Reportase sesi 3.4E

Sesi 3.4 E

Makalah Bebas Kelompok Kesehatan jiwa


Bertindak selaku moderator dalam sesi diskusi makalah bebas kelompok jiwa adalah Dr. dr. Dwi Handono, M.Kes dengan 3 presentan diantaranya adalah Muhammad Mulia dari Survey Meter, Budi Anna Keliat dari Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia, Sunar Indriati dari Survey Meter. Masing-masing memperesentasikan makalahnya dengan sangat maksimal dengan beberapa pendekatan yang sudah diteliti oleh masing-masing peneliti. Presentan pertama disampaikan oleh Muhammad Mulia yang membahas mengenai Kebijakan Kesehatan Jiwa Paska Bencana, Terapi Pemberdayaan Diri secara Kelompok sebagai Sebuah Alternatif, kita mengetahui bahwa Indonesia merupakan wilayah rawan bencana, sehingga program trauma healing diharapkan dapat digunakan secara luas untuk memenuhi kebutuhan akan respon terhadap trauma mental paska bencana di Indonesia, manfaat dari program ini tidak hanya dalam mengurangi gangguan paska trauma dan mengelola stres, tetapi juga memberdayakan masyarakat melalui peningkatan rasa percaya diri namun kelelmahannya dalam penelitian ini tidak dilakukan secara jangka menengah sehingga untuk mengadopsi kembali diperlukan penelitian lebih lanjut.

Hal serupa terkait dengan kesehatan jiwa juga diangkat oleh Prof Budi Anna Kelliat dari Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia, membahas mengenai Efektifitas Penerapan Model Community Health Nursing (CMHN) terhadap kemampuan hidup pasien gangguan jiwa dan keluarganya di wilayah DKI Jakarta. penerapan CHMN merupakan pelayanan keperawatan jiwa masyarakat yang komprehensif, holistik, paripurna berfokus pada masyarakat yang sehat jiwa, risiko gangguan jiwa dan gangguan jiwa agar dapat mandiri dan produktif. Untuk mendukung penerapan model ini diperlukan keterlibatan keluarga. Hasil yang didapatkan bahwa asuhan keperawatan setelah dilakukan 12 kali home visite dapat meningkatkan kemandirian dan waktu produktif pasien, meningkatkan pengetahuan dan psikomotor dalam merawat, mengurangi beban keluarga. Sehingga kedepan agar jalannya pengobatan sesuai dengan yang diharapkan paling tidak dilakukan 1 kali perminggu/2 minggu serta berharap agar pelayanan di puskesmas ada Home Visite terkait dengan asuhan perawatan jiwa.

Kemudian presentan ketiga yakni oleh Sunar Indriati mengenai Penilaian Kepatuhan Terhadap Standar Kebijakan Nasional untuk Pelayanan Kesehatan Lansia di Yogyakarta, Puskesmas Santun Lanjut Usia. Berangkat dari kenyataan bahwa indonesia merupakan peringkat keempat negara dengan populasi penduduk lanjut usia terbanyak di dunia dengan proporsi lanjut usia terbanyak berada di Provinsi D.I. Yogyakarta provinsi sehingga peneliti ingin melihat kembali kinerja puskesmas dalam program pemerintah mencanangkan "puskesmas lanjut usia" di 121 puskesmas yang tersebar di wilayah DIY dengan narasumber yakni koordinator/ programer, dokter dan kepala puskesmas dan didapatkan hasil bahwa Puskesmas Santun Lanjut Usia di D.I.Y secara keseluruhan memberikan dampak yang positif pada pelayanan kesehatan untuk lanjut usia sehingga kebjakan nasional puskesmas santun lanjut usai perlu untuk diterapkan kesemua puskesmas serta perlu evaluasi agar program di puskesmas dapat meningkatkan kinerjanya.

Setelah ketiga dari presentan selesai mempresentasikan makalah masing-masing, maka Dr. dr. Dwi Handono, M.Kes selaku moderator membuka sesi diskusi yang disambut antusias oleh peserta dengan tanya jawab. Sesi yang dilaksanakan di mutiara ballroom ini berjalan tepat waktu dan selesai sesuai dengan yang sudah dijadwalkan.

Reportase sesi 3.3C

Sesi Makalah Bebas Kelompok KIA dan KB serta Reproduksi


Bertindak selaku moderator dalam sesi diskusi makalah bebas kelompok KIA dan KB serta reproduksi adalah Yane Tambing dengan 5 presentan yang masing-masing datang dari berbagai Fakultas di wilayah indonesia diantranya adalah Agus Zaenuri dari FKM Universitas Cendrawasih Papua, Ali Imron dari FIS Universitas Negeri Surabaya, Demsa Simbolon dari Poltekes kemkes Bengkulu, Kasman Makassau dari Dinkes Prop. Sulawesi Barat dan Nurfadillah dari FKK Universitas Muhammadiyah Jakarta. Masing-masing memperesentasikan makalahnya dengan sangat maksimal dengan pemaparan yang berbeda-beda namun tetap dengan goals bagaimana angka kematian ibu dan bayi di indonesia dapat ditekan dengan beberapa pendekatan yang sudah diteliti oleh masing-masing peneliti.

Seperti misalnya pada presentan pertama Agus Zaenuri dari FKM Universitas Cendrawasih Papua meneliti bahwa MTBS di Puskesmas Sentani tidak berjalan, hal ini dikarenakan tidak seimbangnya jumlah petugas yang menangani bayi/balita sakit dikarenakan petugas terlatih MTBS yang melaksanakan tugas rangkap, petugas terlatih pindah tugas dan atau petugas terlatih melanjutkan pendidikan serta terhentinya pengadaan sarana penunjang pelaksanaan MTBS dari Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura kepada Puskesmas Sentani dan tidak berkualitasnya sarana/fasilitas penanganan bayi/balita yang diberikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura sehingga Dinas Kesehatan perlu untuk melakukan revitalisasi MTBS dan perlu membuat standar pelayanan MTBS serta kebijakan (juklak dan juknis). perencanaan mengenai anggaran yang berasal dari dana APBD serta dibentuk Tim khusus untuk menangani pelaksanaan MTBS di Kabupaten Jayapura mulai dari pelatihan, supervisi, hingga pada evaluasi. Menurut Agus Zaenuri hal ini harus sesegera mungkin diambil tindakan mengingat puskesmas sentani rencana akan dijadikan pilar projek percontohan di papua oleh UNICEF.

Berbeda halnya dengan Presentan kedua yakni Ali Imron dari FIS Universitas Negeri Surabaya juga menganggakat tema yang sama yakni KIA namun dengan pendekatan yang berbeda dikarenakan beliau adalah seorang sosiolog sehingga sebagian besar pandangan lebih banyak dilihat dari perspektif sosiologi. Dalam penelitiannya peneliti mengkaji implementasi program LIBAS 2+ yang fokus pada Bebas kematian ibu melahirkan dan Bebas kematian bayi kemudian mengidentifikasi faktor-faktor sosial budaya yang memengaruhi implementasi program tersebut. Setelah dilakukan penelitian didapatkan hasil bahwa secara sosiologis, dipengaruhi oleh kemitraan bidan dukun, Program 5T (Timbang, Tensi, Tablet fe, Timbang ukuran perut, dan Tinggi badan) membantu ibu hamil, SMS "Bayi Sehat 24 jam", Secara kultural kontruksi budaya tradisional Madura yang bercorak pesisir masih mengakar kuat sehingga konstruksi pengetahuan tentang kesehatan reproduksi masih lemah, Pijat dukun, jamu tradisional, mitos kehamilan serta kharismatik tokoh sentral masih berjalan, Infrastruktur masih lemah, Relasi sosial dan dukungan aktor lokal masih lemah. Sehingga menurut Ali imron semua harus berkolaborasi secara sistematik. Politik harus bagus, sistem ekonomi terkait dengan budgeting yang mendukung dan sistem budaya yang kuat.

