Reportase Ses 1.3


 

Epidemiologi Penyakit Tidak Menular dalam BPJS
Drg. Agus Suprapto, M.Kes

agus15a

Kupang-Fenomena Obesitas muncul di perkotaan karena makanan yang mudah didapat dan cepat saji serta mudah di jangkau. Peningkatan konsumsi inilah yang kemudian banyak timbul penyakit-penyakit penyerta di masyarakat yang semakin lama semakin tinggi. Contoh penyakit ini adalah seperti penyakit Jantung, Hipertensi, Stroke, Diabetes Melitus dan lain sebagainya. Hal ini dikemukanan oleh Agus Suprapto dari Pusat Humaniora Balitbangkes Surabaya pada Forum Nasional IV Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia tanggal 4 September 2013 di Kupang.

Berjalannya Jaminan Kesehatan Nasional oleh BPJS tahun 2014 diharapkan menciptakan masyarakat menjadi sehat. Dibeberapa penelitian menyebutkan bahwa proporsi penyakit penyebab kematian tertinggi antara lain: Non Comunicable Disease 59,5 persen, Comunicable Desease 28,1 persen, Kecelakaan 6.5 persen dan Maternal/Prenatal 6.0 persen (Riskedas 2007). Hal tersebut menunjukkan penyakit tidak menular semakin lama penderitanya semakin tinggi.

Kasus-Kasus Penyebab Kematian

Penelitian di Sumatra dengan sampel tahun 2012 yang dilakukan Litbangkes Surabaya menunjukkan penyakit jantung masih menduduki peringkat tinggi dalam menyumbang angka kematian dengan 14,8 persen. Penelitian di Solo dan 4 provinsi tahun 2007 menunjukkan penyakit tidak menular tetap menjadi penyebab utama kematian sebesar 57 persen. Berbeda dengan di Papua, penyakit tidak menular hanya menyumbang 9 persen penyebab kematian. Hal ini menunjukkan bahwa daerah seperti perkotaan semakin rentan terhadap penyakit tidak menular seperti Jantung, Deabetes, Stroke (Hipertensi) dan kanker. Hal ini juga didukung dengan penelitian bahwa penyakit jantung sudah menyerang pada umur 31 th dengan jumlah kematian 21,7 persen dari total penyebab kematian lainnya.

Era Jamkesmas

Pada era Jamkesmas, penderita penyakit Jantung sebesar 2 persen di RS, Kanker 1 persen dan Stroke 3 persen dan yang lain-lain sebesar 94 persen. Memang terlihat sedikit tetapi hal ini menunjukkan bahwa jaminan kesehatan sudah mencakup penyakit tidak menular. Penelitian terhadap 3 penyakit ini menunjukkan bahwa biaya klaim untuk penderita Jantung ternyata lebih tinggi dari biaya riil yang dikeluarkan oleh RS dengan perhitungan INA-CBGs. Biaya itu juga terjadi pada penderita kanker. Kasus hemodialisa hampir terjadi di seluruh kelas di RS. Artinya bahwa cuci darah menjadi kegiatan yang terjadi diseluruh kelas di RS. Daerah yang peserta jamkesmas paling tinggi melakukan cuci darah adalah di Banten, DKI Jabar, Sulsel, Papua di RSU Kelas B.

Kesimpulan

Penyakit Tidak Menular merupakan ancaman dimasa mendatang, dan memerlukan upaya promotif dan preventif yang efektif dan efisien. Pelaksanaan JKN harus memperhatikan ancaman penyakit tidak menular dengan upaya promotive dan preventif baik melalui UKP maupun UKM dengan integritas antara UKP yang dilakukan oleh JKN dan UKM di Puskesmas.


Kabijakan AIDS dalam BPJS
Ir. Halik Hidik

Kupang- Forum Nasional IV Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia tanggal 4 September 2013 di Kupang pada sesi Kebijakan AIDS era BPJS 2014, Ir. Halik Hadik dari KPA Nasional menekankan bagaimana Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) dapat menerima hak-nya sebagai peserta JKN. Hal ini berawal dikarenakan adanya peningkatan biaya pearwatan kesehatan di rumah sakit termasuk perawatan ODHA. Penelitian dampak SOSEK pada keluarga ODHA oleh KPA Nasional, menunjukkan bahwa 74 persen keluarga ODHA mengeluarkan biaya tambahan untuk pengeluaran akibat infeksi HIV. Tabungan juga digunakanuntuk kebutuhan tambahan akibat HIV sebesar 64 persen dan bahkan 60 persen meminjam dari keluarga/teman untuk biaya HIV. Penelitian juga menunjukkan bahwa rumah tangga ODHA mengeluarkan biaya kesehatan hampir 5 kali lebih tinggi dari rumah tangga non ODHA.

Isu Penganggulangan AIDS dalam BPJS

Pelaksanaan BPJS Kesehatan dengan program Jaminan Kesehatan Nasional diharapkan juga memberikan dampak positif bagi ODHA. Beberapa isu menarik antara lain:

  1. ODHA miskin, siapa yang membayar?
  2. ODHA/Populasi Kunci/Pegiat AIDS yang bekerja di sektor formal, apakah bisa ikut serta?
  3. Berapa besaran iuran bulanan?
  4. Dan lain sebagainya (dalam powerpoint terlampir)

Harapan-harapan di atas merupakan beberapa hal yang wajib diperhatikan oleh pembuat kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional untuk memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan AIDS.

Apa Yang ditanggung BPJS dalam program penanggulangan AIDS?

