Professor Paul Ward - Day 2



Professor Paul Ward, Flinders University, Adelaide, Australia
To trust of not to trust, that is the question

p2Prof. Paul WardPada hari kedua simposium, Prof Paul berbicara mengenai kepercayaan atau rasa percaya seseorang terhadap sesuatu yang merupakan bagian dari penelitian yang dilakukan oleh jaringan kualitas sosial di enam negara. Isu kepercayaan yang berbeda terjadi pada masalah kebutuhan kesehatan dan perhatian sosial terhadap kelompok-kelompok tertentu seperti pekerja seks, grup-grup yang berbeda secara budaya dan bahasa, kaum minoritas, dan perbedaan status sosial ekonomi. Contoh unsur kepercayaan lainnya adalah bagaimana rakyat percaya terhadap pemerintah dan sistem pelayanan kesehatan.

Prof Paul kemudian menekankan bahwa penelitian tentang rasa percaya yang dilakukan didasarkan pada 5 pertanyaan dasar, yaitu pengertian percaya (apa), siapa orang yang dapat dipercaya, dimana rasa percaya itu muncul, mengapa orang menjadi percaya atau tidak, dan bagaimana mempertahankan kepercayaan. Pada dasarnya penelitian tentang rasa percaya dilakukan karena kebijakan dan penelitian kesehatan publik menggunakan konsep capital social dan keterlibatan sosial yang menjadikan rasa saling percaya sebagai landasan utama tetapi tidak dijelaskan dengan baik.

Prof Paul selanjutnya memberikan tiga studi kasus yang dapat memberikan ilustrasi mengenai rasa percaya. Studi kasus yang pertama adalah interaksi antara dokter dan kaum marjinal dimana kepercayaan antara dokter dan pasiennya tumbuh berdasarkan kepercayaan interpersonal dan kepercayaan terhadap sistem yang ada. Kepercayaan terhadap individu dan institusi merupakan contoh kasus kedua, dimana beberapa pertanyaan tentang percaya atau tidak percaya terhadap individu (keluarga, dokter, polisi, pejabat negara, dll) dan institusi (bank, rumah sakit, pemerintah, dll) diangkat di dalam penelitian kualitas sosial di enam negara. Studi kasus yang ketiga adalah mengenai hasil penelitian tentang kepercayaan yang dilakukan di Skotlandia.

Prof Paul pada akhir presentasinya menegaskan bahwa kepercayaan itu terjadi karena dua hal, yaitu kepercayaan interpersonal dan kepercayaan pada sistem. Kepercayaan interpersonal terbangun karena adanya keakraban yang timbul karena komunikasi yang baik. Kepercayaan terhadap institusi ditentukan oleh keakraban terhadap kebiasaan-kebiasaan yang selama ini dilakukan, sistem pelayanan personal, hierarki dalam pelayanan, dan pengaturan layanan. Kepercayaan pada sistem kesehatan juga ditentukan oleh sistem pendidikan kedokteran yang ada.

E-learning course on Reproductive Health: from Advocacy to Action

E-learning course on Reproductive Health:
From Advocacy to Action


Kursus online ini akan dilaksanakan pada 4 September-16 Oktober 2013. Penyelenggara kursus ini yaitu World Bank. Link aplikasi kursus ini, yaitu silahkan . Tujuan diadakannya kursus untuk membekali partisipan dengan pengetahuan yang khusus dan alat yang dibutuhkan pekerjaan mereka di bidang reproduksi kesehatan di negara dimana Health System Strengthening (HSS), pembiayaan yang mendukung program kesehatan dan strategi pengurangan kemiskinan yang dapat diimplementasikan. Sementara, kemampuan lain yang akan diperoleh partisipan diantaranya:

  1. Mampu mengenali hubungan antara kesehatan reproduksi, gender dan kemiskinan dan pengaruh antar ketiganya
  2. Mampu mengidentifikasi teknis, ekonomi, dan isu politik yang dihadapi negara dalam mencapai MDGs dalam kesehatan reproduksi
  3. Mampu mengenali pengaruh sistem kesehatan yang menguatkan upaya pelayanan kesehatan reproduksi dan desain program.
  4. Mengidentifikasi dan memprioritaskan kebutuhan kesehatan reproduksi masing-masing negara atau klien dalam konteks HSS
  5. Mampu mengaplikasikan perencanaan, penganggaran, pembiayaan dan efisiensi dalam mobilisasi sumber daya swasta dan publik
  6. Mampu mendesain scorecard sederhana untuk usaha jejak dalam meningkatkan luaran kesehatan reproduksi sebagai pertimbangan dalam World Bank Reproductive Health Action Plan di masing-masing negara atau klien.
     

