Kunjungan ke University of Cape Town untuk mempelajari Consortium for Health Policy and System Analysis in Africa (CHEPSAA)

Melalui kerjasama dengan 7 universitas di Afrika dan 4 universitas di Eropa, University of Cape Town mengembangkan jaringan untuk sektor penelitian dan analisis kebijakan kesehatan dan sistem kesehatan di Afrika sejak 2011. Hal ini dilakukan karena kemampuan melakukan riset kebijakan dan sistem kesehatan dinilai masih kurang di Afrika.

Konsorsium ini didirikan dengan lima tujuan, yaitu:

  1. Apa saja action yang dibutuhkan untuk anggota organisasi, termasuk untuk menilai kebutuhan.
  2. Berdasarkan kebutuhan tersebut, maka dilakukan pengembangan-pengembangan aset dan kompetensi staf, termasuk para staf muda dan membahas kekurangan yang ada.
  3. Melakukan konsolidasi dan pengembangan pendidikan pascasarjana yang dapat diakses secara gratis melalui website.
  4. Mengembangkan kerjasama antara peneliti, dosen, policy makers, dan manajer.
  5. Mengelola pengetahuan secara efektif untuk mempermudah komunikasi.

Seluruh tujuan ini, ditetapkan pada tahun 2011 dengan dukungan dana dari European Union. Dukungan tersebut akan diberikan hingga 2015 mendatang.

Apa yang sudah dilakukan oleh CHEPSAA selama dua tahun terakhir?

Berikut ini beberapa hal yang telah dilakukan CHEPSAA, diantaranya: pertama, merancang dna mendokumentasikan pendekatan untuk pengembangan kapasitas dari anggota. Kedua, melakukan penilaian akan kebutuhan anggota. Ketiga, mengembangkan berbagai strategi untuk: pengembangan staf dan organisasi untuk mendukung pengajaran dan penelitian; membangun networking dan melakukan riset pada kebijakan dan praktek; serta mrngelola pengetahuan.

Keempat, melakukan pengembangan kurikulum untuk program Master atu kursus singkat. Kelima, melakukan pertemuan tahunan di Ghana dan Afrika Selatan. Keenam, mengembangkan website untuk ilmu kebijakan dan pengembangan media sosial.

Dalam diskusi dengan Prof. Lucy, muncul hal menarik terkait hal yang sudah dilakukan yaitu menggunakan sistem open. Dalam program ini, berbagai materi perkuliahan dapat dipergunakan pihak lain dengan berbagai syarat. Contohnya: Modul Introduction to Complex Health Systems: Course Outline for Public Discussion (October 2013).

Modul ini dapat digunakan dalam mekanisme kerja lisensi berdasarkan prinsip Creative Commons Atribution Non Commercial Share Alike 2.5 (http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/2.5/za/). Apa arti lisensi ini?

Perguruan Tinggi lain dapat menggunakan dengan tujuan:

to Share – to copy, distribute and transmit the work

to Remix – to adapt the work

Dalam kondisi:

Attribution. You must attribute the work in the manner specified by the author or licensor (but not in any way that suggests that they endorse you or your use of the work)

  Non-commercial. You may not use this work for commercial purposes

Share Alike. If you alter, transform, or build upon this work, you may distribute the resulting work but only under the same or similar license to this one

 

Ada beberapa syarat lainnya:

  1. For any reuse or distribution, you must make clear to others the license terms of this work. One way to do this is with a link to the license web page: 
  2. http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/2.5/za/
  3. Any of the above conditions can be waived if you get permission from the copyright holder.
  4. Nothing in this license impairs or restricts the authors' moral rights.
  5. Nothing in this license impairs or restricts the rights of authors whose work is referenced in this document.
  6. Cited works used in this document must be cited following usual academic conventions
  7. Citation of this work must follow normal academic conventions

Jika anda ingin mempelajari lebih lanjut mengenai konsorsium ini,
silahkan klik di www.hpsa-africa.org  

 


Refleksi Untuk Indonesia

refleksi

Tujuan antara CHPESAA dan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) memang serupa, namun banyak perbedaannya. Pada pertemuan pertama tahun 2010, JKKI didirikan atas inisiatif beberapa perguruan tinggi yang dimotori oleh UGM. Pertemuan tahunan dilakukan hingga yang terakhir terjadi pada September 2013 di Kupang, NTT. Pendirian ini memang tidak berdasarkan proyek.

Perbedaan lain yaitu CHEPSAA menitik beratkan pada penyelenggara pendidikan pascasarjana di bidang kebijakan dan sistem kesehatan. Salah satu fokusnya ialah penguatan kurikulum pendidikan. Sementara, JKKI belum memiliki tujuan serupa.

Hal yang mirip ialah langkah awal berupa penilaian diri. CHEPSAA dimulai dengan langkah awal berupa penilaian kapasitas diri. JKKI akan mendapat dukungan dana dari AusAid secara formal pada 2014 di Indonesia. Hasil penilaian awal ini akan dilakukan pada Desember 2013. Harapannya, akan ada laporan dari tim konsultan yang dikontrak AusAid untuk kegiatan ini.

Lalu, berikut ini daftar beberapa hal penting yang perlu dikembangkan di Indonesia:

  1. Penggunaan prinsip Open dalam materi-materi yang dihasilkan oleh Konsorsium ini.
    Prinsip Open memang bertentangan dengan asas monopoli maupun penguasaan atas karya ilmiah. Dengan sistem Open yang berdasarkan kerangka lisensi berbagai produk pengembangan ditawarkan kepada pihak lain dengan berbagai persyaratan. Hal ini yang bekum banyak dilakukan di Indonesia karena pemahaman mengenai hal ini juga belum banyak. Bagian dari hasil kunjungan ini mengenai sistem Open menjadi pembelajaran penting.
     
  2. Pengembangan Emerging Leaders.
    Poin lain yang tak kalah penting yaitu pengembangan para peneliti muda dalam program Emerging Leaders. Dalam konteks penelitian kebijakan, perlu dilakukan kegiatan untuk melatih para peneliti muda. Pengalaman di Afrika menunjukkan perlunya pengembangan peneliti muda secara berkesinambungan.
     
  3. Ketrampilan Personal.
    Penelitian kebijakan harus memiliki ketrampilan personal untuk berkomunikasi secara formal dan informal. Hal ini dibutuhkan sejak awal penulisan proposal, memperoleh dukungan dana, saat penelitian, saat laporan dan advokasi hasil penelitian. Ketrampilan-ketrampilan ini tidak mudah diperoleh karena situasi di masing-masing negara berbeda. Atau yang biasa disebut unsur 'seni'.

Demikian beberapa refleksi yang dapat ditarik dari kunjungan ke Afrika Selatan (LT).

Sesi 3.3.B Implementasi Kebijakan dan Program AIDS

Sesi 3.3.B
Implementasi Kebijakan dan Program AIDS

 

aidsfn2

Pembicara :

1. Suhendro Sugiharto - PKNI

Menurut Suhendro Sugiharto sebagai perwakilan dari lembaga PKNI (Persaudaraan Korban Napza Indonesia), saat ini trend penggunaan narkotika sudah bergeser, dari Heroin ke ATS, namun, layanan yang tersedia umumnya masih berbasis pada penanganan Heroin. Bagaimana dengan pengguna ATS? Apakah layanan sudah memadai bagi perawatan ketergantungan narkotika sebagai komponen yang efektif dalam penerapan program diversi? Bagaimana dengan SDM-nya? Bagaimana akses terhadap layanan? Apakah sejalan dengan penegakan hukum? Dalam skema Wajib Lapor hanya mereka yang sudah diputus pengadilan ditanggung Negara dan jumlah putusan rehabilitasi sangat kecil. Bagaimana dengan pecandu yang suka rela melaporkan diri? Apakah biaya perawatan ditanggung oleh negara? Dialektika tersebut memunculkan pernyataan sikap dari PKNI yang berisi pengakuan, penghormatan dan pemenuhan HAM; dekriminalisasi korban penyalahgunaan napza; pendekatan berorientasi kesehatan meliputi pendidikan, informasi, konseling, integrasi sosial, farmakologis, psikososial dan aftercare; Sistem Informasi Napza yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Daerah (SIKDA) Generik dan Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit; Studi dan Policy Brief untuk kebijakan berbasiskan bukti.