  1. Pencegahan
    1. Edukasi komunitas, tempat kerja, sekolah, dll
    2. Mass campaign program
    3. Promosi dan penyediaan kondom dan alat suntik
       
  2. Pengobatan , dukungan dan perawatan
    1. Infeksi menular seksual
    2. Infeks opportunistiKk
    3. Anti Retroviral (ARV)
    4. Dukungan social (cth: home based care)
    5. Rumatan metadon dan Pemulihan Adiksi
    6. Pencegahan dari Ibu ke anak (PMTCT)

Keuntungan dan Concern di tanggung BPJS

  1. Portabilitas layanan (morbilitas populasi kunci)
  2. Otonomi daerah terkait komitmen kepala daerah
  3. Efisiensi pembiayaan hal ini terkait skala pengadaan untuk compulsory, licensing, transparasi.

Tantangan yang dihadapi:

  1. ARV Control
  2. Kesiapan BPJS untuk familiar dengan isu AIDS
  3. Hadirnya kebijakan. Kebijakan harus ada di informasi atau sosilisasi BPJS.

Kebutuhan Kebijakan

  1. Kebijakan tentang lingkup coverage dalam BPJS
  2. Kebijakan tentang besarnya iuran dengan adanya dispensasi bagi keluarga ODHA
  3. Kebijakan Permenkes, pedoman Juklak ttg prosedur layanan (promotive, preventif di puskesmas/LKB: loss follow up ARV karena lokasi layanan dan reimbursement dll)
  4. Pemenuhan undang-undang untuk anggaran kesehatan (min 5 persen dalam APBN)


Kesiapan SDM di NTT untuk BPJS

Dr. SMJ Koamesah, MMR, MMPK

Kupang-PertemuanForum Nasional IV Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia tanggal 4 September 2013 di Kupang memberikan kesempatan dr. Koamesah (dr. Boby) menjelaskan keberadaan NTT yang memiliki pulau 1.192 buah dengan pulau yang bernama 473 buah dan yang berpenghuni 43 buah. Jumlah penduduk 5.343.902 untuk tahun 2012 (BPS NTT 2012). Data kesehatan menunjukkan infrastruktur NTT yaitu 21 Kab dan 1 kota dengan 298 buah kecamatan yang artinya memiliki 298 buah puskesmas, Pustu 1043 buah, Poskesdes 235 buah, posyandu 9420 buah,polindes 1303 buah dan RSUD di Kabupaten 18 buah dan satu RSUD milik provinsi.

Apakah SDM di NTT sudah cukup untuk menyongsong JKN 2014?

Kondisi SDM di NTT per 100.000 penduduk:

  1. Dokter umum ketersediaan dokter umum hanya berkisar 12 sedangkan kebutuhan 40 orang.
  2. Dokter sepsialis hanya ada 2 sedang kan kebutuhan secara nasional harusnya 6 orang
  3. Dokter gigi sekarang posisi 3.2 padahal rerata pusat 11
  4. Dan untuk tenaga lain lebih baik kondisinya.

Permasalahan distribusi dokter juga terjadi di Kota Kupang dimana terlihat bahwa di beberapa RSUD yang tersebar di beberapa kabupaten sangat terbatas jumlahnya.

Kesimpulan

Untuk menyongsong pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional kebutuhan dokter di NTT sebagai berikut:

  1. Ketersediaan dokter spesialis 65 dan kebutuhan 222 sehingga kekurangan 157 tenaga dokter spesialis.
  2. Ketersediaan dokter umum 570 dan kebutuhan 1.346 sehingga kekurangan 776 tenaga dokter umum.
  3. Ketersediaan dokter gigi 158 dan kebutuhan 369 sehingga kekurangan 211 tenaga dokter gigi.

 

Pembahas

Dr. dr. Deni K Sunjaya, DESS

Kupang – dr. Deni, dosen FK UNPAD Bandung menyatakan bahwa Kerangka system jaminan kesehatan sudah melingkupi cakupan-cakupan untuk layanan kesehatan, termasuk ambulan dalam kesempatan sebagai pembahas Forum Nasional IV Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia tanggal 4 September 2013 di Kupang. Manfaat pelayanan promotive dan prventif sudah ada dalam peraturan, seperti imunisasi dasar, untuk yang tidak dijamin adalah seperti gangguan kesehatan akibat kegiatan atau perilaku yang membahayakan diri sendiri.

Persiapan provider menjadi sangat penting dalam menyongsong pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional 2014. SJSN mendorong ada system yang lebih berkeadilan , pemerataan dan berkeadilan. Jaminan kesehatan bukan kepentingan satu pihak. Perlu penguatan system kesehatan scara menyeluruh yaitu adanya edukasi.


 

Dr. Ni Made Ayu Sri Ratna Sudewi

Kupang-PT ASkes tinggal beberapa bulan menjadi BPJS KEsehatan. Hal ini dikatakan dr Ni Made Ayu Ratna sebagai pembahas dalam Forum Nasional IV Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia tanggal 4 September 2013 di Kupang menjadi tantangan tersendiri. Dua transformasi ini yaitu

  1. Transformasi struktural dari Persero ke Badan Publik
  2. Transformasi kultural
  3. Transformasi kenegaraan yaitu Program Jaminan Kesehatan

BPJS bukan hanya salah satu jawaban persolan kesehatan.

Tantangan BPJS sekarang adalah meningkatnya penyakit tidak menular (NCD). Menurut pengalaman 5 peringkat penyekit tidak menular yang telah dijamin yaitu Hipertensi , DM, Tipoid, Jantung dan kanker.

Hal yang perlu diwaspadai adalah kecenderungan muncul permasalahan kenakalan "provider" . Contohnya yang terjadi adalah dengan banyaknya muncul penyakit NCD, maka banyak permintaan unit-unit pelayanan untuk diagnosa penyakit NCD ini missal Jantung. Sebelumnya dalam 1 bulan RS hanya klaim 20 kasus, tetapi setelah dibuka dengan RS swasta bekerjasama maka laporan klaim bisa mencapai 200 kasus. Ini lah menjadi sorotan BPJS Kesehatan yang berhati-hati terhadap kasus-kasus NCD dan kasus lain yang tiba-tiba ada di masyarakat.