Topik yang diangkat ialah:

  1. The changing policy and program environment, including resource and capacity issues in implementing the program of action agreed at the International Conference on Population and Development in Cairo (ICPD) and the Millennium Development Goals (MDGs), the changing demographic, epidemiological and economic conditions in countries, and new approaches to donor support (including budget support);
  2. The economic and health rationales for achieving better reproductive health outcomes, and the links between these outcomes and poverty reduction at the household and community levels;
  3. The boundaries of reproductive health, and the priority that should be given to reproductive health in selecting interventions that need to be included in the services and information "packages" typically supported by the Health system strengthening (HSS) process;
  4. The principal HSS measures (new organizational approaches, including purchasing from private providers, new financing and provider-payment mechanisms), how they are expected to improve health systems, the benefits and risks they carry for reproductive health outcomes and what can be done to mitigate such risks; and
  5. Action plans in the form of a scorecard to apply the tools and lessons learned during the course to participants' specific work challenges.

The course is organized so that a topic's background, theory, analytical framework, and policy relevance are introduced, discussed, and reiterated throughout the five modules the course. Country case examples are used to illustrate how different issues play out in different contexts. Participatory learning exercises are an important part of the course and aim to facilitate participants' understanding of issues and ability to develop ways of addressing them.

The course is free of charge – For more information please contact Alima Coulibaly ( This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. )

 

 

 

Keynote Speech dr. Nafsiah Mboi, SpA, MPH, Menteri Kesehatan RI



Keynote Speech

dr. Nafsiah Mboi, SpA, MPH, Menteri Kesehatan RI


nadr. Nafsiah Mboi, SpA, MPH, Menteri Kesehatan RINafsiah Mboi memulai sambutan dengan mengajak para hadirin untuk melakukan persamaan persepsi mengenai pengertian determinan sosial kesehatan (SDH), yaitu berdasarkan definisi dari Komisi SDHWHO ("kondisi-kondisi yang mempengaruhi kesehatan seseorang mulai dari lahir, tumbuh, bekerja, dan menjadi tua yang termasuk di dalamnya kondisi sistem kesehatan. Keadaan ini terbentuk oleh faktor-faktor yang lebih luas, yaitu ekonomi, kebijakan sosial, dan politik").

Selanjutnya menjelaskan bahwa SDH tidak terlepas dari komitmen ttujuan pembangunan millennium (MDGs) global yang telah disepakati bersama oleh 189 Kepala Negara dalam Konferensi Tingkat Tinggi Milenium di New York pada tahun 2000. Deklarasi MDGs menetapkan 8 tujuan pembangunan yang harus dicapai pada tahun 2015. Indonesia baru mulai mengadopsi MDGs pada tahun 2005, yaitu dengan memasukkan MDGs ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 dan dituangkan kedalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang dimulai dengan RPJMN 2005- 2009 serta Rencana Kerja Tahunan berikut dokumen anggarannya.