Setelah pemaran dari tim UNESA kemudian dilanjutkan dengan pemaran oleh Demsa Simbolon dari Poltekes kemkes Bengkulu yang mengangkat tema Determinan Kinerja Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di RS Pemerintah Indonesia, sangat mencengangkan hasil yang didapatkan bahwa manajemen pelayanan KIA secara keseluruhan semua dengan proporsi yang kurang maksimal. Disampaikan juga oleh penyaji bahwa ada atau tidak adanya sumber daya manusia rata-rata memiliki kinerja yang kurang optimal namun apabila dibandingkan dengan yang lainnya hanya model status akreditasi rumah sakit memiliki skor yang lebih baik dari beberapa faktor determinan lainnya seperti RS sebagai wahana pendidikan, SDM team ponek, Dokter jaga terlatih di IGD,Tim siap melakukan operasi atau tgas meskipun on call, jumlah dokter Sp.A dan koordinasi internal. Hal ini menjadi catatan bagi KEMENKES untuk perlu melakukan perbaikan pada seluruh jenis pelayanan untuk mendapatkan akreditas dimana akreditasi sebaiknya bisa lengkap 16 jenis pelayanan serta perlu menjadikan RS pemerintah sebagai RS wahana pendidikan, peningkatan kuantitas dan kualitas SDM PONEK, pelengkapi dokter jaga terlatih di UGD, ketersediaan tim siap melakukan operasi atau tugas meskipun on call, dan peningkatan komitmen organisasi.

Hal yang lain dari sudut pandang yang berbeda mengenai KIA juga disampaikan oleh presentan ke Empat yakni Kasman Makassau dari Dinkes Prop. Sulawesi Barat yang mengangkat judul Penetapan Prioritas Program Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak dengan Metode Analyitc Herarcy Process (AHP), dikatakan bahwa dengan penerapan AHP dapat memberikan kesempatan bagi para perencana dan pengelola program bidang kesehatan untuk dapat membangun gagasan-gagasan atau ide-ide dan mendefinisikan persoalan-persoalan yang ada dengan cara membuat asumsi-asumsi dan selanjutnya mendapatkan pemecahan yang diinginkannya serta hasil yang didapatan lebih cepat, lebih baik dan lebih akurat. Namun penjelasan dari Presentan ini lebih tepat apabila dilakukan pelatihan khusus bagi para peserta karena lebih kepada pengenalan software yang masih asing dimata peserta seminar. Dibutuhkan waktu khusus untuk lebih mendalami lagi apa yang sudah disampaikan presentan tentang software yang sejatinya dapat membantu para tenaga kesehatan untuk membuat skala prioritas pada program yang akan dijalankan.

Kemudian presentan yang terakhir adalah Nurfadillah dari FKK Universitas Muhammadiyah Jakarta yang mempresentasikan penggunaan kondom sebagai alat kontrasepsi ideal pada pasangan menikah, selama ini penggunaan alat kontasepsi dianggap masih menjadi tanggungjawab wanita sehingga peran laki-laki sangat rendah padahal kondom sendiri merupakan alat kontasepsi yang efektifitasnya tinggi dan relatife tanpa efek samping sehingga Petugas kesehatan diharapkan dapat menganjurkan penggunaan kondom sebagai alkon ideal, di samping penjelasan tentang semua alternative alkon yang dapat digunakan pasangan. Informasi tentang KB dan alkon sebaiknya dilakukan tidak hanya kepada salah seorang dari pasangan namun keduanya. Serta diperlukan peran serta dari BKKBN untuk melakukan sosialisasi program dan melaksanakan lagi program motivator/panutan.

Setelah kelima dari presentan selesai mempresentasikan makalah masing-masing, maka Yane Tambing selaku moderator membuka sesi diskusi yang disambut antusias oleh peserta dengan tanya jawab. Sesi yang dilaksanakan di ruangan Pearl hotel On The Rock ini berjalan tepat waktu meskipun sempat dilakukan pergantian moderator namun tetap menarik minat peserta.

Oleh: Andriani Yulianti

KELOMPOK AIDS - 7 September 2013

Kelompok AIDS

Laporan Content Pertemuan Awal dengan Universitas Lokal
Penelitian Kebijakan HIV/AIDS di Indonesia


Pertemuan kelompok erja AIDS telah dilaksanakan pada Sabtu, 7 September 2013 di On The Rock Hotel. Pertemuan diawali dengan perkenalan dari masing-masing peserta, baik tim inti peneliti dan tim peneliti universitas rekanan. Ignatius Praptoraharjo memberikan pengantar tentang gambaran penelitian Kebijakan AIDS di Indonesia, yang mana pemetaan kebijakan AIDS di Indonesia dalam konteks sistem kesehatan berlaku di tingkat nasional dan lokal sehingga dianggap penting untuk melibatkan banyak universitas di daerah agar dapat memberikan pemahaman yang luas tentang penelitian. Terdapat dua keluaran yang diharapkan dari penelitian ini, pertama secara normatif adanya kebijakan ke pemerintah, kedua, penelitian ini secara praktis dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan dukungan teknis dan pendanaan AusAID tahun 2016 yang mendorong kebijakan-kebijakan dibidang AIDS. Fokus advokasi diharapkan tidak hanya pada saat pengumpulan data dan analisa. Tahapan pengumpulan data diawali dengan diskusi dengan pemerintah daerah, proses dialog dengan para policy maker dan kelompok dampingan, diseminasi informasi penelitian, pertemuan untuk mendorong agenda-agenda kebijakan,melakukan advokasi melalui unit pengetahuan sebagai bentuk advokasi ke policy maker. Penelitian ini ada di dalam upaya untuk membangun knowledge hubungan antara unit intermediary (pihak NGO) dengan policy maker. Melihat tujuan penelitian ini maka dibutuhkan peran dari tingkat lokal sehingga dalam pengorganisasiannya penelitian ini terdiri dari dua tim, tim inti yang menyiapkan (PKMK FK UGM) dan tim tim universitas. Pertemuan koordinasi kali ini akan membahas tentang pengorganisasian tim peneliti dan hal-hal substansial terkait penelitian akan dibahas pada pertemuan selanjutnya di Yogyakarta.

MATERI PRESENTASI (EXECUTIVE SUMMARY)

Udayana mengawali tanggapannya dengan menanyakan mekanisme keputusan tentang publikasi authorship dari dosen tim universitas. Hal ini didasari pengalaman dari Unipa peneliti lokal umumnya hanya sebatas kemitraan sehingga dalam laporan penelitian terdahulu tidak mencantumkan nama peneliti lokal. Kesepakatan tentang autorship harus ditentukan sejak awal. USU menambahkan, membangun mekanisme transparan memang sulit, publikasi (authorship) biasanya dari pihak kampus dan dari dinas, bukan peneliti.

Ignatius Praptoraharjo merespon bahwa nantinya akan terkumpul sembilan laporan dari masing-masing universitas yang mana dalam setiap laporan akan teridentifikasi siapa pengarangnya karena setiap laporan akan ditulis nama penelitinya. Kedepannya, tidak hanya laporan penelitian saja yang menjadi keluaran dari penelitian ini, tetapi harus ada aksi yang digunakan untuk advokasi. Terdapat salah satu contoh penelitian multi-countries, multi-institution (Kemenkes, NGO, universitas, dan sebagainya) yang mana dalam penelitian tersebut tercatat nama-nama peneliti yang terlibat.

