming. JKN produk superior-nanti bisa orang kehilangan kepercayaan jika dibuat murah. Simulasi uang yang cukup besar untuk manajemen resiko.

Usman: sektor informal-> skemanya akan ditanggung pemerintah. Lombok Barat-masalah sustainability menjadi tantangan terbesar meski bupati turun ke lapangan. Enam bulan tidak sakit, mereka tidak bayar. DJSN mereka melakukan evaluasi secara rutin terkait perekonomian juga. DJSN bagaimana kebutuhan fiskal, kebutuhan negara. Hal ini sebenarnya masalah komitmen. Bupati Purbalingga memiliki komitmen yang luar biasa, meski pendapatannya rendah. Mau tidak mau orang yang mampu akan membayar sendiri. Biaya kesehatan elastisitasnya luar biasa. Seberapa baik pelayanannya itu yang dikhawatirkan.

Prastuti menambahkan PBI mana yang cukup untuk membiayai? Individu, keluarga atau grup? Variabel income, jenis pekerjaan belum diklasifikasi formal/informal. Rumah tangga yang meng-klaim 5-7%. KJS jalan, 12 RS mundur Dinkes siap memberi alasan yang kuat. Setelah masuk banyak pasien yang mendaftar KJS. Ini masalah yang rumit. KJS : pelayanan-pola rujukan. RS Tarakan kelas III: 30% dan ini sangat membebani. Hal ini yang masih diperjuangkan oleh Pemprov DKI. RSUD penuh, KJS-berapa kami dibayar, bayar pakai INA CBGs. Lalu, pasien KJS banyak yang ditolak. Produk inferior atau normal-jika below market cost swasta tidak bisa ikut. KJS: program baru INA CBGs di Jakarta, selama ini tidak menjalankan Jamkesmas. Barang publik diatur pemerintah.

sesi 2: Mencakup Sektor Informal Untuk Mencapai UHC : Apakah Pengalaman Global dan Bagaimana Relevansinya?

Mencakup Sektor Informal untuk Mencapai UHC :
Apakah Pengalaman Global dan Bagaimana Relevansinya?

Sesi ini disampaikan perwakilan WHO yaitu Joseph Kutzin. Dari persentasi panelis bahwa sektor informal sangat beragam, dan mereka ini menerima pendapatan yang tidak tentu dan tentunya kita sudah familiar soal ini. Seperti juga Indonesia sangat sulit untuk mendapatkan pajak dari sektor ini baik pajak penghasilan atau perorangan karena sektor iki sangat kecil dan sulit untuk memobilisasi sumber daya. Pembayaran premi asuransi kesehatan secara sukarela, mereka cenderung mempertahankann status informalnya untuk menghindari pajak. Berdasarkan defini miskin, hampir miskin sebetulnya yang kita inginkan adalah bagaimana menjamin kesehatan mereka. Negara-negara seperti InggrIs, mereka juga punya masalah beragam soal ini namun sektor informal ini berhasil mengatasinya melalui skema UHC.

Tidak ada jaminan negara yang mencapai UHC secara sendiri. Selalu ada kelompok masyarakat yang tidak mampu untuk membayar. Beberapa negara mengandalkan kontribusi langsung dari masyarakat. Semakin besar negara tersebut bergantung pada pendapatan negara maka semakin muncul persoalan disitu. Poin dari saya di semua negara kita sangat memikirkan persoalan pendanaan ini. Tidak bisa ada perubahan sistem lalu semua bisa lebih baik tapi bagaimana kita mendorong penggunaan sumber daya secara efektif untuk ditekankan. Ini kesimpulan teknis dari penerapan universal. Ada beberapa isu politis dibeberapa negara, pertama di Meksiko mendorong UHC ada upaya untuk mengurangi ketimpangan dari manfaat dan pendapatan perkapita dari masyarakat. Karena masyarakat mengupayakan agar ada universal coverage bagi masyarakat. Krisis di Eropa juga membuat mereka berpikir ulang tentang kesetaraan dan keadilan bagi semua. maka bisa diupayakan dengan memperluas cakupan kepada sektor informal. Memulai jaminan kesehatan yang pertama adalah pada kelompok masyarakat yang sudah mampu dan secara mandiri memiliki asuransi kesehatan. Dinamika poilitik di Jerman misalnya tidak ada kementerian kesehatan mengalami persoalan pelik dengan teknologi kesehatan. Sehingga tantangan bidang kesehatan ini lebih pelik dibanding masa lalu. Di Indonesia kita memulai dengan sektor formal dan kita ingin mengintegrasikan dengan sektor informal juga tetapi masalahnya tidak bisa menghilangkan sejarah yang memulai dengan pihak-pihak yang sudah punya kemampuan.

