Reportase Sesi 3.3E

Makalah Bebas Kelompok Kebijakan Rokok,
Kebijakan Obat, dan Kesehatan Kerja


Pertempuran Pesan di Ruang Publik dan Perlunya Pembatasan Informasi Produk Rokok pada Masyarakat

Alfarabi, S.Sos

Peningkatan jumlah perokok pada remaja terus meningkat dari tahun ke tahun, dimana 30% dari total perokok di Indonesia adalah remaja. Melalui analisis situasi, peningkatan jumlah perokok remaja disebabkan dari pesan- pesan iklan, promosi, dan sponsor rokok. Hal ini juga sudah dikonfirmasi dari laporan yang dibuat oleh perusahaan rokok. Walaupun pesan kesehatan tentang bahaya merokok sudah ada, tapi mengapa malah terjadi peningkatan jumlah perokok remaja?

Persepsi remaja terhadap pesan yang diberikan perusahaan rokok dan kelompok kesehatan perlu diketahui dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi kebiasaan remaja. Penelitian yang dilakukan bersifat kualitatif dan dilakukan dengan wawancara. Responden juga dipilih dimana hanya remaha berusia 18- 22 tahun yang merupakan perokok aktif dan mengetahui dampak kesehatan merokok yang diwawancara.

Hasil yang didapat adalah pesan dan promosi dari perusahaan rokok di dapat remaja secara simultan dan berkesinambungan, berbeda dengan pesan bahaya merokok yang kebanyakan hanya terpampang pada fasilitas kesehatan atau sekolah. Frekuensi iklan rokok juga jauh lebih banyak. Persepsi remaja terhadap rokok lebih menggambarkan kehidupan sehari- hari baik budaya maupun lingkungan sosial.

Perlu adanya kesadaran pemangku kebijakan untuk membatasi pesan- pesan perusahaan rokok di ruang publik, sementara kajian mendalam untuk membuat pesan kesehatan yang kreatif juga diperlukan.


Studi Efektifitas Penerapan Kebijakan Perda Kota Tentang Kawasan Tanpa Rokok dalam
Upaya Menurunkan Perokok Aktif di Sumatera Barat th 2013

Nizwardi Azkha, SKM, MPPM, MPd, MSi

Penerapan kawasan tanpa rokok (KTR) merupakan kewajiban setiap pemerintah daerah, seperti yang tertera pada UU Kesehatan no. 36 tahun 2009. Hal ini penting mengingat tren peningkatan perokok usia 15- 24 tahun. Permasalahan ada pada iklan rokok yang masih banyak dijumpai di tiga kota di Sumatera Barat, sehingga penerapan KTR di tempat umum menjadi sulit. Terbentuklah pertanyaan keefektifan penerapan kebijakan perda kota tentang KTR dalam perlindung perokok pasif dan penurunan perokok aktif.

Desain penelitian yang dilakukan adalah mix method yang menggabungkan kuantitatif dan kualitatif, dengan lokasi di tiga kota di Sumatera Barat pada bulan Mei hingga Juli 2013. Populasi yang diambil merupakan laki- laki diatas 18 tahun dengan sampel 100 orang. Data diambil dengan wawancara dan observasi.

Terdapat 51% responden yang setuju bahwa penerapan KTR efektif dalam menurunkan perokok aktif. Dana yang didapat dalam penerapan KTR dianggap kurang dalam hal pengawasan, promosi, dan sosialisai. Diharapkan adanya pemanfaatan dana dari cukai tembakau. Para pemangku kepentingan bukan hanya dari pekerja kesehatan, namun harus melibatkan berbagai elemen masyarakat. Promosi dan sosialisasi juga sangat diperlukan, mengingat masih ada 42% yang tidak mengetahui tentang KTR. Penerapan KTR juga masih sebatas pada institusi kesehatan, bahkan tidak ada penerapan KTR dalam lembaga pemerintahan.

Perlu komitmen yang kuat dari kepala daerah dan dukungan semua elemen masyarakat. Pengawasan juga harus sering dilakukan. Sosialisasi program juga masih dibutuhkan.


Tingkat Pengetahuan dan Kepatuhan Masyarakat DIY Terhadap Peraturan Gubernur No. 42 th 2009 Tentang Kawasan Dilarang Merokok

Didik Nugroho

Terdapat kebijakan di DIY yang mengatur tentang kawasan dilarang merokok (KDM) dalam bentuk peraturan gubernur. Peraturan ini lebih pada himbauan tanpa adanya sanksi sebagai efek jera. KDM disebar di berbagai tempat dengan ditandai stiker.

Perlu diketahui sejauh mana tingkat pengetahuan masyarakat DIY terhadap pergub tersebut dan sejauh mana tingkat kepatuhan mereka. Melalui mixed method kualitatif dan kuantitatif, penelitian dilakukan di kota Yogyakarta dan kabupaten Kulonprogo dengan mewawancarai 1032 responden.

Dari hasil pengumpulan data ditemukan bahwa sekitar 60,5% responden tahu tentang peraturan ini, tetapi hanya 14% yang tahu peraturan tersebut adalah peraturan gubernur. Masih ada instansi pemerintahan yang belum mengetahuin tentang peraturan ini. 90,3% responden menyatakan belum mematuhi peraturan ini. Lemahnya pengawasan merupakan opini responden mengapa level kepatuhan masih sangat rendah.

Sosialisasi peraturan harus dilakukan secara massif kepada masyarakat melalui berbagai media. Sanksi sebagai efek jera juga perlu diterapkan, tentunya dengan system pengawasan yang lebih baik.


Studi Kebijakan Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Propinsi Kalimantan Timur

Krispinus Duma

Seiring dengan pemberlakuan SJSN tahun 2014, sistem manajemen kesehatan dan keselamatan kerja (SMK3) perlu diterapkan secara menyeluruh baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Hal ini mengingat jaminan keselamatan kerja (JKK) merupakan komponen dari BPJS. Hal ini dilandasi oleh UUD 1945 pasal 27 ayat 2 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, dan dipertegas oleh PP RI no. 50 tahun 2012 tentang penerapan SMK3.

Atas dasar itu, penting untuk mengetahui tentang kebijakan SMK3 di level provinsi daerah guna menyongsong SJSN tahun 2014 dan globalisasi pasar bebas tahun 2020. Penelitian dilakukan dengan cara kualitatif dengan data diambil dari legislatif, eksekutif, dan instansi pelaksana kebijakan SMK3 melalui wawancara, observasi, dan survey.

Pada struktur kementerian kesehatan secara umum, terdapat Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak yang bertanggung jawab langsung ke menteri kesehatan. Di dalam direktorat tersebut terdapat Direktorat Bina Kesehatan Kerja dan Olahraga. Pada struktur dinas kesehatan Kalimantan Timur, hal ini berada dibawa Seksi Kesehatan Khusus. Pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, SMK3 terdapat dibawah Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan.

Hasilnya, belum ada keputusan gubernur Kalimantan Timur yang meregulasi kebijakan SMK3. Perda tahun 2008 belum menyentuh tentang SMK3. Diperlukan komitmen serius dari seluruh pemangku kepentingan di Kalimantan Timur untuk mewujudkan SMK3 yang lebih konkrit dan nyata.

 

Oleh Wega Wisesa Setiabudi

Reportase Sesi 3.2A

Aspek- Aspek Pengawasan Pelaksanaan Kebijakan BPJS 2014


Konsep Pengawasan BPJS oleh OJK

Nurhasanah, Ak., AAAIK, M.Acc & Fin.

Penerapan SJSN yang akan dijalani oleh BPJS pada tahun 2014 perlu diawasi oleh suatu lembaga yang independen, mengingat banyak aliran dan alokasi dana yang akan terjadi di dalamnya. UU SJSN tidak secara spesifik siapa yang akan melakukan pengawasan. Barulah pada UU BPJS dijelaskan bahwa pengawas independen eksternal dilakukan oleh DJSN dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). DJSN akan memonitor dan mengawasi jalannya program. Belum ada pembagian resmi tentang tugas DJSN dan OJK. Pengawas internal terdiri dari dewan pengawas BPJS yang bekerja seperti komisaris.

Tugas dari BPJS sendiri terdiri dari lima aspek, dimana hanya terdapat satu aspek kesehatan dan empat aspek lainnya merupakan bidang tenaga kerja. Pengelolaan dana pada bidang kesehatan lebih pada mobilitas dan likuiditas dana, dimana terjadi pemutaran dana yang cepat dibanding bidang tenaga kerja.