Pengalaman PT Askes.

5 penyakit katastoprik seperti Jantung, Gagal Ginjal/Cuci darah, Kanker, Talasemia ditanggung penuh oleh Askes. Permasalahan di lapangan bahwa kapitasi tidak lsg diterima Puskesmas tetapi melalui rekening pemerintah daerah, sehingga bidan atau perawat tidak langusng dapat menerima hasil kerjanya secara cepat. Dalam beberapa kasus, program promotif dan prefentif sekarang hanya menjadi program penyerta di Asuransi Kesehatan.

Kunjungan rumah juga merupakan penyerta bukan program di Askes, KB juga merupakan penyerta dan bukan program dalam Asuransi Kesehatan. Sehingga tantangan terberat adalah bagaimana prgram promotif dan prefentif dapat bekerja bersama dalam program-program dalam asuransi kesehatan . Sehingga prinsip asuransi kesehatan mengenai kendali mutu dan kendali biaya tetap terjaga dengan juga terpenuhinya kebutuhan promotif dan preventif.

Pembukaan Kongres Nasional IAKMI Ke-XII



Pembukaan Kongres Nasional IAKMI Ke-XII

pbkknPaduan suara oleh mahasiswa Undana

Pembukaan Konas IAKMI ke-XII diselenggarakan pada Kamis (5/9/2013) di Grand Mutiara Ballroom and Converence Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Acara tersebut dihadiri oleh Menteri Kesehatan RI yaitu dr. Nafsiah Mboi, SpA. MPH., Kepala BKKBN, Drs. Frans Lebu Raya (Gubernur NTT), Dr. dr. Adang Bachtiar, MPH.ScD selaku Ketua Umum IAKMI Pusat, pengurus daerah IAKMI dari seluruh provinsi di Indonesia. Selain itu, hadir pula para peserta dari kalangan profesional di seluruh Indonesia yang peduli kepada kesehatan masyarakat. Meriahnya acara pembukaan yang dimulai dengan lagu Indonesia Raya dan dilanjutkan dengan Hymne IAKMI yang dinyanyikan dengan hikmat oleh seluruh peserta yang berjumlah sekitar 750 orang. Dalam acara pembukaan tersebut ada tiga sambutan yang disampaikan. Sambutan pertama diberikan oleh Direktur Eksekutif AIPTKMI yaitu Bambang Wispriyono, PhD, sambutan kedua oleh Ketua Umum IAKMI Pusat yaitu Dr.dr. Adang Bachtiar, MPH.ScD, dan sambutan yang ketiga adalah dari Gubernur NTT yaitu Drs. Frans Lebu Raya.

Dalam sambutan yang diberikan pada pembukaan terungkap banyak harapan tentang rumusan akhir dari Konas IAKMI XII ini. Harapan Dr. dr. Hyron Fernandez, M.Kes selaku ketua panitia adalah menggagas peta-jalan bersama untuk tiga tahun mendatang, beraliansi strategis dengan berbagai pihak, merefleksi dan memperbaiki diri agar menjadi SDM kesehatan masyarakat yang profesional, berkompeten, berdedikasi dan dapat bersaing di dunia global. Ketua AIPTKMI dalam sambutannya menyatakan bahwa bukti dukungan atas IAKMI dilakukan dengan pelaksanaan rapat koordinasi (rakor) AIPTKMI di Kupang, NTT. Rakor AIPTKMI dilakukan untuk dapat menghasilkan sarjana kesehatan masyarakat yang profesional dalam bidang kesehatan masyarakat dan dapat berperan di tingkat nasional dan internasional. Hal tersebut merupakan komitmen yang secara tidak langsung merupakan bagian dari harapan dan suport kepada IAKMI yang merupakan organisasi profesi yang bergerak di bidang kesehatan masyarakat, nirlaba, independen, bersifat multidisipliner, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Ketua Umum IAKMI dalam sambutannya menyebutkan bahwa Tema konas IAKMI XII adalah "Politik Membangun Kesehatan Bangsa". Politik tersebut tidak hanya dimaknai sebagai sebuah sistem, akan tetapi juga dimaknai sebagai sebuah "cara pandang". Harapannya tenaga kesehatan masyarakat dapat mengaplikasikan ilmu politik dalam berbagai sektor kehidupan di semua tatanan, baik tananan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara demi mencapai derajad kesehatan yang optimal, dengan lebih memperhatikan aspek promotif dan preventif sebagai ujung tombak dalam membangun kesehatan kedepan. Sambutan terakhir dari Gubernut NTT yang berharap dengan terselengganya konas di NTT ini dapat memperlihatkan kepada masyarakat Indonesia bahwa NTT punya potensi yang masih bisa dieksplor dan permasalahan yang masih butuh banyak perhatian. Dengan banyak keterbatasan NTT tetap ingin membuktikan peran dan kontribusi besar untuk dapat menjadi mitra pemerintah dalam berbagai upaya peningkatan kesehatan masyarakat, terutama bagi masyarakat NTT.