Agenda jaminan kesehatan semesta yan ingin saya tegaskan adalah : kita tidak bisa serta-merta mengabaikan sistem secara lebih luas. Saya ingin mendiskripsikan beberapa pilihan yang mungkin diterapkan di Indonesia berdasarkan pengalaman di negara lain. Indonesia dalam 15 tahun terakhir sudah sangat berubah dalam kebijakan kesehatan namun nanti Indonesia sendiri yang akan memutuskan mana yang akan digunakan. Terdapat tiga kategori untuk pendekatan ini pertama, pendekatan sektor formal, akan ada kontribusi untuk sektor informal dan semua orang harus berkontribusi. Kedua, memberikan jaminan atau cakupan pembiayaan bagi semua orang yang tidak masuk di sektor formal. Ketiga, memberikan layanan kepada sekelompok orang, artinya mendefinisikan layanan tetentu untuk kepentingan tertentu

Kontribusi tidak bersubsidi oleh sektor informal masyarakat mampu. Hal ini bisa jadi pendorong sektor informal bisa beralih jadi sektor formal, tapi kerugian terbesarnya adalah tidak pernah berhasil dimanapun. Selain itu biaya penerapannya sangat tinggi. Pengumpulan iuran asuransi sangat menghabiskan biaya untuk menerapkan ini, namun sulit untuk dilakukan. Salah satu tantangan dan ini terjadi di beberapa pihak adalah pemerintah tidak mampu mengumpulkan pajak penghasilan. Tidak jelas buktinya sejauh ini dan ini bukan spesialisasi sektor kesehatan untuk mengumpulkan pendapatan. Sehingga untuk kesukarelaan de fakto itu sangat sulit diterapkan. Jadi alternatifnya bisa diihat dari sisi sebelahnya cakupan yang dibayarkan. Meksiko dan Thailand sudah mengambil cara ini. Dengan mendapatkan premi kecil lalu mereka angkat tangan dan biaya tidak cukup untuk mengumpulkan dana iuran. Indonesia punya keuntungan terkait Thailand dan Meksiko karena ada keinginan politis dari Indonesia untuk melakukan ini.

Kapasitas fiskal itu memang berada diuar kontrol kita. Seluruh dunia mempunyai tingkat yang sama untuk pengeluaran publik dari fiskal. Indonesia dengan kapasitas fiskal memeiliki kapasitas yang sama dengan negara lain. Jadi kapasitas fiskal memang penting tapi prioritas juga penting. Ada hubungan yang jelas antara apa yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk kesehatan dan apa yang harus dibayarkan oleh masyarakat. Secara data Indonesia itu sekitar 50% dan biaya pubik lebih rendah. Perbedaan ini penting walaupun opsi ini paling gampang dengan dibayar semua, tentu saja dari perspektif dunia indonesia punya kapasitas untuk mengeluarkan biaya kesehatan. Jadi ada pertanyaan apakah ini akan cukup untuk masuk mengambi opsi ini atau tidak.

Secara singkat kita lihat pendekatan ketiga langkah perkembangan yang bijaksana melalui universalization sekelsi dari layanan. Tidak bisa diberikan layanan pada semua orang. Ini memang menciptakan ketidak setaraan. Dan ini akan menimbulkan masalah untuk transisi. Jadi contohnya di Muldova mantan negara unisoviet. Mereka menggunakan kontribusi dari gaji dan pemberi pekerjaan dan tahun 2009 mereka punya 70 % populasi ini tercakup. Pendekatan terakhir adalah kombinasi yakni partisipasi bersubsidi dengan komitmen pubik yang tinggi untuk universality. Ini diterapkan oleh Cina dan Rwanda dan masing-masing memiiki 90% atau lebih coverage dengan skema pembayaran dari sukarela. Mereka memiliki pemerintah yang sangat kuat untuk memerintah pemeritah daerahnya. Tapi intinya bukan keuntungan tapi semua orang bisa ter-cover. Kedua adalah prioritas dari kesehatan ini harus ditingkatkan.

Penanya pertama. Odang Mochtar menyatakan dua hari terakhir ini kita harus menjawab bagaimana sektor informal ikut dalam UHC ini. Jika indonesia tetap menggunakan kontribusi apakah jelas bagi yang membayar iuran melalui dorongan sendiri mendapatkan manfaat standar dan bagi yang terbukti tidak membayar iuran kita berikan saja bantuan sosial. Kita sudah di persimpangan jalan dan sudah kita putuskan 1 Januari 2014. Ini bisa dilakukan dengan syarat bahwa pemerintah daerah harus menjadi bagian dan perlu kerja sama.