Paparan selanjutnya yang disampaikan adalah mengenai pencapaian MDGs di Indonesia, khususnya MDGs terkait bidang Kesehatan, yaitu tujuan 4 (kesehatan anak), 5 (kesehatan ibu), dan 6 (HIV, Malaria dan penyakit menular lainnya). Mid term review 2012 terhadap semua lembaga dan semua provinsi menunjukkan bahwa Kementerian Kesehatan paling banyak memiliki angka merah. Meskipun 89 persen persalinan telah dilakukan di fasilitas kesehatan oleh tenaga kesehatan terlatih, namun kematian ibu dan kematian bayi masih tinggi. Hasil analisa menunjukkan bahwa masih tingginya angka kematian ibu dan bayi disebabkan oleh kondisi kesehatan ibu hamil yang berisiko tinggi (anemia, hipertensi, overweight, diabetes mellitus), dan peningkatan jumlah ibu hamil berusia terlalu muda (dibawah 20 tahun). Oleh karena itu pemerintah telah bertekad untuk melakukan upaya komprehensif tidak hanya di hilir (peningkatan kapasitas Puskesmas PONED, Rumah Sakit PONEK, perluasan Jampersal), namun juga di hulu (kesehatan reproduksi wanita remaja, kesehatan ibu hamil). Kementerian Kesehatan akan fokus pada 9 Provinsi dengan jumlah penduduk di atas 7,5 juta jiwa dan Kabupaten/Kota dengan kasus kematian ibu dan anak tertinggi.

Di bidangHIV/AIDS, Nafsiah memaparkan peningkatan jumlah test HIV terhadap mereka yang berisiko tinggi (populasi kunci). Kebijakan test HIV diperluas dari sukarela (voluntary counseling and testing - VCT) menjadi inisiasi provider (Provider Initiative Counseling and Testing-PICT), dimana semua yang datang berobat ke Puskesmas dan Rumah Sakit dengan penyakit kelamin langsung diobati dan ditest HIV serta langsung diberi kondom. Ibu hamil di daerah resiko tinggi juga ditest HIV. Mereka yang terbukti positif HIV langsung diberikan pengobatan.

Nafsiah selanjutnya memaparkan pengurangan jumlah pasien yang resisten terhadap obat TB di Indonesia mengalami kemajuan dimana kesembuhan MDR TB meningkat menjadi 80 persen. Untuk malaria, pemerintah fokus pada 7 provinsi yang paling tinggi penderitanya, yaitu Papua, Papua Barat, Maluku , Maluku Barat, NTT, dan Bangka Belitung.

Nafsiah mengakhiri sambutannya dengan menyoroti agenda pembangunan kesehatan pasca 2015, khususnya tujuan pembangunan kesehatan global yang baru, yaitu penyakit tidak menular (PTM) dan akses menyeluruh terhadap hak kesehatan reproduksi. Upaya yang akan dilakukan untuk percepatan pencapaian penanggulangan penyakit tidak menular adalah upaya kesehatan pada setiap kelompok usia, khususnya remaja usia sekolah.

Adang Bachtiar, Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI)


 

Adang Bachtiar, Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI)
Public Health Good Governance: the Role of Public Health Profession
 

adangAdang Bachtiar , Ketua IAKMIAdang Bachtiar (Pak Adang) memulai pemaparan tata kelola kesehatan masyarakat yang baik dengan memberikan definisi tata kelola yang baik dari Kofi Anan "... the rule of law, predictable administration, legitimate power and responsive regulation...".(aturan perundangan, administrasi yang dapat diprediksi, kekuasaan yang legitimasi, dan peraturan yang responsif}.

Pak Adang selanjutnya mengemukakan upaya-upaya untuk mencapai tata kelola yang baik di bidang kesehatan masyarakat yaitu dengan cara reformasi sektor kesehatan yang meliputi pembiayaan kesehatan, organisasi dan manajemen, dan reformasi sektor publik. Tata kelola yang baik dapat meningkatkan status kesehatan melalui empat hal utama, yaitu toleransi nol terhadap anti korupsi, partisipasi & pemberdayaan untuk pengembangan kesehatan, penegakan hukum, dan pengembangan politik kesehatan untuk kesehatan masyarakat. Beberapa prinsip tata kelola yang baik untuk sektor publik meliputi akuntabilitas, transparansi, integritas, kepemimpinan, efisiensi dan penjagaan hak.

Pak Adang kemudian juga mengangkat permasalahan–permasalahan kesehatan masyarakat di Indonesia, antara lain pelayanan kesehatan, kebijakan& program sektor kesehatan, dan pembangunan sektor lainnya. Sistem kesehatan di Indonesia masih belum efisien yang disebabkan oleh rendahnya standar kompetensi profesi kesehatan yang berakibat pada prioritas kesehatan masyarakat yang diabaikan dan pelayanan kesehatan yang salah sasaran.