Oleh : Surahma Asti Mulasari (IAKMI DIY)

Key Note Speech 1



Key Note Speech 1

Politik Membangun Kesehatan Bangsa

Oleh : dr. Nafsiah Mboi, SpA. MPH - Menteri Kesehatan RI
 

nafsiahMenteri Kesehatan - dr. Nafsiah Mboi, SpA. MPHPemaparan terkait politik kesehatan tidak akan terlepas dengan isu politik nasional menyongsong "2014 sebagai Tahun Politik". Pergantian kabinet baru dan kepala daerah beresiko terhadap berhentinya kebijakan kesehatan baik secara nasional ataupun lokal di daerah. Era reformasi menjadi tonggak pergantian sistem, termasuk sistem kesehatan, sehingga banyak kebijakan politik yang terlantar pada saat ada banyak kabupaten/kota yang berganti kepala dinas, padahal di kabupaten/kota tersebut sistem kesehatan dasar harusnya menjadi prioritas utama. Bahkan banyak kepala daerah bukan merupakan orang yang konsen pada isu kesehatan dan ada kepala dinas kesehatan yang bukan merupakan orang kesehatan. Fenomena tersebut menjadi penekanan agar jangan sampai pergantian politik menjadi hambatan dalam pembangunan kesehatan. Kepala daerah hendaknya dipilih yang care kepada kesehatan, sehingga akan mengalokasikan APBD untuk pembangunan kesehatan di daerahnya.

Komitmen politik pemerintah pada kesejahteraan masyarakat adalah menciptakan Indonesia yang adil dan makmur, sehingga sektor kesehatan tetap menjadi prioritas politik. Pemaparan politik kesehatan Indonesia yang disampaikan oleh Menteri Kesehatan RI, dr. Nafsiah Mboi, SpA. MPH berorientasi pada Kerangka Acuan KONAS IAKMI XII tentang angka IPM, AKI, Balita, dan AKB yang masih membutuhkan perhatian. Renstra Kementrian Kesehatan 2010-2014 yaitu masyarakat yang sehat mandiri dan berkeadilan dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat, pelayanan kesehatan yang paripurna, ketersediaan SDM kesehatan, dan good governance. Kementrian Kesehatan berserta jajaran di bawahnya tetap berkomitmen untuk peningkat akses pelayanan kesehatan masyarakat yang komprehensif dan bermutu.

Selama ini program pengobatan gratis sering dibakai untuk kampanye kapala daerah, karena memang isu jaminan pada perolehan pelayanan kesehatan saat sakit merupakan hal yang masih menjadi beban bagi masyarakat Indonesia. Kementrian Kesehatan RI terus mengusahakan penyelesaian masalah pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia. Program Nasional yang akan segera diluncurkan adalah program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tahun 2014. Pada akhir Desember 2019 ketika program BPJS menargetkan Total Health Coverage bagi seluruh masyarakat Indonesia. Banyak isu yang muncul sebagai reaksi dari progam tersebut diataranya adalah peran serta masyarakat, kecukupan tenaga pendidikan dan kecukupan fasilitas kesehatan.

Isu yang melemahkan tersebut menurut data nasional yang disampaikan oleh Mentri Kesehatan RI sudah bukan lagi merupakan ancaman. Peran masyarakat dalam pembangunan kesehatan terus dikembangkan, baik itu lewat Posyandu, poskesdes, posbindu PTM, atau posmaldes diharapkan dapat terus ditingkatkan. Ketersediaan tenaga kesehatan sudah mendekati target secara nasional. Kesempatan dan upaya peningkatan jumlah tenaga kesehatan diupayakan lewat berbagai macam beasiswa yang ditawarkan. Pemerataan tenaga kesehatan diharapkan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah untuk dapat mengikat putra daerahnya sehingga setelah selesai studi dapat kembali ke daerah dan betah kerja di daerah. Daerah dapat merencanakan kebutuhan tenaga kesehatannya dan mengajukan untuk pepenuhan tenaga kesehatan di daerah. Ketersediaan fasilitas kesehatan secana nasional sudah siap, tetapi ada ketimpangan karena ada daerah yang memiliki banyak RS ada yang kekurangan. Hal tersebut dapat diatasi dengan regulasi dan kebijakan yang tegas pada saat ijin pendirian dan pengembangan RS. Pada akhir pemaparan Menteri Kesehatan RI mengharapkan dapat bekerja sama dengan IAKMI untuk menidentifikasi strategi-strategi yang inovatif untuk mengoptimalkan peningkatan derajad kesehatan masyarakat Indonesia. Selain itu ada tantangan yang diajukan agar IAKMI dapat mempengaruhi keputusan politik di Indonesia demi kesehatan masyarakat.

Oleh : Surahma Asti Mulasari (IAKMI DIY)

Reportase Ses 1.2



Kebijakan Inovatif dalam MDG 4 dan 5
yang Perlu Dikembangkan di Masa Mendatang

stef12

dr. Stevanus Bria Seran, MPH dan dr. Arida Oetami, M.Kes, yang bertindak sebagai pembicara pertama untuk tema ini. Keduanya memaparkan dampak positif dari terobosan kebijakan KIA di daerah masing-masing. Narasumber pertama, yang merupakan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT, membahas tentang terobosan kebijakan Revolusi KIA di Nusa Tenggara Timur (NTT). Revolusi KIA berdampak pada penurunan AKI dan AKB. Per tahun 2009, AKI di NTT sebesar 272 kasus, sedangkan pada tahun 2013 (Periode Januari-Juni) AKI turun menjadi 98 kasus. AKB di NTT juga mengalami penurunan dari 1.219 kasus di tahun 2009 menjadi 713 kasus di tahun 2013 (Periode Januari-Juni). Program ini juga berhasil mendorong persalinan ibu di fasilitas kesehatan yang memadai, yang pada tahun 2009 hanya 44,98 persen persalinan di fasilitas kesehatan menjadi 84,59 persen pada tahun 2013 (periode Januari-Juni). Sebagai aspek legal, Revolusi KIA dilindungi oleh payung hukum berupa Pergub No. 42 Tahun 2009.