Penanya kedua, Debbie yang merupakan penasehat kesehatan AUSAID mengungkapkan kita mendengar tentang peningkatan kepercayaan dan keuntungan dari program ini. Jika kontribusi dari pemerintah itu akan meningkat per orang per bulan lalu kenapa harus ada kenaikan bagi layanan infrastruktur bangunan kesehatan dan sebagainya. apakah Anda punya bukti dari negara-negara lain, berapa peningkatan dari akses dan pasokan dari layanan kesehatan tersebut

Andi Afdal (PT. Askes) mengungkapkan kami sekarang sudah mengkonstruksi beberapa hal untuk menarik non formal untuk terlibat dan agar mereka bisa mampu membayar secara premi. Tapi kalau lihat persentasi tadi apakah ujungnya kita akan masuk ke general juga tidak? Bahwa peran pemerintah mereka kita bisa mengerti, tapi yang terpenting adalah bagaimana menarik orang agar mau ikut.

Penanya ketiga yaitu Robert. Contoh Anda yang terakhir terkait campuran itu yang saya pahami sektor informal harus melakukan kontribusi. Tapi tadi pagi kita dengar wakil menkens ini jadi campuran. Rwanda dan Cina juga melakukan campuran ini 90% dari pajak dan 10% kontribusi rumah tangga. Apakah anda melihat modal campuran ini lebih pada kontribusi ini dari keluarga yang kecil dari pada kontribusi negara?

Rumah sakit indonesia, yang diharapkan adalah seluruh warga negara memiliki akses pada pelayanan kesehatan dan ini memang sudah terjadi tinggal kita serahkan kepada pasarnya saja. Inflasi di biaya kesehatan jauh lebih tinggi dibanding inflasi umum sehingga kalau sistem JKM ini bagus maka mereka pasti akan datang. Selain itu, hal yang penting adalah bagaimana pengorganisasian untuk menarik premi. Ini adalah pendekatan hukum pasar untuk menarik informal. Saya kurang sepakat dengan Joseph tadi kalau ini bersifat kontribusi karena bagi saya hukum pasar akan berlaku

Tanggapan Joseph, opsi yang paling relevan disni adalah campuran dan intinya menjadi realistik dari campuran tersebut. Kemampuan untuk mendanai semua dari pemasukan umum itu tidak mungkin dilakukan. Memang ada UU tapi tidak mungkin semua orang membayar yang sama tetapi bagaimana mengorganisir sebuah sistem terutama pada lokal untuk bisa membuat orang sadar mengenai hal dan kewajiban mereka. Saya tidak tahu angkanya, 90% di China tapi ini mungkin berbeda dengan Rwanda. Karena kebutuhan kesehatan tidak terlalu tinggi di Indonesia dan ada hubungan eksplisit untuk melihat subsidi anggaran. Anda mungkin harus realistis masalah kontributor ini. Ada beberapa implikasi operasional yang tentunya berbeda antar negara. Untuk sektor informal tanpa ada bantuan dari pemda itu sangat tidak mungkin. Campuran dari pendanaan dari pihak ke 3, prinsipnya jika memang ada investasi untuk layanan UCH. Pada negara yang lebih stabil maka mereka beralih ke arah ke pembelian yang lebih eksplisit.

Reportase sesi 2

Analisis Keadaan Indonesia, dengan Studi
Kasus tentang Perluasan Cakupan Menuju UHC.

Identifikasi Populasi yang Tak Tercakup: Tantangan Teknis dan Solusi Potensial.

Sesi kali ini disampaikan oleh Elvyn G Massaya, Direktur Utama PT. Jamsostek, Hanung Sugiyantono, Kadinkes Purbalingga : Studi Kasus Kabupaten Purbalingga dan Andi Afdal, Kepala Grup Manajemen Manfaat, PT Askes. Sesi ini dimoderatori yaitu Prof. dr. Budi Sampurna, SpF, SH (Staf Ahli Menteri Kesehatan).