Adapun pihak yang memiliki hak sepenuhnya terhadap penelitian ini ialah AusAID dan authornya tetap tim inti dan tim universitas. Ada beberapa kegiatan dalam penelitian yang memberikan kesempatan bagi peneliti lokal dalam penulisan jurnal nasional maupun internasional. Tanggapan yang berbeda diperoleh dari AusAID yang menyatakan bahwa kegiatan penelitian ini milik Indonesia karena menjadi kebutuhan pusat, bukan AusAID. Ignatius mengklarifikasi pernyataan tersebut dengan penjelasan tentang peraturan-peraturan terkait dan hak publikasi oleh donor penelitian yang memberikan dana bagi penelitian, misal setelah lima tahun atau waktu yang disepakati setelah penulisan laporan, pihak donor membolehkan publikasi hasil penelitian, pada batas waktu tersebut siapa saja dapat memperoleh data penelitian.

Isu selanjutnya diangkat oleh USU yaitu mengenai justifikasi penunjukkan peneliti lokal. Umumnya penelitian yang melibatkan universitas lokal akan masuk melalui lembaga penelitian yang berimplikasi pada institutional fee karena melalui fakultas. Alangkah baiknya jika tim inti (PKMK FK UGM) bersurat kepada dekan universitas lokal terkait pemilihan peneliti lokal, dan perlu menambahkan kalimat 'berdasarkan kriteria tertentu ditunjuklah (nama peneliti) sebagai peneliti lokal' agar tidak diragukan identitasnya. Draft protokol akan dibahas di minggu keempat November. Pembahasan akan dihadiri oleh perwakilan core team, AusAID, National Advisory Board (NAB), dan consultative group. Kesepakatan waktu pertemuan menunggu dari masing-masing universitas lokal.

Selanjutnya terkait poin aplikasi etik di daerah penelitian sebagai pertanyaan dari Udayana. Ethical clearence akan dibuat oleh PKMK dan diajukan ke Komisi Etik FK UGM. Menurut Iko, hal tersebut perlu ditindaklanjuti di masing-masing universitas karena bisa saja beda daerah beda pula peraturannya. Tim universitas lokal perlu membuat timetable penelitian disamping timetable tim inti. Di Medan biaya untuk memperoleh ethical clearence sangat mahal, sebesar dua juta rupiah maka perlu dipertimbangkan kembali poin tersebut jika dilakukan di daerah. Ignatius merespon dengan konsultasi antara masing-masing universitas lokal terkait peraturan ethical clearence dan menginformasikannya dengan tim inti.

Mengingat alokasi waktu penelitian yang cukup panjang, Ignatius menanyakan komitmen dari masing-masing peneliti universitas lokal dalam jangka waktu 30 bulan kedepan. Uncen, Udayana, dan UAJJ menyatakan jika dalam waktu tersebut ada peneliti yang ingin resign maka harus mencari pengganti yang sesuai kriteria dan harus jelas. Informasi tambahan dari Ignatius bahwa kerjasama bersifat individual sehingga jelas siapa yang akan menggantikan, tidak perlu meminta pengganti dari universitas.Menurut Iko, surat resmi komitmen penelitian bisa dilakukan paralel jika terdapat multicenter, dan komitmen dari individual peneliti lokal ke PKMK. Nantinya pihak PKMK FK UGM yang akan memberitahukan ke dekan masing-masing universitas. Saran dari USU, surat kesediaan probadi dikonsepkan PKMK UGM, mengetahui pihak dekanat, dan ada poin tambahan, seandainya dalam perjalanannya ada perubahan maka pihak yang bersangkutan merekomendasikan siapa yang akan mengganti. Pertemuan selanjutnya akan membahas protokol penelitian sampai kegiatan selanjutnya, yang direncanakan akhir November, kemudian dilanjutkan training sehingga sesuai timetable tim inti pada Februari akan dilakukan turlap.

Iko menanggapi UAJJ yang menanyakan tentang pelaksanaan kegiatan desk review. Desk review dilakukan dengan mengambil daerah tertentu karena hasil kegiatan ini bukanlah data primer. Tim peneliti inti yang akan datang melakukannya di lokasi penelitian. Uncen menyarankan tim inti yang membuatkan surat surat pemberitahuan ke daerah penelitian. Di Bali pengurusan surat ijin penelitian sangat mudah pengurusannya, cukup dilengkapi proposal surat ijin sudah bisa dikantongi.

Sebelum penyusunan protokol, USU mengusulkan sebaiknya setiap universitas lokal sudah memiliki baseline data awal (data kasar) dari KPAD provinsi maupun kabupaten untuk didiskusikan. Tindak lanjutnya, tim inti membuat surat pengantar untuk memperoleh data awal tersebut. Dalam desk review tim inti akan memilih beberapa kabupaten/kota dan menjelaskan alasan pemilihan daerah. Langkah awal dari pertemuan koordinasi ialah mendaftarkan setiap pihak yang terlibat dalam penelitian, termasuk tim inti dan tim universitas lokal, kedalam group sebagai media koordinasi.

Oleh: Sisilya Oktaviana Bolilanga

Reportase sesi 3.1 KIA

Sesi 3.1

Simpisium KIA


Di Hari ketiga sesi pertama kelompok KIA, diawali pemaparan oleh dr. Stefanus Bria Seran, MPH (kepala Dinas Provinsi Nussa Tenggara Timur).

Di kesempatan ini dr. Stefanus memaparkan mengenai pengalaman program Sister Hospital dengan revolusi KIA di provinsi Nusa Tenggara Timur.

Program Sister Hospital merupakan salah satu program yang dilakukan oleh pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur untuk mengantisipasi tingginya kematian ibu dan anak. Konsep dari program Sister Hospital dengan cara menggandeng beberapa rumah sakit besar yang ada di berbagai tempat untuk bekerja sama dengan rumah sakit kecil di provinsi Nusa Tenggara Timur

Program tersebut mempunyai beberapa tujuan, antara lain; perubahan etos kerja di bidang kesehatan, penataan dan pengembangan SDM kesehatan, meningkatkan peran serta aktif masyarakat, dan pemenuhan dokter spesialis di rumah sakit kabupaten atau kota melalui pendidikan dokter spesialis. Dari beberapa tujuan tersebut terdapat tujuan yang paling mendesak yaitu agar puskesmas dan rumah sakit dapat mempersiapkan diri untuk menjadi PONEK 24 jam.

Program ini sudah dilaksanakan sejak tahu 2010. Oleh karena itu terdapat beberapa hasil yang sudah diperoleh. Hasil tersebut, antara lain; jumlah dokter spesialis (anastesi, ahli peralatan medis, obsgyn, dan anak) meningkat, meningkatnya jumlah persalinan yang dilakukan di fasilitas kesehatan, semakin meningkatnya kepercayaan diri petugas rumah sakit dan puskesmas bila menerima rujukan. Dengan adanya kepercayaan diri yang terbentuk maka akan semakin meningkatnya kepercayaan masyarakat bila mereka harus dirujuk oleh petugas kesehatan ke fasilitas yang lebih tinggi.

Hasil secara umum yang diperoleh dari program sister hospital adalah menurunnya kematian ibu dan anak selama 2010 hingga 2013.

Selain hasil di atas, pemerintah provinsi NTT menggunakan system yang efisien untuk memantau atau mengingatkan ibu hamil ketika mendekati hari persalinan. Menurut dr. Stefanus memaparkan bahwa dokter atau petugas kesehatan yang menangani ibu hamil tersebut mengirimkan sms ke camat, kepala desa, bidan desa untuk mengingatkan bahwa ada ibu hamil yang mendekati hari persalinan. Pemantauan dilakukan aktif oleh petugas kesehatan.

Menurut Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur, terdapat banyak pembelajaran yang diambil dari program Sister Hospital. Pemebelajaran tersebut, antara lain; Tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan (masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang sesuai strandard), menularkan budaya kerja yang baik, semakin meningkatnya kepercayaan diri dari staf atau petugas kesehatan terhadap pekerjaannya, sebagai media pengenalan daerah melalui kunjungan rutin dari rumah sakit mitra.