2. Esteria Naomi - IPPI (Ikatan Perempuan Positif Indonesia)

IPPI adalah LSM yang mendukung kelompok ODHA perempuan. Tema yang diangkat adalah Feminisasi HIV. Esterina Naomi menjelaskan bahwa IPPI mendorong pemerintah untuk mengeluarkan komitmen kebijakan bersama antara Kementrian Kesehatan, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dalam mengintegrasikan Kekerasan Terhadap Perempuan dan HIV-AIDS. IPPI juga mendorong pemerintah, mitra pembangunan internasional serta Lembaga PBB untuk membuat skema pendanaan bagi organisasi perempuan dan jaringan perempuan dengan HIV. Tujuannya membangun kesadaran masyarakat akan kerentanan perempuan terhadap kekerasan dan HIV-AIDS. IPPI juga menyatakan perlu adanya mekanisme sistem rujukan layanan kekerasan terhadap perempuan dan layanan HIV-AIDS termasuk layanan bantuan hukum bagi perempuan dengan HIV yang menjadi korban kekerasan serta proses re-integrasi.

3. Tono Muhammad – GWL Ina

Tono Muhammad sebagai perwakilan dari GWL Ina memaprkan bahwa GWL INA mencoba menyoroti pelibatan komunitas GWL dalam pembuatan kebijakan penanggulangan HIV bagi GWL. GWL Ina merupakan sebuah jaringan organisasi-organisasi berbasis komunitas gay, waria dan LSL lain di 28 propinsi dengan 71 organisasi anggota. Fokus mereka saat ini adalah penguatan sistem komunitas agar dapat terlibat secara lebih bermakna dalam penanggulangan HIV.

Menurut Tono, saat ini sulit memperkirakan besarnya populasi GWL karena mereka cenderung tidak diperhitungkan, stigma dan diskriminasi masih tinggi baik internal komunitas maupun eksternal (stakeholder dan masyarakat), adanya kebijakan-kebijakan yang tidak kondusif (misal kriminalisasi kondom dan kriminalisasi homoseksual), kasus pada kelompok dibawah 24 tahun terus meningkat, penggunaan media berbasis teknologi mengurangi kesempatan untuk melakukan pertemuan (tatap muka), kurangnya layanan IMS yang bersahabat dan komprehensif. Strategi yang perlu dikembangkan adalah peningkatan kapasitas komunitas agar lebih terlibat dalam pembuatan kebijakan; strategi perlu sesuai dengan karakteristik sub komunitas dan kondisi geografis; perlu adanya kebijakan-kebijakan yang kondusif dan tidak mengkriminalkan homoseksual; peningkatan kualitas layanan yang bersahabat dan satu atap; menjadikan komunitas sebagai solusi dan bukan sebagai masalah.

4. Aldo - OPSI (Organisasi Perubahan Sosial Indonesia)

OPSI melalui pemaparan Aldo melihat isu HIV dan AIDS dalam sudut pandang stigma dosa dan kesehatan seksual. Virus HIV yang menjadi penyebab AIDS menular dengan hukumnya sendiri tanpa melihat keyakinan agama, keimanan dan ketaqwaan seseorang. Beberapa implikasi yang muncul karena stigma tersebut adalah banyak pekerja seks yang malu dan takut untuk melakukan VCT sehingga kondisi riil epidemi tidak bisa dideteksi dan dikontrol secara maksimal karena pekerja seks HIV+ akan menyembunyikan diri sehingga penanggulangan HIV dan AIDS tidak bisa maksimal.

Menurut Aldo, masih banyak terjadi pelanggaran HAM terhadap ODHA melalui perlakuan diskriminatif, pengucilan, penolakan, bahkan kekerasan di lingkungan keluarga, kerja, masyarakat, birokrasi pemerintahan, bahkan sampai di tempat-tempat layanan kesehatan. Saatnya mengubah strategi penjangkauan bagi pekerja seks, melalui pendampingan, pemberdayaan, peer outreach. Perubahan kebijakan apapun yang menyangkut pekerja seks wajib melibatkan pekerja seks secara bermakna. Program HIV secara eksplisit harus mencakup dukungan hukum dan perlindungan HAM. Kekerasan terhadap pekerja seks yang selama ini terjadi harus menjadi tolak ukur dalam evaluasi kebijakan tentang kerja seks.

5. Aditya Wardhana - IAC (Indonesia AIDS Coaliton)

Aditya Wardhana sebagai perwakilan dari IAC mengawali pemaparannya dengan beberapa pembelajaran dan peran dari CSO yang concern pada isu AIDS. Program yang dijalankan CSO khususnya dengan partisipasi populasi kunci mampu menjangkau kelompok yang terpinggirkan secara sosial politik (ODHA, Pengguna Narkotika, Pekerja Seks, Gay, Waria, Transgender). Orang dengan HIV lebih tanggap dalam memahami haknya sebagai pasien. Advokasi menjadi salah satu spesialisasi populasi kunci di bidang AIDS baik di level nasional, regional maupun global. Pelibatan penuh komunitas menjadi salah satu poin penting dalam perencanaan implementasi maupun monitoring evaluasi. Tantangan kebijakan selama ini adalah koordinasi, untuk itu perlu penguatan payung hukum Perpres 75 dan modifikasi/penguatan kelembagaan KPAN. Pada aspek implementasi perlu ada Quality Assurance dari kebijakan. Aspek akuntabilitas dan transparansi dari kebijakan serta monitoring dan evaluasi program juga perlu untuk dilakukan. Dari segi pembiayaan, tidak hanya mencakup pendanaan bagi staf KPA namun juga perlu ada alokasi pendanaan APBN/APBD untuk program yang dijalankan populasi kunci.

Presentasi Makalah Bebas :

  1. Dampak Implementasi Kebijakan Penutupan Tempat Layanan Sosial Transisi untuk PSK dan Untuk Penutupan Prostitusi Terhadap Program Penanggulangan HIV-AIDS – Dewi Rochmah Khoiron, FKM Universitas Jember
  2. Pola dan Kinerja Kebijakan Anggaran Penanggulangan HIV dan AIDS: Studi Kasus Kota Yogyakarta, Kab. Sleman dan Kab. Bantul th 2010 s.d. 2012 – Valentina Sri Wijiyati, IDEA

 

19.00 – 21.30 : Membangun Jaringan Kebijakan AIDS Indonesia di Pusat dan Daerah Dalam Konteks Sistem Kesehatan

7 September 2013

08.00 – 10.00 : Pertemuan dengan peneliti dari 9 universitas.

 

Sesi 3.2.B Kebijakan dan Program HIV dan AIDS di Indonesia

Sesi 3.2.B
Kebijakan dan Program HIV dan AIDS di Indonesia

 

Sesi kali ini dimoderatori oleh Prof. Irwanto dari PPH Unika Atmajaya.

aidsfn1 

Pemibacara:

  1. L. Marsudi Budi Utomo – PP KPA Kota Medan
  2. dr. Steve – Ka Dinkes Kab. Merauke
  3. Yoshiko H. Siswoko – AusAID
  4. Slamet Riyadi - PKBI Pusat 5. Risya Ariyana Kori – ILO
  5. Yane Novina – CHAI
  6. Ricky Andriansah - SUM II

Nara Sumber 1

PROGRAM PENANGANAN HIV DAN AIDS DI KOTA MEDAN

Oleh L. Marsudi Budi Utomo – PP KPA Kota Medan

Penjelasan secara singkat mengenai program penanganan HIV dan AIDS di Kota Medan, menurut Marsudi Budi Utomo, Penguatan KPA didasarkan pada Renstra Pencegahan dan Penanggulangan AIDS di Kota Medan Tahun 2011–2014, Perda No. 1 Tahun 2012 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV-AIDS di Kota Medan dan terbentuknya Pokja HIV-AIDS di kecamatan untuk meningkatkan peranan pemangku kepentingan dalam pencegahan HIV-AIDS.