Berdasarkan UU no. 21 tahun 2011, fungsi OJK adalah menyelenggarakan system pengaturan dan pengawasan terhadap sektor perbankan, pasar modal, asuransi, dana pension, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya (termasuk di dalamnya pengawasan pada BPJS bidang kesehatan).

Struktur OJK sendiri terdiri dari sembilan dewan komisioner, dimana tiga diantaranya mengepalai sektor tertentu dalam jasa keuangan, salah satunya kepala eksekutif pengawas industri keuangan non-bank yang mengawasi BPJS, atau lebih tepatnya Deputi Komisioner Pengawas IKNB II. Tanggung jawab seluruh dewan tersebut adalah kolektif kolegial yang masing- masing akan melakukan koordinasi.

Model pengawasan OJK adalah yang berbasis risiko dari compliant based, dimana apa yang ada di peraturan dengan yang terjadi sebenarnya selalu dinilai sama. Pengawasan dilakukan pada hal- hal yang berisiko. Pengawasan ini juga lebih bertujuan untuk mencari solusi dibandingkan mencari pelanggaran. Pengawasan akan dibagi- bagi menjadi beberapa aspek dari penerimaan iuran, pembayaran premi, dan lain- lain. Tindak lanjut yang dilakukan OJK setelah pengawasan adalah pemberian rekomendasi atau masukan, tidak hanya untuk BPJS, namun juga kepada DJSN dan pemerintah.

Di masa mendatang, diperlukan aturan yang jelas pembagian tugas antara DJSN dan OJK. Ruang lingkup tentang pengawasan OJK juga perlu diperjelas, dimana di UU belum dijelaskan secara rinci.

 

Dr. Tono Rustianto, MM

Perubahan PT. ASKES dari sebuah BUMN yang mencari keuntungan menjadi sebuah institusi negara nirlaba dan mengurus jaminan kesehatan seluruh rakyat Indonesia merupakan perubahan yang sangat besar dan signifikan. Dana yang diterima oleh BPJS didapat dari iuran sebagai jaminan sosial dan dana operasional. BPJS harus melakukan perluasan cakupan jaminan.

Pengawas dibutuhkan dalam memantau aliran dana tersebut. Sebagai contoh OJK dibutuhkan untuk mencari keseimbangan antara iuran, manfaat, dan tarif dimana ketiga hal ini penting dalam keberlangsungan program. Menurut UU, pemerintah memiliki tanggung jawab apabila risiko penyakit tidak dapat ditutup oleh dana sosial BPJS. Peraturan yang mencakup system pengawasan tidak menjelaskan konsekuensi apabila BPJS melakukan suatu pelanggaran. Hal ini perlu dibenahi sebagai bentuk konsekuensi atau hukuman.

Keberlangsungan program pendanaan kesehatan sangat penting. Komunikasi dengan penyedia layanan perlu dilakukan dengan intens. Sayangnya, masih banyak klinisi yang masih berpikir tentang profit melalui fee for service. Penyusunan peraturan yang masih dalam pembahasan sekarang kurang mendapat masukan dari dunia akademik. Penentu kebijakan sangat membutuhkan opini dan pandangan lain dalam menentukan peraturan cara kerja BPJS. Pengaduan dari masyarakat seiring berjalannya BPJS sangat penting agar semua stakeholder memiliki peran dalam pengawasan jaminan kesehatan masyarakat ini. BPJS adalah milik negara dan peranan dari setiap kelompok menjadi krusial.

Oleh Wega Wisesa Setiabudi

Reportase Plenary 1



Reportase Plenary 1

Pembangunan Kesehatan dan Pembangunan Ekonomi
Prof. dr. Ascobat Gani, MPH, DrPH

ascobatProf dr Ascobat Gani, MPH, DrPHKupang. Ascobat memulai presentasi dengan memberikan beberapa statemen mengenai keterkaitan kesehatan dengan pembangunan ekonomi. Yang pertama adalah statemen normative bahwa kesehatan memiliki kontribusi untuk pembangunan ekonomi. Statemen ini didukung oleh deklarasi hak asasi manusia tahun 1948, konstitusi WHO tahun 1948, laporan pembangunan dunia UNDP tahun 1990 dan 2010, laporan pembangunan dunia yang dikeluarkan Bank Dunia tahun 1993 dan komisi ekonomi dan kesehatan makro WHO tahun 2001. Beberapa statemen bahwa kesehatan merupakan dasar pembangunan ekonomi juga dikeluarkan oleh pakar-pakar dunia seperti Gary Stanley Backer (pemenang hadiah nobel 1992), Prof. Amartya Sen (Profesor Ekonomi di Universitas Harvard dan Nobel Laureate di tahun 1998), Jeffrey Sachs (Pencetus MDGs dari Universitas Harvard), dan Joseph Stiglitz (Universitas Kolombia, pemenang hadiah Nobel tahun 2001).

Ascobat selanjutnya menjelaskan konsep-konsep yang menjelaskan hubungan antara kesehatan dan ekonomi. Salah satu konsep adalah dampak positif kesehatan terhadap pertumbuhan ekonomi dan reduksi kemiskinan. Sebagai contoh, berkurangnya hari tidak produktif karena jarang sakit dan orang lebih mampu memanfaatkan sumber daya karena tidak sakit.

Dalam hal bukti empiris, Ascobat menekankan bahwa banyak studi yang sudah dilakukan yang menyimpulkan bahwa kesehatan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Sebagai contoh adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh David E Bloom yang menunjukkan bahwa peningkatan 1 tahun usia harapan hidup dapat meningkatkan pendapatan kotor domestic (GDP) sebesar 4%.

Ascobat kemudian menekankan implikasi bukti empiris tersebut ke dalam investasi kesehatan di Indonesia. Yang menjadi pertanyaan adalah berapa banyak dana yang diperlukan, siapa membayar apa, dan bagaimana nilai dari uang. Dalam hal nilai uang, Ascobat menganalogikan "uang untuk kesehatan dan kesehatan untuk uang".

Sebagai kata penutup, Ascobat mengangkat filosofi 2 x 2 = 4 dimana keberhasilan pembangunan kesehatan ditentukan oleh dua hal, yaitu kepeminpinan yang kuat dan komitmen yang tinggi untuk kesehatan. Kedua pilar ini merupakan tonggak utama dalam pembangunan kesehatan bangsa. (DJ)



Kebijakan Desentralisasi untuk pembangunan bangsa di sektor kesehatan

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, PhD

ltProf. dr. Laksono Trisnantoro, PhD Kupang - Prof Laksono memulai presentasi dengan menggambarkan dinamika perubahan system sentralisasi dan desentralisasi. Harapan 15 tahun yang lalu dimana kebijakan desentralisasi kesehatan yang melibatkan lembaga pemerintah, masyarakat dan swasta serta faktor-faktor lain berdampak pada perubahan status kesehatan. Nyatanya, 15 tahun desentralisasi tidak berhasil menyeimbangkan fasilitas kesehatan dan sumber daya kesehatan antar provinsi, kabupaten/kota. Sebagai contoh kematian ibu dan bayi serta kasus AIDS tidak mendapatkan manfaat dari kebijakan desentralisasi.

Prof. Laksono selanjutnya menunjukkan kenyataan bahwa hingga tahun 2013 masih banyak masalah yang dihadapi. Kecuali pengobatan gratis, tidak ada perhatian terhadap sector kesehatan oleh pemerintah daerah. Program kuratif ini merupakan upaya politis yang dijual calon pejabat kepada masyarakat untuk membeli popularitas. Sebaliknya, pemerintah pusat juga belum optimal memanfaatkan anggaran kesehatan. Hambatan dalam penyaluran ke daerah melalui mekanisme DAU, DAK, TP, dan dana dekonsentrasi banyak terjadi walaupun APBN meningkat.

Prof. Laksono mengajak seluruh pengurus dan anggota IAKMI di pusat dan di daerah, baik yang masih aktif maupun yang sudah purna tugas untuk ikut membahas dan bertindak dalam isu desentralisasi kesehatan. Bagi yang masih aktif dapat mengupayakan program hulu dengan menjadi pelaku di sektor kesehatan dan yang terkait. IAKMI harus menyebar keanggotaannya tidak hanya di kalangan kesehatan saja melainkan juga di sektor lain seperti dinas PU, Pendidikan, Bappeda, dan Dinas Pendapatan Daerah. Sedangkan yang sudah purna tugas bisa menjadi tenaga ahli untuk mengembangkan sistem kesehatan yang terdesentralisasi.