Sesi 3.1, pembicara 2.

Setelah dilakukan pemaparan oleh Kepala Dinas Provinsi Nusa Tenggara Timur, dilanjutkan oleh dr. Hartanto Hardjono, M.Kes dengan tema "pengalaman program expanding maternal and neonatal survival (EMAS) di beberapa kabupaten".

Pada awal pemaparan dr. Hartanto menjelaskan tujuan besar dari program EMAS ini untuk memberikan kontribusi sebesar mungkin terhadap penurunan kematian maternal dan neonatal. Program EMAS dilaksanakan di 6 provinsi dan mempunyai beberapa tujuan. Tujuan 1, antara lain; mematiskan prioritas intervensi medis berdampak besar pada penurunan kematian ibu dan neonates diterapkan di rumah sakit dan puskesmas, pendekatan tata kelola klinis diterapkan di rumah sakit dan puskesmas. Tujuan 2, antara lain; menguatkan peran serta masyarakat dalam menjamin akuntabilitas dan kualitas tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan, dan pemerintah daerah; penguatan sistem rujukan; mempermudah akses masyarakat untuk menggunakan fasilitas kesehatan.

Dengan tujuan untuk mengurangi angka kematian ibu dan anak, maka framework program emas dengan cara meningkatkan kualitas layanan darurat serta meningkatkan efisiensi kualitas system rujukan. Dengancara tersebut

Setelah pemaparan oleh Kepala Dinas kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur dan dr. Hartanto Hardjono, M.Kes, presentasi dilanjutkan oleh Digna Niken Purwaningrum, S.Gz., MPH; Ratna Dwi Wuladari, SKM, M.Kes, dan Christina Rony Nayoan, SKM, M.Kes. Presentasi ini membahas mengenai "Temuan Hasil Kualitatif HSB: Pola Pencarian Pelayanan Kesehatan serta Faktor Apa Saja yang Berpengaruh pada Kelompok Miskin dan Hampir Miskin di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur". Penelitian ini berfungsi sebagai baha base line program Health System Strengthened.

Di awal presentasi ini dipaparkan mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui respon atau pendapat masyarakat mengenai program jampersal dan jamkesmas, mengidentifikasi fasilitas kesehatan apa yang biasa dipakai oleh masyarakat miskin dan hampir miskin, mengeksplorasi konsep sehat dan saki di masyarakat, mengidentifikasi kualitas pelayanan kesehatan yang sering dipakai oleh masyarakat miskin dan hampir miskin.

Daerah penelitian dilakukan dua provinsi yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur (Kabupaten Sumba Barat Daya, Flores Timur, Ngada dan kabupaten Timor Tengah Utara); dan Provinsi Jawa Timur (Kabupaten Sampang, Bangkalan, Situbondo, dan Kabupaten Bondowoso)

Metode untuk penelitian ini menggunakan dua fase yaitu kualitatif dan kuantitatif. Untuk metode kualitatif penelitian ini menggunakan berbagai tekhni, antara lain; Focus Group Discussion (FGD) dan indepth interview dengan berbagai kalangan responden.

Hasil kualitatif memperoleh data yang beraneka ragam mengenai persepsi sehat dan sakit untuk orang dewasa dan anak-anak. Masyarakat mempunyai konsep sehat yang sakit yang sederhana yang didasarkan pada ada atau tidaknya rasa sakit di badan serta gangguan fungsi tubuh yang dirasakan mengganggu. Untuk penggunaan fasilitas kesehatan kebanyakan masyarakat sudah menggunakan fasilitas kesehatan medis (puskesmas dan jajarannya, rumah sakit). Pelayanan kesehatan swasta yang sering dimanfaatkan adalah mantra, Bidan Praktek Swasta, BKIA dan Dokter praktek Swasta dengan berbagai macam alasan. Banyak masyarakat yang menyatakan karena jaraknya relative dekat, bisa dimanfaatkan pada sore hari, mau dipanggil ke rumah, dan ada unsure kecocokan. Namun juga ada yang menggunakan pengobat tradisional ataupun melakukan pengobatan sendiri (dengan beli obat sendiri di apotik, toko obat). Untuk pola pencarian pelayanan kesehatan pada sarana pengobatan modern di masyarakat sebagian besar sudah mengikuti sistem rujukan berjenjang.

Perilaku kesehatan ibu saat hamil sudah menunjukkan kondisi yang baik, karena ibu hamil sudah terbiasa melakukan ANC di bidan dengan frekuensi yang teratur. Sebagian besar ibu bersalin ditolong oleh bidan dengan tempat persalinannya masih banyak yang dilakukan di rumah penduduk. Dikarenakan kurang pengetahuan mengenai kondisi akan melahirkan. Program jamkesmas sudah sangat dikenal oleh masyarakat sebagai kartu berobat gratis, tetapi program Jampersal belum banyak dikenal (masyarakat hanya mengetahui mengenai ada program periksa hamil dan melahirkan gratis).

 

Reportase sesi 3.4

Sesi 3.4

Makalah Bebas Kelompok Pembiayaan dan Anggaran


 

Waktu: 15.30 – 17.00

Sesi ini dibuka dengan penyajian hasil penelitian dari Dudung Abdul Malik mengenai Implementasi Kebijakan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) Di Puskesmas Kabupaten Kuningan Tahun 2011—2012. Kajian ini sebenarnya ingin menjawab pertanyaan kritis yang ada, yaitu Bagaimana implementasi kebijakan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) di puskesmas Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat Tahun 2011—2012?. Metode penelitian menggunakan metode kualitatif dengan wawancara mendalam, telaah literature terkait buku bacaan, peraturan perundang-undangan, jurnal dan laporan. Hasil penelitian menunjukkan adanya keterbatasan penelitian yang meliputi tujuan analisis dalam penelitian terbatas pada menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan BOK di puskesmas Kab. Kuningan tahun 2011 - 2012, Penentuan puskesmas lokasi penelitian bersifat subjektif karena ada > 2 puskesmas dengan angka yang sama, Pencapaian cakupan SPM bidang kesehatan oleh puskesmas tidak hanya dipengaruhi oleh faktor dana BOK semata dan terjadinya 3 kali pergantian Kadinkes dan PPK BOK dalam rentang tahun 2011—2013. Diakhir penyajian, penyaji memberikan kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan yang prinsif dalam implementasi kebijakan (puskesmas dengan SPM tinggi maupun rendah baik ditinjau dari staf meeting, inisiatif yang kreatif, rakor yandu dan estimasi sasaran program.