Pembicara kedua, yang merupakan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), membahas tentang penggunaan surveilans respon dan angka absolut di DIY. Di DIY, Surveilans KIA dijalankan dengan alur sebagai berikut: pengumpulan data melalui kohort dan atau PWS Kartini->Pengolahan data PWS KIA->Surveilans kematian ibu, bayi dan anak->validasi data, pemberian umpan balik->pengambilan kebijakan/perencanaan kegiatan. Surveilans KIA ini dirasakan lebih memudahkan dalam deteksi kasus kematian baik di fasilitas kesehatan maupun di masyarakat, memudahkan dalam pelaporan kasus kematian, pelaksanaan otopsi verbal, pelaksanaan audit dan respon segera. Terkait penggunaan angka absolut, dari pengalaman implementasi di DIY, ditemukan kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya, angka bisa diperoleh bulanan sehingga lebih mudah memantau perkembangan program. Kekurangannya, angka absolut kurang dapat dipercaya sebagai angka resmi karena ditakutkan adanya under reporting.

Sebelum sesi ditutup, telah dilakukan pembahasan materi paparan oleh empat orang pembahas, kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab yang disambut antusiasme peserta. Sesi yang dilaksanakan di ruangan Ruby hotel On The Rock ini sempat mundur 15 menit akibat dampak mundurnya jadwal sesi sebelumnya. Walaupun cukup banyak gangguan audio, acara tetap berjalan lancar dan menarik minat peserta.

Ditulis oleh drg. Puti Aulia Rahma, MPH

 

Reportase Ses 1.5A



Sesi 1.5A-Kelompok BPJS
Pembahasan Proposal Monitoring dan Evaluasi tahun 2014 ke Depan

15bpjs

Pembicara I

Pengembangan Proposal Penelitian Dalam Rangka Pengawasan Pelaksanaan BPJS Kesehatan 2014

M. Faozi Kurniawan, SE, Akt., MPH

Dalam menyambut pelaksanaan BPJS di awal tahun 2014, perlu diadakan suatu sistem monitoring dan evaluasi untuk mengetahui bagaimana implementasi dan efek yang tercipta dari program tersebut. Seperti yang tertulis pada UU BPJS No. 24 tahun 2011 pasal 39 ayat 3 dan Perpres no. 12 tahun 2013 pasal 43 ayat D, monitoring dan evaluasi terhadap BPJS perlu dilakukan oleh DJSN dan OJK setiap 6 bulan. Monitoring dan evaluasi dapat berbentuk outcome/ output yang mengindikasikan kualitas dari BPJS.

Pengawasan terhadap pelaksanaan BPJS tidak hanya dapat dilakukan oleh lembaga pemerintahan, tapi juga oleh kelompok-kelompok penelitian yang tersebar di berbagai daerah. Melalui forum ini diharapkan akan terbentuk proposal penelitian bersama untuk pengawasan pelaksanaan BPJS 2014.

Salah satu upaya pengawasan bersama pelaksanaan BPJS yaitu melalui media website. Hal ini telah dilakukan lewat situs http://manajemen-pembiayaankesehatan.net  & kebijakankesehatanindonesia.net  Melalui media ini pengawas, stakeholder, dan pembuat kebijakan dapat berdiskusi atau melakukan tanya jawab dengan melibatkan banyak orang dan mempermudah alur komunikasi. Tentunya tidak sembarang orang dapat ikut berdiskusi dalam website agar hanya mereka yang ahli di bidang ini yang dapat memberikan opini. Melalui pendaftaran ke admin, peserta diskusi akan mendapatkan username dan password agar bisa ikut berdiskusi. Melalui website ini diharapkan akan menjadi alternatif media diskusi yang murah, efisien, dan tidak membuang banyak waktu. Diskusi juga akan selalu terdokumentasi dalam situs.

Website merupakan salah satu solusi pengawasan BPJS 2014. Diharapkan ke depannya, akan ada komitmen para peneliti untuk mengembangkan proposal dalam hal pengawasan di setiap daerah di Indonesia.


 

Pembicara II

Review Program Jampersal

dr. Tiara Marthias, MPH

Jaminan Persalinan (Jampersal) dapat dikatakan sebagai model kecil dari SJSN yang akan segera diterapkan pada tahun 2014. Melalui penelitian yang dibiayai oleh United Nations Population Fund (UNFPA), dilakukan evaluasi implementasi Jampersal di 10 kabupaten atau kota yang tersebar di 4 provinsi di Indonesia yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Papua, dan Nusa Tenggara Timur.

Secara garis besar, penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas Jampersal dalam meningkatkan cakupan pelayanan KIA, menganalisa penggunaan Jampersal oleh masyarakat, tantangan implementasi program, dan melihat kesiapan setiap daerah dalam menghadapi BPJS 2014. Penelitian ini dilakukan dengan penggabungan desain studi kuantitatif dan kualitatif.

Dalam evaluasi implementasi dan utilisasi, tiga aspek yang dilihat adalah cakupan populasi, pelayanan yang diberikan, dan proteksi finansial (pembayaran tambahan melalui out of pocket). Terdapat masalah dalam pengumpulan data seberapa jauh pembayaran masyarakat untuk kesehatan yang melalui sistem out of pocket. Hal ini dikarenakan sulitnya mendapat data dari sektor pelayanan kesehatan swasta, mengingat proporsi sektor swasta mencakup sekitar 40-50 persen dari pelayanan kesehatan di Indonesia. Aspek lain yang dilihat adalah kepersertaan yang diartikan sebagai cakupan implementasi Jampersal baik dari sisi pemberi layanan atau pengguna, dan efektivitas Jampersal dalam mencapai tujuannya.