Mersudi Budi Utomo juga mengemukakan beberapa langkah yang sudah diambil dan dilakukan sebagai bentuk strategi penanggulangan HIV-AIDS yang ada di kota Medan yang meliputi:

  1. Memutuskan Walikota sebagai Ketua KPAK Medan SK Walikota No. 354/327K/2007;
  2. Bahwa setiap upaya penanggulangan dan pencegahan HIV dan AIDS dikoordinasikan oleh KPA (Perda No. 1 Tahun 2012, psl 25);
  3. Anggaran hibah untuk kegiatan/sosialisasi/penyuluhan (SK Walikota No.900/874.K/V/2013 tentang Penetapan Daftar Penerima Hibah Kota Medan TA 2013);
  4. Donor SUM II memfokuskan programnya pada WPS, Penasun (Galatea), Waria & LSL (GSM);
  5. Adanya donor dari HCPI untuk program Harm Reduction termasuk didalamnya adalah pengadaan ASS, test Hep-C, pertemuan rutin kelompok IDU, serta pertemuan PIDU.
  6. Donor GF melalui KPAN untuk penguatan KPAK, koordinasi, PMTS dan operasional Pusk LASS;
  7. Donor IPF untuk LSL, Gay dan Waria;
  8. Data lengkap kasus IMS dan HIV dan AIDS, sebaran populasi kunci, laporan berkala kepada Walikota (Ketua KPAK) sebagai upaya Advokasi. '

Nara Sumber 2 :

KEBIJAKAN DAN PROGRAM DI LEVEL SUB NASIONAL

Oleh dr. Steve – Ka Dinkes Kabupaten Merauke

Dalam Sesi pembahasan ini, dr. Steve memberikan gambaran mengenai kebijakan dan program di level sub nasional, sebagai perwakilan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Merauke memaparkan Implementasi Kebijakan dan Program HIV-AIDS di Kabupaten Merauke – Papua.

Sejauh ini upaya program yang dilakukan adalah KIE, skrining darah, kondom, UP, kontrol IMS, VCT, PMTCT, PITC, kolaborasi TB/HIV, pendampingan Odha (home care, rumah singgah), memobilisasi/konsolidasi semua fasilitas yankes, memperkuatkan aspek hukum dan perundang-undangan, memperkuatkan kerja sama KPAD, lintas sektor dan masyarakat.

Pada tahun 2006, RSUD Merauke mendapatkan penghargaan dari Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia/PERSI: Paramakarya Dharmaartha Husada sebagai rumah sakit yang memberikan pelayanan HIV terbaik di Indonesia. Pada periode 2012–2013, KIE, IMS KONTROL, VCT, ARV, PMTCT, Kolaborasi TB-HIV mulai merata di seluruh puskesmas dan rumah sakit.


Nara Sumber 3:

PROGRAM-PROGRAM YANG DIDANAI OLEH AUSAID

Oleh Yoshiko H. Siswoko – AusAID

Yoshiko H. Siswoko sebagai perwakilan dari AusAID menyampaikan pemaparan mengenai program-program yang didanai oleh Pemerintah Australia bagi Indonesia. Secara umum, program bantuan yang dikelola AusAID dalam payung besaran Kemitraan Australia dan Indonesia. Program kemitraan ini secara umum untuk membantu pemerintah Indonesia untuk mempersempit kesenjangan-kesenjangan yang ada antara wilayah-wilayah yang tertinggal dengan wilayah-wilayah lainnya. Sedangkan yang menjadi target dari bantuan kemitraan ini adalah masyarakat yang kurang beruntung, terutama kelompok masyarakat miskin.

Kemitraan ini untuk jangka pendek dan menengah adalah membantu pemerintah untuk mempercepat pencapaian MDGs termasuk isu HIV-AIDS. Secara khusus untuk bantuan di bidang HIV, program kemitraan ini dikelola oleh inisiatif yang disebut AIPH (Australia Indonesia Partnership for HIV). Total dana bantuan ini sebesar 128,5 juta Australia dan beroperasi sejak 2008 – 2016. Tujuan yang akan dicapai dalam AIPH ini adalah mendukung goal nasional, yaitu penurunan transmisi HIV, meningkatkan kualitas hidup ODHA, menurunkan dampak sosial ekonomi akibat AIDS. AIPH beroperasi di 9 propinsi yang meliputi seluruh Pulau Jawa, Pulau Papua dan Pulau Bali, ditambah 8 propinsi lainnya yang dikerjakan melalui program nasional. Program ini dibagi atas 4 elemen, yaitu

  1. HCPI (HIV Cooperation Program for Indonesia), yang dimulai sejak 2008 hingga 2016. Fokus kegiatannya pada Harm Reduction dan penguatan institusi pemerintah dan LSM (CSOs) yang fokus pada isu HIV.
  2. Program REACH (Rapidly Expanding Access for Care to HIV in Papua and Papua Barat) yang dilaksanakan oleh CHAI (Clinton Health Access Initiative).
  3. IPF (Indonesian Partnership Fund), yang dimulai sejak 2013 – 2015 dan dikelola oleh KPAN dan KPA Sub Nasional termasuk di dalamnya bantuan untuk LSL yang berupa pengembangan Action Plan serta kegiatan pilot di 10 lokasi.
  4. Management Technical Assitance Facilities (MTAF), dimulai sejak 2011 – 2013, dimaksudkan untuk mendukung implementasi program-progrm Global Fund.

Nara Sumber 4:

SELAMATKAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI HIV DAN AIDS

Oleh Slamet Riyadi - PKBI Pusat

Perspektif nasional diwakili PKBI Pusat yang diwakili oleh Slamet Riyadi menyampaikan materi dengan topik Selamatkan Perempuan Dan Anak Dari HIV-AIDS! Adanya fakta bahwa saat ini kasus perempuan dan anak yang terinfeksi HIV terus meningkat, lalu bagaimana melindungi mereka? Penularan ibu hamil ke bayi naik 150%. Pemda diharapkan ambil peran untuk mengatasi HIV-AIDS.

Menurut Slamet Riyadi, dengan mempergunakan media film pendek, PKBI menekankan peran kader dalam membantu petugas kesehatan menemukan kasus baru terkait IMS dan HIV-AIDS. Satu kader di wilayah Tasikmalaya menyasar anggota-anggota komunitas motor dan mendorong mereka untuk melakukan pemeriksaan HIV-AIDS. Satu kader lain dari wilayah Indramayu menyasar komunitas nelayan. Peran kader sebagai insan kreatif dalam penanganan HIV-AIDS membuktikan bahwa persoalan HIV-AIDS bukan semata merupakan persoalan individual semata tapi memerlukan kesadaran kolektif masyarakat untuk penanggulangannya.


Nara Sumber 5 :

PERLINDUNGAN SOSIAL HIV DAN AIDS

Oleh Risya Ariyana Kori – ILO

Melalui pemaparan Risya Ariyani Kori, ILO (International Labour Organization) menyampaikan materi mengenai Perlindungan Sosial – HIV and AIDS dengan mengacu pada standart Konvensi 102, Rekomendasi 202 dan 200. Realitas jaminan sosial di Indonesia saat ini adalah program masih terpisah-pisah untuk rakyat miskin, tidak banyak program bagi sektor informal namun jaminan sosial untuk sektor formal cukup komprehensif. Rekomendasi ILO terkait dengan jaminan sosial untuk HIV-AIDS adalah akses universal ke perlindungan sosial harus menetapkan standar minimum, strategi untuk meningkatkan manfaat dan memperluas cakupan serta peningkatan supply side. Perlu dilakukan integrasi program Perlindungan Sosial dalam respon nasional penanggulangan HIV melalui SJSN, peran masyarakat sipil, edukasi, perawatan dan dukungan serta advokasi kebijakan perlindungan sosial yang sensitif HIV dan gender.