Penyaji kedua menyampaikan hasil penelitian dengan judul Implementasi Kebijakan

Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) Di Kabupaten Bandung Barat Tahun 2011 yang disampaikan oleh Rita Nurcahyani dari FK, IKM Universitas Padjajaran. Kajian ini dilatarbelakangi oleh Masalah pembiayaan kesehatan daerah yait keterbatasan biaya operasional pelayanan kesehatan (puskesmas), Dukungan pemerintah pusat untuk meningkatkan fungsi puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan dasar melalui Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), BOK tahun 2010 : 226 M (bantuan sosial) langsung ke rekening kepala puskesmas dan BOK tahun 2011: 904,5 M (Tugas Pembantuan) disalurkan ke pemerintah daerah Kab/Kota (Dinas Kesehatan). Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui output dari pelaksanaan BOK di pusk (hasil cakupan program) sebelum dan sesudah ada dana BOK dan mengeksplorasi implementasi kebijakan BOK dari unsur input dan process serta faktor-faktor yang memengaruhinya. Dari hasil kajian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa kebijakan BOK termasuk good policy, hal ini dapat dilihat dari tujuan dan ukuran kebijakan tersebut realistis dan berada di tingkat pelaksana kebijakan, tetapi dalam implementasinya termasuk dalam unsuccesfull implementation karena tidak berdampak pada peningkatan cakupan program puskesmas secara signifikan, Kebijakan BOK tidak berdampak pada peningkatan cakupan program puskesmas secara signifikan karena belum maksimalnya dukungan input yang berdampak pada tahap proses, Ketidaksiapan SDM adalah unsur input yang sangat memengaruhi implementasi kebijakan BOK

Reportase sesi 3.3D

SESI 3.3D

MAKALAH BEBAS KEBIJAKAN SDM DAN ORGANISASI SERTA
KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN LINGKUNGAN


Waktu 13.30 – 15.00

Penyaji pertama pada sesi ini memaparkan mengenai Pengelolaan Limbah Medis Padat Sebagai Bentuk Tanggung Jawab Rumah Sakit Dalam Perlindungan Kesehatan Lingkungan Pada RSUD. Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang oleh Appolonari Berkanis. Latar belakang dari penelitian ini adalah merujuk pada penyelenggaraan rumah sakit yang merupakan salah satu bentuk pembangunan di bidang kesehatan. Pengaturan penyelenggaraan rumah sakit bertujuan memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit. Rumah sakit dikenal dengan trias padat, yaitu padat tenaga, padat modal dan pada masalah. Rumah sakit di Indonesia telah melaksanakan manajemen pengelolaan limbah padat medis dengan baik hanya 26,43%. Fakta yang terjadi di Kupang adalah Menggambarkan pengelolaan limbah rumah sakit di Kota Kupang masih jauh dari yang diharapkan. Penelitian yang dilakukan adalah Untuk menggambarkan pengelolaan limbah medis padat sebagai bentuk tanggung jawab rumah sakit dalam perlindungan kesehatan lingkungan pada RSUD. Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Perda Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup dan Pergub Nusa Tenggara Timur Nomor : 04 Tahun 2010 tentang Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital ByLaws) RSUD. Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang. Beberapa hambatan dalam pelaksanaan pengelolaan limbah, yaitu Belum ada regulasi khusus tentang pengelolaan limbah rumah sakit, Petugas belum maksimal melakukan pemilahan limbah medis, Perlindungan kepada petugas kebersihan belum maksimal khususnya kelengkapan kerja, Penyediaan kantong plastik limbah masih kurang, Pengangkutan limbah ke TPA menggunakan truk sampah yang terbuka. Dari hasil penelitian ini, maka untuk kebijakan kepada arah perbaikan adalah disarankan kepada pemerintah Provinsi NTT adalah perlu menyusun perda atau pergub tentang pegelolaan limbah rumah sakit, sedangkan dari aspek manajemen rumah sakit umum daerah adalah Memberikan reward dan sanksi bagi petugas serta ruangan

Penyaji kedua menyampaikan hasil penelitian dengan judul Aplikasi Agency Theory Dalam Inisiatif Institution-Based Contracting Out Di Berau, Nias, Dan NTT yang dipaparkan oleh Dwi Handono S. penelitian ini dilator belakangi karena kelangkaan, ketidakmerataan dan ketidaksinambungan tenaga kesehatan yang tidak terpecahkan, sehingga dicoba suatu inovasi yang dari system kontrak berdasarkan individu, kemudian menjadi kelompok hingga kearah berdasarkan lembaga. Oleh karena itu, perlu adanya bukti efektifitas dari program ini. Tujuan yang ingin dicapai secara umum adalah mengevaluasi efektivitas institution-based contracting out dengan pendekatan tim dalam meningkatkan kinerja sistem kesehatan dan status kesehatan di Kabupaten Berau (Propinsi Kalimantan Timur), RSUD Gunungsitoli (Kabupaten Nias, Sumatera Utara), dan 6 RSUD Kabupaten (Timor Tengah Selatan, Sumba Barat, Flores Timur, Lembata, Ende, Bajawa) di Propinsi NTT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Inisiatif institution-based contracting out dengan pendekatan tim dapat mengatasi kelangkaan tenaga kesehatan tertentu, dan meningkatkan kinerja sistem kesehatan (khususnya akses dan kualitas pelayanan) di NTT dapat menurunkan jumlah kematian ibu, neonatal, dan kasus IUFD. Dari perspektif Agency Theory, kegagalan inisiatif di Berau merupakan bentuk keberhasilan principal dalam mengelola masalah agency sebelum kontrak (masalah adverse selection) meskipun dengan konsekuensi program dibatalkan. Sedangkan keberhasilan inisiatif di Nias dan NTT, merupakan bentuk keberhasilan principal dalam mengelola masalah agency baik sebelum (masalah adverse selection) maupun saat kontrak berjalan (masalah moral hazard). Berdasarkan kesimpulan yang didapat, diberikan saran terkait isu regulasi, yaitu jenis usaha, Kontrak: Mekanisme lelang; multiyear, Pengelolaan keuangan: mitigasi risiko serta Provider asing.

Sesi dilanjutkan dengan pemaparan oleh Ferry Efendi dari Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga yang menyajikan hasil kajiannya dengan judul Intervensi Kebijakan Yang Memiliki Dampak Jangka Panjang Terhadap Retensi Tenaga Kesehatan Di Daerah Terpencil: Sebuah Tinjauan Sistematis. Latar belakang dari kajian ini adalah Indonesia merupakan salah satu dari 57 negara mengalami krisis tenaga kesehatan (WHO, 2006). Kekurangan tenaga kesehatan terbesar di Asia Tenggara, didominasi oleh India, Banglades dan Indonesia (Mario Dal Poz, 2006), dan Kekurangan tenaga kesehatan semakin besar didaerah terpencil. Tujuan yang ingin dicapai dari kajian ini adalah Menganalisis berbagai intervensi kebijakan yang memiliki dampak jangka panjang terhadap retensi tenaga kesehatan di daerah terpencil sedangkan manfaat yang diharapkan adalah Memberikan informasi kepada pembuat kebijakan untuk mempertahankan tenaga kesehatan sesuai waktu ideal guna bekerja di daerah tertinggal. Dari hasil kajian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan dan rekomendasi kebijakan yang sesuai adalah retensi merupakan isu kompleks yang memerlukan pendekatan multidimensional. Strategi retensi yang efektif memerlukan kerjasama lintas sektor dengan tidak hanya memperhatikan tenaga kesehatannya saja tetapi juga lingkungan sekitar, perlu aturan tersendiri terkait dengan retensi diterapkannya kebijakan afirmatif pada semua sekolah kesehatan yang mencetak tenaga kesehatan, dikembangkannya jenjang karir yang jelas bagi tenaga kesehatan di daerah terpencil, dan penelitian lebih lanjut terkait dengan lama masa kerja tenaga kesehatan di daerah terpencil (juga dampak terhadap derajat kesehatan) serta preferensi yang membuat mereka bertahan atau memilih bekerja disana.