 

 Pembicara III

Monitoring dan Evaluasi

Prof. Dr. dr. Alimin Maidin, MPH

Controlling, monitoring, and evaluation merupakan tiga bagian dari proses manajemen yang bertujuan untuk menjamin tercapainya tujuan yang tepat melalui proses yang benar dan mutu yang sesuai. Monitoring sendiri mempunyai arti suatu kegiatan untuk mengamati dan memeriksa jalannya suatu program untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Biasanya monitoring dilakukan seiring dengan berjalannya program. Tujuan akhir dari monitoring adalah untuk menemukan penyimpangan dan mengoreksinya (corrective-action) agar mencapai tujuan yang ditetapkan.

Evaluation adalah kegiatan untuk menilai suatu keberhasilan atau kegagalan program. Berbeda dengan monitoring, evaluation bisa dilakukan sejak program tersebut mulai hingga selesai, tergantung dari bagian mana yang akan dievaluasi (perencanaan atau penilaian gagal/berhasilnya suatu program). Fakta yang terjadi di lapangan adala evaluasi masih tidak dilakukan secara rutin. Beberapa contoh evaluasi antara lain cost effectiveness (menilai hasil dibandingkan dengan biaya), cost benefit (menilai hasil dibandingkan dengan manfaat ke masyarakat), dan cost impact (menilai hasil dibandingkan dengan dampak program yang lebih luas). Agar terciptanya kepedulian melakukan monitoring and evaluation perlu dipilih metode yang sederhana, manajemen yang peduli akan hasil, dan hasil tersebut menjadi basis untuk berbenah diri. BPJS yang mengumpulkan dana publik dan sebagai pelaksana SJSN akan menjadi obyek pengawasan. Beberapa program yang harus di monitor adalah jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.


 

Pembicara IV

Monitoring dan Evaluasi Jaminan Kesehatan 2013 ke Depan

Prof. dr. Bisma Murti, MPH

Syarat cakupan semesta yang ditulis oleh WHO adalah memiliki sistem kesehatan yang berjalan baik, kuat, dan efisien; memiliki sistem pembiayaan kesehatan yang memberikan perlindungan finansial pada warga yang sakit; akses ke pelayanan kesehatan yang bermutu; dan tenaga kesehatan yang cukup mumpuni, dan termotivasi. Seperti yang tertuang pada Undang- Undang nomor 24 tahun 2011 tentang badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS), SJSN harus mencakup lima program yang salah satunya adalah jaminan kesehatan.

Pembahasan cakupan semesta tentunya tidak luput dari aspek keadilan (equity). Hal ini tidak sama dengan kesamaan (equality) karena untuk bisa adil tidak harus semua pihak mendapat porsi yang sama atau memberikan kontribusi yang sama. Sebagai contoh adalah horizontal equity (persamaan layanan untuk kondisi yang sama), dan vertical equity (ketidaksamaan layanan untuk kondisi yang berbeda). Masyarakat kaya tentunya akan membayar lebih besar dibanding masyarakat miskin.

Beberapa tujuan dari sistem kesehatan adalah perlindungan finansial agar masyarakat tidak jatuh miskin dari penggunaan pelayanan kesehatan dan keadilan pembiayaan dimana masyarakat miskin membayar lebih rendah dibanding masyarakat kaya dalam mendapat pelayanan kesehatan.

Beberapa tujuan dari evaluasi adalah mendukung pengembangan suatu program, memperbaiki program, menilai efektivitas, biaya, keberlangsungan, dan manfaat program, juga memonitor proses dan hasil implementasi program untuk keperluan manajemen dan akuntabilitas. Monitor dan evaluasi juga dapat dilihat dari keadilan akses pelayanan (equity), kualitas pelayanan kesehatan (quality) dan perlindungan pembiayaan (financial protection).

Oleh Wega Wisesa Setiabudi

Reportase Ses 1.1



Sesi I

Analisis Kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak di Berbagai Daerah:
Bagaimana data Kematian Ibu dan Bayi di Indonesia. Mengapa terjadi Stagnasi Program?

s11l

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD

Di awal materi, muncul pertanyaan kritis mengenai kebijakan kesehatan ibu dan anak (KIA) yang ada di Indonesia, dan hasil yang belum maksimal meskipun pendanaan yang diberikan untuk kebijakan dan intervensi sudah besar. Sehingga diperlukan ada analisis permasalahan yang ada terkait intervensi yang dilaksanakan serta ketepatan kebijakan yang diterapkan. Selain itu, perlu adanya pembahasan mengenai usulan kebijakan yang masih butuh dikaji dalam upaya strategi intervensi di masa mendatang. Pembahasan diarahkan kepada analisis kebijakan terhadap kurang lebih 500 kabupaten/kota terkait dengan permasalahan KIA.

Selain itu, muncul masalah yang terkait dengan pelaporan dan yang penting dalam isu tersebut yaitu adanya policy brief yang arahnya ke kabupaten kota sebagai rekomendasi dalam rangka perbaikan kebijakan. Situasi yang menarik adalah bahwa selama 20 tahun terjadi peningkatan kasus kematian ibu dan anak, ada yang salah dalam pelaksanaan kebijakan di Indonesia, sehingga perlu digali adanya perbaikan dan permasalahan terkait kebijakan yang dikucurkan.

Tujuan yang ingin diraih yaitu melakukan analisis kebijakan KIA di Indonesia untuk memahami alasan terjadinya stagnasi pencapaian program KIA, penggunaan pendekatan pemetaan intervensi untuk mencari solusi kebijakan KIA serta penyusunan policy brief berdasarkan pengalaman dari berbagai proyek inovasi dan pemetaan intervensi. Analisis kebijakan KIA di Indonesia difokuskan pada isi, aktor, konteks dan proses kebijakan. Jika kita lihat dari konteks analisis kebijakan KIA. Kementerian Kesehatan sudah aktif memberikan dana dan program untuk KIA, AKB untuk KIA sudah banyak.