Menutup presentasi, Prof. Laksono mengajak para peserta untuk mengubah cara pandang kepada instansi-instansi lain agar mendukung upaya kesehatan atau melaksanakan kegiatan pembangunan berwawasan kesehatan. Perlu dilakukan pelatihan-pelatihan tenaga teknis secara virtual untuk membuka akses informasi kepada semua pihak. (NF/DJ)



Peran Legislatif dalam Membangun Kesehatan Bangsa

Dr. Soemarjati Arjoso, SKM

soemarjatiDr. Soemarjati Arjoso, SKM Kupang - Sumarjati membuka pembicaraan dengan mengangkat isu-isu penting yang dikatakan oleh para pembicara sebelumnya terkait dengan pencapaian target MDGs. Menteri Kesehatan mengatakan bahwa semua berhasil, namun Ascobat dan Laksono mengatakan bahwa Indonesia belum berhasil mencapai target MDGs. Pidato Presiden Indonesia mengatakan bahwa Indonesia mendapatkan penghargaan pemberantasan TB padahalTB di kupang masih neglegeted, kasus frambusia juga masih banyak.

Soemarjati selanjutnya menjelaskan peran strategi DPRD dalam pembangunan kesehatan bangsa. Peran-peran tersebut adalah legislasi dimana DPR menentukan UU, penganggaran dimana DPR menentukan anggaran sampai rencana kerja anggaran kementerian/lembaga, dan peran pengawasan pelaksanaan program dan aggarannya.

Terdapat enam peran strategis DPR dan DPRD dalam pembangunan kesehatan bangsa yang diangkat oleh Soemarjati. Keenam peran strategis DPR tersbut adalah meningkatkan anggaran kesehatan sesuai dengan UU No. 17 tahun 2003, membantu mempercepat penyerapan anggaran kesehatan, memangkas anggaran yang tidak cost effective, mengawasi program pembangunan kesehatan, termasuk mencegah korupsi, menyusun Undang – Undang untuk mempercepat proses pembangunan kesehatan, dan membentuk kaukus kesehatan untuk mendiskusikan masalah kesehatan di luar sektor kesehatan.

Sebagai kata penutup, Soemarjati mengajak anggota IAKMI untuk dapat masuk ke DPR. Semakin banyak anggota DPR yang mengerti masalah kesehatan masyarakat maka diharapkan pembangunan ksehatan masyarakat akan semakin baik dan dapat mempercepat pembangunan bidang kesehatan.

Reportase Ses 1.5B



Kelompok AIDS, Ruang: Ruby, Hotel On The Rock

Tantangan Kebijakan HIV dan AIDS di Indonesia

15c1Foto 1. Kelompok Kerja HIV/AIDS yang baru terbentuk dalam Forum Nasional IV: Jaringan Kebijakan Kesehatan mengangkat topik-topik diskusi yang menarik. Foto ini adalah topik pertama yang dibahas pada sesi malam Forum, tanggal 4 eptember 2013, di Hotel On the Rock, Kupang. (Foto Dokumen milik PKMK FK UGM)

Kelompok kerja AIDS merupakan kelompok baru yang dibentuk dalam Forum Nasional. Mengapa kelompok kerja ini perlu ada? HIV/AIDS bukan masalah kecil, sebaliknya merupakan masalah besar yang perlu mendapat perhatian dari berbagai kalangan masyarakat. Realitas menunjukkan bahwa meskipun isu HIV/AIDS sudah menuju pada isu epidemi, tetapi penanganannya masih belum maksimal. Sehingga hasil yang diperoleh tidak signifikan dengan anggaran yang telah dibayarkan. Berbagai kebijakan sudah disahkan, namun seringkali hanya sebatas dokumen yang sah dan ditandatangani pejabat negara, namun aplikasi di lapangan sangat sedikit atau bahkan daerah tidak terpapar dengan kebijakan tersebut. Mengapa demikian? Apa saja tantangan Kebijakan HIV/AIDS di Indonesia? Apakah masalah ini bisa diselesaikan melalui pendekatan-pendekatan lama, ataukah membutuhkan pendekatan yang berbeda dan lebih inovatif? Aktor-aktor mana saja yang seharusnya terlibat dalam penanganannya, dan siapa yang akan bertindak sebagai leader?

Pada Sesi 1.5B malam ini, telah hadir empat narasumber untuk membahas isu Tantangan Kebijakan HIV/AIDS di Indonesia. Keempat narasumber tersebut adalah: Ir. Halik Sidik dari Komite Penanggulangan AIDS Nasional, dr. Afriana dari Subdit AIDS dan PMS Ditjen P2PL Kementerian Kesehatan, Prof. Budi Utomo dari HCPI, Prof. Irwanto, MA., Ph.D dari Universitas Atmajaya, Jakarta. Ignatius Praptoraharjo, Ph.D akan berperan sebagai moderator.


 

Narasumber 1: Ir. Halik Sidik-KPAN

Tantangan Kebijakan HIV/AIDS di Indonesia

15c2Foto 2. Halik Sidik dari KPAN menyoroti topik mengapa kebijakan harus menjawab masalah penularan HIV/AIDS dengan menampilkan data kasus HIV/AIDS di populasi Indonesia. (Foto Dokumen milik PKMK FK UGM)

Ada Kebijakan, Kurang Implementasi

Halik Sidik menyoroti pengembangan topik pembahasan kali ini dari jenis-jenis kebijakan pemerintah untuk penanggulangan HIV/AIDS. Ada lima kebijakan dasar yang mengatur penanggulangan HIV/AIDS dan beragam peraturan turunan dari hierarki kebijakan. Melihat kenyataan ini, secara praktis sudah tidak ada lagi masalah yang berkaitan dengan kekurangan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS. Maka muncul pertanyaan: Dimana letak masalah sebenarnya? Masalah sebenarnya adalah bagaimana mengimplementasikan semua kebijakan yang sudah ada di level masyarakat.

Isu-isu Implementasi Kebijakan

Program penanggulangan HIV/AIDS yang sekarang dilakukan sudah berumur kurang lebih 10 tahun, tetapi dampak yang dihasilkan belum signifikan. Salah satu contohnya yaitu isu keberlanjutan penggunaan kondom. Remaja yang sekarang menggunakan kondom karena perilaku seks, kemungkinan besar akan bergantung pada kondom itu seumur hidupnya. Tetapi, saat Ia lupa atau berhenti menggunakannya, maka penggunaan kondom yang sekali-sekali saja tidak akan terlalu bermanfaat lagi untuk mencegah penularan HIV/AIDS. Pertanyaannya: Apakah sudah ada kebijakan yang mengatur perilaku seperti ini? Isu-isu lain untuk implementasi kebijakan sekarang adalah adanya percepatan penularan HIV/AIDS saat ini pada kelompok berisiko (termasuk penularan dari ibu hamil ke bayinya), dan'cultural shock', serta kemajuan teknologi. Tahun 2008, menurut Google Hit Statistik, Indonesia menduduki peringkat ke-3 di Asia untuk negara yang rakyatnya mengakses pornografi secara kontinu. Bagaimana mengantisipasi hal ini? Meskipun sudah ada kebijakan yagn dikeluarkan oleh MenKomInfo tentang pornografi, tetapi implementasinya juga masih sulit.

Dapatkah Kebijakan Mempengaruhi Anggaran?

Pada satu sisi, jawabannya adalah ya. Ada peningkatan jumlah anggaran di daerah. Hanya ada enam Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi yang anggaran maksimalnya berkisar 50 juta dari APBD. Anggaran hanya turun saat terlaksananya Pilkada atau KdH baru. Di sisi lain, jawabannya adalah tidak, yaitu dalam arti efektivitas anggaran. Masih perlu kebijakan atau pedoman dari Kemendagri untuk lebih mengefektifkan anggaran terutama kesesuaiannya dengan epidemi dan evidence. Contoh: salah satu KPA Provinsi menganggarkan lebih dari 400 juta hanya untuk merayakan hari AIDS sedunia. Apakah anggaran ini efektif? Jawabannya sudah jelas tidak. Salah satu catatan penting untuk efektifitas anggaran adalah berbasis pada populasi kunci dan LKB (PKM).