Penyaji keempat menyampaikan hasil penelitiannya dengan judul Implementasi Kebijakan

Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital By Laws) Di Rsud Prof.Dr.M.Ali Hanafiah Sm Batusangkar Provinsi Sumatera Barat Tahun 2013 yang disajikan oleh Indra Darmanto. Studi ini latarbelakangi oleh karena belum diketahuinya jumlah rumah sakit yang telah menjalankan kebijakan HBL (Kemenkes dan Dinkes Provinsi Sumbar) serta peraturan dan dokumen kebijakan yang ada belum sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah (Direktur dan Kabid Pelayanan RSUD Prof.dr.M.A.Hanafiah SM Batusangkar). Implementasi kebijakan Peraturan Internal Rumah Sakit (HBL) belum berjalan secara optimal dan mengkaji lebih dalam penyebab belum terlaksananya kebijakan tersebut dilihat dari beberapa faktor yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. Berdasarkan latarbelakang yang ada, maka muncul pertanyaan kritis yaitu, Bagaimana implementasi kebijakan Peraturan Internal Rumah Sakit (HBL) ditinjau dari faktor komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi dan perspektif hukum normatif di RSUD Prof.Dr.M.Ali Hanafiah SM Batusangkar Provinsi Sumatera Barat tahun 2013?. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik dari informan adalah terdiri dari 11 orang unsur pemilik, pengelola, dan staf medic dengan instansi, jabatan, umur, pendidikan dan masa jabatan yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa Komunikasi kebijakan HBL belum berjalan karena belum ada sosialisasi, perbedaan persepsi, dan pemahaman anta aktor tentang kebijakan HBL, serta anggapan yang menyatakan kebijakan hBL adalah kebijakan teknis; Ketersediaan sumber daya dalam implementasi HBL sangat kurang karena tidak ada SDM dengan latar pendidikan Hukum/Hukum Kesehatan, instrumen kebijakan belum didistribusikan, serta ketidakjelasan pembagian wewenang; Tidak ada upaya konkret sebagai wujud komitmen pengelola rumah sakit untuk implementasi kebijakan HBL; Struktur birokrasi tidak mencerminkan implementasi HBL (ex: tidak ada dewan pengawas) dan menimbulkan keraguan dalam proses koordinasi

Sesi ditutup dengan presentasi dari Lindawati Wibowo dari Seameo Recfon yang menyampaikan hasil penelitian dengan judul Antara Peraturan dan Realita: Sudahkah Ditelaah sebagai Relativitas? Studi kasus Program Bidan Desa (PBD) di tingkat kabupaten. Tujuan dari studi yang dilakukan ini adalah untuk menelaah kebutuhan akan bidan dan fasilitas kesehatan sebagai input utama program bidan desa relatif terhadap peraturan yang terkait (Pendekatan dengan evaluasi partial: jika satu komponen esensial program tidak "berfungsi", maka dapat dikatakan bahwa program secara keseluruhan juga belum berjalan secara optimal). Metode yang digunakan adalah Studi programmatic dengan pendekatan kuantitatif (survei) dan kualitatif (wawancara mendalam, telaah dokumen) untuk pengumpulan data Dilakukan sebagai bentuk kolaborasi antara SEAMEO RECFON dengan WVI. Subyek wawancara: ibu bayi 0-3 bulan, bides, kepala desa, staf Puskesmas, dan Dinkes Kab Nias. Telaah dokumen dilakukan melalui peraturan-peraturan terkait PBD termasuk turunannya. Kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian ini adalah ada indikasi over-simplifikasi terhadap permasalahan program yang semata dinilai karena kekurangan dana/materi, SDM, atau peraturan beserta turunannya, sementara solusi thd permasalahan inti dirasa kurang tepat karena adanya masalah pada monitoring sistem yang kurang optimal dalam mendeteksi, mendokumentasi, dan merespon masalah yang sebenarnya, Dukungan manajemen, baik dari sektor kesehatan maupun dari sektor lain, untuk mendeteksi dan merespon masalah secara cepat tepat dan Tidak adanya sistem reward-saction yang jelas. Saran kritis dari kajian ini adalah hasil studi di kabupaten Nias ini tidak untuk digeneralisir sebagai keadaan yang terjadi di semua kabupaten di Indonesia, bahwa pendekatan yang cukup sederhana (rapid appraisal atau partial evaluation) dapat digunakan untuk menguji feasibilitas suatu peraturan dalam implementasinya, dan sebagai langkah awal, diharapkan adanya proses capacity building untuk stakeholder program di tingkat kabupaten ke bawah untuk mampu melaksanakan evaluasi cepat guna menjawab permasalahan program atau memberikan asupan untuk telaah peraturan-peraturan yang ada

Reportase sesi 3.2D

Sesi 3.2D

Diskusi Panel: 15 Tahun Desentralisasi:
Apa yang terjadi di sector kesehatan?


Waktu: 10.30 – 12.00

Penyaji pertama di sesi ini adalah dr. Krisna Jaya, MS dari ADINKES Pusat. Beliau memaparkan mengenai "Lima Belas Tahun Desentralisasi Bidang Kesehatan". Diawal materi beliau menjelaskan mengenai urgensinya keberadaan pemerintah daerah, yaitu Keberadaan Pemda untuk melindungi dan mensejahterakan masyarakat secara demokratis, Kesejahteraan diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI), dengan indikator utamanya (i) penghasilan; (ii) kesehatan; dan (iii) pendidikan. Untuk meningkatkan pencapaian HDI dilakukan melalui pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat; Kesehatan sebagai indikator utama HDI sdh di urai menjadi 24 indikator komposit yg disebut sebagai IPKM, dimana 7 Indikator Pokok dari IPKM terkait dengan Permenkes 741/2008 tentang Indikator SPM Bidang Kesehatan di kab/Kota; Kebutuhan masyarakat terdiri dari : (i) Kebutuhan Pokok (Basic Needs) yaitu SPM; dan Kebutuhan Pengembangan Sektor Unggulan (Core Competences).

Sektor unggulan dapat diidentifikasi dari sintesis PDRB, mata pencaharian, dan pemanfaatan lahan. Penekanan beliau adalah mengenai Kebijakan desentralisasi telah diterapkan sejak 1999/2000. Diharapkan dengan desentralisasi pembangunan ditingkat kabupaten/kota akan lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat, lebih demokratis, lebih efektif dan efisien karena jalur birokrasi lebih pendek, lebih akuntabel karena langsung mendapat kontrol sosial dari masyakat dan "governance" ditingkat kab/kota akan menjadi lebih baik dan kuat. Dalam praktek, dialami berbagai masalah dan hambatan menerapkan kebijakan desentralisasi dibidang kesehatan. Masalah-masalah tersebut adalah sebagai berikut: Fungsi-fungsi esensial upaya kesehatan yang seharusnya dilaksanakan oleh Pemerintah Kab/Kota tidak ditetapkan dan diatur secara jelas dan lengkap dalam peraturan yang ada -> NSPK; Organisasi bidang kesehatan sebagai pelaksana fungsi-fungsitersebut juga tidak ditetapkan dan diatur secara tegas, misalnya kedudukan Puskesmas sebagai ujung tombak upaya kesehatan (tidak diatur dalam PP-41/2007 maupun Kepmenkes-267/2008), Standar Ketenagaan untuk melaksanakan fungsi-fungsi upaya kesehatan yang diatur dalam berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh Mentri Kesehatan tidak diterapkan secara konsisten oleh Pemerintah Daerah, karena Pemerintah Daerah lebih "patuh" pada Permendagri atau Kepmendagri; Pembiayaan upaya kesehatan – sebagai konsekuensi dari masalah diatas – tidak diatur untuk mencukupi biaya pelaksanaan fungsi upaya kesehatan di tingkat kab/kota

Pada akhir pemaparan, beliau menjelaskan mengenai Implikasi yang terjadi saat ini adalah pemberantasan Penyakit Menular terhambat, Sistem kesehatan tidak mampu memikul beban meningkatnya NCDs, Masalah TFR yg tinggi (KB) dan kurang Gizi sulit diatasi, Upaya kesehatan terjebak pada "high cost" services karena bertumpu pada pelayanan sekunder dan tertier. Berdasarkan implikasi tersebut, maka harapannya adalah bisa di berikan perbaikan terkait hambatan tersebut.