Elvyn G Massaya, Dirut Jamsostek menyampaikan masih terdapat banyak kerumitan situasi dan kesulitan akses. Ada sekitar 700 ribu pekerja informal Indonesia yang telah dicakup Jamsostek melalui JPK. Menurut pengalaman, biaya operasional untuk jaminan ini sangat tinggi. Sehingga harus ada cara baru untuk coverage bagi mereka: misalnya dalam hal pemasaran, registrasi, jaminan sosial diperlukan masing-masing individu, administrasinya tidak bisa seperti pekerja formal-sehingga harus khusus. Bagaimana iurannya dipungut? Manfaatnya pun harus akurat.

Jamsostek melakukan redefinisi model bisnis, memanfaatkan teknologi dan keuangan. Saat ini, telah dibangun 512 outlet jamsostek di seluruh kabupaten kota, pelayanannya bisa melalui banking dan ATM. Bahkan di daerah, ada motor dari bank mitra yang datang ke pasar/rumah tangga untuk mengambil iuran. Mobile phone-register melalui bayar pulsa dapat dimanfaatkan dalam hal ini. Metode ini sudah ada di Nigeria untuk mengatasi akses geografi yang jauh. Sementara, 170 juta nomor handphone di Indonesia, hal ini bisa dimanfaatkan. Bahkan jika perlu registrasi sektor informal bisa melalui mitra seperti: seven eleven, alfamart, carefour. Teknologi lain yang bisa ditempuh yaitu melalui e-money, kartu untuk menjadi peserta (BPJS Kesehatan), bisa daftar melalui ATM. Capture peserta melalui lembaga keuangan/penyedia teknologi. Misal: e-ktp atau ijin usaha, kepala daerah tingkat satu dan dua agar pekerja informal mendapat jaminan dari Jamsostek. Kartu jaminan sosial menjadi smart card untuk BPJS Kesehatan Tenaga Kerja, telekomunikasi ke bank dan lain-lain. Kartu tersebut bisa diberi loan, akses ke merchant.

Hanung Sugihantono-Pengalaman Purbalingga. Tembakau sirih alkohol pengeluaran dominan di Purbalingga. PBI per orang per bulan 19 ribu. Apakah perlu memikirkan orang yang tidak peduli pada kesehatan? Peserta Jamkes bisa dibagi menjadi dua, yaitu PBI dan non PBI. Penduduk miskin yang di-cover Jamkesmas. Perda Jateng di level Provinsi sudah berjalan 3 tahun MOU kabupaten kota. Tahun mendatang akan mengalami integrasi ke BPJS.

Jamkesda Provinsi-pelayanan rujukan tingkat 3. Belum seluruhnya berjalan, mudah-mudahan lebih baik. 800 ribu penduduk kekhasan tersendiri. Slogan yang ditanamkan dalam masyarakat "Yang kaya membantu yang tidak mampu, yang sehat membantu yang sakit". Mutu pelayanan dan tuntutan layanan yang lebih baik. Dari jumlah peserta yang terdaftar dalam Jamkesmas, iurnya ditarik kader dan ada lima ribu rupiah yang disisihkan untuk membayar kader. Tahapan yang berjalan di Purbalingga: sebelum 2010 untuk sosialisasi, tahun 2010 kemantapan dan 2015 kemandirian. Hingga saat ini, tinggal 11,8% dari masyarakat yang belum masuk BPJS. Komposisi pembiayaan APBD Purbalingga, APBD makin besar dan pembiayaan untuk Jamkesmas makin kecil proposinya. Bahkan, APBN tidak ada sama sekali, saat ini ditetapkan 120 ribu/KK per tahun.

Mampu dan tidak mampu ditetapkan sesuai kriteria bupati, rujukan rawat inap hanya di lokal, bukan diidentifikasi formal dan informal. Besaran biaya dan mekanisme pembiayaan yang telah berjalan baik. UHC, pekerja informal ada dalamnya karena kesehatan merupakan kebutuhan dasar. BPJS Kesehatan tempatnya dimana? Jadi harus dicari solusi terbaik. Jamsostek dan Askes harus bekerjasama.

Andi Afdal, Kepala Grup Manajemen Manfaat, PT Askes. Andi menyampaikan bahwa tugas Askes meliputi sosialisasi, memungut dan menyalurkan, mengumpulkan dan mengelola data, membayarkan manfaat, serta memberikan informasi. Iuran untuk sektor informal selama ini dibayar orang per orang. Belajar dari social marketing perbankan 60-70 tahun untuk menabung uang di bank. Maka, perlu ditanamkan dalam masyarakat bahwa bayar meski sedikit untuk asuransi kesehatan. Kemampuan dan keinginan membayar, maukah mereka membayar? Bagaimana mengoleksi premi?