Analisis Kebijakan

Secara singkat dapat disimpulkan bahwa masih ada kekosongan ada beberapa kebijakan yang ada, muncul masalah pada implementasi kebijakan, mencakup tidak ada PPNS untuk penegakkan Perda AIDS, masih dibutuhkan waktu bagi pengambil keputusan/pelaksanan kebijakan di daerah untuk implementasi dan siapa saja yang akan berperan, serta ada kebutuhan terhadap anggaran yang lebih efektif dan perencanaannya.


 

Narasumber 2: dr. Afriana-Subdit AIDS P2PL Kementerian Kesehatan RI

Kebijakan Program Pengendalian HIV-AIDS dan IMS.

15c3Foto 3. Narasumber Afrida dari Subdit AIDS P2PL Kementerian Kesehatan RI sampaikan presentasi di Forum Nasional (Foto Dok. PKMK FK UGM)Tidak ada daerah yang bebas HIV/AIDS

Di awal materi, narasumber rmenyoroti estimasi jumlah ODHA di Indonesia yang berjumlah 591.823 orang dan tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Dengan demikan berarti semua wilayah di Indonesia tidak ada yang bebas dari HIV/AIDS. Kenyataan yang cukup mengkhawatirkan. Sejak tahun 1987-2005, jumlah temuan kasus AIDS lebih banyak dari HIV, tetapi terjadi perubahan pola temuan kasus pada tahun 2006-2012, yaitu lebih banyak jumlah orang terinfeksi HIV. Artinya, sudah lebih banyak orang yang ditemukan sebelum memasuki stadium AIDS. Hal ini sesuai dengan tujuan pengendalian HIV/AIDS dan IMS yaitu: menurunkan jumlah kasus baru HIV, menurunkan angka kematian, menurunkan stigma dan diskriminasi, yang akhirnya bermuara pada peningkatan kualitas hidup ODHA.

 

 

Kebijakan pengendalian HIV/AIDS

Tujuan kebijakan pengendalian HIV/AIDS adalah meningkatkan advokasi, sosialisasi dan pengembangan kapasitas, meningkatkan kemampuan manajemen dan profesionalisme, meningkatkan aksesibilitas dan kualitas, meningkatkan jangkauan pelayanan untuk pelayanan HIV/AIDS. Tujuan lainnya adalah menggerakkan program berbasis masyarakat, menginkatkan jejaring kerja, kemitraan dan kerjasama, serta mengupayakan pemenuhan kebutuhan sumber daya. Untuk mencapai tujuan ini maka dibentuk layanan-layanan terpadu di Rumahsakit, Puskesmas, LSM, rutan/lapas). Maka pertanyaannya adalah: Seberapa besar masalah HIV/AIDS di sekitar kita? Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar, karena penularan HIV/AIDS terutama terjadi karena ada perilaku yang berisiko, seperti praktek seksual tanpa pengaman, praktek penggunaan jarum suntik tidak steril dan berganti-ganti, serta penularan ibu HIV positif ke bayi. Maka kebijakan pengendalian HIV/AIDS harus dilakukan secara komprehensif, meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Perlu melibatkan seluruh sektor terkait, civil society organization termasuk swasta dan tokoh masyarakat.

Tantangan di Layanan Kesehatan dan RTL

15c4Pembahasan Afriana berlanjut pada konteks tantangan di layanan kesehatan. Ia menyoroti beberapa hal seperti berikut: stigma dan diskriminasi, rendahnya pengetahun tentang HIV/AIDS dan IMS, missed opportunity: diagnosis, perawatan/terapi dini dan akses dukungan psikososial, terbatasnya akses dan utilisasi layanan, dan logistik dan SDM yang kurang memadai. Menghadapi tantangan tersebut memang tidak mudah, maka dibutuhkan RTl yang tepat, seperti melakukan upaya penurunan stigma dan diskriminasi, melakukan upaya peningkatan pengetahuan, peningkatan akses, penurunan miss opportunity, dan dibentuknya tim mentor klinis di setiap propinsi. Nama lainnya adalah Layanan Komprehensif Berkesinambungan.


 

Pembicara 3: Prof. Budi Utomo-HIV Coorporation Program for Indonesia

Isu Strategis Kebijakan Penanggulangan HIV/AIDS, Indonesia

15c5Foto 4. Budi Utomo dari HIV Coorporation Program for Indonesia sampaikan presentasi di Forum Nasional (Foto Dok. PKMK FK UGM)Memahami Kebijakan Program Penanggulangan HIV/AIDS

Topik bahasan Budi Utomo ada tiga, yaitu: memahami kebijakan program penanggulangan HIV/AIDS, harapan versus realitas peran, dan Isu strategis kebijakan dan program. Ia menyatakan bahwa untuk memahami program kesehatan ada tiga fungsi pokok yang harus dilakukan, yaitu asesmen, pengembangan kebijakan dan jaminan kualitas pelaksanaan. Ketiga hal ini akan bermuara pada layanan, perubahan perilaku dan epidemi penyakit. Namun, tetap masih dalam konteks sosio ekonomi-politik-buaya-teknologi-etika. Budi Utomo, menitikberatkan pembahasannya pada metode atau strategi yang dibutuhkan untuk kebijakan penanggulangan HIV/AIDS. Pendekatannya melalui komisi atau organisasi, yang berasal dari berbagai level dari level nasional sampai level daerah/kabuapaten/kota. Selain itu, perlu melibatkan juga sektor lain, orgnasasi lain, dan LSM sebagai pelaksana program dan pemberi layanan. Hal yang perlu diipikirkan secara serius adalah kebijakan apa yang sesuai peran masing-masing komisi atau organisasi? Bagaimana mekanisme pembiayaan dan pelatihannya?

Harapan versus Realitas

15c6Komisi Penanggulangan AIDS, diharapkan memiliki kemampuan untuk mobilisasi, fasilitasi, koordinasi, kolaborasi sektor yang membutuhkan kebijakan secara spesifik mengatur hal tersebut. KPA/Pokja bersifat sementara sampai kabupaten/kota kuat dan mandiri. Realitas menyatakan sebaliknya. Ada kelemahan hubungan birokrasi/strukutal dengan sektor. Contoh: Siapa leader di KPA? Seharusnya adalah kepala daerah, tetapi ada kepala daerah yang tidak peduli. Hal ini mengindikasi bahwa birokrasi KPA hanya memperkuat kebijakan dan program saja, tetapi mobilisasi dan implementasi masih lemah. Bukan hanya KPA yang salah, tetapi sektor lain juga berperan memperparah realitas penanggulangan HIV/AIDS, karena terjebak hanya sebagai pelaksana. Akibatnya ada kerancuan peran antara KPA dengan sektor lain. Ada juga yang berpikir bahwa masalah HIV/AIDS adalah masalah KPA sehingga, hubungan koordinasi jadi lemah. Demikian juga ada kelemahan dalam hal kapasitas-dana dan ketenagaan-sebagian besar masih bantuan dari donor asing. LSM atau organisasi kemasyarakatan selama ini diharap dapat menjadi pendamping dan memberikan dukungan untuk implementasi kebijakan penanggulangan HIV/AIDS, tetapi sekali lagi realitas membuktikan bahwa cakupan masih terbatas, pendanaan juga masih berasal dari sumber asing, sehingga keberlangsungan hidupnya hanya selama sumber tersebut bersedia mendanainya, dan LSM/organiasi kemasyarakat kurang dilibatkan oleh sektor resmi dari pemerintah dalam perencanaan dan pelaksanaan program.

Isu-isu strategis Kebijakan dan Program

Dari pembahasan di atas, selanjutnya Budi Utomo menarik perhatian kea rah isu strategis yang dapat dikembangkan untuk kebijakan penanggulangan HIV/AIDS. Beberapa isu strategis tersebut adalah: kesamaan konsepsi dan persepsi, kerancuan peran tentang kelembagaan dan kepemimpinan, pendanaan-bantuan asing atau APBD?, struktur penanggulangan dalam konteks desentralisai, pencegahan primer dari transmisi sekual dan penyuntikan narkoba, kebijakan berbasis evidence, dan akses pelayanan. Isu-isu strategis tersebut perlu dikembangkan lebih jauh, jika memungkinkan menggunakan forum ini sebagai salah satu sarana menyaring saran dan koreksi dari seluruh pemerhati kebijakan penanggulangan HIV/AIDS.