Sesi dilanjutkan dengan pemaparan dari Biro Perencanaan dan Anggaran Kementerian Kesehatan mengenai tantangan kebijakan kesehatan dalam menghadapi stagnasi capaian pembangunan kesehatan. Pemaparan dibuka dengan penjelasan mengenai jenisa dari perencanaan yang terbagi menjadi tingkatan, yaitu perencanaan di daerah, perencanaan di kementerian dan perencanaan di tingkat nasional yang dilaksanakan baik per 1 tahun, per 5 tahun dan per 20 tahun. Sasaran pembangunan kesehatan difokuskan pada peningkatan umur harapan hidup, menurunnya angka kematian ibu melahirkan per 100.000 kelahiran hidup, menurunnya angka kematian bayi per 100 kelahiran hidup serta menurunnya prevalensi kekurangan gizi (gizi kurang dan gizi buruk) pada anak balita. Isu dalam desentralisasi adalah Sinkronisasi perencanaan: RPJMN dan RPJMD (siklus dan visi-misi kepala daerah), pembagian tugas dan pembiayaan antara pusat-provinsi-kabupaten kota masih tetap tidak jelas, monitoring dan evaluasi tidak berjalan dengan baik, aliran data tidak lancar, kapasitas tenaga kesehatan dan perekrutan dan penempatan tenaga. Beberapa kesenjangan yang diamati dalam studi ini adalah kesenjangan status kesehatan, kesenjangan kota dan desa, kesenjangan tenaga kesehatan, distribusi dokter umum, focus kedepan adalah percepatan pencapaian pada indikator pembangunan kesehatan yang mengalami stagnasi dan mempertahankan capaian pembangunan kesehatan yang telah on the track. Peta Jalan Kepesertaan dalam menuju Jaminan Kesehatan Semesta (UHC), yaitu Pada tahun 2012 – 2013, terdapat 148,2 juta jiwa penduduk Indonesia telah memiliki jaminan kesehatan dalam berbagai jenis atau skema jaminan kesehatan yaitu Askes PNS, Jamkesmas, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek, Jamkesda, dsb. Sementara itu masih ada 90,4 juta jiwa penduduk yang belum memiliki jaminan kesehatan. Pada tahun 2012 – 2013, dilakukan persiapan-persiapan, yaitu Penyusunan sistem dan prosedur kepesertaan dan pengumpulan iuran; Sinkronisasi data kepesertaan JPK Jamsostek, Jamkesmas, Askes PNS, TNI/Polri dengan NIK; dan Pemetaan perusahaan dan sosialisasi.

Pada tahun 2014, dimana BPJS Kesehatan sudah operasional, pentahapan kepesertaan Jaminan Kesehatan dalam SJSN dimulai dengan dilakukan pengalihan peserta JPK Jamsostek, Jamkesmas, Askes PNS, TNI/Polri, ke BPJS Kesehatan. Peserta Jamkesmas yang menjadi penerima bantuan iuran (PBI) akan ditingkatkan jumlahnya menjadi sekitar 96,4 juta jiwa, sehingga total ada 121,6 juta jiwa yang dikelola oleh BPJS Kesehatan pada tahun 2014. Di sisi lain, ada data lain dari Komite Ekonomi Nasional (KEN) memproyeksikan terdapat 99 juta jiwa termasuk kelompok miskin dan rentan yang menjadi sasaran program penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial. Sementara itu, ada 50,07 juta jiwa penduduk yang masih dikelola oleh Badan lain dan sekitar 73,8 juta jiwa yang masih belum memiliki jaminan kesehatan. Selama kurun waktu 2014-2018, dilakukan dengan pengalihan dan integrasi kepesertaan Jamkesda dan Asuransi Kesehatan Komersial serta Perluasan peserta pada usaha besar, sedang, kecil dan mikro secara bertahap BPJS Kesehatan memberikan pelayanan kesehatan yang terkendali mutu dan biayanya dengan melaksanakan yaitu Pengukuran kepuasan peserta secara berkala, 6 bulan sekali dan Kajian perbaikan manfaat dan pelayanan peserta setiap tahun. Pada tahun 2019, ditargetkan seluruh penduduk Indonesia sejumlah 257,5 juta jiwa telah dikelola oleh BPJS Kesehatan dengan tingkat kepuasan peserta sebesar 85%.

Reportase sesi 3.1D

Sesi 3.1D

Simposium Desentralisasi Kesehatan

Berbagai Bukti Mengenai Pelaksanaan Desentralisasi Kesehatan


Waktu: 08.00 – 10.00

Simposium Desentralisasi Kesehatan yang dilaksanakan dan bagian dari Forum Kebijakan Kesehatan Indonesia IV diawali dengan Sesi 3.1D yang membahas "Berbagai Bukti Mengenai Pelaksanaan Desentralisasi Kesehatan" di Moderatori oleh Faozi Kurniawan, SE, Akt, MPH. pada sesi ini disampaikan beberapa hasil penelitian terkait pelaksanaan desentralisasi kesehatan. Sesi pertama yang dibahas adalah mengenai penelitian dengan judul "Penyajian Hasil Sementara Analisa Sumbatan dalam Proses Penganggaran dan Pembiayaan di Provinsi NTT dan Jawa Timur" yang disampaikan secara panel dari peneliti pertama yaitu Dwijo Susilo, SE, MBA, MPH, yang focus pada penelitian tentang "Primary Health Care Financial Expenditure Bottleneck Study (Phc-Febs): Analisys Of Funds Channeling From Central To Local Government". Studi yang dilakukan adalah mengenai penyaluran dana dari pemerintah pusat ke puskesmas, yang terdiri dari dana BOK, Jamkesmas, jampersal dan dana program. Penelitian yang dilaksanakan ini merupakan penelitian kerjasama antara UGM, Unair dan UNDANA. Latar belakang dari studi adalah adanya sumbatan dan tidak sinkron model pembiayaan kesehatan sampai tingkat pelayanan tingkat dasar (puskesmas).

Tujuan penelitian adalah menganalisis serta evaluasi alur perencanaan dan pendanaan kesehatan untuk pelayanan kesehatan primer dari sisi hulu dan sisi hilir (top-down and bottom-up) serta mengungkap sumbatan-sumbatan dalam sistem antara sumber dana sampai dengan penerima akhir pembiayaan tersebut. (Bottlenecking – waktu, person dan proses). Ruang lingkup penelitian adalah melakukan penelusuran dua aliran dana di dinas kesehatan dan puskesmas, yaitu dari aliran dana dari Pemerintah Pusat yang bersumber pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Aliran dana dari Pemerintah Daerah yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD); Aliran dana Pemerintah Pusat yang ditelusur adalah dana BOK, dana Jampersal/Jamkesmas; Aliran dana Pemerintah Daerah yang akan ditelusur adalah sumber dana pada dokumen anggaran yaitu Dokumen Pelaksana Anggaran (DPA) yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH).

Metode penelitian adalah kuantitatif melalui pengumpulan data perencanaan anggaran dan realisasi keuangan dari pusat, provinsi kabupaten dan puskesmas, studi kualitatif melalui DKT tentang proses perencanaan penganggaran dan realisasi keuangan dengan focus utama menjawab pertanyaan penelitian. Area studi di Jatim 4 kabupaten, dan NTT di 4 kabupaten yang terpilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan. Proses pengambilan data dilakukan dengan studi literature perundangan terkait pendanaan dan pembiayaan pelayanan kesehatan dasar puskesmas (UU, PP Permenkes, Permenkes, Permendagri) serta wawancara mendalam dengan informan di kemenkeu, kemenkes, kemendagri dan bappenas.