Nara Sumber 6:

REACH PROGRAM di PAPUA

Oleh Yane Novina – CHAI

CHAI memaparkan programnya, yaitu REACH (Rapidly Expanding Access To Care for HIV) in Papua, yang dimulai dari Juni 2012 – Juni 2016, meliputi 4 Program layanan HIV, TB, IMS dan PPIA dengan 4 komponen, yaitu:

  1. Perawatan Dukungan dan Pengobatan (17 kota/kab Papua dan 9 kota/kab Papua barat);
  2. Manajemen Rantai Pasok;
  3. Pengembangan kebijakan;
  4. Operasional riset.

Latar belakang program REACH adalah peningkatan kasus HIV tidak dibarengi dengan peningkatan akses pengobatan ARV; mobilitas masyarakat ke kabupaten lain terjadi untuk mendapatkan akses layanan HIV, IMS dan TB sehingga berakibat pada tingginya drop out, lost to follow up dan berlangsungnya penularan; kelanjutan dari program fase 2 dengan kontribusi positif terhadap pelayanan program HIV di Jayapura dan Jayawijaya.


Nara Sumber 7 :

MONEV SEBAGAI PENINGKATAN KAPASITAS TEKNIS DAN KINERJA ORGANISASI

Oleh Ricky Ardriansah – SUM II

Ricky Adriansah sebagai perwakilan dari SUM 2 memaparkan bahwa SUM 2 adalah sebuah program kerja sama Pemerintah Indonesia dan Amerika untuk penanggulangan HIV di Indonesia tahun 2010–2015 pada populasi kunci (WPS, Penasun, LSL, Waria, Pria Risti, dan populasi umum di Papua), untuk meningkatkan cakupan intervensi efektif, komprehensif, terintegrasi, dan berkelanjutan dengan menyediakan dukungan kepada aktor lokal yang bekerja dalam program pengendalian HIV-AIDS. Lokasi programnya di DKI Jakarta, Jawa Timur, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Papua, Jawa Barat, Jawa Tengah. Fokus programnya untuk peningkatan kapasitas teknis dan kinerja organisasi yang dibutuhkan untuk menjalankan intervensi efektif, komprehensif, terintegrasi dan berkelanjutan yang dapat berdampak pada peningkatan pemanfaatan layanan dan perubahan perilaku kelompok risiko tinggi secara signifikan dan terukur; peningkatan kapasitas pengelolaan informasi strategis untuk merespon permasalahan HIV-AIDS pada kelompok risiko tinggi.

Titik berat aspek informasi strategis ini adalah Monitoring dan Evaluasi; menyediakan dan memantau dukungan dana yang diberikan kepada organisasi masyarakat sipil/LSM untuk mendorong perluasan intervensi efektif, terintegrasi dan berkelanjutan pada kelompok risiko tinggi di wilayah dimana terdapat populasi KAPs dalam jumlah besar dan tingkat penularan HIV yang tinggi.

 

Reportase Seminar Strategi untuk mencegah Fraud dan Korupsi di Jaminan Kesehatan Nasional

Strategi untuk mencegah Fraud dan
Korupsi di Jaminan Kesehatan Nasional

Sesi 1.

s1niken Niken Ariati - Fungsional Litbang KPKMateri pertama terkait 'Mencegah Korupsi Di JKN' oleh Niken Ariati, Fungsional Litbang KPK. Materi ini disampaikan di Jakarta (6/11/2013). Menurut survei PERC Tahun 2010, menempatkan Indonesia di peringkat pertama sebagai negara terkorup dari 16 negara Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi. Korupsi sendiri diterjemahkan dari bahasa Latin yaitu corruptio dari kata kerja corrumpere yang berarti busuk, menyogok. Perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan publik yang merugikan negara atau masyarakat. Unsur-Unsur Korupsi sempat disampaikan oleh Bibit Slamet Riyanto tahun 2009, yaitu:

  1. Niat melakukan korupsi (desire to act),
  2. Kemampuan untuk berbuat korupsi (ability to act),
  3. Peluang atau kesempatan untuk melakukan korupsi (opportunity to do corruption),
  4. Target atau adanya sasaran untuk dikorupsi (suitable target)

Dampak korupsi menurut survei persepsi masyarakat yang dilakukan KPK tahun 2010 salah satunya: sulitnya memperoleh pelayanan kesehatan. Lalu diikuti hasil, kumpulan modus korupsi yang terjadi di sektor kesehatan yang dikumpulkan KPK yaitu: pungli dari tenaga kesehatan, penyelewengan APBN dan atau APBD, klaim palsu dan penggelapan dana asuransi, penyalahgunaan faskes, kecurangan dana/barang, serta intervensi dalam anggaran, jamkesmas, ASKESKIN.

Modus Korupsi sektor korupsi: Fraud adalah perbuatan yang disengaja atau diniatkan untuk menghilangkan uang atau harta dengan cara akal bulus, penipuan atau cara lain yang tidak wajar (BPK, 2012). Unsur Fraud, adanya janji palsu, adanya kesengajaan, dilanggarnya kepercayaan, adanya pihak yang dikorbankan, mengakibatkan kerusakan.

Penyebab korupsi, terpaksa karena keadaan/kebutuhan, memaksa karena keserakahan dan dipaksa karena sistem yang terbangun. Cegah dan Berantas Korupsi, melalui: Pemetaan -> Membangun Program Pencegahan -> Deteksi, pengawasan dan evaluasi serta penindakan.

Julita Hendrartini, M. Kes, AAK dari FK UGM menyampaikan, tiga pelaku utama Fraud, yaitu : pemberi pelayanan kesehatan, peserta/pasien dan pihak asuransi. Prediksi premi BPJS 2014: 38,5 T yang terdiri dari jamkesmas Askes, Jamsostek, TNI Polri, dan sebagian BUMN. Butuh banyak lembaga pengawas, namun jangan sampai overlapping. Jadi, lembaga yang dinilai mampu mengawasi ialah OJK-KPK-BPK-DJSN bisa melakukan pengawasan seputar JKN.


Diskusi:

Prof. Alimin, Dekan FKM Unhas.

Kesehatan tidak bisa mengawasi ahli bedah. Ke depan, harus merekrut dokter ahli yang pensiun dia yang idealis dan bisa mendengar aturan. Biaya yang dikorupsi lebih sedikit dari biaya lelahnya. Tidak ada petunjuk penggunaan uang, hal ini yang sering menjadi tuduhan dokter di daerah. Maka harus jelas.

Deny, Unpad

Selain dokter ada kecenderungan melakukan fraud, saat ini banyak dokter yang under payment. Bisa jadi nampak fraud, penyimpangan dari sistem pada para provider.

Tanggapan:

Julita:

salah satu potensi yaitu review akses data pelayanan Jamkesmas. Klaim banyak yang bebeda antar RS, apakah karena upcodin? Kompensasi dokter yang under payment melalui negosiasi dengan pemerintah. Industri provider kesehatan harus ditangani spesialis yang ahli. Mencegah melalui utilization review-Askes prasayarat untuk manage care. Poin review ini harus dibagi dengan banyak pihak untuk pengawasan. Hanya data yang disetujui yang boleh diakses. Namun, jika data ditutup maka akan sulit. BPJS dan Kemenkes sebagai stakeholder. Untuk Prof. Alimin Siapa sebaiknya? Bagaimana dokter ini? Jejaring yang perlu dibangun.

Niken:

3 bulan terakhir mendalami BPJS. Waktu terus berjalan, tapi kok progress-nya kurang signifikan. Banyka hal yang perlu diperbaiki, PP dan benturan kepentingan yang belum diselesaikan. Ini area siapa? Siapa yang mengawasi? Hanya 700 orang, penyidik hanya 60-70, dan kami tidak punya latar belakang kesehatan. Namun mendapat banyak saran dari para ahli kesehatan termasuk pak Laksono. Merangkul orang yang peduli untuk kepentingan bersama dan untuk RS Daya semua dokter mengeluh INA CBGs. Ada ketidakseimbangan tarif di INA CBGs. Hal ini arus segera diperbaiki. Grade yang bisa dimaafkan adalah by need. KPK hanya masuk dalam wilayah institusi,

Telpon:

Donny-MMR Jogja.