 

Pembicara 4: Prof. Irwanto, MA., Ph.D-Pusat Penelitian HIV/AIDS UNIKA Atmajaya, Jakarta

Tantangan Kebijakan Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia

15c7Foto 5. Irwanto dari Pusat Penelitian HIV/AIDS UNIKA Atmajaya, Jakarta sampaikan presentasi di Forum Nasional (Foto Dok. PKMK FK UGM)Narasumber Irwanto, menarik kembali perhatian peserta pada ciri khusus HIV/AIDS, yaitu: penyakit infeksi, termasuk penyakit kronis atau jangka panjang (dan membutuhkan –mungkin- ARV seumur hidupnya), dan penyakit menular. Penyakit ini mempunyai dimensi sosial yang sangat kuat karena menyangkut marginalized population. Siapakah petugas/orang yang mau berbicara tentang masalah seks, pekerja seks, waria, saat ini? Membicarakan hal itu masih sering dianggap tabu dan bukan merupakan topik yang enak di bahas dan di dengar dalam pembicaraan sehari-hari. Hal ini berkaitan dengan tanggapan awal pejabat atau tokoh-tokoh penting. Pertanyaannya adalah: Apakah ketakutan tersebut hanya karena ketidaktahuan? Ataukah karena ada pertimbangan moral lain? Konsekuensi yang dihadapi karena masalah ketakutan ini adalah vakum kepemimpinan dan inisiatif. Padahal, untuk menangani epidemi ini dibutuhkan kepemimpinan sektor yang kuat, perencanaan strategik yang baik, dan investasi yang adekuat. Kembali dibandingkan dengan 25 tahun realitas, KPA masih lemah dalam peran sektoralnya dan belum ada strategi penanggulan menanggapi kronisitas, masih terjadi kerancuan peran dengan sektor lain, dan pengambilan keputusan dan implementasi yang masih sangat tersentral. Invetasi juga masih setengah hat, hanya mencakup 40% dan mudah didikte dengan agenda yang mungkin tidak sesuai kebutuhan karena masih berasal dari donor asing.

Menyelesaikan Masalah Utama HIV/AIDS

15c8Bertolak dari tiga ciri utama HIV/AIDS, cara menyelesaikan masalah yang diajukan Irwanto menjadi lebih mudah. Pertama, perhatikan elemen penting dari kebijakan yaitu menyatukan persepsi bahwa HIV/ADIS merupakan penyakit infeksius. Dengan demikian, maka dasar pengambilan kebijakan adalah evidence. Misal: Siapa yang harus mendapat konseling pada program kondom? Apakah populasi umum atau ada populasi yang lebih spesifik? Jawabannya adalah setiap orang yang menggunakan kondom itulah yang perlu ditangani dengan segera. Juga dibutuhkan cara pandang yang baru terhadap populasi kunci, yaitu memandang mereka dengan respek dan penghargaan pada partipasi mereka. Selain itu, dibutuhkan juga investasi di seluruh level baik primer/pengobatan maupun sekunder untuk pencegahan. Bukan hal yang mudah karena dibutuhkan komitmen yang sangat kuat dari sektor kesehatan di seluruh propinsi.

Kedua, menganggap HIV/AIDS sebagai penyakit kronis, membutuhkan cara hidup sehat, dan cara pencegahan/pengobatan yang baik, kesiapsiagaan pemberian dukungan termasuk mental health, integrasi dengan berbagai pelayanan yang relevan dan sejenis. Ketiga, memperkuat dimensi sosial politik. Sampai sekarang, masih saja ada stigma dan diskriminasi pada populasi ini. Selain itu kerangka hukum masih menghambat penanganan HIV/AIDS. Lalu, dibutuhkan leadership yang kuat, tetapi tetap kembali pada respon daerah yagn berbeda-beda. Sektor pendidikan harus lebih terbuka dan bekerja sama dalam hal menyebarkan secara lebih luas pengetahuan umum tentang HIV/AIDS, pencegahan dan pengobatannya, dengan cara yang berterima tetapi lugas dan jelas, misal: dalam kurikulum SMP, SMA, juga perkuliahan.

Masalah leadership, memang bukan masalah mudah, dimana leadership dibutuhkan? Ledearship dibutuhkan untuk memastikan bahwa kebijakan yang dibutuhkan sudah ada dan berani menjalankan kebijakan, memenuhi semua komponen yang dibutuhkan. Leaderhsip dibutuhkan untuk memastikan bahwa komunikasi dan koordinasi atar sektor, terutama sektor pemerintah dan non-pemerintah benar-benar berjalan. Selain itu leadership juga dibutuhkan untuk mengambil tindakan tidak popular karena berhubungan dengan isu-isu populasi yang terpinggirkan.

Penutup

Perumusan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS yang dapat diimplementasikan di populasi kunci dan populasi umum masih menjadi tugas rumah bagi penyusun kebijakan di Indonesia. Keberanian menggunakan evidence dalam membuat formulasi kebijakan sangat dibutuhkan. Leadership untuk menjalankan kebijakan sesuai legal framework yang ada harus dikembangkan. Kemauan dan kemampuan untuk tidak bergantung pada ahli-ahli asing perlu dimunculkan.

Key-Note Speech 2 - fasli jalal



Revitalisasi Arah Pembangunan Menuju
Sumber Daya Manusia Indonesia Berkualitas

Prof. dr. Fasli Jalal, SpGK, PhD


fasliProf. dr. Fasli Jalal, SpGK, PhD

Keynote Speech ketiga mengangkat tema Revitalisasi Arah Pembangunan Menuju Sumber Daya Manusia Indonesia Berkualitas. Paparan ini disampaikan oleh Prof. dr. Fasli Jalal SpGK., Ph.D (Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana RI). Tantangan terkait dengan kependudukan adalah "Bagaimana cara kita memajukan kehidupan masyarakat Indonesia baik balita, remaja sampai dengan lansia?" Berdasarkan studi: bahwa jika seluruh individu mengikuti gaya hidup negara Amerika antara lain tergantung dengan AC, makanan berlebih maka bumi hanya bisa menanggung 2 milyar penduduk. Diperkirakan pada tahun 2050 penduduk bumi berjumlah 9,2 milyar. Dalam sejarah Indonesia pada abad 17 penduduk berjumlah 10 juta, hasil sensus tahun 1970 sekitar 125 juta. Dan pada saat itu diproyeksikan pada tahun 2010 dengan trend fertility rate di Indonesia diperkirakan berjumlah 340 juta dan ternyata hanya 237,6 juta berarti dengan program-program pada era Suharto dapat berhemat 1 juta orang terkait dengan penghematan pembangunan sekolah, pembangunan fasilitas kesehatan, income perkapita dan sebagainya.

Skenario tahun 2035 diperkirakan jika kita lalai maka jumlah penduduk sekitar 390 juta tapi jika program kita jalan dan berhasil maka jumlah penduduk sekitar 320-330 juta. Tapi karena keberhasilan program KB maka bonus remunerasi dapat menekan kelahiran sebanyak 100 orang maka 1 orang yang kerja menanggung 50 orang yang tidak bekerja. Jika bonus ketergantungan bisa kita maksimalkan maka 100 orang bekerja menanggung 80 orang tidak bekerja. Jepang sekarang kembali terbebani bukan oleh anak-anak tapi kelompok lansia. Angka dependent ratio di Jepang sangat berat dengan sistem asuransi kesehatan saat ini maka ekonomi Jepang termasuk ringkih (riskan).

Melihat Korea, Jepang, dan China yang penduduknya banyak kelompok tua, maka dapat disimpulkan yang peluangnya paling tinggi adalah Indonesia karena angka dependent ratio Indonesia sebesar 200 juta tenaga kerja yang siap kerja saat negara-negara lain masuk ke kelompok yang banyak lansianya. Tetapi pertanyaan selanjutnya adalah Siapa 200 juta ini? Bagaimana pendidikannya? Bagaimana kesehatannya?, Bagaimana etos kerjanya? Bagaimana semangat berkompetisinya?. Hal-hal ini yang perlu diperhatikan sehingga jangan sampai negara kita masuk dalam demografi disaster.