Jaminan kesehatan umum ada Pemda yang bekerjasama bahkan menyerahkan ke Askes yaitu sudah 157 daerah atau 14 juta jiwa yang tertangani. Jalur sudah ada, misalnya integrasi dengan layanan publik misal listrik PAM, sms banking, namun masih butuh sosialisasi. Manfaat disampaikan riil. Hal yang di-manage ekspektasi mereka. Bisa bekerjasama dengan Alfamart, Indomaret, PT Pos dan lain-lain, chanel online banking.

Moderator sesi ini: Prof. Budi Sampurna membuka diskusi dengan policy brief sektor informal: tingkat pendapatan, apa yang diinginkan? Sektor informal yang masuk Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek yang membutuhkan kesehatan jumlahnya luar biasa.

Penanya pertama yaitu Prof. Muninjaya, sektor informal banyak di rural-konkrit pengalaman di Purbalingga-pendekatan di Pemda seperti apa?. Konsep kepesertaan bagus jika ada peningkatan yang terlihat baru bisa dikatakan baik.

Elvyn, paguyuban nelayan-petani menjadi anggota itu kolektif, konsep ini pertumbuhannya tidak akan cepat. Pekerja informal tidak semuanya ter-cover. Jadi kita gunakan kerjasama dengan BRI untuk meng-cover seluruh pekerja. Approach yang akan dilakukan bukan hanya di kota namun juga di desa. Sektor informal bukan komplementer. Sektor informal 70 juta jumlahnya dibandingkan yang formal.

Perluasan marketing officer, peserta jaminan sosial tidak cukup kapasitas finansial, terbatas akses, apakah bisa dilayani dengan cepat, apakah sampai edukasinya? Administrasi yang tidak mudah sebagai kelemahan. Kementrian dalam negri melalui e-ktp sehingga verifikasi tidak memerlukan biaya untuk mendekati sektor informal. Hal ini bisa dilakukan dengan koordinasi yang baik. Optimalisasi baik dengan seluruh Pemda. Harus jelas pekerja informal dengan pekerja miskin. 65% di rural, 35% di urban. Approach ke rural harus collecting. Askes join to kader kesehatan sosialisasi tentang BPJS Kesehatan. Agar masyarakat sadar hal tersebut dibutuhkan dan mereka mampu bayar. Sosialisasi masif akan banyak tampil di tv pentingnya kesadaran asuransi kesehatan.

Kemudian, Debbie menanyakan dasar yang digunakan untuk mengambil keputusan tersebut-besar biaya? Sosialisasinya bagaimana? Lebih baik melibatkan tenaga kesehatan.

Hanung, sebagai contoh Tegal telah melakukan penetapan bantuan dari Pemda berapa yang dialokasikan selama lima tahun terakhir? Itu yang dihitung. Subsidi jamkesda 2,9 juta masyarakat miskin non kuota yaitu 154 milyar di 35 kabupaten kota. Dibandingkan untuk bansos yang kurang jelas, lebih baik dialokasikan kesini.

PT Askes, IT yang digunakan Askes sudah dimulai namun belum sepenuhnya. Database Jakarta dan Surabaya untuk mencakup seluruhnya.

Penanya berikutnya yaotu Rudiarto, pedagang kaki lima Malioboro. Mampu dan tidak mampu untuk membayar bukan masalah, hal yang terpenting kurangnya minat dalam hal jaminan karena kepercayaan yang rendah. Ada mitos bayarnya mudah, klaim sulit. Jika sudah membayar, layanannya akan seperti apa? Puskesmas yang dirujuk Jamkesmas tidak mampu melayani warga secara maksimal. Empat tahun memotivasi pedagang (2500) baru 100 yang mendaftar. Askes dan Jamsostek yang berpindah ke BPJS apakah perlu registrasi ulang?

PT Askes menjawab kartu tidak perlu diganti, tetap bayar iuran seperti biasa. Data antara Askes dan Jamsostek sudah saling tukar menukar. Klinik yang ada di Jamsostek menjadi BPJS Kesehatan.

Elvyn, yang dialihkan dalam BPJS ini : peserta, program dan provider kesehatannya. Manfaat apa yang sudah diterima sekarang, akan tetap seperti itu namun dilengkapi dengan manfaat tambahan.

Kapasitas RS tidak akan maksimal memberikan pelayanan. Tantangan kepercayaan bukan hal yang mudah. Edukasi, rajin bayar iuran, menghindari high risk social. Harus banyak skenario untuk menangkap solusinya. Perlu tidak uji coba dengan alternatif yang ada?