Pentingnya pemetaan intervensi di kabupaten kota dilakukan dalam upaya pendalaman untuk mencari kebijakan dimasa mendatang dengan prinsip yang digunakan berdasarkan analisis kebijakan. 1) Berfokus pada aksi dan kegiatan yang berlaku di level kabupaten/Kota, hal ini didasarkan karena berbagai tindakan operasional berada di level kabupaten/kota, sementara itu pemerintah provinsi dan pusat berperan sangat penting sebagai pendukung kebijakan, dana, SDM sampai kebimbingan teksi dan manajemen; 2) menggunakan kebijakan dari hulu ke hilir, yaitu Kebijakan dari Hulu (program-program preventif dan promotif) yang banyak menggunakan pendekatan lintas sektor (one health) dan determinan sosial ke hilir mengarah ke program-program klinis seperti pelayanan yang dilakukan ke rumah sakit, dulu Kemenkes ada Dirjen Yanmed dan Yankes, sekarang diubah menjadi Bina Upaya kesehatan serta Gizi dan KIA. 3) Menggunakan jumlah kematian absolut sebagai indikator kinerja program KIA, yaitu data kematian absolut diperlukan dalam kematian ibu dan anak di kabupaten. Angka rates digunakan sebagai cross cheks dan dilakukan dalam dua pendekatan yaitu, menggunakan angka absolut dan data survei. 4) menggunakan filosofi utama kebijakan KIA perlu peningkatan surveilans respon untuk kematian ibu dan anak. 5) memperbaiki program perencanaan monitoring dan evaluasi program. Ini yang diterapkan dalam program Sister Hospital. Proses ini menggunakan pendekatan berbasis bukti (evidence based policy).

Di akhir sesi disampaikan bahwa diperlukan adanya paket policy brief dalam bentuk paket kebijakan, banyak kebijakan yang akan diusulkan, dan paket ini apa yang disebut sebagai variasi yang berbeda. Donor jangan membiaya program yang hanya hulu atau hilirnya saja, namun program yang mengacu pada hulu ke hilir. Diharapkan para pelaku pembangunan kesehatan ibu dan anak bisa dapat memanfaatkan paket policy brief sesuai dengan kebutuhan di daerah masing-masing serta kementerian kesehatan dapat mendukung upaya inovasi yang dilakukan.

 

Pembicara II

Maria Agnes Etty Dedy, S. Si., Apt

Pada pemaparan awal, disampaikan mengenai pendekatan Kebijakan dari Hulu ke Hilir dengan melihat kondisi riil yang terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Ditekankan pada tiga aspek yaitu promosi kesehatan, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan. Beberapa Permasalahan yang ada di NTT yaitu tingginya angka kematian ibu (AKI), tingginya anemia pada ibu hamil (Bumil), tingginya kurang energi kronis (KEK) pada ibu hamil dan tingginya BBLR pada bayi, tingginya bayi gizi kurang dan buruk, masih rendahnya partisipasi pria ber-KB, kurangnya media promosi kesehatan untuk KIA, belum ada alokasi untuk melahirkan di fasilitas kesehatan. Belum semua ibu hamil didampingi tenaga kesehatan wanita hamil dianggap proses alami, masih ada persalinan yang dilakukan dirumah: budaya tertentu yang berperan dalam hal ini, kedudukan dan peran perempuan tidak menguntungkan.

Berdasarkan permasalahan yang terjadi tersebut, pengalaman yang ada dilihat dari kendala yang terjadi di lapangan antara lain adanya masih rendahnya pengetahuan ibu tentang KIA, dukungan desa yang kurang terhadap program kesehatan, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat yang masih SD terutama ibu serta kader kesehatan sehingga tidak maksimal dalam upaya perbaikan program, faktor budaya yang selalu dalam membuat keputusan selalu melibatkan keluarga besar sehingga untuk melakukan tindakan cepat terkendala. Kemudian, jumlah tenaga kesehatan yang kurang meski ada namun jumlahnya lebih banyak dikota sehingga beban kerja banyak sehingga tidak maksimal dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang memerlukan, kondisi geografis yang sulit sehingga terkait biaya persalinan di rumah sakit karena adanya beban transport, kurangnya koordinasi antara pemerintah. Lalu tidak meratanya pelatihan terhadap bidan, fasilitas kesehatan yang kurang memadai, penguasaan bahasa dan budaya setempat yang masih kurang oleh petugas kesehatan, kurang adanya info kesehatan yang ada bagi bidan didesa, kurangnya akses informasi kesehatan, Pemerintah desa menganggap program kesehatan bukan tugas dan peran aparat desa karena beranggapan bahwa program kesehatan hanya menjadi tanggungjawab puskesmas, serta adanya tugas rangkap dari bidan karena harus memegang 2 pustu.

Berdasarkan permasalahan yang terjadi, maka rekomendasi kebijakan yang diberikan adalah setiap ibu hamil harus diperiksa nakes minimal empat kali, apabila tidak maka ada punishment atas ketidaktaatan terhadap kebijakan, Setiap ibu hamil mendapat minimal 90 tablet besi selama masa kehamilan, pemberian PMT pemulihan Bumil KEK dan PMT penyuluhan dan Pemulihan, setiap proses kelahiran ditangani oleh tenaga bidan/nakes dan dokter. Hal ini diikuti setiap ibu yang melahirkan mendapat pelayanan nifas selama minimal 2 kali dalam hangka waktu 40hari setelah persalinan, peningkatkan pengetahuan terkait risiko yang ditimbulkan jika terjadi 4T terhadap masyarakat, perlu penyadaran bahwa persalinan perlu mendapatkan focus pelaksanaan kegiatan dan pelayanan maksimal. Kemudian, tidak perlu menunggu kompromi terlalu lama dalam pemberian pelayanan kesehatan, peningkatan program dana sehat di masyarakat, melalu tubulin, jumputan dan arisan serta adanya dana pendampingan.