Output per person

Kanak-kanak dan balita adalah usia golden age/years merupakan 1000 harus pertama kehidupan. Dengan stimulasi pendidikan maka SDM akan berkualitas. Saat ini anak-anak telah terpapar oleh media internet, televisi dan lain-lain yang didalamnya ada hal-hal yang tidak harus disajikan. Sementara sekolah lebih mengutamakan kemampuan kognitif. Berdasarkan data kasus HIV di Indonesia sebanyak 420 ribu kasus, yang terjerat narkoba dan 4 juta sdh adiktif dan sebanyak 800 ribu adalah remaja. Bagaimana agar semua masalah itu tidak terjadi? karakter, akhlak remaja kita belum terbangun (misalnya: tawuran) tugas kita adalah bagaimana kita mengatar mereka? Salah satunya adalah wajib belajar 9 tahun menjadi 12 tahun dan untuk yang pintar akan ada beasiswa. Usia menikah minimal 20 tahun.

Program "generasi berencana" memberikan pendidikan produktivitas sehingga mereka terhindar dari HIV/AIDS. Saat ini, di Indonesia ternyata jumlah anak yang tidak tumbuh dengan baik selama 3 tahun tidak berubah sepertiga anak Indonesia terlambat pertumbuhannya. Apabila pada usia muda kurang gizi maka saat dewasa mengidap penyakit degeneratif. Bagaimana membantu perkembangan otak anak kita? Peran stimulasi menurut Hillary Clinton : diperlukan orang satu wilayah dan semua orang wajib menstimulasi otak anak.

Hasilnya menunjukkan akses saja tidak cukup diperlukan untuk meningkatkan kualitas berpikir. Anak-anak kita selama ini terperangkap dengan menghafal belum kreatif inovatif. Sehingga mutu menjadi masalah baik di bidang matematika ataupun science. Apa yang harus kita lakukan wajib belajar harus menjadi tantangan bersama kita berupaya jangan Drop Out. DPR memberikan beasiswa kepada sejumlah 13,5 juta anak dan total 120 ribu anak dapat beasiswa. Keberhasilan ini dengan melihat pengalaman sejarah masa lalu dengan dukungan pencegahan penyakit oleh IAKMI. Harus tetap ingat dengan burden golden age jangan sampai lalai. Sebanyak 46 juta remaja merupakan sumber daya yang luar biasa dengan kreativitas namun siap tidak kita mendampingi mereka? Ternyata sensus 2010 sebanyak 18 juta usia diatas 60 tahun, di tahun 2050 jumlahnya naik 80 juta orang Indonesia berumur 60 tahun ke atas. Harapan kita mereka bisa menjadi lansia yang peduli dan dapat membantu yang lain. Mereka bisa lebih lama mandiri. Ini adalah salah satu bentuk terimakasih kita dan negara kita Indonesia bermartabat, berkualitas karena masyarakatnya.

Oleh: Jati Untari

Key-Note Speech 3 - Jusuf Kalla



Politik Kemandirian Masyarakat untuk Membangun Kesehatan Bangsa

Bapak Jusuf Kalla


jk

Dalam Konas IAKMI ke-12, Jusuf Kalla memaparkan tentang Politik Kemandirian Masyarakat Untuk Membangun Kesehatan Bangsa. Jusuf Kalla bertindak sebagai keynote speaker dalam acara ini (5/9/2013).Pada awal pemaparannya Jusuf Kalla menyatakan "Saya lebih suka bila rumah sakit itu sepi karena berarti masyarakatnya sehat". Untuk mencapai hal tersebut perlu ditekankan upaya bersama. Jika Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berbicara tentang bagaimana menyembuhkan orang? Ahli kesehatan masyarakat sibuk berdiskusi bagaimana agar tidak banyak orang sakit?. Melihat tujuan masing-masing profesi itu sangat bertolak belakang. Dari sisi masyarakat sehat merupakan situasi yang terbaik. Seringkali masyarakat keliru apa itu sehat dan sakit, selama ini masyarakat mengasumsikan bahwa kesehatan itu identik dengan rumah sakit, faktanya rumah sakit merupakan upaya terakhir. Dalam paparannya, Yusuf Kalla mengemukakan teori HL Blum bahwa kesehatan itu dipengaruhi oleh 1) faktor genetik (riwayat kesehatan), 2) faktor lingkungan, 3) kebiasaan/perilaku, dan 4) pelayanan kesehatan

Belajar tentang upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif dalam kesehatan merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Dimana masing-masing profesi memiliki interest yang berbeda-beda. Bidang kesehatan sangat dilema setiap kali pertanyaan yang muncul adalah "berapa jumlah pasien?" mendengar pertanyaan tersebut berarti kita berharap banyak orang sakit. Jika kita bicara kesmas maka kita bicara tentang kepentingan umum, public interest, kepentingan masyarakat. Tugas alat pemerintah harus selalu meningkatkan kesejejahteraan masyarakat untuk mencapai indikator kesehatan nasional seperti angka kematian ibu dan angka kematian bayi. Pada era Suharto kesehatan berfokus di infrastruktur seperti: posyandu, penimbangan bayi, pembangunan puskesmas dan terbukti itu memberikan kemajuan yang luar biasa bagi kesehatan. Saat ini terjadi perubahan yang sangat mendasar bahwa layanan kesehatan menghadapi situasi tuntutan masyarakat lebih tinggi. Jika dulu masyarakat puas dengan sehat sekarang tuntutannya adalah prestasi lebih tinggi sehingga ada jaminan/asuransi. Masyarakat harus dijamin aksesnya dengan asuransi ataupun asuransi daerah dan sekaligus didukung dengan infrastruktur.

Di AS, Obama terpilih menjadi presiden karena program medicare-nya, bahwa kesehatan berkaitan dengan banyak aspek. Hal ini seperti tergambar dalam teori HL Blum bahwa kesehatan dipengaruhi oleh empat faktor dan dua diantaranya sangat berpengaruh yaitu lingkungan dan kebiasaan. Tetapi ekonomi juga sangat berpengaruh apapun yang kita lakukan jika aspek ekonomi untuk hidup tidak ada maka hasilnya akan berbeda. Kesehatan harus bicara dengan aspek sosial lainnya. Program perbaikan kesehatan tidak hanya menambah jumlah rumah sakit, jumlah dokter, atau jumlah tenaga kesehatan lainnya tapi juga menambah program-program promotif dan preventif lainnya. Jika masyarakat banyak terjangkit penyakit menular maka pasti produktivitasnya akan rendah, jika produktivitas rendah maka terjadi kelesuan ekonomi yang mau tidak mau tingkat perekonomian rendah akan mempengaruhi kesehatan.

Kebijakan politik tidak hanya bidang kesehatan tapi mengatur untuk memenuhi kesehatan, tidak hanya membangun rumah sakit tapi membangun lingkungan sehat pula. Jaminan kesehatan dalam bentuk asuransi harus dikelola dengan baik oleh orang yang jujur. Pada dasarnya sistem kesehatan harus mampu membina kesehatan dasar seperti posyandu, puskesmas, obat, bidan menuju ke jaminan jadi ini merupakan suatu perubahan kebijakan. Perubahan mendasar: ketidakpercayaan pada sistem kesehatan kita terbukti bahwa sekitar 5 persen penduduk Indonesia yang mampu apabila jatuh sakit pergi berobat ke Singapura. Orang Kupang berobat ke Jakarta sedang orang Jakarta ke Singapura saat bahkan terkadang dokter sendiri tidak percaya dengan koleganya. Di Indonesia perbandingan dokter dengan pasien tidak seimbang.

Ilmu pengetahuan saat ini berkembang sangat cepat seperti IT yang memiliki perkembangan paling cepat begitu juga ilmu kedokteran. Dalam KONAS IAKMI ke-12 ini diharapkan semua pihak mengoreksi diri sendiri tidak hanya mengoreksi pemerintah, dokter harus berusaha lebih baik dan tugas kita semua adalah hrs memperbaiki pelayanan kesehatan sebaik-baiknya. Diharapkan juga dengan KONAS IAKMI ke-12 dapat membangun komitmen untuk berusaha agar tidak banyak orang yang jatuh sakit. Bangsa kita bisa baik jika kita sehat.