Apa strategi dan antisipasi BPJS dalam akses pelayanan kesehatan yang bermutu dan bisa merata? Bagaimana dengan di kepulauan? Supaya BPJS bisa dinikmati yang membutuhkan.

Niken:

ada beberapa yang harus diselesaikan di daerah, ternyata banyak yang tidak terpakai misalnya: obat dari DAK di Dinkes Kabupaten Kota. Sehingga Puskesmas tidak menggunakan dana Jamkesmas. Ada aduan yang masuk ke KPK-ada faskes yang tidak terpakai karena listrik tidak support dengan faskes yang canggih. Hal ini kurang tepat dalam perencanaan.

Penanya:

Masukan untuk KPK-jika pelaksanaannya tanpa toleransi maka banyak dokter yang masuk penjara langsung. Di RS banyak yang belum siap karena data yang tidak lengkap, medical record dan IT yang tidak mendukung. Klaim yang salah, dimulai dari pendokumentasian yang salah. Perlu sosialisasi pertama kali sehingga fraud berkurang. Banyak dokter takut terjadi fraud meng-coding upcoding dan terjadi fraud. Maka bisa terjadi corruption by system. Fraud tidak ada niat, namun salah satunya dilakukan dalam waktu lama. Siapa yang mengawasi? Untuk waktu pendek, OJK saya tidak yakin karena tidak ada pengetahuan dokter spesialis. Dalam pemberian antibiotik, peralatan dibutuhkan atau tidak. DJSN juga tidak bisa. Peran universitas, bagaimana cara mencegah fraud untuk Dekan diundang lalu beberapa orang di universitas punya kemampuan mencegah fraud. Mungkin itu akan sustainable melalui pendidikan karena diajarkan dari waktu ke waktu (program universitas).

Noe Mobarak, Kepala Departemen Evaluasi Perencanaan dan Pengawasan PT Askes. Sepertinya dokter jelek, namun banyak di lapangan yang profesional dan komitmen terhadap sumpah hipokratisnya. Biaya pendidikan spesialis masih mahal, seperti apa kebijakan pemerintah dalam hal ini? Biaya kesehatan bukan pendapatan namun Permenkes 269 tentang rekam medis, bisa diakses peserta dengan surat formal. Pada RS tertentu yang tidak tertib nah ini yang rentan terjadi fraud.

Agus MMR

POGI dan IDAI yang paling bisa menilai tindakan itu fraud atau tidak? Dengan jasa yang minim, tuntutan masyarakat besar.

Tanggapan:

6novyulitaJulita, pelayanan kesehatan spesifik jadi standar pelayanannya belum fit termasuk INA CBG's. UU RS pemerintah wajib bekerjama, swasta juga harus bekerjasama. Jangan dihadapkan pada aturan langsung, ini harus direviu dan bisa masuk ranah hukum jika sudah balance.

Niken, INA CBGs belum disosialisasikan dengan baik, direktur-coder dan dokter banyak yang honorer, banyak coding yang salah. Mana klaim yang bermasalah dan dikonsultasikan dengan lembaga pengawas yang ada. Mungkin bisa kerjasama dengan DJSN dan Kemenkes.

Kesimpulan:

  1. Kompensasi RS dan dokter untuk kompensasi pendapatan yang rendah.
  2. IT belum baik,
  3. Data masih susah diakses-BPJS terbuka untuk umum atau tidak. Konsultan yang menawarkan upcoding yang tepat harus independen.
  4. Hitam putihnya belum jelas, banyak dokter yang takut fraud dan pasien tidak tertolong. Penanganannya belum bisa tegas, takutnya fraud menjadi bidaya yang sistemik.

Sesi 2

6novtaufikdr. Taufik Hidayat, MM - PT Askes Indonesia

dr. Taufik Hidayat, MM, Dirut PT Askes Indonesia memaparkan tentang Fraud ini merupakan penyakit klasik dan menghilangkan fraud ini akan sangat berat. AS fraud 2-10%, Askes berupaya untuk menanggulangi fraud. Hal ini susah untuk diatasi, bisa dari internal dan oknum tertentu. Bahkan pemakainya dan provider bisa provider juga. Tugas Askes seperti diamanatkan UU No 24 Tahun 2011 Pasal 24 ialah sebagai pengawas. Faktor kunci BPJS: Efisiensi-efektivitas biaya, pelayanan peserta lebih baik dan transparansi akuntabilitas.

Menurut Boynton dkk (2003 : 373) Pengawasan Internal adalah suatu proses yang dilaksanakan oleh dewan direksi, manajemen dan personel lainnya dalam suatu entitas, yang dirancang untuk menyediakan keyakinan yang memadai berkenaan dengan pencapaian tujuan dalam kategori berikut :

  1. Keandalan pelaporan keuangan
  2. Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku
  3. Efektivitas dan efisiensi operasi.

Fungsi pengawasan, yaitu: eksplanasi-akuntabilitas-pemeriksaan dan kepatuhan. Karakteristik pengawasan internal yang baik, preemptif, preventif, represif dan detektif. Rancangan pengawasan internal yaitu dalam ranah sistem kerja, eksternal, SDM dan struktur organisasi. Isu strategis pelaksanaan BPJS, lemahnya Perpu, jumlah nakes yang tidak merata, RS dan Puskesmas masih menjadi pendapatan daerah, belum ada lembaga independen untuk audit medis dan besarnya proporsi pembiayaan obat dalam pelayanan kesehatan, Tantangan Program Fraud dan Korupsi di BPJS Kesehatan, yaitu Penggunaan tarif INA CBGs dan masih terdapat perbedaan implementasi Permemkes No 268 tahun 2008 tentang rekam medis. Peran OJK sebagai Pengawas Eksternal BPJS disampaikan oleh Sumarjono, Kepala OJK. Dasar pengawasan OJK yaitu UU BPJS dan UU OJK. OJK memiliki fungsi pengawasan pada: perbankan, pasar modal, asyransi, pensiun dan sektor keuangan lain yang terkait.

Insurance Core Principle (ICP) bertujuan untuk memberikan suatu framework yang dapat diterima secaraglobal untuk pengawasan terhadap sektor perasuransian. ICP nomor 21 mengamanatkan untuk countering fraud in insurance. ICP dikeluarkan oleh International Association of Insurance Supervisor (IAIS).

Prof. Laksono Trisnantoro, Fraud akan bertambah menurut prediksi. Adu cepat antara lembaga pengawas dan pelaku. Apa peran perguruan tinggi (PT) dan bagaimana harus berbuat? Bisa berperan melalui residen (PPDS1) dan fellow (PPDS2). Peran dalam jangka pendek untuk membantu BPJS dan OJK. Peran sebagai tenaga auditor independen bisa dikontrak dalam jangka waktu tertentu. Apakah sevara hukum bisa mengontrak auditor dari PT, berapa biayanya dan bekerja sama dengan tim OJK. Julita, tidak mungkin pengawasan dilakukan satu badan.


Diskusi:

Penanya pertama, dr, Fat, Askes melihat kembali tarif yang ada, karena biaya yang tidak sesuai. Pengawasan terhadap penerapan tarif. Dewan medik tidak bisa sebagai pengawas, namun lebih banyak melihat sisi konsumennya. Sistematika, histpryy of illness, hal ini membutuhkan banyak pihak yang mencermati. Hal ini membutuhkan strategi khusus.

Prof. Alimin, dalam INA CBGs siapa yang menghitung dan bagaimana menghitungnya?

Tanggapan:

Taufik, kenapa bisa ketemu 0,002% nilai yang kecil yang kami laporkan adalah hasil temuan ISBI dan auditor eksternal/GAP dan dikuantifikasi dalam rupiah. Pengalaman di Askes, pengawasan eksternal terhadap RS pemerintah sangat tinggi. Sejak BPK mengawasi klaim, yang diajukan provider dan Askes selisih maka Askes akan mengembalikan syarat apa yang belum lengkap. Jika sudah diajukan dan disetujui sama sesuai dengan haknya. Premi dan tarif yang menentukan pemerintah, kami ingin dilibatkan.