Maka diperlukan adanya kerjasama lintas sektor dalam upaya koordinasi bersama lintas sektor dalam upaya perbaikan program dan peningkatan derajat kesehatan ibu dan anak. Setiap dinas kesehatan kabupaten kota selalu melihat aturan berdasarkan standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh kementerian kesehatan yang diarahkan untuk bukan saja melakukan pelayanan kesehatan saja tetapu melakukan aksi promotif dan prevented kepada masyarakat luas.

 

Ditulis oleh Fauzi Rahman

 

Mahlil Ruby-Centre for Health Economics and Policy Study, Public Health Faculty of Indonesia University



Mahlil Ruby-Centre for Health Economics and Policy Study,
Public Health Faculty of Indonesia University
Health Universal Coverage for talking child health inequity post MDGs in Indonesia


mahlilMahlilMahlil memulai presentasi dengan mengungkapkan fakta bahwa Indonesia sebetulnya mampu mencapai tujuan pembangunan milenium 4 (menurunkan angka kematian anak). Hal ini didasarkan pada tren penurunan kematian anak selama satu decade. Kementerian Kesehatan didukung UNICEF telah mengembangkan rencana aksi nasional untuk kelangsungan hidup anak (RAN KHA) dalam rangka percepatan penurunan angka kematian anak.

Mahlil selanjutnya menjelaskan grafik kematian bayi dan anak dibawah usia 5 tahun untuk setiap provinsi berdasarkan data survey demografi Indonesia tahun 2012. Dari grafik tersebut terungkap Sembilan Provinsi yang menempati peringkat teratas kematian anak dan menjadi target utama RAN KHA. Kesembilan Provinsi tersebut adalah Papua Barat, Gorontalo, Maluku Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Papua, Kalimantan Tengah, dan Aceh.

Mahlil menekankan bahwa intervensi penanggulangan kematian anak harus dilakukan pada program-program yang cost effective dengan melihat penyebab kematian utamanya. Pada kematian neonatal, tiga penyebab utama ada Asfiksia, Prematur, dan Sepsis. Tiga penyebab utama kematian anak di bawah usia lima tahun adalah diare, pneumonia dan meningitis. Oleh karena itu perlu diambil tindakan intervensi yang cost effectif agar kematian anak yang disebabkan oleh penyakit-penyakit tersebut dapat diatasi dengan baik.

Pada akhir presentasi, Mahlil menawarkan kepada peserta perangkat lunak perhitungan cost effective yang dibagikan secara gratis. Perangkat lunak ini dapat dipergunakan oleh peserta untuk perhitungan Intervensi yang cost effective.

Tara Singh Bam, PhD, MPH – International Union Against Tuberculosis and Lung Disease



Tara Singh Bam, PhD, MPH – International Union Against Tuberculosis and Lung Disease
Tobacco and Health

taraTara Singh BamTara memulai presentasi dengan mengungkapkan ribuan bahan kimia yang terkandung dalam sebatang rokok, termasuk 250 bahan yang mengandung toksin sebagai penyebab kanker. Dampak rokok terhadap kesehatan tidak hanya dialami oleh perokok aktif melainkan juga berdampak terhadap perokok pasif, baik orang dewasa maupun anak-anak. Tembakau merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia dimana sebanyak 5 juta orang meninggal dunia akibat tembakau setiap tahun, melebihi jumlah kematian akibat TB, HIV dan malaria. Apabila tindakan efektif tidak segera dilakukan, maka pada abad 21 sebanyak 1 juta orang akan meninggal dunia setiap tahunnya.

Tara kemudian menjelaskan bahwa tembakau merupakan endemic di Indonesia dimana 67 persen laki-laki dan 4,5 persen perempuan merokok. Sebanyak lebih dari 61 juta perokok hidup di Indonesia dan sebanyak 97 juta orang Indonesia, termasuk 43 juta anak Indonesia terpapar asap rokok setiap harinya. Rokok menyebabkan lebih dari 235 ribu penduduk Indonesia meninggal dunia setiap tahunnya. Rokok merupakan salah faktor risiko utama penyebab empat penyakit tidak menular utama, yaitu penyakit jantung, kanker, diabetes, dan penyakit pernafasan akut.

Tara selanjutnya menerangkan tindakan global yang dilakukan untuk mengatasi masalah rokok. Salah satunya adalah upaya pengendalian tembakau melalui kerangka kerja konvensi pengendalian rokok (FCTC) yang digagas oleh WHO dan diadopsi mulai Mei 2003. Hingga Juni 2013, FCTC telah diratifikasi oleh 177 negara. Tara menyayangkan Indonesia yang terlibat dalam penyusunan FCTC namun hingga saat ini belum menandatangani dan meratifikasi FCTC.

Pada akhir presentasi, Tara menayangkan website world tobacco ASIA yang menyatakan bahwa Indonesia adalah pasar potensial tembakau dunia karena tidak ada larangan merokok dan peraturan yang lemah jika dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN lainnya. Oleh karena itu, Tara menegaskan kepada para peserta simposium bahwa pengendalian tembakau merupakan harga mati yang harus diperjuangkan demi menciptakan kesehatan masyarakat Indonesia yang lebih baik. Sebagai kata penutup, Tara mengajak peserta untuk mendorong Pemerintah Indonesia meratifikasi FCTC dan menolak pelaksanaan konferensi Internasional Tembakau di Bali pada tahun 2014.