Oleh: Jati Untari

Plenary 2 : Universal Health Coverage



Plenary 2
Universal Health Coverage
 

uh budisamTema "Kesiapan Sistem Pelayanan Kesehatan Indonesia dalam Pelaksanaan UHC 2014" disampaikan oleh Prof. dr. Budi Sampurna, SH, DFM., Sp. F(K), Sp. KP

Kesiapan Indonesia menghadapi penerapan BPJS pada tahun 2014 perlu dianalisa. Beberapa hal yang penting yang menjadi penentu kesuksesan BPJS adalah progress persiapan pelaksanaan program, kesiapan fasilitas kesehatan dan sistem rujukan, jumlah dan penyebaran tenaga kesehatan, perkembangan regulasi iuran, dan sistem pembayaran INA-CBG.

Pada tahun 2013, masyarakat masih memiliki jaminan kesehatan dari berbagai institusi. Tahun 2014 akan terjadi pengalihan peserta secara masif ke dalam satu jaminan yang dikelola BPJS, dimana ditargetkan akan ada 111,6 juta peserta dimana 86,4 diantaranya merupakan penerima biaya iuran (PBI). Proses pengalihan sistem jaminan kesehatan akan dilakukan secara berangsur dimana diharapkan pada 2019 seluruh rakyat Indonesia sudah menjadi peserta BPJS.

Dari sisi peraturan perundangan, proses pembuatan telah dilakukan sejak 2012 dan target pengesahan oleh presiden Indonesia dua bulan sebelum diberlakukannya BPJS. Sejak tahun 2014 menuju 2019, segala peraturan teknis dan pelaksana akan disempurnakan.

Fasilitas kesehatan terutama puskesmas sebagai gate keeper dalam program BPJS masih perlu dibenahi, dimana hanya 5.715 dari total 9.185 puskesmas yang dalam kondisi baik. Selain fasilitas kesehatan yang baik, utilisasi juga harus baik. Hal ini dilakukan dengan dibentuknya standar dan pedoman fasilitas layanan kesehatan yang akan selesai akhir tahun 2013. Penerapan pedoman ini juga diharapkan akan memperbaiki sistem rujukan guna mengurangi biaya yang dikeluarkan. Masih terdapat isu dimana jumlah tempat tidur di fasilitas kesehatan tidak terdistribusi dengan adil di berbagai provinsi.

Dalam hal pendistribusian tenaga kesehatan, hanya rata-rata dokter spesialis yang telah memenuhi targetnya yaitu sembilan dokter spesialis per 100 ribu penduduk. Pendistribusian tenaga kesehatan juga belum merata, dimana dokter masih terkonsentrasi di Jawa. Regulasi pemerintah melalui PTT dan penugasan khusus diharapkan bisa mengurangi ketidakseimbangan ini. Penerapan sistem pengumpulan dana melalui iuran juga perlu dibahas. Iuran dari tiga kelompok peserta yang berbeda yaitu penerima upah, bukan penerima upah, dan PBI memerlukan sistem yang berbeda dalam pengambilan iuran.

Sistem pembayaran claim melalui INA-CBG juga akan diterapkan pada tahun 2014 nanti, dimana biaya sudah ditentukan sebelum perawatan pasien dimulai melalui persamaan biaya kondisi penyakit yang sama. Program INA-CBG sudah dibangun sejak 2006 dan telah diterapkan di pusat pelayanan kesehatan Jamkesmas. Diharapkan penerapan ini akan mendorong efisiensi anggaran.


Tema "Pelayanan Promotif dan Preventif di Era Jaminan Kesehatan Nasional" disampaikan oleh Dr. Tono Rustianto, MM

Sebesar apapun biaya kesehatan yang dikumpulkan melalui iuran, tentu akan selalu habis jika tidak disertai usaha promotif dan preventif. Dengan ini, promotif dan preventif sangat penting untuk keberlangsungan program SJSN.

Landasan penerapan SJSN telah disebutkan dalam hak konstitusional setiap warga dan merupakan wujud tanggung jawab negara. Melalui asas tersebut dan terbentuknya Undang-Undang (UU) SJSN dan BPJS, PT. Askes yang merupakan BUMN dan berprinsip mencari profit diubah menjadi sebuah badan hukum non profit yang bertanggung jawab langsung pada presiden.

Fungsi inti dari BPJS adalahpengumpulan iuran, pengelompokkan risiko, dan pembayaran provider. Saat ini biaya yang dialokasikan mayoritas untuk aspek kuratif, dan realita ini harus diubah agar promotif dan preventif memiliki porsi lebih dalam hal pembiayaan.

Seperti yang telah tertera dalam UU no. 40 tahun 2004 pasal 22, jaminan kesehatan harus memiliki manfaat komprehensif yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Hal ini sudah dicoba untuk dikoreksi melalui peraturan presiden (Perpres) no. 12 tahun 2013 pasal 22 ayat 1(a) yang menjabarkan bahwa salah satu tugas puskesmas adalah melakukan pelayanan promotif dan preventif. Beberapa hal yang meliputi pelayanan ini adalah penyuluhan, imunisasi, keluarga berencana, dan skrining kesehatan. Penerapan konsep dokter keluarga, walaupun telah diterapkan sejak lama, masih belum diterapkan secara optimal.

Program yang dijalankan PT ASKES sekarang lebih pada tidak memperburuk penyakit kronis melalui program Prolanis. Belum ada intervensi yang signifikan untuk tetap menjaga yang sehat tetap sehat. Hal ini bertolak belakang dengan apa yang telah diterapkan di Eropa sebagai bagian dari program preventif sepanjang masa. Diharapkan melalui program promotif dan preventif, biaya SJSN dapat ditekan dan keberlangsungan program dapat terjaga.


Tema "Seberapa Universal-kah Universal Health Coverage di Indonesia?" dipaparkan oleh Dedi Supratman, SKM, MKM

uh dediSekitar 150 juta penduduk dunia mengalami masalah finansial setiap tahunnya, dimana 100 juta orang jatuh miskin karena pembiayaan kesehatan melalui sistem out of pocket. SJSN diperlukan dengan penerapan yang menyeluruh dan tidak terfregmentasi dengan alasan adanya perbedaan dalam ketersediaan fasilitas, kemampuan ekonomi, dan letak geografis. Melalui pengawasan yang baik, diharapkan status kesehatan akan membaik dan proteksi finansial, dimana seluruhnya harus dengan pendistribusian yang merata.

Terdapat beberapa aspek untuk menilai apakah SJSN sudah universal diterapkan di Indonesia. Dari aspek kepersertaan, masih ada sekitar 116,4 juta rakyat yang belum mendapat jaminan kesehatan. Untuk mencapai seluruh penduduk mendapatkan jaminan kesehatan diperlukan kerja keras.

Dari aspek manfaat, kebutuhan medis dasar belum terpenuhi secara merata. Ada yang kurang, cukup, atau berlebih. Program promotif dan preventif juga harus diterapkan guna menekan biaya pelayanan kesehatan. Program tersebut harus dimasukkan secara spesifik ke dalam definisi operasional. Beberapa dampak dari terfokusnya anggarang untuk kuratif adalah terjadinya kelebihan pasien dalam suatu layanan kesehatan dan menggelembungnya biaya jaminan.

Aspek fasilitas kesehatan yang terjadi saat ini sangat bervariasi. Keberadaan fasilitas kesehatan masih belum merata dan terfokus di daerah maju, padahal memperoleh layanan kesehatan merupakan hak konstitusional setiap warga negara. Kompensasi wajib diberikan oleh BPJS apabila tidak tersedianya layanan kesehatan di daerah tempat tinggal warga.

Saat ini masih terdapat banyak jenis asuransi kesehatan baik dari swasta maupun pemerintah. Hal ini akan diubah dimana sebagian besar program jaminan kesehatan pemerintah akan digabung menjadi SJSN. Setiap daerah sekarang juga masih memiliki sistem pembayaran iuran yang berbeda- beda. Hal ini juga menyangkut aspek selanjutnya yaitu kelembagaan. Diharapkan kedepannya koordinasi akan menjadi lebih baik melalui bersatunya seluruh pemberi jaminan dibawah naungan BPJS. Untuk menjawab apak SJSN sudah universal menjadi pendapat dan opini masing-masing individu bagaiman melihat aspek-aspek yang telah dijelaskan.