Sumarjono, OJK ingin memahami tugas dari pemerintah terkait pengawasan, sampai dimana? Jika sampai dalam yang kita bahas, maka akan kami lakukan pengawasan tersebut. OJK dapat bekerjasama dengan pihak lain terhadap ranah yang diawasi OJK. OJK belum memahami SDM terkait INA CBGs atau Kemenkes yang akan mengontrolnya?

SEMINAR KONTROVERSI AKI DAN AKB dalam SDKI 2012

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Bekerjasama dengan

Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia
Pengurus Daerah Istimewa Yogyakarta

Menyelenggarakan

SEMINAR KONTROVERSI SDKI 2012 DAN
STRATEGI PENURUNAN KEMATIAN IBU DAN BAYI 

Senin, 25 November 2013
di Ruang Teather Perpustakaan FK UGM Yogyakarta 

Akan disiarkan secara live streaming melalui website
www.kebijakankesehatanindonesia.net dan www.kesehatan-ibuanak.net 

  Latar Belakang

Upaya untuk memperbaiki kesehatan ibu, bayi baru lahir dan anak telah menjadi prioritas utama dari pemerintah, bahkan sebelum Millenium Development Goal's 2015 ditetapkan. Angka kematian ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu indikator utama derajat kesehatan suatu negara. AKI dan AKB juga mengindikasikan kemampuan dan kualitas pelayanan kesehatan, kapasitas pelayanan kesehatan, kualitas pendidikan dan pengetahuan masyarakat, kualitas kesehatan lingkungan, sosial budaya serta hambatan dalam memperoleh akses terhadap pelayanan kesehatan. (www.depkes.go.id)

Saat ini status kesehatan ibu dan anak di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan, ditandai dengan masih tingginya angka kematian ibu (AKI), dan angka kematian bayi (AKB). Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 didapatkan data angka kematian ibu (AKI) sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup, mengalami penurunan jika dibandingkan dengan angka kematian ibu (AKI) tahun 2002 yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup. Data AKI tersebut membuat Indonesia mulai optimis bahwa target MDGs untuk AKI tahun 2015 adalah sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup dapat tercapai. Sehingga tidak ada lagi sebutan sebagai negara yang memiliki AKI tertinggi dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia (62 per 100.000 kelahiran hidup), Srilanka (58 per 100.000 kelahiran hidup), dan Philipina (230 per 100.000 kelahiran hidup). Optimisme tersebut menjadi kecemasan setelah melihat hasil SDKI 2012 bahwa AKI tercatat mengalami kenaikan yang signifikan yaitu sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup,

Sedangkan untuk data Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia walaupun masih jauh dari angka target MDGs yaitu AKB tahun 2015 sebesar 23 per 1000 kelahiran hidup tetapi tercatat mengalami penurunan yaitu dari sebesar 35 per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2002) menjadi sebesar 34 per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2007), dan terakhir menjadi 32 per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2012). namun angka kematian bayi (AKB) di Indonesia masih tetap tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN seperti Singapura (3 per 1000 kh), Brunei Darussalam (8 per 1000 kh), Malaysia (10 per 1000 kh), Vietnam (18 per 1000 kh), dan Thailand (20 per 1000 kh). Target AKB dalam MDGs adalah 23 per 1000 kh.

Dari data di atas jelas terlihat bahwa AKI dan AKB di Indonesia masih sangat tinggi, terutama untuk AKI yang berdasarkan trend data SDKI beberapa tahun ini mengalami fluktuasi yang angkanya semakin jauh dari target MGDs. Dalam rangka menurunkan AKI dan AKB memerlukan kerjasama lintas sektor dan lintas program. Alasan tersebut menjadi dasar diselenggarakannya seminar tentang "Kontroversi AKI dan AKB (SDKI 2012) di Indonesia, dan apa yang bisa dilakukanselanjutnya?" kerjasama PKMK FK UGM, Pokja KIA FK UGM, dan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI) Pengda DI Yogyakarta ini. Seminar yang sasaran pesertanya dari berbagai kalangan seperti organisasi profesi (IAKMI, PPNI, IBI, dan IDI), Dinas Kesehatan, lembaga pendidikan, akademisi, LSM peduli kesehatan ini diharapkan dapat menjadi tempat diskusi dalam rangka mengkritisi AKI dan AKB tersebut, dan bagaimana tindaklanjutnya?.

  Tujuan Kegiatan:

  1. Mendapatkan gambaran tentang faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya angka sedemikian rupa dalam SDKI 2012 dan SDKI periode-periode sebelumnya.
  2. Mendapatkan masukan strategi pemecahan masalah AKI dan AKB di Indonesia.
  3. Mendapatkan gambaran mapping peran berbagai sektor terkait seperti organisasi profesi, Dinas Kesehatan, lembaga pendidikan, akademisi, dan LSM peduli kesehatan dalam rangka menurunkan AKI dan AKB.

Diharapkan, setelah mengikuti seminar ini, para peserta seminar dapat menindaklanjuti dengan menyusun rencana tindak lanjut yang tepat untuk penurunan AKI dan AKB sesuai peran yang dapat diperankannya di masyarakat.

  Peserta

  1. Organisasi profesi (IAKMI, IBI, PPNI, IDI)
  2. Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota
  3. Lembaga pendidikan kesehatan (FK – FKM, STIKES, dll)
  4. LSM peduli kesehatan
  5. Mahasiswa

 

  Jadwal Kegiatan

Senin 25 November 2013, di Ruang Teather Perpustakaan FK UGM

Waktu / Jam

Kegiatan

Pembicara / Penanggungjawab

08.00-08.30

Registrasi

Panitia

08.30 – 09.00

Pengantar dan Pembukaan

  1. Dr. Ova Emilia, Sp.OG, M.Med.Ed – POKJA KIA
  2. Dekan FK UGM

09.00 – 09.30

Keynote Speech

Pandangan dan Gerakan Perempuan dalam Penurunan AKI dan AKB (pencapaian MDG 4 dan 5)

GKR Hemas (Wakil Ketua  DPD RI Perempuan & Ketua TP PKK DIY)

09.30 – 10.00

Coffee break

Panitia

10.00 – 11.00

Debate Session : Kajian tentang AKI dan AKB di Indonesia (SDKI 2012) dibandingkan dengan SDKI periode sebelumnya

  1. Pandangan Akademisi
  2. Pandangan Pengguna

 

  1. Prof. dr. Bhisma Murti, MPH
  2. Dirjen Bina Gizi dan KIA Kementerian Kesehatan RI

Moderator : Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D

11.00 – 12.00

Strategi Penurunan AKI dan AKB

  1. Studi Kasus Strategi Penurunan AKI dan AKB di DIY
  2. Studi Kasus Strategi Penurunan AKI dan AKB di NTT
  1. dr. RA. Arida Oetami, M.Kes – Kepala Dinas Kesehatan Propinsi DIY
  2. dr. Stefanus Bria Seran, MPH – Kepala Dinas Kesehatan Propinsi NTT

Pembahas : dr. Sitti Noor Zaenab, M.Kes

Moderator : Dr. dr. Dwi Handono, M.Kes

12.00 – 13.00

Kesimpulan, Rekomendasi dan Penutupan

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

13.00 – 13.30

Makan siang

Panitia

Biaya Pendaftaran sebesar Rp. 150.000 (seratus lima puluh ribu rupiah) dan mendapatkan fasilitas konsumsi selama meeting, dan sertifikat ber – SKP IAKMI Pusat.

SKP IAKMI PUSAT : Pembicara (2 SKP), Moderator (1 SKP), Peserta (1 SKP), Panitia (1 SKP).