Pak Adang mengakhiri pemaparan dengan mengungkapkan ekpektasi dari para pemimpin kesehatan masyarakat dengan menekankan pentingnya komitmen politik "kesehatan adalah hak asasi" dan efektivitas mobilisasi sumber daya sebagai fondasi empat pilar kesehatan masyarakat di Indonesia. Keempat pilar tersebut (pelayanan kesehatan berbasis bukti, sinergi tenaga kesehatan, budaya kompetensi global, dan sumber daya manusia untuk kesehatan) merupakan keunggulan kompetitif yang dapat meningkatkan derajat kesehatan.

Professor Paul Ward, Flinders University, Adelaide, Australia



Professor Paul Ward, Flinders University, Adelaide, Australia
Theoretical and empirical analysis across the Asia Pacific
 

paulProfessor Paul WardProf. Paul memulai presentasi dengan mengetengahkan pandangan komisi determinan sosial kesehatan (CSDH) mengenai multi dimensi ketidakberuntungan yang dialami oleh orang miskin. Banyak penelitian memberikan bukti bahwa grup populasi tertentu diabaikan secara sosial, modal sosial yang rendah, akses buruk terhadap sumber keuangan dan ketidakberdayaan. Banyak juga bukti bahwa sehat dan sakit tidak hanya ditentukan oleh faktor biologi dan genetik.

Prof. Paul lebih lanjut menjelaskan bahwa banyak penelitian epidemiologi terkait dengan SDH yang sudah dilakukan namun penelitian-penelitian tersebut belum menggambarkan sebuah konsep dan kerangka kerja metodologi yang menghubungkan berbagai konsep untuk populasi grup yang sama. Konsep tersebut dapat dipakai untuk menyoroti beberapa masalah yang dihadapi oleh kelompok tertentu ataupun yang dialami oleh kelompok lain.

Prof. Paul juga mengungkapkan teori kualitas sosial, yaitu kondisi dimana orang dapat berpartisipasi secara sosial, ekonomi dan budaya dalam komuniti mereka yang dapat meningkatkan kesejahteraan dan potensi individu. Konsep kualitas sosial mencoba mengartikan dan merespon kualitas hidup orang, bukan mengukurnya. Terdapat 4 faktor normatif yang dapat menggambarkan kualitas struktur sosial, kebijakan dan hubungan dalam masyarakat. Keempat, faktor tersebut adalah keadilan sosial, solidaritas, kesamaan hak dan martabat manusia. Namun demikian agar kualitas sosial dapat berjalan dengan baik, diperlukan empat kondisi, yaitu keamanan ekonomi sosial, kohesi, keterlibatan dan pemberdayaan.

Selanjutnya Prof. Paul menjelaskan tentang jaringan kualitas sosial di Asia yang beranggotakan universitas di China Daratan, Jepang, Taiwan, Hongkong, Thailand, Korea Selatan, Singapura dan Australia. Keenam universitas ini melakukan survey kualitas sosial di masing-masing negara. Pemaparan Prof. Paul berikutnya adalah penjelasan mengenai survey yang dilakukan di keenam negara tersebut.

Prof. Paul menutup presentasi dengan memberikan kesimpulan atas studi kualitas sosial di enam negara.

Paket Usulan berbagai Policy Brief

Paket Usulan Berbagai Policy Brief
 

Berdasarkan pendekatan pemetaan intervensi di level kabupaten, diusulkan paket kebijakan yang mencakup penanganan hulu dan hilir. Mengapa disebut Paket? Penyebutan ini disebabkan karena akar masalah tingginya dan stagnasi kematian ibu dan bayi di Indonesia sangat bervariasi. Terjadi perbedaan antar kabupaten/kota. Sebagai gambaran di Papua kematian masih banyak penyebabnya di rumah tangga atau di masyarakat. Sementara itu kematian ibu di DIY hampir seratus persen berada di dalam rujukan dan proses rujukannnya. Walaupun berbeda penekanan, usulan kebijakan diberikan dalam satu paket dimana tidak mungkin hanya melakukan intervensi yang fragmentasi antara hulu dan hilir. Berikut ini berbagai usulan yang disusun dalam bentuk policy brief:

Pendekatan Kebijakan di Hulu:

  1. Pemberdayaan Masyarakat
  2. Promosi Kesehatan
  3. Perencanaan Lintas Sektor
     

Pendekatan kebijakan di hilir:

Strategi Penurunan Jumlah Kematian Bayi: Pengembangan Audit Kematian Maternal Perinatal (AMP)
dan Penggunaan Prinsip Surveilans Respon

   Strategi Penurunan Jumlah Kematian Ibu dan Bayi: Penggunaan Prinsip Surveilans Respons dalam KIA

Penggunaan Data Kematian "Absolut" Untuk Memicu Penurunan Kematian Ibu dan Bayi
di Kabupaten / Kota 

   Institutional based contracting out dengan penugasan tim tenaga kesehatan 

   Peningkatan Kualitas Kepemimpinan dan Manajemen Direktur RS dalam Program KIA 

strategi penurunan AKI dan AKB: Peningkatan mutu klinis pelayanan kesehatan ibu dan bayi di Rumah sakit.

   Manual rujukan maternal neonatal di tingkat kabupaten/kota (Lokal Spesifik)


Pendekatan Kebijakan yang mencakup hulu-hilir:

 Perencanaan program KIA berbasis bukti, Perencanaan Berbasis Bukti 

 Kebijakan Menggunakan DAK untuk KIA  

 

Catatan:

  1. Di setiap policy brief ditekankan mengenai:
    1. Apakah untuk kebijakan pusat, propinsi, atau kabupaten. Perlu ada catatan untuk penekanannya. Bisa terjadi usulan kebijakan untuk semua level.
    2. Perlu ada catatan tentang perbedaan tempat kebijakan berdasarkan tingkat kemajuan daerah/atau tempat kematian. Sebagai gambaran di Jawa masalah mutu pelayanan rumahsakit menjadi kunci. Juga rujukan. Di luar Jawa mungkin intervensi masih banyak bertumpu pada di hulu.
       
  2. Untuk perguruan tinggi/lembaga konsultan swasta:
    1. Perlu kebijakan memperkuat tim ahli yang terdiri dari pakar kesehatan ibu dan anak, pakar kebijakan dan manajemen kesehatan, serta pakar-pakar ilmu social.
    2. Perlu memperkuat kemampuan untuk pendampingan
    3. Perlu memperkuat kemampuan untuk mendapatkan dana penelitian/pendampingan dari berbagai sumber, antara lain dari Dana Dekonsentrasi.

 

Pemetaan Intervensi (Intervention Mapping) di Kabupaten/kota

Pemetaan Intervensi (Intervention Mapping) di Kabupaten/kota
 

Berdasarkan analisis kebijakan, dilakukan pendalaman untuk mencari kebijakan di masa mendatang. Prinsip yang dipergunakan adalah:

  1. Berfokus pada kegiatan di level kabupaten/kota. Fokus ini penting karena berbagai tindakan operasional berada di level kabupaten/kota. Pemerintah propinsi dan pusat berperan sangat penting sebagai pendukung kebijakan, dana, penyebar sumber daya manusia, sampai ke bimbingan teknis dan manajemen.
  2. Menggunakan pendekatan dari Hulu ke Hilir. Kebijakan dan program KIA dapat dibayangkan sebagai sebuah model hulu yang berisikan program-program preventif dan promotif yang banyak menggunakan pendekatan lintas sektor (One Health) dan determinan sosial. Hilirnya adalah kegiatan-kegiatan klinis.
  3. Menggunakan jumlah kematian absolut sebagai indikator kinerja program KIA. Data kematian absolut diperlukan di kematian ibu dan anak. Angka rates akan dipergunakan sebagai cross-check dan dilakukan dalam dua pendekatan: (1) berdasarkan data dari angka absolut; dan (2) berdasarkan data survey.
  4. Menggunakan filosofi utama dalam kebijakan KIA yaitu mengembalikan "sense of urgency" dan adanya "peningkatan adrenalin" dalam program. Untuk itu diperlukan penggunaan pendekatan surveilans-respon kematian ibu dan anak. Kematian ibu dan anak yang tidak perlu (avoidable) harus dapat dicegah.
  5. Memperbaiki perencanaan dan monitoring dan evaluasi dengan menggunakan pendekatan Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence Based Policy).