PERTEMUAN ORGANISASI JARINGAN KEBIJAKAN KESEHATAN INDONESIA



PERTEMUAN ORGANISASI JARINGAN KEBIJAKAN KESEHATAN INDONESIA

Sesi mengenai Pertemuan Organisasi Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia dipandu oleh moderator Dr. Dra. Dumilah Ayuningtyas, MARS. Sebagai pengantar beliau mengingatkan kembali bahwa kegiatan ini merupakan suatu forum yang merupakan mekanisme untuk saling mengingatkan bahwa suatu sistem memerlukan penguatan kelembagaan dan jaringan. Selain itu, beliau juga menyinggung mengenai sesi policy brief yang telah dilaksanakan sebelumnya, efektif atau tidaknya policy brief tergantung dari penentu kebijakan dan perumusnya serta proses yang terus menerus dalam upaya pengkajian kebijakan tersebut. Jaringan kebijakan yang ada ini merupakan bagian yang membantu dalam pengawalan kebijakan baik yang berada di level pusat, provinsi maupun daerah. Sesi ini akan membahas mengenai pengenalan jaringan kebijakan dan hubungannya dengan yayasan kebijakan kesehatan, dengan dua pembicara yaitu pembicara pertama adalah Dr. dr. Felix Kasim, M.Kes yang membahas mengenai "Pengenalan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia" dan pembicara kedua adalah Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD yang membahas mengenai "Pengenalan Yayasan Kebijakan Kesehatan Indonesia".

Materi mengenai Pengenalan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia yang disampaikan oleh Dr. dr Felix Kasim, M.Kes menekankan pada filosofi dari jaringan kebijakan kesehatan Indonesia, beliau menyatakan bahwa jaringan yang selama ini ada dan berjalan dengan baik bukan merupakan sebuah organisasi yang secara formal dibentuk dengan berpedoman pada AD dan ART suatu organisasi yang mengikat. Namun, jaringan ini merupakan sebagai suatu bentuk perkumpulan dari para ahli yang secara konsisten memiliki independensi berbicara sebagai warga negara yang akan memberikan masukan terhadap negara terkait dengan kebijakan publik yang berlaku dan mengawal kebijakan tersebut menjadi suatu kebijakan yang baik dan benar sesuai peruntukkannya. Jaringan kebijakan kesehatan yang sudah berjalan beberapa waktu ini merupakan suatu model bukan hanya dari figurnya saja, namun dalam perkembangan harus lebih mencermati dan ada sesuatu yang lebih baik dalam menghasilkan inovasi program.

Kegiatan ini dihadiri elemen-elemen yang turut memperkuat jaringan, baik dari perguruan tinggi, NGO, kemenkes, dinkes dan donor agensi. Jaringan kebijakan kesehatan merupakan organisasi yang lahir karena kesepahaman dan keinginan bersama para ahli dan berkumpul dalam suatu forum kebijakan kesehatan yang akan memberikan warna bagi para penentu kebijakan. Sejarahnya sekitar tahun 2000 dalam bentuk jaringan desentralisasi kesehatan, yang merupakan jaringan informal yang menghimpun peneliti dan akademisi, yang bertujuan untuk mengawal kebijakan, diawali dengan pertemuan-pertemuan yang pada akhirnya pada tahun 2010 dilaksanakan forum jaringan kebijakan kesehatan Indonesia yang diselenggarakan di Jakarta, kemudian forum yang kedua di Makasar, forum yang ketiga di Surabaya dan forum keempat kali ini bertempat di Kupang NTT. Jaringan ini bersifat suka rela dan yang menarik juga menjadi kekuatannya adalah adanya kesamaan visi dan misi. Untuk lebih fokus, jaringan kebijakan menjadi lebih besar karena dukungan dari orang-orang yang kuat dan kompeten. Jaringan ini tidak hanya berpijak pada sesi ilmiah, hasil pertemuan menjadi pendorong dan mengawal berbagai kebijakan yang akan dilakukan, seperti yang akan dilakukan terkait monev BPJS, nanti yang akan dilakukan pada forum ke-V untuk melakukan monitoring dan evaluasi terkait BPJS.

Berikutnya, beberapa program yang harus dikembangkan oleh jaringan agar semakin kuat. Forum tahunan yang dilakukan merupakan pertemuan tahunan untuk membicarakan berbagai isu penting terkait kebijakan publik, untuk pelaksanaannya ditetapkan dua tahun sebelum kegiatan tersebut diselenggarakan dan bertempat di perguruan tinggi karena perguruan tinggi menjadi basis tiap akademisi. Selain itu, perlu penguatan jaringan antar institusi dan lembaga, memberi kesempatan kepada mereka yang siap.

Di akhir sesi, beliau menekankan bahwa jaringan Kebijakan kesehatan Indonesia bukan sebuah organisasi yang kaku, namun mempunyai keinginan untuk berkontribusi dan keinginan bersama untuk selalu memberikan saran dan memberikan penguatan kapasitas untuk perbaikan dari kebijakan yang berlaku.

Sesi kedua merupakan pembahasan mengenai "Pengenalan Yayasan Kebijakan Kesehatan Indonesia" yang disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD yang merupakan perintis dari jaringan kebijakan kesehatan Indonesia. Beliau memaparkan mengenai awal dari terbentuknya jaringan kebijakan kesehatan Indonesia. yang diawali dari tahun 2000 sebagai jaringan desentralisasi kesehatan. Kegiatan yang dilakuan dengan sengaja bertemu setiap tahun adalah dalam upaya melakukan monitor terhadap kebijakan publik yang dijalankan, serta merumuskan kegiatan monitoring yang harus dikembangkan. Sebagai akademisi di lembaga pendidikan perguruan tinggi, maupun yang bekerja di balai litbang, jangan hanya sebagai penonton.

Mengapa disebut penonton? karena kebijakan yang dijalankan jangan membuat masyarakat merasa bahwa tidak bisa melakukan apa-apa yang hanya menerima kebijakan yang dihasilkan tanpa melihat dan melakukan monitoring dan evaluasi terkait dengan kebijakan public tersebut. Dalam waktu empat tahun ada dana yang besar, misalnya dari dana luar negeri. Dana luar negeri memberikan bantuan kepada program yang tidak bisa didanai oleh dana Indonesia, sehingga banyak bertemu dengan donor asing, dana sebagian besar untuk mendatangkan para peneliti. Dengan setiap tahun selalu berjalan, jaringan kebijakan kesehatan Indonesia yang anggotanya bisa perorangan, lembaga perguruan tinggi dan NGO, bahkan bisa juga semacam jaringan lainnya. Setelah beberapa tahun, perlu dicetak adanya suatu yayasan.

Pekerjaan yayasan mem-back up sumber dana bagi kegiatan jaringan. Permasalahannya adalah tidak mungkin ke semua anggota, sehingga untuk kegiatan yang melibatkan banyak anggota, maka dana dari yayasan. Misalnya dana dari CSR, IDRC, OJK, yayasan bisa legal basis, sah untuk mendapatkan anggaran. Diakhir sesi beliau menjelaskan bahwa yayasan diharapkan memberikan fungsi untuk dapat mengkoordinir setiap anggota jaringan dengan berkoordinasi dengan direktur eksekutif yang akan bersinergi dengan program dari yayasan dan jaringan yang di bentuk. Harapannya adalah adanya kajian bersama dan penelitian terhadap penerapan kebijakan bersama sehingga bisa melakukan advokasi terhadap analisis hasil penerapan program.

Selain pemaparan dari dua pemateri, juga diberikan kesempatan kepada peserta untuk melakukan diskusi dan memberikan tanggapan terhadap materi yang disampaikan. Seperti pengungkapan dari salah satu peserta yang berasal dari FKM UI, yang mengharapkan kedepannya bisa mengembangkan forum kebijakan yang tidak hanya forum jaringan kebijakan ditingkat nasional menjadi forum yang bertaraf internasional. Selain itu, dari Dinas Kesehatan Jambi memberikan saran dalam upaya mengawal kebijakan pemerintah baik di level pusat maupun provinsi dan daerah maka diperlukan adanya dokumen-dokumen terkait analisis kebijakan dari kebijakan yang pernah diterapkan serta adanya role input hasil dari kegiatan forum ilmiah, sehingga mempermudah dalam memberikan rekomendasi kebijakan. Serta adanya format dan profil khusus mengenai jaringan kebijakan kesehatan Indonesia terhadai dengan kepesertaan, keanggotaan, pembagian klaster dari organisasi, pembagian tugas dan fungsi dari masing-masing.