 

  Pendaftaran pada:

Hendriana Anggi / Maria Happy
Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Gedung IKM Sayap Utara Lt. 2, Fakultas Kedokteran UGM
Jl. Farmako, Sekip Utara, Yogyakarta 55281
Ph. /Fax : +62274-549425 (hunting)
Mobile : +6281227938882 / +62813292786802
Email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. / This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Website : www.kebijakankesehatanindonesia.net / www.kesehatan-ibuanak.net 

RESUME HASIL DISKUSI POLA PEMETAAN INTERVENSI KIA

RESUME HASIL DISKUSI POLA PEMETAAN INTERVENSI KIA

Dalam upaya penurunan AKI dan AKB, berbagai intervensi dalam bidang pelayanan KIA sudah dicoba dilakukan. Dalam pelaksanaannya, diketahui bahwa sebenarnya perlu keterlibatan berbagai pihak untuk mencapai tujuan penurunan AKI dan AKB. Pokja KIA Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM mengusulkan sebuah pola pemetaan intervensi KIA dari hulu ke hilir yang melibatkan pihak-pihak terkait. Informasi mengenai pemetaan intervensi KIA dapat dilihat pada uraian berikut:

Apa yang disebut Pemetaan Intervensi? Pengembangan Pemetaan Intervensi KIA diilhami oleh pemikiran yang dipaparkan oleh Kay Bartholomew, Guy S. Parcel & Gerjo Kok. Dalam usaha memetakan intervensi yang efektif, sejak tahun 2009, PKMK FK UGM telah mengembangkan berbagai program intervensi dan inovasi di dalam KIA secara komprehensif. Hasilnya adalah sebuah model intervensi untuk mengatasi berbagai masalah KIA yang kompleks.

Model Pemetaan Intervensi KIA pada sebuah kabupaten/kota dapat digambarkan sebagai usaha menggambarkan berbagai intervensi dengan menggunakan pendekatan continuum of care dari hulu ke hilir. Hasil intervensi diukur dengan angka absolut kematian bayi dan ibu di Kabupaten/ Kota. Ditegaskan bahwa outcomenya adalah kematian, bukan cakupan-cakupan sehingga membutuhkan data yang baik. Dengan indikator data kematian setempat, maka "adrenalin dalam program penurunan kematian ibu dan bayi" dapat ditingkatkan.

Pendekatan ini dimulai dengan memetakan permasalahan yang terjadi di masyarakat sampai ke rumah sakit. Mohon klik di www.kesehatan-ibuanak.net  Pemetaan ini menggambarkan permasalahan dari hulu ke hilir (lihat sebelah kiri, berwarna Oranye). Dari permasalahan tersebut, dengan menggunakan metode akar permasalahan, akan dicari intervensi yang sesuai dengan permasalahannya (sebelah kanan). Intervensi dapat dibagi menjadi dua kelompok besar:

  1. Intervensi kegiatan langsung ke masyarakat (berwarna hijau tua), dan
  2. Intervensi penguatan sistem manajemen dalam program (berwana biru tua).

Intervensi kelompok pertama mengacu ke artikel di Lancet seperti intervensi di masyarakat secara terjadwal, intervensi keluarga, dan intervensi klinik sampai ke RS PONEK.

Pemetaan intervensi ini bertujuan agar kebijakan dan program KIA di sebuah kabupaten dapat dijalankan secara komprehensif dan mempunyai besaran kebijakan yang sesuai dengan permasalahan. Oleh karena itu ikon intervensi dilambangkan dengan sebuah tombol yang dapat diputar. Anda dapat melakukan penilaian sendiri akan intensitas program dan keadaan sistem manajemen sesuai permasalahan dengan mengklik tombol-tombol tersebut.

Jika dilihat pelakunya, maka tombol-tombol intervensi di hulu sebagian besar dilakukan bukan oleh Dinas Kesehatan namun lebih lintas sektor. Hal ini memang logis karena pendekatan hulu untuk mencegah orang sehat menjadi sakit banyak dilakukan oleh sektor lain misal pangan dan gizi, sanitasi, lingkungan keluarga, dan sebagainya. Di hilir lebih mengarah pada pelayanan kesehatan dari pelayanan primer sampai rujukan di rumahsakit yang tentunya dilakukan oleh pelaku sektor kesehatan.

Peta ini tentunya berbeda-beda di setiap kabupaten. Secara garis besar di Indonesia dapat dibagi menjadi 3 daerah yang berbeda sekali. Daerah tipe pertama seperti Papua dimana kematian ibu dan bayi banyak terjadi di masyarakat. Daerah tipe kedua seperti di NTT di kematian ibu dan bayi sedang beralih dari rumah/masyarakat ke fasilitas kesehatan dan akhirnya meningkat di rumahsakit. Daerah tipe ketiga, contohnya adalah DIY dimana kematian ibu dan bayi sebagian besar (90% lebih) berada di rumahsakit.

Intervensi di daerah-daerah yang berbeda tersebut tentunya berbeda intensitas di hulu dan hilirnya. Papua sangat membutuhkan perbaikan hulu karena memang masih sangat buruk. Akan tetapi di DIY pendekatan hulu relatif lebih ringan, sementara justru masalah pelayanan rumahsakit dan rujukan menjadi faktor penting yang menentukan jumlah kematian ibu dan bayi. Walaupun berbeda-beda intensitasnya, tetap dianjurkan intervensinya merupakan kombinasi hulu dan hilir dengan baik. Koordinasi hulu dan hilir sangat dibutuhkan. Sebagai gambaran dengan pelayanan yang baik di rumahsakit, maka penyebab kematian dapat diketahui secara lebih rinci. Dengan demikin intervensi di hulunya menjadi lebih tepat dan dapat didukung oleh seluruh stakeholders.

Dengan pemahaman hulu dan hilir yang terintegrasi ini maka intervensi KIA dapat berupa pelayanan promotif dan preventif di masyarakat, keluarga, dan fasilitas kesehatan, serta pelayanan kuratif di puskesmas dan rumahsakit. Oleh karena itu dibutuhkan kerjasama antar profesi dalam menurunkan kematian ibu dan bayi, termasuk peran aktif para bidan, dokter umum, spesialis obsgin, spesialis anak, sampai ke promotor kesehatan dan perencana keuangan di pemerintah kabupaten.

Selama tanggal 7 – 12 Oktober 2013, dilakukan diskusi terkait pola pemetaan intervensi KIA dalam milis This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.. Poin-poin penting yang dapat dirangkum dari pemikiran peserta diskusi adalah sebagai berikut:

  1. Pemetaan intervesi yang efektif untuk pelaksanaan kebijakan KIA, misalnya di Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali dengan menggunakan pendekatan continuum of care dari hulu ke hilir yang dimulai dari memetakan permasalahan yang terjadi di masyarakat yaitu posyandu. Banyak masalah yang dialami dalam pelaksanaan posyandu di Kabupaten Gianyar salah satunya yaitu pada layanan konseling, padahal layanan ini sangat memberikan manfaat besar untuk penurunan AKI, dengan konseling masalah yang dihadapi balita bisa diketahui dan apabila ada masalah bisa dirujuk ke tempat pelayanan yang tepat seperti puskesmas dan rumah sakit.
  2. Perlu sekali adanya intervensi pada ibu-ibu hamil dan keluarganya. Intervensi ini mengenai bagaimana penanganan kehamilan bagi ibu-ibu. Intervensi kepada keluarga ibu hamil perlu dilakukan, melihat keluarga memegang peranan penting untuk memutuskan dimanakah pelayanan kehamilan ibu dilakukan (tidak hanya di desa, dikota dan dimanapun keluarga mempunyai peranan penting). Pihak puskesmas atau dukun desa, bisa saja menjadi sarana penyampaian pengetahuan/ penyuluhan ini, bahkan mungkin kepala desa/suku atau orang yang disegani di daerah tersebut yang memberikan penyuluhan.
  3. Paket policy brief adalah suatu bentuk paket kebijakan yang sangat diperlukan untuk menekan tingginya angka kematian ibu dan anak, artinya bahwa pengimplementasian program kebijakan KIA tidak bisa dipotong-potong, semua harus seimbang baik pendekatan kebijakan di hulu (pemberdayaan masyarakat, promosi kesehatan, perencanaan lintas sektor, perbaikan gizi dan pencegahan penyakit malaria pada ibu hamil) maupun pendekatan kebijakan di hilir (penurunan kematian bayi, strategi penurunan jumlah kematian ibu dan bayi, penggunaan data kematian absolut, dsb). Dari hasil SDKI 2012 ada beberapa usaha yang sangat perlu ditingkatkan seperti keberadaan fasilitas kesehatan, akses ke fasilitas kesehatan, dan petugas kesehatan baik dalam jumlah dan kualitas. Sehingga perlu adanya kerjasama atau koordinasi lintas sektor mulai dari DPRD, pemerintah daerah melalui SKPD terkait seperti Dinas Kesehatan, Kantor Pemberdayaan Perempuan, Badan Pemberdayaan Masyarakat, BKKBN, dan masyarakat sipil dalam upaya perbaikan program dan peningkatan derajat kesehatan ibu dan anak.
  4. Untuk menjawab permasalahan-permasalahan terkait Program KIA perlu ada kerjasama gabungan antara Kemenkes, BKKBN. Program-program yang ada juga perlu diintegrasikan semua.
  5. Intervensi kepada keluarga melalui tokoh-tokoh masyarakat (toma) memegang peranan penting. Permasalahannya bagaimana memberdayakan toma (dalam praktek sesungguhnya) sehingga mampu mengintervensi keluarga-keluarga di wilayahnya, dan siapa yang bertanggungjawab melakukan itu?
    Mungkin diantara peserta diskusi ada yang punya best practise upaya intervensi kepada toma ini, sehingga bisa mengisi kolom "intervensi" bagian "hulu" dalam bagan mapping intervention (klik www.kesehatan-ibuanak.net ).
  6. Saat ini sebenarnya DIY telah banyak melakukan upaya untuk pencegahan kematian ibu dan bayi dengan pendekatan di hulu, melalui pemberdayaan masyarakat, dengan Gerakan Sayang Ibu (GSI). Upaya ini melibatkan masyarakat yang dimotori oleh pemerintah, namun dalam pelaksanaannya yang paling banyak berperan adalah pemerintah, selain itu masih banyak kendala-kendala yang dihadapi, contohnya pada pertemuan diskusi bulanan yang diadakan oleh PKMK FK UGM pada senin, 07/10/2013, terungkap bahwa Gerakan Sayang Ibu ini hanya bergaung pada saat lomba saja. Masih banyak masyarakat yang tidak begitu memahami masalah GSI dan masyarakat juga tidak tahu akan berpartisispasi dimana karena tidak adanya akses.
  7. Kesinambungan intervensi yang dilakukan dari aspek hulu hingga hilir sangat penting. Sebagai contoh, kondisi pelayanan KIA di NTT. Di NTT, semula banyak terjadi kematian di rumah. Sebabnya, masyarakat enggan untuk ke RSUD/ fasilitas kesehatan karena minimnya tenaga ahli yang dapat memberikan pertolongan memadai kepada mereka. Salah satu bentuk intervensi untuk mengatasi kondisi demikian adalah melalui Program Sister Hospital (SH). Dalam Program Sister Hospital ini, dilakukan pengiriman 3 jenis dokter spesialis (Anak, Obgin dan Anestesi) serta paramedis dari 9 RS besar di Indonesia ke 11 RSUD di NTT.
  8. Upaya merangkum upaya penurunan AKI dan AKB akan mudah jika ada framework yang jelas. Dalam hal ini framework pendekatan terintegrasi dari hulu ke hilir bisa membantu. Menu yang ada akan terus diperkaya, atau mungkin yang sudah ada akan dikritisi.
    Poin penting lainnya adalah bagaimana memilih dan memilah menu ke dalam kategori "hasil cepat", "hasil menengah" dan "hasil jangka panjang." Ini penting karena upaya menurunkan AKI tidak harus menunggu SDKI berikutnya (tahun 2017?), tetapi kita butuh "kemenangan-kemenangan kecil yang segera terlihat hasilnya" untuk membangkitkan semangat dan optimisme.
  9. Dari sisi Siklus Kebijakan, hasil SDKI 2012 merupakan evaluasi dari kumulatif semua upaya yang telah dilakukan minimal dalam 5 tahun terakhir (sejak SDKI sebelumnya tahun 2007). Berdasarkan siklus, berarti kita mulai lagi dari langkah pertama yaitu: Diagnosis Masalah. Langkah ini sangat penting dan harus dilakukan untuk mendiagnosis dengan tepat dan tajam mengapa AKI melonjak tajam (di luar soal perbedaan metode penghitungannya). Untuk itu mungkin dibutuhkan penelitian khusus yang komprehensif untuk mencari akar penyebab masalahnya. Pendekatan Pohon Diagnostik mungkin bisa membantu.
    Jadi konkritnya, berdasarkan Siklus Kebijakan, seharusnya kita berproses sesuai langkah-langkah yang dianjurkan. Pemetaan Intervensi akan lebih bermanfaat jika kita sudah tahu jelas akar penyebab masalahnya.
  10. Beberapa faktor penyebab Kematian Ibu dan Bayi adalah pre eklamsia dan eklamsia serta penyakit-penyakit lain yang diderita Ibu sebelum mengandung. Faktor lain-lain juga menjadi faktor pemicu kematian Ibu dan Bayi. Misalnya Ibu-Ibu yang melahirkan pada usia dini juga Ibu yang nekahirkan pada usia tua. Kurangnya pengetahuan Ibu dalam kasus kehamilan hingga melahirkan masih kurang sehingga ada beberapa Ibu yang melahirkan di rumah dan dibantu oleh Tenaga Non Kesehatan seperti Dukun Bayi. Salah satu intervensi yang dilakukan untuk menurunkan AKI dan AKB adalah program EMAS (Expanding Maternal and Neonatal Survival) yaitu program kerjasama antara Kementerian Kesehatan RI dengan USAID dalam rangka mengurangi angka kematian ibu dan bayi baru lahir. Program EMAS dicanangkan akan berlangsung selama 5 tahun, dari 2012 hingga 2016. Program EMAS mendukung pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten untuk berjejaring dengan Organisasi Masyarakat Sipil, fasilitas kesehatan publik dan swasta, asosiasi rumah sakit, organisasi profesi, dan sektor-sektor lain. Program EMAS bertujuan untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi baru lahir di Indonesia hingga 25%.
  11. Kami sepakat dengan pendekatan sistem dari hulu ke hilir yang di wacanakan guna menekan angka kematian ibu yang meningkat menurut data SDKI 2012. Pola berfikir hulu hilir dapat dengan mudah menemukan titik permasalahan yang ada di ditingkat pelayanan kesehatan dan dimasyarakat.
    Data SDKI menunjukkan angka kematian ibu juga terjadi di tingkat masyarakat sehingga diperlukan pendekatan kemasyarakatan yang lebih komprehensif. Pendekatan yang tidak hanya melibatkan tenaga kesehatan, tetapi semua sektor yang terlibat termasuk perangkat pemerintahan desa/kelurahan atau dalam hal ini menggunakan pendekatan dari aspek hulu. Menurut analisis kami, pendekatan sistem di hulu memerlukan pendekatan berbasis masyarakat sebagai pondasi awal dalam rangka menurunkan angka kematian ibu. Misalnya, kemitraan antara bidan dan dukun beranak yang seharusnya tidak hanya sebagai program tanpa impelementasi. Dalam pendekatan ini, dibutuhkan pendekatan yang berbasis modal sosial seperti intervensi berupa kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, Memberdayakan semua unsur masyarakat tanpa berusaha mengikis atau bahkan menghilangkan modal sosial yang ada.
  12. Penanganan program kematian ibu diperlukan penanganan lintas sektor. Penanganan ini juga melalui pendekatan hulu-hilir. Dimana di tingkat hulu, kesadaran masyarakat dan pihak-pihak terkait perlu ditingkatkan. Untuk di tingkat hilir, penanganan kuratif perlu ditingkatkan terutama di tingkat daerah. Peran serta pengambil kebijakan juga merupakan salah satu faktor yang dapat menekan angka kematian ibu. Mengingat hal tersebut, maka pengambilan kebijakan perlu dilakukan dari tingkat daerah yg diarahkan ke tingkat pusat, sehingga gambaran masing-masing daerah lebih terlihat detail dan nyata.