Berdasarkan sumber pendanaan puskesmas berasal dari pusat (APBN), dana provinsi dan dana pemerintah kota, penyebaran dana dari pusat ke provinsi dan daerah sehingga sampai ke puskesmas melalui beberapa sumber baik dari kemenkes maupun dari kemenkeu. Sementara itu, dana dekonsentrasi P2JK untuk mendanai TP Jamkesmas/BOK serta secretariat jamkesmas Provinsi dan Kabupaten/Kota. Untuk penetapan alokasi dana jamkesmas dan jampersal tahun 2012 disebutkan bahwa Penerima dana penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional dan jaminan persalinan di pelayanan dasar untuk tiap kabupaten/kota tahun anggaran 2012 berpedoman pada Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 052/MENKES/SK/II/2012, penetapan alokasi dana jamkesmas dan jampersal tahun 2012 dan pencairannya selama 4 tahap. Terjadi hambatan dalam penyaluran dana Jamkesmas dan jampersal pelayanan dasar, yaitu transfer dana jamkesmas dan jampersal setiap tahap dalam satu tahun setelah ada sK Dirjen BUK, Kelengkapan dokumen surat perintah membayar (SPM) sebagai syarat transfer, dana jamkesmas dan jampersal masuk ke rekening daerah, harusnya ke rekening khusus serta proses klaim dan verifikasi di dinas kesehatan kabupaten.

Sesi dilanjutkan dengan pemaparan hasil penelitian yang dilakukan oleh drg. Ernawati, M.Kes dan tim peneliti berjudul "Analisis Sumbatan dalam Proses penganggaran dan Pembiayaan di Provinsi Jawa Timur". Penelitian yang dilakukan dimulai dari bulan Mei-Agustus 2013. Dalam proses pengumpulan data, beliau menjelaskan ada beberapa hambatan yang terjadi misalnya kebijakan local yang belum mendukung UU no.14/2008 tentan keterbukaan informasi public, hambatan geografis, hambatan waktu dan perbedaan istilah yang digunakan oleh kabupaten. Hasil penelitian menunjukkan adanya kendala dalam perencanaan di puskesmas, terkait kualitas SDM karena proses konsultasi dan koordinasi yang berulang kali (2-3 kali revisi) sampai ke waktu pencairan anggaran, sementara itu di dinas kesehatan kabupaten adalah menu dan anggaran maksimal pada matriks kegiatan telah ditetapkan oleh dinas kesehatan, dan kegiatan yang tidak sesuai dengan menu dinas kesehatan akan dihapus. Sedangkan kendala dalam proses pencairan di puskesmas adalah karena proses verifikasi yang relatif lama serta beban dalam pembuatan SPJ, sedangkan di dinas kesehatan kabupaten kota karena beban proses verifikasi dan lokasi KPKN di luar wilayah. Dampak terhadap pelayanan kesehatan adalah tenaga kesehatan menjadi terpaku kepada urusan administrasi, kegiatan di bulan awal bergeser ke bulan selanjutnya, kegiatan berbiaya besar bergeser dari jadwal, program yang dilakukan di awal tahun merupakan kegiatan yang sifatnya tidak membutuhkan banyak dana dan biasanya indoor, misalnya rapat koordinasi. Diakhir sesi ini, beliau memberikan usulan strategi mengatasi kendala yang ada dengan uang panjar dan hutang kepada pihak ketiga, dana taktis puskesmas dan menunda insentif jasa pelayanan.

Sesi selanjutnya dipaparkan oleh Serlie Littik mengenai "Analisa Sumbatan dalam Proses Penganggaran dan Pembiayaan di Provinsi NTT". Dalam pemaparannya, dijelaskan mengenai hambatan dalam proses penelitian adalah model pencatatan yang tidak detail dan seragam, kemudian data dipegang oleh individu/unit/bagian yang berbeda, seringnya narasumber tidak bisa ditemui pada waktu yang disepakati serta faktor geografis dan kondisi alam daerah penelitian. Kondisi sementara adalah beberapa komponen data belum diperoleh (khususnya data realisasi keuangan dari kabupaten Sumba Barat Daya), penyebab tingginya mutasi dan format untuk isian data keuangan yang ditinggalkan juga. Realisasi selalu lebih kecil daripada alokasi, khususnya kuartal I (<10%), solusi yang ditawarkan adalah penentuan prioritas masalah oleh DInas Kesehatan, dana talangan (menyisihkan 20-30% dari dana yang telah cair untuk operasional tahap berikutnya). Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui sumbatan berdasarkan level Puskesmas, Dinas Kesehatan dan Pemerintah Daerah Kabupaten. Di level puskesmas, diketahuai adanya keterbatasan baik dari kualitas maupun kuantitas SDM sehingga menyebabkan adanya perangkapan tugas, penentuan prioritas masalah antara dinas kesehatan dengan puskesmas tidak sejalan serta pertanggungjawaban sebelumnya terlambat. Sementara itu, dilevel dinas kesehatan hamper sama yang terjadi di puskesmas, yaitu keterbatasan kualitas dan kuantitas SDM sehingga rangkap tugas dan pertanggung jawabab sebelumnya terlambat. Di level penerintah daerah kabupaten, adanya perubahan birokrasi dan mutasi yang cukup tinggi. Dari hasil penelitian ini, pembicara menyimpulkan bahwa dominasi perencanaan ada pada dinas kesehatan dilakukan berdasarkan ketersediaan/pagu anggaran dari Bappeda dengan memperhatikan data cakupan sebelumnya dan hasil musrenbang. Puskesmas hanya melakukan perencanaan untuk dana BOK, dengan kuota dari pusat.

Pembicara pada sesi ke empat adalah dari Universitas Arizona USA, Priscilla Magrath. Judul penelitian yang dipaparkan adalah mengenai Desentralisasi dan Hak Kesehatan di Kabupaten Sukabumi, Jabar. Latar belakang dari penelitian ini adalah mengenai pentingnya peranan antropologi dalam analisis kebijakan kesehatan karena mempengaruhi efektifitas dan dampak dari kebijakan serta adanya review penelitian sebelumnya terkait desentralisasi. Desentralisasi dari sebuah pendapat bisa dikatakan sebagai perubahan dalam peran pemerintah dan swasta serta masyarakat. Pada pemaparannya, ditegaskan mengenai kekhawatiran dengan desentralisasi, dari beberapa responden penelitian yang ada di dinas kesehatan, diketahui bahwa kekhawatiran terhadap mutasi staf dan kekurangan SDM, serta anggaran tidak seimbang dengan bertanggungjawab, sementara itu responden puskesmas menyatakan bahwa dampak belum sampai ke puskesmas. Selain itu, ditegaskan juga mengenai gaya pemerintahan desentralisasi adalah fleksibilitas supaya perencanaan bisa sesuai dengan kondisi daerah, mendorong kemandirian masyarakat, memecahkan masalah yang muncul, pengakuan bahwa orang masuk dan keluar dari kemiskinan da nada peran kesakitan dalam proses ini.

Pembicara terakhir pada sesi ini menyampaikan mengenai politik anggaran di sector kesehatan. Intinya adalah proses penganggaran merupakan proses yang pelik dan unik serta penuh konflik kepentingan. Konflik rebutan kekuasaan terjadi baik pada saat penentuan pagu indikatif sementara maupun definitive. Actor di DPR menggunakan kekuasaan untuk melakukan perubahan anggaran saat penetapan pagu definitive pada kegiatan yang bersifat fisik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komitmen pemerintah rendah dalam mentaati peraturan. Kesehatan bukan merupakan main stream yang ada serta pemerintah segera melakukan amandemen terhadap UU No. 36 tentang kesehatan pasal 171 ayat 1 dan 2. Diakhir pemaparannnya, penyaji memberikan rekomendasi terkait hasil penelitiannya adalah dengan melakukan upaya peningkatan kemampuan advokasi, peningkatan kapasitas dalam membuat formula alokasi dan distribusi anggaran serta butuh dukungan kebijakan yang kuat dari pemegang kekuasaan.