Prinsip pemetaan intervensi harap dilihat di web site: www.kesehatan-ibuanak.net Silahkan klik.

Analisis Kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia

Analisis Kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia
 

Analisis kebijakan ini menggunakan pendekatan segitiga kebijakan dari Buse dkk . Kesimpulan Analisis Kebijakan adalah sebagai berikut:

 Isi

Terjadi fragmentasi pelayanan KIA antara pelayanan primer dengan pelayanan sekunder dan tertier. Penggunaan data kematian absolut ibu dan anak kurang dimaksimalkan. Kebijakan terlalu menekankan pada penggunaan rates dengan data yang sudah terlambat, tidak tepat dipergunakan di level kabupaten, dan memberikan rasa aman yang palsu (misal sudah lebih baik dari angka rata-rata nasional). Kebijakan monitoring dan evaluasi program belum maksimal dijalankan, padahal kunci keberhasilan program berada pada monitoring dan evaluasi program dan pelaksanaan kebijakan. Dana dekonsentrasi untuk perencanaan dan pembinaan teknis (termasuk monev) belum maksimal dipergunakan. Secara tegas dapat dinyatakan bahwa kebijakan KIA tidak fokus pada indikator kematian.
 

 Aktor

Kebijakan selama ini menimbulkan situasi dimana banyak pelaku di pelayanan primer dan pencegahan namun masih kurang di aspek klinis. Hal ini terjadi karena selama puluhan tahun kebijakan dan program KIA aktif dikelola oleh DitJen BinKesmas. Sementara pelaku di rumahsakit yang dikelola oleh DitJen Pelayanan Medik belum begitu aktif (sebelum reorganisasi Kemenkes yang menghasilkan DitJen Bina Upaya Kesehatan). Profesi yang paling banyak menjadi obyek kebijakan adalah bidan. Dokter Spesialis dan dokter umum, serta perawat kurang berperan. Kepemimpinan dokter spesialis dalam pengurangan kematian belum banyak ditekankan. Peran dokter umum terkesan dikesampingkan. Tidak ada tenaga ahli manajemen untuk perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring-evaluasi program KIA. Kerjasama lintas sektor untuk promosi dan pencegahan hulu belum maksimal. Para pelaku promosi dan pencegahan yang lintas sektor belum banyak memberikan kontribusi.
 

 Konteks kebijakan

Dampak Kebijakan Desentralisasi di sektor kesehatan belum banyak diperhitungkan. Isu program KIA belum diperhatikan di daerah, khususnya di kabupaten. Pemerintah pusat sudah mempunyai perhatian besar untuk KIA, namun tidak mampu mempengaruhi pemerintah propinsi dan kabupaten untuk memperhatikannya. Di berbagai daerah anggaran untuk KIA masih rendah. Kebijakan KIA terlihat hanya satu di seluruh Indonesia. Perbedaan tempat kematian ibu dan bayi dimana di pulau Jawa sebagian besar berada di rumahsakit belum diperhatikan.
 

 Proses Kebijakan

Kebijakan KIA sering ditetapkan secara top-down dari pemerintah pusat. Di masa lalu inisiatif kebijakan sering berasal dari lembaga di luar negeri. Kebijakan yang berasal dari daerah belum banyak muncul. Saat ini dari NTT dan DIY sudah mulai ada inisiatif untuk kebijakan di daerah. Inisiatif daerah ini menimbulkan berbagai inovasi seperti adanya Revolusi KIA di NTT atau penyusunan manual rujukan dan Peraturan Gubernur tentang Rujukan KIA di DIY. Saat ini belum popular adanya tim monitoring dan evaluasi kebijakan dan program KIA yang independen. Akibatnya belum ada mekanisme kontrol yang sehat terhadap efektifitas kebijakan dan program KIA.

Catatan: Isi lengkap ada pada lampiran. SIlahkan klik.